Terminal Bojong Gede. Aku mendongak membaca sebuah papan nama dalam hati. Angkot Abah baru merapat, berbaris rapi di antara beberapa angkot berwarna biru lain.
"Baru datang, Bah? Ujang, mana?" Sapa seorang lelaki di samping angkot Abah. Ia menatapku sekilas.
"Ujang repot, istrinya baru lahiran."
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa ikut berbicara. Melemparkan pandangan ke sekeliling terminal. Ramai. Hilir mudik para penumpang. Banyak para pedagang asongan menawarkan barang jualan mereka.
Tempat yang asing. Aku merasa belum pernah kemari. Matahari kian meninggi, teriknya membakar tubuh. Kuseka peluh yang menetes di pelipis.
"Ali, cari penumpang!" perintah Abah.
Aku mengernyitkan kening. Memutar bola mata ke kiri dan kanan. Menatap beberapa orang yang hilir mudik. Bagaimana cara mencari penumpang?
Haruskah kutarik setiap orang yang lewat agar masuk, dan menaiki angkot Abah?
Masak aku harus bertanya satu persatu pada mereka mau kemana?
Aku mendekat pada lelaki berbadan gemuk dengan kulit kecokelatan itu. Handuk berwarna biru tersampir di leher Abah.
"Bah, bagaimana cara mencari penumpang itu?" tanyaku dengan suara pelan.
Abah menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Kamu teriak yang kenceng, Pasar Anyar, Pasar Anyar, Pasar Anyar …."
"Gitu doank, Bah?"
Abah menganggukkan kepala. Satu alisnya terangkat naik menatapku.
"Pasar Anyar, Pasar Anyar, Pasar Anyar …."
Aku berkata dengan nada cepat dan datar. Mengikuti perintah dari Abah Dadang. Terserah ada yang mendengar atau tidak. Yang penting aku sudah melakukan apa yang diperintahkannya.
"Kenapa pelam amat teriaknya? Belum sarapan Elu, Ali?"
"Pasar Anyar … Pasar Anyar."
Aku berteriak lebih keras dari sebelumnya. Seorang perempuan mendekat. Ia malah menatapku, bukan pada angkot.
"Abang, ganteng bener? Lagi nyamar, yak? Atau syuting sinetron?"
Aku mengernyitkan Alis, "Pasar Anyar?"
"Naik deh, kalo Abang kernetnya seganteng ini."
Perempuan tadi masuk ke dalam angkot. Aku masih berdiri di samping pintu, mulai berteriak kembali, "Pasar Anyar, Pasar Anyar …."
Lima belas menit berlalu angkot sudah penuh oleh beberapa penumpang. Kebanyakan para perempuan, mulai dari remaja hingga Emak-Emak. Ibu paruh baya yang menenteng belanjaan di deretan sebelah kanan dekat jendela itu terus menatapku. Risih.
Apa mereka tak pernah bertemu lelaki tampan sebelumnya? Haruskah mereka terus menatap tanpa berkedip seperti itu?
"Masih cukup seorang lagi, Ali?"
Aku melongok ke dalam angkot, para penumpang perempuan tersenyum menatapku, "Penuh, Bah!"
Abah menggeleng pada seorang lelaki berkemeja dan membawa tas ransel. Lelaki itu menjauh, dan bertanya pada angkot di sebelah Abah.
"Tariik Ali," ucap Abah sambil menginjak pedal gas.
Aku segera duduk di kursi kayu kecil. Semua kursi sudah penuh.
"Bang, umurnya berapa?" tanya seorang remaja dengan rambut sebahu padaku. Kursinya tepat di sampingku duduk.
Jangankan umur, nama saja aku tak ingat. Tak mungkin menjelaskan padanya. Aku mengalihkan pandangan ke luar angkot. Menatap jalanan beraspal di luar.
"Cuek amat sih, Bang?"
Terdengar bisik-bisik di dalam angkot. Para penumpang perempuan itu membicarakanku sepertinya. Terserahlah.
"Perempatan depan berenti, Bang," teriak Ibu paruh baya yang menenteng belanjaan di deretan sebelah kanan dekat jendela itu.
Abah yang mendengar teriakan Ibu itu memelankan laju angkot. Perlahan angkot menepi ke kiri. Ibu paruh baya itu berjalan dengan menunduk agar tak terantuk dinding angkot.
Ibu itu mengulurkan selembar uang pecahan dua ribuan.
"Ini, Bang." Sambil berucap ia tersenyum dan mengangguk padaku. Aku membalas anggukan kepalanya.
Empat puluh menit perjalanan, sampailah angkot yang kutumpangi di depan Pasar Anyar. Para penumpang sudah turun semua.
"Istirahat dulu Ali, makan siang," ajak Abah. Ayah dari Wulan itu mengelap peluh menggunakan handuk kecil yang tersampir di lehernya. Abah keluar dari angkot, Aku mengikuti langkahnya perlahan.
"Ehh, Abah! Monggo, masuk Bah!" Seorang Ibu paruh baya menggunakan daster bermotif bunga mempersilakan kami masuk dan duduk. Logat jawanya begitu kental.
"Ali, hayuk makan dulu kita."
Aku mengikuti langkah Abah masuk ke warung nasi itu. Duduk di atas kursi kayu memanjang, sebelah Abah.
"Mau makan apa, Bah?"
"Yang biasa aja, pake sayur bening sama ayam goreng. Jangan lupa sambal." Abah menjawab sambil mengibaskan handuk di lehernya. Bau keringat seketika terhidu. Aku menutup hidung.
"Mas-nya, mau makan apa?"
Ibu paruh baya itu menatapku. Menunggu jawaban.
"Sama aja," jawabku sekenanya. Rasa makanan pasti sama.
Sambil menunggu pesanan makanan datang. Aku mendongak menatap layar televisi yang dipasang di dinding. Sedang disiarkan acara berita.
"Pewaris The One Property, Alexander Ibrahim yang baru saja melaksanakan pesta pertunangannya dengan Tamara Hilton. Dikabarkan mengalami kecelakaan, jasadnya terjatuh dan hanyut di Sungai Ciliwung sejak seminggu yang lalu …."
"Ini Bah, makanan pesenannya!"
Aku mengalihkan pandangan dari televisi. Menoleh ke arah suara, Ibu pemilik warung mengantarkan dua piring nasi beserta lauknya.
"Alhamdulilah," ucap Abah melihat makanan pesanannya datang. Abah mengambil menu pesanannya, langsung makan dengan lahap.
"Sok, dimakan Ali," perintah Abah kemudian.
Aku menurut segera menyendokkan sesuap nasi beserta sayur bening ke dalam mulut. Enak.
Sambil makan kembali aku mendongak menatap layar televisi, berita tadi sudah berganti. Pembawa berita sedang menyiarkan berita tentang COID-19, virus yang melanda seluruh dunia saat ini.
Abah sudah menyingkirkan piringnya ke dekat dinding. Habis tak tersisa. Merogoh saku, dan mengeluarkan sebungkus rokok.
"Rokok?"
Aku menggeleng. Abah mengambil sebatang, memasukkan ke dalam mulut. Menyalakan mancis. Asap mulai mengepul.
"Elu, ada inget sesuatu?"
Aku menggeleng. Menatap jauh ke depan. Jalanan macet, yang dipenuhi kendaraan.
Abah menepuk-nepuk pundakku, "Sabar, nanti pasti inget."
Abah pernah bercerita bahwa aku mengalami Amnesia. Hal ini terjadi karena adanya benturan keras ke kepala. Kata dokter yang memeriksaku jenis amnesia ini umumnya bersifat sementara, namun tergantung pada seberapa parah cedera yang terjadi.
