"Bangun!"
"Heh, bangun!"
Seseorang menepuk keras pipiku. Aku berusaha membuka mata yang terasa sangat berat. Kepalaku terasa pusing.
"Obat biusnya masih belum hilang bos!"
"Siram dia dengan air es!"
Byuuur!
"Arrghh …," pekikku. Berusaha menggerakkan tangan. Namun, kedua tangan terikat ke belakang dengan kursi kayu.
Segera membuka mata. Rasa dingin menggigit hingga tulang. Nyeri di sekujur tubuh bagai diolesi garam. Perih.
"Di mana aku?" Aku mengedarkan tatapan ke sekeliling
"Berhenti di sana. Apa yang akan kalian lakukan, hah?!" Aku berusaha melepas ikatan tangan."Apa yang akan kami lakukan? Tentu saja membunuhmu perlahan-lahan."Ketiga lelaki dengan wajah menyeramkan itu tertawa dengan tatapan mengejek padaku.Tidak bisa. Aku bukan orang lemah yang bisa mereka perlakukan seenaknya. Mereka penjahat bodoh, tak boleh memukuliku lagi. Wajah tampan ini akan tercipta sia-sia.Saat jarak mereka semakin dekat. Aku berdiri bersama kursi yang terikat di tangan, menabrak ketiganya sekuat mungkin.Penjahat bodoh itu hanya mengikat tangan. Mereka lupa aku punya kaki yang bisa tetap berdiri walau tubuhku terikat dengan kursi ini. BO*OH!
"Siapa itu? Berhenti di sana!"Sesosok bayangan keluar dari lorong di samping tempat ketiga para lelaki tadi menyekapku. Sial!"Heh, CEO bau kencur. Jangan coba melarikan diri," ancam suara itu lagi.Langkah kaki panjangnya mendekat dengan cepat, "Jangan coba bersembunyi dariku. Kau akan mati di tanganku."Aku segera menyelinap di balik rerumputan. Keadaan dan luka-luka di tubuhku tak memungkinkan untuk melarikan diri sekarang. Kemungkinan lolos sangat tipis."Alex, keluarlah!" Suara berat itu kembali mengancam.Mengedarkan pandangan ke sekitar tempatku bersembunyi. Tak seng
"Alex .… " "Alex, bangun." Aku mengerjapkan mata. Menatap mama yang berwajah pucat dan netra berkaca-kaca. "Pa, Alex bangun, Pa." "Dokter, suster … cepat panggilkan dokter. Anak saya siuman." Aku masih dapat mendengar teriakan suara papa dengan kencang, suaranya bergetar. Seorang lelaki mendekat ke arahku. Mengarahkan stetoskop di dada. Terdiam beberapa saat, sepertinya ia sedang berkonsentrasi kemudian mengarahkan senter kecil ke kedua mata. "Bagaimana, Dok?" "Detak jantungnya berangsur normal. Tidak selamb
"Kamu masih harus dirawat dua sampai empat hari lagi di rumah sakit ini, Alex." Mama membuka suara."Keluarga Ibrahim sedang tidak beruntung kali ini. Tanah di kuburan nenek masih merah. Ditambah kamu masuk ke rumah sakit sekarang, nyaris kehilangan nyawa juga. Siapa sebenarnya yang mengincar keluarga kita?" geram papa."Aseptian Waluyo Pa," jawabku cepat.Papa dan mama saling pandang.Mama mengernyit, "Maksudmu suami Bik Asih itu? Tidak mungkin, Alex.""Apa motif dia melakukan ini semua pada keluarga kita? Padahal, Bik Asih kita pekerjakan dengan baik. Pengobatan Lilis Suryani juga kita cover semua."
"Aku membawa bukti-bukti baru tentang kehidupan Aseptian Waluyo dan Agustian Waluyo. Mereka kembar identik yang lahir hanya berbeda beberapa detik di akhir bulan Agustus."David mengambil sesuatu dari amplop cokelat. Menarik dua lembar kertas putih, lalu memberikannya padaku. Masing-masing kertas berisi data pribadi Aseptian Waluyo dan adiknya.Oh, God!"Ini .…" Mataku membelalak lebar. Tak percaya pada bukti temuan dari David."Ya, ini bukti nyata, Bro.""Permisi, tolong minggir dari sisi ranjang dulu." Seorang perawat datang. Berdiri di samping ranjang dan mengganti cairan infus yang tinggal sedikit.&nbs
"Ali, ini apa?"Sudut mataku mengekori gadis itu. Ia berada di samping nakas. Menatap amplop cokelat hasil penyelidikan terbaru tentang Aseptian Waluyo. Tanpa bertanya ia membuka dan mengambil kertas di dalamnya."Jangan. Apa yang kau lakukan Wulan?"Wulan menghentikan kegiatan tanpa izinnya, "Tadi, kamu teh serius banget sama Kak David bahas ini. Wulan penasaran, apa'an sih ini," ucapnya polos."Jangan itu bukan urusanmu.""Pelit amat, sih!" Wulan memanyunkan bibirnya terlihat kesal. Ia melanjutkan membaca kertas di dalam amplop.Rasa ingin tahu yang terlalu besar bisa menj
~Kejahatan terbesar adalah saat kita tahu sebuah kejahatan terjadi. Namun, kita hanya diam dan berpangku tangan, berpura-pura tak tahu lalu menunggu orang lain yang menyelesaikan.~***Happy Reading***"Nenek!?" Aku terperanjat kaget. Nenek berada di sisi ranjangku. Bukankah yang duduk di kursi itu tadi Wulan? Kemana dia?"Kenapa Nenek, ada di sini?""Nenek, tak perlu khawatir, Alex baik-baik saja."Entah kenapa aku bergidik ngeri melihat tatapan nenek. Sedari tadi ia menatapku tanpa berkedip. Wajah penuh kerutan itu sangat pucat dengan kantung mata menghitam.Nenek membuka mulutnya, sep
"Bik Asih, tolong kemari sebentar." Wulan berteriak dari depan pintu kamarku. Ia melirik ke arahku.Tak berapa lama terdengar langkah kaki berat mendekat, "Iya, Neng Wulan. Ada apa?""Tolong buatin bubur ayam, terus suapin Den Ali ya, Wulan harus berangkat ke kampus sekarang, ada jadwal kuliah, nih.""Baik Neng," Jawab Bik Asih."Ali, Wulan siap-siap berangkat kuliah dulu, ya. Maaf, gak bisa nemenin." Wulan beranjak pergi melewati koridor menuju anak tangga."Bibik, siapkan bubur dulu ya, Den.""Tolong bantu saya duduk, Bik."