***CEO Yang Hilang Ingatan***
Aku membopong Nenek menaiki anak tangga satu persatu. Tak kusangka tubuhnya sangat ringan. Sungguh berbeda dengan beberapa waktu lalu, saat ia memaksaku bertunangan dengan Melissa. Saat itu ia terlihat lebih berisi dan energik.
"Apa Nenek tak pernah makan? Kenapa badan Nenek seringan ini?"
Nenek hanya mengedipkan mata, tak bersuara.
"Cepat Alex." Mama sudah berjalan lebih dulu. Ia membukakan pintu.
Aku mempercepat langkah. Memasuki kamar Wulan. Membaringkan Nenek di ranjang. Tubuhnya terlihat ringkih dan sangat lemah. Mama menatap nenek dengan iba.
Wu
***CEO Yang Hilang Ingatan***"Apa yang Bik Asih, lakukan?""Maaf, Neng.""Sudahlah, Wulan."Sayup-sayup kudengar suara keributan di luar. Sepertinya Wulan sedang mengomel. Entah dengan siapa.Kusibakkan selimut yang menutupi badan. Berjalan menuju pintu kamar.Kamar yang ditempati Wulan dan Nenek terbuka. Ada Bik Asih berdiri dengan menundukkan kepala di samping ranjang. Sementara Wulan dan Mama menatapnya dengan aneh."Ada apa ini?" Aku berjalan mendekat."Ini, bubur
Aku membelalakkan mata. Menatap dengan tajam pada wanita paruh baya di depanku. Tangan kanan masih memegang erat ponselnya.Bik Asih semakin terdesak. Keringat di keningnya semakin kentara, menetes hingga pipi."Angkat teleponnya, berbicaralah!" kataku dengan gerak bibir. Nyaris tak mengeluarkan suara."Ha-halo …," terbata Bik Asih mengucap salam."Ada apa lagi, Bik?"Suara itu terdengar sangat familiar di telinga. Mungkinkah? Aku merogoh saku mengambil ponselku sendiri. Mencari fitur untuk merekam suara.Bik Asih kebingungan. Ia menatapku dengan gugup. Tak tahu harus berkata apa.
"Tolong ambilkan brankar!" Begitu menginjakkan kaki di depan lobi rumah sakit aku berteriak dengan suara nyaring.Ada tiga orang perawat laki-laki datang dengan terburu. Wulan membantu mengangkat bagian kepala nenek. Dua orang lelaki mengangkat bagian kaki dan punggung. Seorang lelaki berpakaian hijau kebiruan memegangi brankar agar tidak berpindah tempat.Mereka segera mendorong brankar masuk. Aku dan Wulan mengikuti dari belakang."Apa yang terjadi pada, Nenek?""Setelah makan buburnya tadi, tiba-tiba keluar cairan kental berwarna merah dari hidungnya.""Sebenarnya apa yang dimasukkan Bik Asih, ke dalam bubur itu!"
"Ikut saya sekarang juga, Bik."Aku memelotot. Memasang wajah serius berhadapan dengan asisten rumah tanggaku itu. Seorang pengkhianat sepertinya perlu diberi pelajaran."Jangan Den, saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi." Bik Asih mengatupkan tangannya. Memelas padaku dengan mata berkaca-kaca, "Tolong, Den ….""Ikutlah Alex ke kantor polisi sekarang juga, Bik. Bibik harus bertanggung jawab atas apa yang telah Bibik, lakukan selama ini.""Nyaa, saya minta maaf."Bik Asih berlutut di bawah kaki mama. Ketakutan mendengar mama menyebut kantor polisi."Bawa dia
"Fuuh …." Kuembuskan napas dengan cepat. Rasanya sangat lega.Satu per satu masalah mulai terselesaikan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai semuanya mendapatkan hukuman yang setimpal.Memasukkan satu tangan ke dalam celana. Berjalan dengan santai."Alex, kamu sudah datang?"Mama menoleh ke arahku. Papa sedang mengambil sayur ke dalam piringnya, "Bagaimana dengan urusan, Bik Asih?"Aku segera menuju meja makan ikut bergabung bersama mereka. Alicia tentu masih di sekolah. Sedangkan Wulan, ia pasti belum datang dari Universitas Avicenna."Bik Asih sementara ditahan sampai semua tun
Membuka kancing kemeja hitam di bagian atas. Tak lupa melipat lengan kemeja hingga siku. Aku melirik ke sekitar tempat parkir."Lex, ayo!" David menepuk pundakku. Ia turun terlebih dahulu dari mobil."Wait!" kataku.Kami berdua sudah berada di depan mobil. Menatap ke papan besar bertuliskan Klub Heaven. Sudah lama sekali aku tak menginjakkan kaki di sini."Apa benar dia ada disini?""Dari informasi yang gue terima sih, pasti." David mengangguk dengan yakin.Aku dan David masuk ke dalam klub malam terbesar d
***Happy Reading***"Berhenti. Angkat tangan kalian di atas sekarang juga!" Suara tegas itu langsung memberi perintah. Aku dan David segera mengangkat tangan.Wildan dan ketiga temannya berusaha berdiri dengan tegak. Mereka mengangkat kedua tangan ke atas."Rasakan pembalasanku," desisku di samping telinga Wildan. Ia menoleh dengan mata berkilat tajam."Geledah mereka semua!" perintah lelaki berbadan tegap dalam balutan seragam polisi itu.Beberapa lelaki berseragam cokelat lengkap dengan pistol di pinggangnya langsung maju. Menggeledah kami masing-masing. Aku mengangguk dan tersenyum pada David.
Lampu mobil menyorot pagar besi kediaman rumah Ibrahim. Warna putihnya benderang memantulkan cahaya. Nomor rumah di samping gerbang berwarna keemasan menyilaukan mata."Loe gak mau turun, Bro?"David menoleh ke arahku. Aku menggeleng pelan, "Males gue.""Udah tengah malam nih, loe males. Nah, gue harus cepet pulang. Ada yang nungguin gue di rumah," bebernya.Perkataan David menyadarkanku status kami telah berbeda. Ia bukan seorang pria lajang lagi seperti dulu. Tentu saja tak bisa pulang larut malam seenaknya.Pintu pagar berderit. Perlahan besi tebal itu bergeser. Seorang security berdiri di samping pagar dan tersenyum ke arahku.