Di sebuah ruangan megah berdiri wanita-wanita cantik dengan balutan dress anggun, menampakkan lekuk tubuh mereka. Sedangkan para lelaki memakai pakaian formal dengan jas beraneka warna dari berbagai merk.
Buket bunga berjajar di pinggir ruangan, bertuliskan ucapan selamat atas merger sekaligus pertunangan para ahli waris mereka. Hidangan nikmat tersaji di tiap meja. Gelas kaca berisi cairan berwarna merah, siap menjamu para tamu yang hadir.
Seorang lelaki dengan tuxedo hitam maju ke tengah panggung. Ia menepukkan tangan beberapa kali memberi tanda pada semua yang hadir untuk diam sejenak. Suasana hening.
"Pada hari ini, kita semua hadir di sini untuk ikut merayakan merger dari dua perusahaan besar di negara ini sekaligus pertunangan dari ahli waris masing-masing pihak. Kita sambut Alexander Ibrahim dan Tamara Hilton ke atas panggung."
Sekilas aku melirik pada wanita yang tengah berjalan ke panggung. Cantik, bodynya bak gitar spanyol. Dress dengan belahan dada yang dikenakan gadis itu sungguh menggoda.
Aku naik ke atas panggung. Semua mata menatap penuh antusias. Sebenarnya ini hanya acara formal. Bullshit. Persetan dengan pertunangan ini. Aku tak mengenal gadis itu. Jika tak menuruti kemauan Papa. Ia akan mencoretku dari kartu keluarga.
Kami saling bertatapan. Tamara tersenyum begitu manisnya padaku. Seorang pelayan mendekat. Mengulurkan kotak kecil berisi cincin emas 24 karat bertahtakan swarovski biru di tengahnya. Ia mengulurkan jemari tangan kanannya.
Aku meraih cincin di dalamnya. Hanya tinggal memasukkan cincin di jari manisnya bukan? It's so easy.
Lantas, dengan cincin melingkar di jari kami masing-masing haruskah kami mulai membagi hidup mulai sekarang?
Cinta? Big No. I have no idea.
Bagiku ini tak lebih dari simbiosis mutualisme. Kedua perusahaan semakin besar. Kedua keluarga menyatu atas nama pernikahan. Aku? Tak lebih dari boneka Papa.
Ballroom hotel bergemuruh. Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Papa memeluk rekan bisnis yang sebentar lagi jadi besannya.
Tamara memelukku sejenak. Kami saling tersenyum. Sementara hatiku, hambar.
Hah?! Ini semua hanya omong kosong. Sebuah sandiwara.
Setelah acara perjamuan selesai. Para tamu satu persatu meninggalkan ruang ballroom.
"Alex, enjoy your Night."
Papa menepuk bahuku. Ia berlalu lebih dulu.
Aku mendekat pada Tamara, "Mau kuantar pulang?"
"As my pleasure," katanya.
Gadis ini begitu cantik dan terpelajar. Tutur katanya pun sopan, ramah. Mungkin nanti aku akan jatuh hati juga padanya.
"Apa kamu bahagia dengan pertunangan kita?"
"Why not. Aku mendapatkan seorang lelaki tampan juga seorang ahli waris The One Property sepertimu."
Tampan. Ahli waris, Hanya itu? Hormon Adrenalin sepertinya sedang tak bekerja. Tak ada debaran atau pijar-pijar bahagia di tubuhku. Aku berhadapan dengan seorang gadis cantik. Hanya itu. Soal cinta? Entahlah. Akan kucoba nanti, kata orang cinta bisa tumbuh seiring waktu.
Toh, Papa dan Mama menikah juga demi bisnis kakek dulunya. Sekarang lihatlah, ada aku dan Alicia yang menyebalkan itu. Usia kami selisih sekitar tujuh tahun. Dia masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas sekarang.
Kami berjalan menyusuri lorong hotel menuju lift. Suasana hotel lengang, hari mulai larut malam. Para tamu langsung pulang setelah acara perjamuan tadi.
Aku menekan angka satu pada papan tombol di dalam lift. Kami hanya berdua. Lift mulai bergerak turun. Tamara sesekali mencuri pandang dan tersenyum. Aku menatap pantulan bayangan kami di kaca lift. Pasangan sempurna. Andaikan cinta ikut hadir di antara kami.
Pintu lift terbuka perlahan. Tampak lobi hotel dengan seorang resepsionis di sana. Perempuan dengan rambut disanggul memegang gagang telepon.
"Tamara, aku harus menyelesaikan sesuatu. Tunggu sebentar."
Segera aku keluar dari lift, menuju lobbi hotel. Berbicara pada si resepsionis.
Aku membalikkan badan kembali menuju tunanganku. What the ....
Aku melihat seorang lelaki bercelana jeans biru menghadang langkah tunanganku. Ia mencium Tamara. Damn, mereka berciuman di hadapanku. Segera kulangkahkan kaki menuju Tamara. Kuraih jas hitam yang dipakai si lelaki, kutarik dan kuhempaskan ke belakang. Hingga ia terjatuh.
"Jangan ikut campur urusan kami."
"Urusan kalian? Kau bilang? Dia adalah tunanganku." Kembali kudorong dengan kasar pundak lelaki itu. Ia mundur beberapa langkah. Matanya melotot tajam padaku.
Aku berusaha bersikap layaknya seorang Singa mengintimidasi lawan, menandai teritorialnya. Walaupun belum ada rasa cinta. Namun, Tamara sekarang adalah tunanganku. Sebagai seorang laki-laki dewasa aku merasa harus melindunginya.
"Pergi dari sini!" Aku membentaknya dengan keras. Aku menatapnya lebih seksama. Sepertinya aku mengenali lelaki ini.
"Kurang ajar!" Lelaki itu berusaha menghantamku dengan bogeman tangannya.
Aku menghindar. Satu sudut bibirku naik ke atas. Lelaki berpenampilan sekelas preman pasar ini, mau melawanku? Cih.
Dia kembali mendekat, kali ini lebih cepat dari gerakan sebelumnya.
"Argh," pekikku. Tinjunya mendarat di bibir kanan bawah. Perih.
Sesuatu terasa di lidah. Manis. Cairan berwarna merah.
Aku tak terima. Bagaimana mungkin seorang Alexander kalah? Kulayangkan tinju, tepat mendarat di pelipis sebelah kanan lelaki itu. Ia oleng, bersandar pada dinding.
"Jhon …," lirih Tamara.
Aku menoleh pada Tamara. Suaranya begitu pelan. Tetapi, aku masih dapat mendengar ia memanggil nama seseorang. Apa ini? Apakah Tamara mengenal lelaki ini?
Mata Tamara berkaca-kaca menatap lelaki yang bersandar di dinding itu.
What the hell.
Dia mengenalnya? Siapa lelaki itu? Apa hubungan mereka?
Aku merasa berada di tengah mereka. Kulonggarkan dasi. Membuka kancing kemeja paling atas. Keadaan ini membuatku terasa panas.
"Kau mengenalnya, Tamara?"
Tamara menatapku dan lelaki itu bergantian. "Iya … di-dia kekasihku."
Refleks kutendang tong sampah stainless stell yang berada di sampingku. Benda itu terpelanting, beberapa kali berguling lalu berhenti. Wanita resepsionis menoleh ke arah kami bertiga.
Berani-beraninya Tamara menduakan aku? Aku seorang Alexander Ibrahim. Pewaris tunggal The One Property di Indonesia. Aku tak terima jika milikku diambil orang. Tak ada yang boleh mencuri sesuatu dariku.
Aku berjalan cepat dengan emosi menggebu di dada. Menghantam bertubi-tubi perut lelaki itu. Ia ambruk, meringkuk di lantai memegangi perutnya.
"Rasakan itu."
"Jhooon …." Tamara berlari mendekat pada kami. Bukannya mengucapkan selamat padaku atas kemenanganku membelanya dari seorang preman pasar. Ia melewatiku, segera memeluk lelaki babak belur itu.
"Sayang, bertahanlah."
"Sayang."
Wajah Tamara semakin panik. Matanya bersemburat merah, nyaris menangis.
"Haruskah kalian melakukan drama di depanku? Hey, dia takkan mati dengan beberapa pukulan itu."
"Kupikir, dengan menerima pertunangan ini. Aku akan bahagia. Namun, aku tak bahagia. Semua ini hanya sandiwara."
Tamara mulai meracau. Itukah isi hatinya? Tak tahukah dia perasaanku sama dengannya?
Setidaknya walaupun dia tak mencintaiku. Berpura-pura baiklah di hadapanku. Baru beberapa jam pertunangan kami selesai.
"Hentikan omong kosongmu, sebagai seorang anak tunggal pemilik hotel Hilton pernikahan ini merupakan politik untuk memperkuat kekuasaan juga bukan? Terimalah itu takdir kita."
"Kupikir, aku akan menikahimu di hadapan Papa. Namun, tetap berhubungan dengan kekasihku, Jhonny."
"Apa? Lebih baik hentikan saja semua ini sekarang."
Aku segera melangkah menuju mobil Toyota Fortuner berwarna metalik di parkiran. Persetan dengan Tamara, atau Jhon atau siapalah itu. Terserah apa mau mereka.
"Kupikir, aku akan menikahimu di hadapan Papa. Namun, tetap berhubungan dengan kekasihku, Jhonny."
Sial. Kata-kata Tamara selalu terulang di kepala. Bagaimana dia menatapku lalu tersenyum menyeringai mengucapkannya.
Bayangan saat mereka berpagutan tadi ikut terputar. Wajah lelaki itu? Sepertinya aku mengenalnya. Siapa dia?
Sesampainya di mobil kututup pintunya dengan keras. Melampiaskan rasa kesal. Pertunangan apanya? Mana hari yang menyenangkan dan membahagiakan bagi Papa? Ini adalah hari paling buruk.
Aku dihina di hadapan lelaki lain oleh tunanganku sendiri. Sandiwara macam apa ini?
Kuinjak pedal gas penuh. Mobil segera meluncur keluar dari area parkir hotel. Titik air membasahi kaca mobil. Gerimis.
Sebuah mobil memelan dan tiba-tiba memasang sign berbelok. Aku tak siap, mobilku menghantam mobil itu.
Bruakgh!
Kepalaku terantuk dashboard dengan keras. Darah merembes di kepala. Bau bensin terhidu, bahaya. Mobil ini akan meledak. Sekuat tenaga aku mencoba keluar.
Sial, pintu macet. Beberapa kali mencoba mendorong. Entah pada usaha ke berapa, pintu sedikit terbuka dengan berat.
Aku berdiri di samping mobil, gerimis membasahi wajah. Berjalan terhuyung, dengan kepala sangat berat. Pandanganku kabur. Ingin berlari namun, kakiku tertatih.
Bruaghkh!
Sakit. Pandanganku mulai gelap, sesuatu menabrak tubuhku. Aku terpental, jatuh. Terdengar bunyi air bergemericik. Badanku terasa dingin.
Gelap.
Bruaghkh! Sakit. Pandanganku mulai gelap, sesuatu menabrak tubuhku. Aku terpental, jauh. Terdengar bunyi air bergemericik. Badanku terasa dingin. Gelap. Inikah akhir hidupku? Tuhan aku belum siap untuk menghadapmu. Aku masih muda, Papa, Mama, Alicia maafkan aku pergi tanpa berpamitan terlebih dulu. *** "Hey, kenapa kamu tidur di sini?"
Terminal Bojong Gede. Aku mendongak membaca sebuah papan nama dalam hati. Angkot Abah baru merapat, berbaris rapi di antara beberapa angkot berwarna biru lain."Baru datang, Bah? Ujang, mana?" Sapa seorang lelaki di samping angkot Abah. Ia menatapku sekilas."Ujang repot, istrinya baru lahiran."Aku hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa ikut berbicara. Melemparkan pandangan ke sekeliling terminal. Ramai. Hilir mudik para penumpang. Banyak para pedagang asongan menawarkan barang jualan mereka.Tempat yang asing. Aku merasa belum pernah kemari. Mata
"Bismillah, laris manis, tanjung kimpul. Penumpang berbaris, duit kumpul."Abah mengibaskan handuk birunya ke pintu dan kemudi angkot. Aku tersenyum lalu mengambil posisi duduk di dekat pintu.Abah mengawasi lalu lintas. Bola matanya menatap ke arah depan dan spion angkot bergantian. Setelah dirasa sepi, Ayah Wulan segera membelokkan kemudi. Angkot kembali melewati rute yang sama menuju terminal Bojong Gede.Angkot menjauh dari Pasar Anyar. Kerumunan orang terlihat semakin kecil seperti semut. Ah, lelahnya. Sepertinya baru kali ini aku merasakan bekerja dengan keras.
(Rahasia?)Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring."Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah. Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia. "Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku. "Nyesel, nih?"Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil."Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia
"Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.
Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.
"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ....""Maksud, Papa?"Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat."Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad