"Siapa itu? Berhenti di sana!"
Sesosok bayangan keluar dari lorong di samping tempat ketiga para lelaki tadi menyekapku. Sial!
"Heh, CEO bau kencur. Jangan coba melarikan diri," ancam suara itu lagi.
Langkah kaki panjangnya mendekat dengan cepat, "Jangan coba bersembunyi dariku. Kau akan mati di tanganku."
Aku segera menyelinap di balik rerumputan. Keadaan dan luka-luka di tubuhku tak memungkinkan untuk melarikan diri sekarang. Kemungkinan lolos sangat tipis.
"Alex, keluarlah!" Suara berat itu kembali mengancam.
Mengedarkan pandangan ke sekitar tempatku bersembunyi. Tak seng
"Alex .… " "Alex, bangun." Aku mengerjapkan mata. Menatap mama yang berwajah pucat dan netra berkaca-kaca. "Pa, Alex bangun, Pa." "Dokter, suster … cepat panggilkan dokter. Anak saya siuman." Aku masih dapat mendengar teriakan suara papa dengan kencang, suaranya bergetar. Seorang lelaki mendekat ke arahku. Mengarahkan stetoskop di dada. Terdiam beberapa saat, sepertinya ia sedang berkonsentrasi kemudian mengarahkan senter kecil ke kedua mata. "Bagaimana, Dok?" "Detak jantungnya berangsur normal. Tidak selamb
"Kamu masih harus dirawat dua sampai empat hari lagi di rumah sakit ini, Alex." Mama membuka suara."Keluarga Ibrahim sedang tidak beruntung kali ini. Tanah di kuburan nenek masih merah. Ditambah kamu masuk ke rumah sakit sekarang, nyaris kehilangan nyawa juga. Siapa sebenarnya yang mengincar keluarga kita?" geram papa."Aseptian Waluyo Pa," jawabku cepat.Papa dan mama saling pandang.Mama mengernyit, "Maksudmu suami Bik Asih itu? Tidak mungkin, Alex.""Apa motif dia melakukan ini semua pada keluarga kita? Padahal, Bik Asih kita pekerjakan dengan baik. Pengobatan Lilis Suryani juga kita cover semua."
"Aku membawa bukti-bukti baru tentang kehidupan Aseptian Waluyo dan Agustian Waluyo. Mereka kembar identik yang lahir hanya berbeda beberapa detik di akhir bulan Agustus."David mengambil sesuatu dari amplop cokelat. Menarik dua lembar kertas putih, lalu memberikannya padaku. Masing-masing kertas berisi data pribadi Aseptian Waluyo dan adiknya.Oh, God!"Ini .…" Mataku membelalak lebar. Tak percaya pada bukti temuan dari David."Ya, ini bukti nyata, Bro.""Permisi, tolong minggir dari sisi ranjang dulu." Seorang perawat datang. Berdiri di samping ranjang dan mengganti cairan infus yang tinggal sedikit.&nbs
"Ali, ini apa?"Sudut mataku mengekori gadis itu. Ia berada di samping nakas. Menatap amplop cokelat hasil penyelidikan terbaru tentang Aseptian Waluyo. Tanpa bertanya ia membuka dan mengambil kertas di dalamnya."Jangan. Apa yang kau lakukan Wulan?"Wulan menghentikan kegiatan tanpa izinnya, "Tadi, kamu teh serius banget sama Kak David bahas ini. Wulan penasaran, apa'an sih ini," ucapnya polos."Jangan itu bukan urusanmu.""Pelit amat, sih!" Wulan memanyunkan bibirnya terlihat kesal. Ia melanjutkan membaca kertas di dalam amplop.Rasa ingin tahu yang terlalu besar bisa menj
~Kejahatan terbesar adalah saat kita tahu sebuah kejahatan terjadi. Namun, kita hanya diam dan berpangku tangan, berpura-pura tak tahu lalu menunggu orang lain yang menyelesaikan.~***Happy Reading***"Nenek!?" Aku terperanjat kaget. Nenek berada di sisi ranjangku. Bukankah yang duduk di kursi itu tadi Wulan? Kemana dia?"Kenapa Nenek, ada di sini?""Nenek, tak perlu khawatir, Alex baik-baik saja."Entah kenapa aku bergidik ngeri melihat tatapan nenek. Sedari tadi ia menatapku tanpa berkedip. Wajah penuh kerutan itu sangat pucat dengan kantung mata menghitam.Nenek membuka mulutnya, sep
"Bik Asih, tolong kemari sebentar." Wulan berteriak dari depan pintu kamarku. Ia melirik ke arahku.Tak berapa lama terdengar langkah kaki berat mendekat, "Iya, Neng Wulan. Ada apa?""Tolong buatin bubur ayam, terus suapin Den Ali ya, Wulan harus berangkat ke kampus sekarang, ada jadwal kuliah, nih.""Baik Neng," Jawab Bik Asih."Ali, Wulan siap-siap berangkat kuliah dulu, ya. Maaf, gak bisa nemenin." Wulan beranjak pergi melewati koridor menuju anak tangga."Bibik, siapkan bubur dulu ya, Den.""Tolong bantu saya duduk, Bik."
~Sepandai-pandainya tupai melompat, ia pasti terjatuh juga. Serapi-rapinya suatu kejahatan ditutupi, suatu saat akan terbongkar juga.~Terdengar suara orang berlari menuju kamarku. Aku dan Bik Asih menatap ke arah pintu."Ali …."Wulan muncul di pintu. Napasnya terengah-engah ia sepertinya berlari dari kamar Bik Asih untuk segera sampai ke kamarku."Ada apa, Wulan?""Ini." Wulan mengangkat selembar kertas."Apa itu?"Wajah Bik Asih terlihat memucat, "Ampun Den, ampun."
"Ali ….""Hemm ….""Lepasin!"Wulan merenggangkan pelukanku. Matanya membulat, alisnya berkerut menatapku. Hey, apa hanya aku yang terhanyut dalam scene ini?Apa dia tak menyukai kedekatan kami?Kenapa wanita suka memanipulasi perasaan lelaki?Wulan menarik satu sudut bibirnya, "Kalau suka halalin, bukan baperin," cibir Wulan."Apa kamu sudah siap untuk itu?""Jika aku tidak siap untuk itu kenapa aku masih di sini sampai sekarang