Keesokan paginya ….
Ah, bukan. Aku bangun siang. Namun, merasa itu masih pagi karena di luar cuaca sedang mendung. Matahari tak bersinar seterik biasanya. Langit terlihat gelap.
Keesokan siangnya ….
Aku menuju kamar papa dan mama. Mengetuk pintu beberapa kali. Saat pintu terbuka keduanya sedang terlihat bersantai sambil menonton televisi di kamar. Dua cangkir porselen dan setoples kaca kue kering tersaji di depan mereka. Segera mendekat dan menyapa mereka, "Selamat pagi."
Papa dan Mama mengernyit menatapku dengan heran.
"Ngelindur kamu? Pasti belum cuci muka?" tuduh Mama.
Segera mendo
***Happy Reading*** Aku meluruskan kaki. Menaikkan satu kaki di atas kaki lainnya yang bertumpu di meja. Menggoyangkannya ke kiri dan kanan sesekali. Membosankan. Kenapa kaum wanita selalu berlama-lama untuk bersiap keluar dari rumah? Kurasa selain pintar berbicara kelebihan wanita lain adalah lebih pandai memanfaatkan waktu. Dalam kata lain, berlama-lama membuat kaum lelaki menunggu. Melirik jam Ro*ex di pergelangan tangan. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka satu. Harus berapa lama lagi aku menunggu? Membuang koran di pangkuan. Menghempaskannya ke atas sofa. Berdiri dari dud
***Happy Reading*** "Kenapa berenti di sini? Gegoseran guwah." Wulan semakin cemberut. Kedua tangan disilangkan di dada. Ia menatap sebuah pabrik besar di depan mobil dengan mengernyit. "Apa? Memangnya kenapa?" Aku bertanya balik. "Dandan udah necis, cantik, bedak dedempulan. Bibir merah merona, kenapa cuma ke pabrik? Mau ngapain coba?" "Hahahha …." Seketika tawaku tersembur keluar. Dikiranya aku akan mengajaknya kemana? Pagi tadi saat ke kamar papa. Ia memberikanku resep dokter yang harus ditebus. Dokter pribadi nenek datang beberapa hari sekali. Selebihnya perawat pribadi nenek yang m
Hendrawan membuka pintu dan masuk terlebih dahulu. Mendekat ke meja pimpinan dan berbisik pada lelaki di balik meja. Terlihat membicarakan hal serius.Ruangan pimpinan ini cukup lebar dengan banyak jendela di dinding sampingnya.Di belakang meja pimpinan tadi ada lemari kayu dengan banyak tumpukan buku dan map.Aroma obat-obatan terhidu ketika memasuki ruangan ini. Ada sebuah rak dengan aneka botol berisi sirup dan pil beraneka ragam. Kuduga itu adalah hasil obat di pabrik ini."Tuan Alex." Lelaki dengan setelan jas hitam yang sedang duduk di meja pimpinan langsung berdiri dan memberi salam padaku.Rambutnya dipotong cepak. Disisir tegak ke atas. Penampilannya terlihat s
***Happy Reading***Detik berikutnya hanya ada keheningan di mobilku. Aku dan Wulan tak saling berbicara lagi. Padahal pagi tadi aku berharap bisa pergi berdua dengannya ke suatu tempat.Aku tak tahan lagi. Saling tak bicara seperti ini sungguh menyiksa. Menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Menepikan mobil di pinggir jalan.Ciiitt ….Ban mobil bergesekan dengan rem mobil. Beberapa mobil membunyikan klakson. Beberapa detik lalu aku menekan lampu sign.Wulan terpental ke depan. Hampir menabrak dashboard jika saja ia tak memakai safety belt."Ali …," teriak Wulan. Dia langsung men
Mobil perlahan memasuki gerbang perumahan, matahari sudah condong ke arah barat, meninggalkan gurat jingga di langit. Saat kami sampai di depan rumah mewah bernomor 185 A. Pintu gerbangnya terbuka lebar."Ada apa ini, Ali??" Wulan melebarkan matanya. Berusaha menatap ke dalam rumah.Segera kupercepatkan laju kuda besi. Memasukkannya ke garasi. Namun, mata membelalak kala melihat mobil ambulance terparkir tepat di samping teras.Menginjak pedal gas. Segera memarkir dan keluar dari mobil.Terdengar suara mobil ditutup. Saat aku menoleh, Wulan berlari menyusul di belakangku. Ada beberapa orang berdiri dan menatap ke dalam rumahku.Berjalan melewati mobil
***Happy Reading*** Dari ruangan Nenek aku berbelok ke arah kanan. Berjalan menyusuri koridor sambil menengok ke kiri dan kanan. Mencari keberadaan perawat pribadi nenek. Bola mata mengawasi tiap sosok perempuan yang serupa dengan perawat nenek. Berhenti Melangkah, memicing menatap ke sekitarku. "Kamar mandi, iya, mungkin perawat itu sedang ke kamar mandi," gumamku. "Permisi, dimana letak kamar mandinya?" Segera menghentikan seorang perawat yang kebetulan lewat di sebelahku. Perawat itu tersenyum padaku, "Masnya, lurus lurus aja nanti ada pertigaan belok ke kanan kamar mandinya ada di ujung lorong sana."
Setelah mendengar kesaksian perawat gadungan itu kami segera membawanya ke kantor polisi. Mana mungkin kami diam saja dengan perbuatannya yang hampir menghilangkan nyawa nenek."Masuk sekarang juga!" Papa mendengkus kesal melihat perawat gadungan yang meronta dari pegangan Pak Malik."Bukankah kalian sudah berjanji tidak akan melaporkan saya ke polisi?" kilahnya lagi. Ia menyeret kaki. Terlihat sangat terpaksa berjalan menuruti perintah kami. Berulang kali berhenti dan menoleh ke belakang."Kami memang tidak melaporkan kamu. Namun, kamu harus tetap kesini untuk memberikan kesaksian."Enak saja? Berani berbuat, tapi bersembunyi dari akibat.Kami
Haruskah menghilangkan nyawa orang lain agar sebuah ambisi terpenuhi?Apakah dengan melenyapkan seseorang tujuan akan tercapai?Aku tersenyum kecut. Menatap nisan bertuliskan Maryanne ann. Nenekku adalah korban dari ambisi seseorang. Tumbal kerakahan.Kugelengkan kepala perlahan. Menyilangkan tangan di dada. Satu persatu para pelayat lain mulai pergi meninggalkan kuburan nenek. Sepi dan lengang, orang-orang yang ikut mengantarkan jenazah nenek hanya tinggal beberapa.Suasana tanpa banyak orang di kuburan selalu membangkitkan bulu halus di belakang tengkukku. Segera menggosok pelan bagian belakang leher."Maa, maafkan Ibrahim." Papaku menangis. Baru ka
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad