Aku menepikan mobil. Menggebrak pada kemudi. Menjatuhkan kepala pada klakson hingga timbul bunyi panjang.
"Arrrghhh … kurang a*ar! Dasar bede*ah."
"Ba*ingan itu sudah sejauh ini masuk dan merusak keluargaku. Apa sebenarnya mau Jhonny dan Paula Stephanie? Apa mereka baru akan puas jika keluarga Ibrahim kehilangan nyawa semua?"
Memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri.
Kenapa semua terjadi pada keluargaku?
The One Property adalah hasil kerja Papa dan Om Pramudya sejak dulu. Dengan dana dari Mama semua berkembang menjadi semakin besar hingga sekarang. Apa hak Jhonny dan Paula Stephanie ingin merampas semua itu?
"Bangun!""Heh, bangun!"Seseorang menepuk keras pipiku. Aku berusaha membuka mata yang terasa sangat berat. Kepalaku terasa pusing."Obat biusnya masih belum hilang bos!""Siram dia dengan air es!"Byuuur!"Arrghh …," pekikku. Berusaha menggerakkan tangan. Namun, kedua tangan terikat ke belakang dengan kursi kayu.Segera membuka mata. Rasa dingin menggigit hingga tulang. Nyeri di sekujur tubuh bagai diolesi garam. Perih."Di mana aku?" Aku mengedarkan tatapan ke sekeliling
"Berhenti di sana. Apa yang akan kalian lakukan, hah?!" Aku berusaha melepas ikatan tangan."Apa yang akan kami lakukan? Tentu saja membunuhmu perlahan-lahan."Ketiga lelaki dengan wajah menyeramkan itu tertawa dengan tatapan mengejek padaku.Tidak bisa. Aku bukan orang lemah yang bisa mereka perlakukan seenaknya. Mereka penjahat bodoh, tak boleh memukuliku lagi. Wajah tampan ini akan tercipta sia-sia.Saat jarak mereka semakin dekat. Aku berdiri bersama kursi yang terikat di tangan, menabrak ketiganya sekuat mungkin.Penjahat bodoh itu hanya mengikat tangan. Mereka lupa aku punya kaki yang bisa tetap berdiri walau tubuhku terikat dengan kursi ini. BO*OH!
"Siapa itu? Berhenti di sana!"Sesosok bayangan keluar dari lorong di samping tempat ketiga para lelaki tadi menyekapku. Sial!"Heh, CEO bau kencur. Jangan coba melarikan diri," ancam suara itu lagi.Langkah kaki panjangnya mendekat dengan cepat, "Jangan coba bersembunyi dariku. Kau akan mati di tanganku."Aku segera menyelinap di balik rerumputan. Keadaan dan luka-luka di tubuhku tak memungkinkan untuk melarikan diri sekarang. Kemungkinan lolos sangat tipis."Alex, keluarlah!" Suara berat itu kembali mengancam.Mengedarkan pandangan ke sekitar tempatku bersembunyi. Tak seng
"Alex .… " "Alex, bangun." Aku mengerjapkan mata. Menatap mama yang berwajah pucat dan netra berkaca-kaca. "Pa, Alex bangun, Pa." "Dokter, suster … cepat panggilkan dokter. Anak saya siuman." Aku masih dapat mendengar teriakan suara papa dengan kencang, suaranya bergetar. Seorang lelaki mendekat ke arahku. Mengarahkan stetoskop di dada. Terdiam beberapa saat, sepertinya ia sedang berkonsentrasi kemudian mengarahkan senter kecil ke kedua mata. "Bagaimana, Dok?" "Detak jantungnya berangsur normal. Tidak selamb
"Kamu masih harus dirawat dua sampai empat hari lagi di rumah sakit ini, Alex." Mama membuka suara."Keluarga Ibrahim sedang tidak beruntung kali ini. Tanah di kuburan nenek masih merah. Ditambah kamu masuk ke rumah sakit sekarang, nyaris kehilangan nyawa juga. Siapa sebenarnya yang mengincar keluarga kita?" geram papa."Aseptian Waluyo Pa," jawabku cepat.Papa dan mama saling pandang.Mama mengernyit, "Maksudmu suami Bik Asih itu? Tidak mungkin, Alex.""Apa motif dia melakukan ini semua pada keluarga kita? Padahal, Bik Asih kita pekerjakan dengan baik. Pengobatan Lilis Suryani juga kita cover semua."
"Aku membawa bukti-bukti baru tentang kehidupan Aseptian Waluyo dan Agustian Waluyo. Mereka kembar identik yang lahir hanya berbeda beberapa detik di akhir bulan Agustus."David mengambil sesuatu dari amplop cokelat. Menarik dua lembar kertas putih, lalu memberikannya padaku. Masing-masing kertas berisi data pribadi Aseptian Waluyo dan adiknya.Oh, God!"Ini .…" Mataku membelalak lebar. Tak percaya pada bukti temuan dari David."Ya, ini bukti nyata, Bro.""Permisi, tolong minggir dari sisi ranjang dulu." Seorang perawat datang. Berdiri di samping ranjang dan mengganti cairan infus yang tinggal sedikit.&nbs
"Ali, ini apa?"Sudut mataku mengekori gadis itu. Ia berada di samping nakas. Menatap amplop cokelat hasil penyelidikan terbaru tentang Aseptian Waluyo. Tanpa bertanya ia membuka dan mengambil kertas di dalamnya."Jangan. Apa yang kau lakukan Wulan?"Wulan menghentikan kegiatan tanpa izinnya, "Tadi, kamu teh serius banget sama Kak David bahas ini. Wulan penasaran, apa'an sih ini," ucapnya polos."Jangan itu bukan urusanmu.""Pelit amat, sih!" Wulan memanyunkan bibirnya terlihat kesal. Ia melanjutkan membaca kertas di dalam amplop.Rasa ingin tahu yang terlalu besar bisa menj
~Kejahatan terbesar adalah saat kita tahu sebuah kejahatan terjadi. Namun, kita hanya diam dan berpangku tangan, berpura-pura tak tahu lalu menunggu orang lain yang menyelesaikan.~***Happy Reading***"Nenek!?" Aku terperanjat kaget. Nenek berada di sisi ranjangku. Bukankah yang duduk di kursi itu tadi Wulan? Kemana dia?"Kenapa Nenek, ada di sini?""Nenek, tak perlu khawatir, Alex baik-baik saja."Entah kenapa aku bergidik ngeri melihat tatapan nenek. Sedari tadi ia menatapku tanpa berkedip. Wajah penuh kerutan itu sangat pucat dengan kantung mata menghitam.Nenek membuka mulutnya, sep
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad