"Ikut saya sekarang juga, Bik."
Aku memelotot. Memasang wajah serius berhadapan dengan asisten rumah tanggaku itu. Seorang pengkhianat sepertinya perlu diberi pelajaran.
"Jangan Den, saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi." Bik Asih mengatupkan tangannya. Memelas padaku dengan mata berkaca-kaca, "Tolong, Den …."
"Ikutlah Alex ke kantor polisi sekarang juga, Bik. Bibik harus bertanggung jawab atas apa yang telah Bibik, lakukan selama ini."
"Nyaa, saya minta maaf."
Bik Asih berlutut di bawah kaki mama. Ketakutan mendengar mama menyebut kantor polisi.
"Bawa dia
"Fuuh …." Kuembuskan napas dengan cepat. Rasanya sangat lega.Satu per satu masalah mulai terselesaikan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai semuanya mendapatkan hukuman yang setimpal.Memasukkan satu tangan ke dalam celana. Berjalan dengan santai."Alex, kamu sudah datang?"Mama menoleh ke arahku. Papa sedang mengambil sayur ke dalam piringnya, "Bagaimana dengan urusan, Bik Asih?"Aku segera menuju meja makan ikut bergabung bersama mereka. Alicia tentu masih di sekolah. Sedangkan Wulan, ia pasti belum datang dari Universitas Avicenna."Bik Asih sementara ditahan sampai semua tun
Membuka kancing kemeja hitam di bagian atas. Tak lupa melipat lengan kemeja hingga siku. Aku melirik ke sekitar tempat parkir."Lex, ayo!" David menepuk pundakku. Ia turun terlebih dahulu dari mobil."Wait!" kataku.Kami berdua sudah berada di depan mobil. Menatap ke papan besar bertuliskan Klub Heaven. Sudah lama sekali aku tak menginjakkan kaki di sini."Apa benar dia ada disini?""Dari informasi yang gue terima sih, pasti." David mengangguk dengan yakin.Aku dan David masuk ke dalam klub malam terbesar d
***Happy Reading***"Berhenti. Angkat tangan kalian di atas sekarang juga!" Suara tegas itu langsung memberi perintah. Aku dan David segera mengangkat tangan.Wildan dan ketiga temannya berusaha berdiri dengan tegak. Mereka mengangkat kedua tangan ke atas."Rasakan pembalasanku," desisku di samping telinga Wildan. Ia menoleh dengan mata berkilat tajam."Geledah mereka semua!" perintah lelaki berbadan tegap dalam balutan seragam polisi itu.Beberapa lelaki berseragam cokelat lengkap dengan pistol di pinggangnya langsung maju. Menggeledah kami masing-masing. Aku mengangguk dan tersenyum pada David.
Lampu mobil menyorot pagar besi kediaman rumah Ibrahim. Warna putihnya benderang memantulkan cahaya. Nomor rumah di samping gerbang berwarna keemasan menyilaukan mata."Loe gak mau turun, Bro?"David menoleh ke arahku. Aku menggeleng pelan, "Males gue.""Udah tengah malam nih, loe males. Nah, gue harus cepet pulang. Ada yang nungguin gue di rumah," bebernya.Perkataan David menyadarkanku status kami telah berbeda. Ia bukan seorang pria lajang lagi seperti dulu. Tentu saja tak bisa pulang larut malam seenaknya.Pintu pagar berderit. Perlahan besi tebal itu bergeser. Seorang security berdiri di samping pagar dan tersenyum ke arahku.
Keesokan paginya ….Ah, bukan. Aku bangun siang. Namun, merasa itu masih pagi karena di luar cuaca sedang mendung. Matahari tak bersinar seterik biasanya. Langit terlihat gelap.Keesokan siangnya ….Aku menuju kamar papa dan mama. Mengetuk pintu beberapa kali. Saat pintu terbuka keduanya sedang terlihat bersantai sambil menonton televisi di kamar. Dua cangkir porselen dan setoples kaca kue kering tersaji di depan mereka. Segera mendekat dan menyapa mereka, "Selamat pagi."Papa dan Mama mengernyit menatapku dengan heran."Ngelindur kamu? Pasti belum cuci muka?" tuduh Mama.Segera mendo
***Happy Reading*** Aku meluruskan kaki. Menaikkan satu kaki di atas kaki lainnya yang bertumpu di meja. Menggoyangkannya ke kiri dan kanan sesekali. Membosankan. Kenapa kaum wanita selalu berlama-lama untuk bersiap keluar dari rumah? Kurasa selain pintar berbicara kelebihan wanita lain adalah lebih pandai memanfaatkan waktu. Dalam kata lain, berlama-lama membuat kaum lelaki menunggu. Melirik jam Ro*ex di pergelangan tangan. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka satu. Harus berapa lama lagi aku menunggu? Membuang koran di pangkuan. Menghempaskannya ke atas sofa. Berdiri dari dud
***Happy Reading*** "Kenapa berenti di sini? Gegoseran guwah." Wulan semakin cemberut. Kedua tangan disilangkan di dada. Ia menatap sebuah pabrik besar di depan mobil dengan mengernyit. "Apa? Memangnya kenapa?" Aku bertanya balik. "Dandan udah necis, cantik, bedak dedempulan. Bibir merah merona, kenapa cuma ke pabrik? Mau ngapain coba?" "Hahahha …." Seketika tawaku tersembur keluar. Dikiranya aku akan mengajaknya kemana? Pagi tadi saat ke kamar papa. Ia memberikanku resep dokter yang harus ditebus. Dokter pribadi nenek datang beberapa hari sekali. Selebihnya perawat pribadi nenek yang m
Hendrawan membuka pintu dan masuk terlebih dahulu. Mendekat ke meja pimpinan dan berbisik pada lelaki di balik meja. Terlihat membicarakan hal serius.Ruangan pimpinan ini cukup lebar dengan banyak jendela di dinding sampingnya.Di belakang meja pimpinan tadi ada lemari kayu dengan banyak tumpukan buku dan map.Aroma obat-obatan terhidu ketika memasuki ruangan ini. Ada sebuah rak dengan aneka botol berisi sirup dan pil beraneka ragam. Kuduga itu adalah hasil obat di pabrik ini."Tuan Alex." Lelaki dengan setelan jas hitam yang sedang duduk di meja pimpinan langsung berdiri dan memberi salam padaku.Rambutnya dipotong cepak. Disisir tegak ke atas. Penampilannya terlihat s