"Ali, ini apa?"
Sudut mataku mengekori gadis itu. Ia berada di samping nakas. Menatap amplop cokelat hasil penyelidikan terbaru tentang Aseptian Waluyo. Tanpa bertanya ia membuka dan mengambil kertas di dalamnya.
"Jangan. Apa yang kau lakukan Wulan?"
Wulan menghentikan kegiatan tanpa izinnya, "Tadi, kamu teh serius banget sama Kak David bahas ini. Wulan penasaran, apa'an sih ini," ucapnya polos.
"Jangan itu bukan urusanmu."
"Pelit amat, sih!" Wulan memanyunkan bibirnya terlihat kesal. Ia melanjutkan membaca kertas di dalam amplop.
Rasa ingin tahu yang terlalu besar bisa menj
~Kejahatan terbesar adalah saat kita tahu sebuah kejahatan terjadi. Namun, kita hanya diam dan berpangku tangan, berpura-pura tak tahu lalu menunggu orang lain yang menyelesaikan.~***Happy Reading***"Nenek!?" Aku terperanjat kaget. Nenek berada di sisi ranjangku. Bukankah yang duduk di kursi itu tadi Wulan? Kemana dia?"Kenapa Nenek, ada di sini?""Nenek, tak perlu khawatir, Alex baik-baik saja."Entah kenapa aku bergidik ngeri melihat tatapan nenek. Sedari tadi ia menatapku tanpa berkedip. Wajah penuh kerutan itu sangat pucat dengan kantung mata menghitam.Nenek membuka mulutnya, sep
"Bik Asih, tolong kemari sebentar." Wulan berteriak dari depan pintu kamarku. Ia melirik ke arahku.Tak berapa lama terdengar langkah kaki berat mendekat, "Iya, Neng Wulan. Ada apa?""Tolong buatin bubur ayam, terus suapin Den Ali ya, Wulan harus berangkat ke kampus sekarang, ada jadwal kuliah, nih.""Baik Neng," Jawab Bik Asih."Ali, Wulan siap-siap berangkat kuliah dulu, ya. Maaf, gak bisa nemenin." Wulan beranjak pergi melewati koridor menuju anak tangga."Bibik, siapkan bubur dulu ya, Den.""Tolong bantu saya duduk, Bik."
~Sepandai-pandainya tupai melompat, ia pasti terjatuh juga. Serapi-rapinya suatu kejahatan ditutupi, suatu saat akan terbongkar juga.~Terdengar suara orang berlari menuju kamarku. Aku dan Bik Asih menatap ke arah pintu."Ali …."Wulan muncul di pintu. Napasnya terengah-engah ia sepertinya berlari dari kamar Bik Asih untuk segera sampai ke kamarku."Ada apa, Wulan?""Ini." Wulan mengangkat selembar kertas."Apa itu?"Wajah Bik Asih terlihat memucat, "Ampun Den, ampun."
"Ali ….""Hemm ….""Lepasin!"Wulan merenggangkan pelukanku. Matanya membulat, alisnya berkerut menatapku. Hey, apa hanya aku yang terhanyut dalam scene ini?Apa dia tak menyukai kedekatan kami?Kenapa wanita suka memanipulasi perasaan lelaki?Wulan menarik satu sudut bibirnya, "Kalau suka halalin, bukan baperin," cibir Wulan."Apa kamu sudah siap untuk itu?""Jika aku tidak siap untuk itu kenapa aku masih di sini sampai sekarang
***Happy Reading*** Rolls Royce Phantom berhenti di antara deretan kendaraan lain. Mengenakan kemeja putih dan setelan celana kain berwarna hitam. Mengamati sekitar sambil menaikkan lengan baju hingga siku. Menengok ke kursi penumpang, "Kalian sudah siap, Wulan? Bik Asih?" Keduanya mengangguk dengan yakin. Kami turun dari mobil. Aku membuka kacamata hitam, membenarkan posisinya. Membaca tulisan di atas pintu utama. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kami berjalan dengan cepat menuju ruang pengadilan. Hari ini adalah hari istimewa. Hari terakhir aku melihat Jhonny di depan mataku. Akan kupastikan dia akan lama mendekam di balik jeruji penjara.
Berhenti di depan pintu ruang persidangan. Sengaja menatap Jhonny di dalam sana yang tak dapat berkutik lagi. Paula Stephanie hanya menunduk dengan lemas. Wajah mereka sama pucatnya. Sengaja memelankan langkah, menikmati pemandangan di dalam ruang sidang sana. Sekaligus menjaga keseimbangan. Kakiku semakin sakit, tak dapat melangkah lagi. Wulan berada di belakangku sekitar tiga meter. Lama sekali dia berjalan. Melirik pada Wulan, "Cepatlah Wulan!" "Sebentar! Ada apa, Ali?" "Berjalanlah di sampingku," bisikku. Wulan menurut, ia berjalan tepat di sampingku. Segera kurangkul pundaknya.
***Happy Reading***Pesan Wulan terlanjur terkirim. Lagi-lagi aku harus merepotkan David. Malu rasanya, seorang teman bukan orang yang harus selalu ada saat kita kesulitan. Lain kali akan ku traktir David, sudah terlalu sering menyusahkannya."Ali? Kok diem aja, sih?""Kakiku berdenyut nyeri, Wulan. Saat menginjak tanah serasa ada ribuan jarum yang menancap," sahutku.Mataku juga mulai terasa berat dan mengantuk. Efek obat yang diberikan Wulan tadi, kurasa mulai bekerja. Perlahan rasa sakit di kaki tak begitu kurasa.Setidaknya hari ini, aku telah melakukan sesuatu yang takkan kusesali seumur hidup. Datang dan memberikan semua bukti kejaha
Kedua security di pos mengikuti mobil David masuk ke garasi. Keduanya membantu menurunkanku dari mobil David. Wulan memegangi kursi roda, "Pelan-pelan, Pak!" perintah Wulan.Selepas memaksa berjalan kini kakiku tak bisa digerakkan sama sekali.David menatap jam digital di layar ponsel, "Gue harus cepet ke kantor nih, izin satu jam doang tadi.""Thanks, Bro.""Your wellcome, lain kali kita ngobrol lebih lama. Ada banyak hal yang ingin kudiskusikan sama loe, Lex. Cepat sembuh.""Pasti. Kapan pun loe butuh gue, telepon aja."Kami bersalaman. David memelukku sebentar sebelum akhirnya
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad