Mereka menyusuri jalanan untuk sampai ke tempat tujuan. Harus melewati tol antar kota cukup dua jam mereka sudah sampai di Bandung. Maka lelaki itu turun setelah menemukan tukang cilok yang diinginkan oleh sang istri.
“Ini aku sudah sampai di Bandung. Beneran ini?” Ilham vidio call sama istrinya.
“Bukan,” tukas Tias.
“Bukan cintaku, bukan yang ada di restoran. Aku maunya cilok yang ada di Jalan Pasteur.” Ilham membelalakan matanya.
“Masya Allah, baiklah.”
“Ah, gini amat ya ngurusin wanita hamil. Ngidamnya aneh-aneh saja.” Ilham sedikit menggerutu dalam hati.
“Jangan menggerutu kalau menggerutu saya tambah nanti ngidamnya.” Ilham masih terhubung dengan
“Iya, iya oke. Aku cari dulu ya, kita udahan dulu teleponnya.”
“Yah, aku laper. Kita dari Jakarta Bos. Sudah melewati makan siang belum makan siang.”“Iya, iya bawel. Kita makan siang dulu.”“Eh takutnya habis, kita beli cilok dulu.”Ilham kembali ke Jakarta bahkan sudah agak larut. Senyumnya merekah, ketika memandang sang pujaan hati meringkuk di kursi panjang depan TV.“Kasihan kamu, nungguin. Hah, aku bahagia walau agak susah karena harus memenuhi permintaanmu yang kadang nyebelin.” Ilham meraba pipi mulus sang istri. Lelaki itu tersenyum saat wanitanya tersebut membalikkan tubuhnya dan sudut bibirnya keluar sedikit air liur.“Bahkan ilermu juga terasa menambah kecantikanmu.”(Hahaha ada-ada saja Ilham ini)Dia membersihkan sudut bibir sang istri dengan tisu. Setelah itu mengangkat tubuhnya dibawa masuk ke kamar da
Galih dan Mira masuk ke mal untuk belanja bulanan. Tadinya, Mira hanya akan titip Gibran untuk dijaga oleh ayahnya. Namun ternyata, lelaki itu memintanya untuk pergi bersama saja.“Kamu pilih kebutuhanmu juga, jangan selalu mengutamakan anakku tapi milikmu lupa.” Galih memainkan ipad nya, mungkin saja ada yang mau dia kerjakan. Memang akhir-akhir ini dia sibuk. Bahkan perceraiannya juga dia pasrahkan sepenuhnya kepada kuasa hukumnya.“Mas, tolong sebentar saja, tinggalkan tab-mu. Putramu tidak menyukainya,” cakap Mira.“Iya, maaf. Sudah selesai. Biar Gibran bersamaku main ke permainan. Kamu lanjutkan belanja. Aku titip celana dalam saja, sepertinya stok menipis.” Mira mengangguk. Galih mengangkat tubuh sang putra kemudian menuju ke arena bermain. Dia nampak gembira, sesekali mengecup pipi tembem sang putra. Walau lelaki kecil itu bukan darah dagingnya, namun baginya dia adalah seperti
***Meyyis_GN***Mira datang membawa belanjaan yang bisa dia bawa. Sedang yang lainnya, seperti intruksi dari galih untuk di paketkan saja. Jasa online paling membayar tidak seberapa.“Kok di bawa ke sini? ‘kan sudah saya bilang untuk di paketkan?” Tias dan Ilham saling pandang. Sepertinya keduanya mengerti, mimik wajah galih, bahwa yang dia maksud dengan gairah baru adalah wanita itu.“Ehem, sepertinya sudah ada detak asmara, nih.” Ilham meledek Galih. Tapi lelaki itu hanya tersenyum saja. Sedangkan Mira sudah bersemu mereah.“Iya kenalkan, ini adalah Mira,” ucap Galih.“Oh, saya Tias.” Mira menjadi sedikit berbeda wajahnya, setelah Tias mengulurkan tangan. Mungkin Mira teringat sesuatu.“Kenapa Mbak? Tenang saja, aku hanya mantan. Sekarang kita punya masing-masing kehidupan. Lihatlah, perutku juga s
“Ah, apakah ini tidak terlalu banyak? Kita hanya berempat.” Mira berpendapat.“Aku sengaja, biar kita lama di sini. Aku pingin tanya banyak sama kamu, seputar mengasuh bayi.” Mira terkekeh.“Tidak masalah, namun tidak perlu menyogokku dengan makanan sebanyak ini.” Tias hanya nyengir kuda. Dia memang kalau bertindak masih suka ceroboh. Untung saja, Ilham sangat sayang padanya.“Sepertinya, ada panggilan alam,” tukas GalihGalih pamit untuk pergi ke toilet. Mendengar suara desahan, maka dia berhenti dan mencari arah sumber suara. Dia membelalakan matanya melihat adegan yang sungguh tidak pantas. Galih ketemu dengan Milea yang juga menggandeng seorang laki-laki. Sangat menjijikkan mereka berdua melakukan kissing di pojokan toilet. Bukan hanya kissing yang biasa, tapi panas dan menggairahkan. Galih menggelengkan kepalanya. Sebenarnya, wanita macam apa, yang
“Tunggu! Kalian sudah menikah?” Tias memandang nyalang ke arah Galih. Bukan karena cemburu, tapi dia marah tidak diundang. “Belum, akan segera.” Mereka saling memadang. “Jangan lupakan kami kalau begitu.” Tias dan Ilham saling pandang kemudian tertawa kecil. Mereka terlihat sangat akrab. Sementara itu, di sudut lain terlihat Milea kesal, bahwa kelakuannya mudah terbaca oleh Galih. Dia menyesal, karena berulah. Semua pria yang dia dekati tidak seloyal Galih. Mereka hanya menginginkan ranjang saja, tanpa peduli dengan perasaan. Saat sduah selesai, membayar, setelah bosan dicampakkan. Milea mulai menyadari itu. Tapi sepertinya semua sudah terlambat. Galih sudah menemukan orang lain yang sepertinya dia cintai. Sudah berbagai cara dia lakukan, termasuk merendahkan dirinya. Kemarin lusa, dia kekantor dan merayunya dengan membuka bajunya. Namun Galih malah mengusirnya. Alhasil, dia pergi dengan rasa dongkol yang tidak dap
“Apa, Mas? Aku tidak dengar kamu ngomong apa?” Milea meminta Galih mengulang.“Sudah lupakan,” pupus Galih. Sejujurnya, tadi dia sudah mengumpulkan sejuta keberanian.Mila pulang ke rumah ketika tahu usahanya sia-sia. Belum juga dia menghempaskan tubuh ke kursi, sudah ada ketukan pintu. Dia membukakan pintu untuk tamu yang datang. Menyadari siapa yang datang, dia akan menutupnya kembali.“Hei jangan menutupnya atau kau akan menyesal.” Yang datang adalah Ariyo lelaki yang dia sewa untuk memanas-manasi Galih.“Mau apa lagi? Kamu sudah aku bayar sesuai dengan kesepakatan. Walau tidak berhasil.” Lelaki itu menyeringai.“Maka dari itu, aku akan menawarkan kebaikan.” Ariyo duduk di sofa dan menangkat kakinya.“Ck, kebaikan yang bagaimana? Aku tidak mau mengenalmu lagi.” Milea memutar bola
“Aku sudah bilang, hanya aku yang bisa mengimbangimu. Tidak percaya.” Sentuhan akhir saling memberikan tanda terima dengan sebuah kecupan bernada merah di leher.Galih dan Mira sampai di rumah. Dia menurunkan barang belanjaan, sedangkan Mira seperti biasanya menggendong Gibran yang sekarang lagi tidur.“Apa kamu tidak lapar?” Galih mendekati Mira setelah meletakkan belanjaan di meja. Untuk membereskan, biasanya Mira sendiri, sebab dia akan mengomel jika Galih salah meletakkannya.“Hus, jangan berisik nanti dia kebangun,” bisik Mira. Galih hanya mengangguk dan tersenyum. lelaki bermata coklat itu memandang lekat ke arah Mira.“Kenapa memandangku seperti itu?” Mira menyadari pandangan Galih lekat terhadapnya, ketika menoleh setelah meletakkan tubuh Gibran.“Mari kita menikah!” Galih mengajaknya meni
“Ada apa ini? Aku merasa … ah, padahal bukan yang pertama Mas Galih menciumku. Tapi masih saja darahku ….” Mira menutup matanya dengan telapak tangan.***Meyyis_GN***“Sayang, sudah. Biarkan Bibi saja yang masak. Perut kamu sudah semakin besar. Aku suka makan masakan kamu, tapi aku nggak mau menyusahkan. Jangan bikin aku kuatir, oke?” Tias mengangguk dan meninggalkan dapur. Ilham membimbingnya untuk duduk di meja makan. Sedangkan asisten rumah tangga, sedang menyelesaikan tugasnya.“Silakan, Nyonya dan Tuan, semua sudah siap.” Bibi membungkuk kemudian meninggalkan meja makan.“Terima kasih, Bi,” ucap Tias. Mereka makan sambil mengobrol.“Mau tambah udangnya?” Ilham menyumpit udang, kemudian mengarahkan ke mulut sang istri.“Mas, ini aneh. Padahal aku ‘kan alergi udang. Kenap