Kondisi inilah yang menyebabkan aku sempat hilang kesadaran selama dua hari setelah ditemukan oleh Wulan waktu itu.
Saat sadar, aku tak ingat apa-apa. Ada beberapa luka gores di tangan, mungkin saat aku hanyut di Sungai Ciliwung aku terkena batu atau benda lainnya. Sementara kepalaku juga diperban melingkar, mungkin terbentur batu besar.
"Oh, iya, Ali. Elu jadi kernet Abah hari ini, penumpangnya langsung rame. Besok bantuin Abah lagi, ya?"
Aku terdiam beberapa saat, lalu mengangguk. Lebih baik membantu Abah jadi kernet daripada seharian diomeli oleh Wulan. Selain itu, aku bisa pergi ke beberapa tempat. Mungkin, suatu saat aku akan menemukan jejak, atau titik terang tentang masa laluku yang sebenarnya.
"Angkutan Kota, angkot Abah ini dikasih kode 07, melintasi Bojong Gede menuju Pasar Anyar rutenya, catet nih!" Abah menekankan intonasinya, menyuruhku untuk mengingat rute yang akan diberitahukannya.
"Stasiun Bojong Gede, Perum Darusallam, Bojong Green Residence, Villa mutiara Bogor 2, Perumahan Bumi Cilebut damai, perum kintamani, perum pwi, Perum RSCM, Stasiun Cilebut, Perum PMI Bogor, perum Cilebut Residence, perum Permata Cilebut, Perum Intiland Jalan raya Cilebut-Bojong, jalan baru, Kebon Pedes, RSb pasutri, Stadion Padjajaran, bunderan air mancur, Zeni, Yogya Junction, terus Pasar Anyar dah," terang Abah.
"Banyak amat sih, Bah!" cetusku. Semua yang diucapkan Abah masuk ke kuping kiri, lalu keluar melalui kuping kanan.
"Inget?"
"Gak," jawabku cepat.
Kami tertawa bersamaan. Si Ibu penunggu warung ikut tertawa.
"Yodah, kita balik ke terminal Bojong Gede. Sapa tahu, ada banyak penumpang nungguin."
Abah mengeluarkan dompet. Membayar pesanan makanan kami tadi. Segera berjalan keluar dari warung makan menuju angkot.
"Bismillah, laris manis, tanjung kimpul. Penumpang berbaris, duit kumpul."Abah mengibaskan handuk birunya ke pintu dan kemudi angkot. Aku tersenyum lalu mengambil posisi duduk di dekat pintu.Abah mengawasi lalu lintas. Bola matanya menatap ke arah depan dan spion angkot bergantian. Setelah dirasa sepi, Ayah Wulan segera membelokkan kemudi. Angkot kembali melewati rute yang sama menuju terminal Bojong Gede.Angkot menjauh dari Pasar Anyar. Kerumunan orang terlihat semakin kecil seperti semut. Ah, lelahnya. Sepertinya baru kali ini aku merasakan bekerja dengan keras.
(Rahasia?)Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring."Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah. Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia. "Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku. "Nyesel, nih?"Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil."Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia
"Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.
Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.
"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ....""Maksud, Papa?"Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat."Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.
"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali.Tunggu pembalasanku Jhonny."Bagaimana dengan si Jhonny, itu?""Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonn
Matahari telah turun dari langit. Gurat kemerahan terlukis di angkasa. Senja selalu indah. Aku menatap seberkas sinar di luar jendela.Tok … tok … tok …!Terdengar suara seorang perempuan. Mungkin itu asisten rumah tangga tadi, Bik Asih. Mataku memicing menatap jarum pendek benda pipih di dinding yang menunjuk ke angka enam. Waktu yang terlalu cepat untuk makan malam.Aku menutup tirai jendela. Segera melangkah ke pintu. Memutar kenop dan membukanya."Tuan Alex, makan malamnya sudah siap!" ucap Bik Asih setelah pintu terbuka.
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad