Tiba di sebuah ruangan kami kembali menunggu tak berapa lama seorang perempuan keluar, "Saya minta satu helai rambut dari saudara Alex, Jhonny juga Pak Ibrahim."
Perawat itu meminta sehelai rambutku, papa juga Jhonny. Masing-masing dimasukkan ke dalam plastik transparan dengan kode berbeda.
Perawat itu segera masuk ke dalam ruangan. Pintu ditutup, entah apa yang mereka lakukan di dalam. Sample rambut tadi pasti diberikan pada Dokter yang bertugas.
"Mau ke mana kamu?" Aku merentangkan tangan di depan pintu masuk ruangan dokter. Aku tahu apa yang akan dilakukan Jhonny. Segera mencegahnya masuk.
Dia tak menjawab. Manatap tajam padaku, matanya bersemburat merah, "Pergi kamu dari sini, jangan menggangguku," desis Jhonny
"Terimakasih tumpangannya." Aku melambaikan tangan menatap kepergian mobil David. Papa, Mama juga Nenek sudah sampai terlebih dahulu. Hari ini kami menang. Sudah membuktikkan bahwa Jhonny bukan darah daging Papa. "Tutup pintunya, Pak! perintahku ketika melewati pintu gerbang. Melangkah dengan lebar. Kedua security mengangguk dengan patuh. Terdengar suara roda yang berderit. Pintu gerbang berwarna putih perlahan bergeser dan menutup. Mulai hari ini Nenek akan tinggal bersama kami. Ada banyak kamar kosong, meninggalkannya sendiri di rumah sebesar itu sangat mengkhawatirkan. Entah kapan Jhonny atau Paula Stephanie kembali datang membuat keribut
***CEO Yang Hilang Ingatan*** Aku membopong Nenek menaiki anak tangga satu persatu. Tak kusangka tubuhnya sangat ringan. Sungguh berbeda dengan beberapa waktu lalu, saat ia memaksaku bertunangan dengan Melissa. Saat itu ia terlihat lebih berisi dan energik. "Apa Nenek tak pernah makan? Kenapa badan Nenek seringan ini?" Nenek hanya mengedipkan mata, tak bersuara. "Cepat Alex." Mama sudah berjalan lebih dulu. Ia membukakan pintu. Aku mempercepat langkah. Memasuki kamar Wulan. Membaringkan Nenek di ranjang. Tubuhnya terlihat ringkih dan sangat lemah. Mama menatap nenek dengan iba. Wu
***CEO Yang Hilang Ingatan***"Apa yang Bik Asih, lakukan?""Maaf, Neng.""Sudahlah, Wulan."Sayup-sayup kudengar suara keributan di luar. Sepertinya Wulan sedang mengomel. Entah dengan siapa.Kusibakkan selimut yang menutupi badan. Berjalan menuju pintu kamar.Kamar yang ditempati Wulan dan Nenek terbuka. Ada Bik Asih berdiri dengan menundukkan kepala di samping ranjang. Sementara Wulan dan Mama menatapnya dengan aneh."Ada apa ini?" Aku berjalan mendekat."Ini, bubur
Aku membelalakkan mata. Menatap dengan tajam pada wanita paruh baya di depanku. Tangan kanan masih memegang erat ponselnya.Bik Asih semakin terdesak. Keringat di keningnya semakin kentara, menetes hingga pipi."Angkat teleponnya, berbicaralah!" kataku dengan gerak bibir. Nyaris tak mengeluarkan suara."Ha-halo …," terbata Bik Asih mengucap salam."Ada apa lagi, Bik?"Suara itu terdengar sangat familiar di telinga. Mungkinkah? Aku merogoh saku mengambil ponselku sendiri. Mencari fitur untuk merekam suara.Bik Asih kebingungan. Ia menatapku dengan gugup. Tak tahu harus berkata apa.
"Tolong ambilkan brankar!" Begitu menginjakkan kaki di depan lobi rumah sakit aku berteriak dengan suara nyaring.Ada tiga orang perawat laki-laki datang dengan terburu. Wulan membantu mengangkat bagian kepala nenek. Dua orang lelaki mengangkat bagian kaki dan punggung. Seorang lelaki berpakaian hijau kebiruan memegangi brankar agar tidak berpindah tempat.Mereka segera mendorong brankar masuk. Aku dan Wulan mengikuti dari belakang."Apa yang terjadi pada, Nenek?""Setelah makan buburnya tadi, tiba-tiba keluar cairan kental berwarna merah dari hidungnya.""Sebenarnya apa yang dimasukkan Bik Asih, ke dalam bubur itu!"
"Ikut saya sekarang juga, Bik."Aku memelotot. Memasang wajah serius berhadapan dengan asisten rumah tanggaku itu. Seorang pengkhianat sepertinya perlu diberi pelajaran."Jangan Den, saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi." Bik Asih mengatupkan tangannya. Memelas padaku dengan mata berkaca-kaca, "Tolong, Den ….""Ikutlah Alex ke kantor polisi sekarang juga, Bik. Bibik harus bertanggung jawab atas apa yang telah Bibik, lakukan selama ini.""Nyaa, saya minta maaf."Bik Asih berlutut di bawah kaki mama. Ketakutan mendengar mama menyebut kantor polisi."Bawa dia
"Fuuh …." Kuembuskan napas dengan cepat. Rasanya sangat lega.Satu per satu masalah mulai terselesaikan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai semuanya mendapatkan hukuman yang setimpal.Memasukkan satu tangan ke dalam celana. Berjalan dengan santai."Alex, kamu sudah datang?"Mama menoleh ke arahku. Papa sedang mengambil sayur ke dalam piringnya, "Bagaimana dengan urusan, Bik Asih?"Aku segera menuju meja makan ikut bergabung bersama mereka. Alicia tentu masih di sekolah. Sedangkan Wulan, ia pasti belum datang dari Universitas Avicenna."Bik Asih sementara ditahan sampai semua tun
Membuka kancing kemeja hitam di bagian atas. Tak lupa melipat lengan kemeja hingga siku. Aku melirik ke sekitar tempat parkir."Lex, ayo!" David menepuk pundakku. Ia turun terlebih dahulu dari mobil."Wait!" kataku.Kami berdua sudah berada di depan mobil. Menatap ke papan besar bertuliskan Klub Heaven. Sudah lama sekali aku tak menginjakkan kaki di sini."Apa benar dia ada disini?""Dari informasi yang gue terima sih, pasti." David mengangguk dengan yakin.Aku dan David masuk ke dalam klub malam terbesar d
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad