Galih mendapat laporan dari anak buahnya bahwa dia gagal menculik Tias. Bahkan anak buah andalannya dipecundangi oleh wanita itu. Tentu saja, dia meradang. Coba kalau di rumah, sudah pasti aka nada gelas melayang ke wajah anak buahnya. Dia berusaha mati-matian untuk bisa keluar dari tempat itu, untuk menculik sendiri Tias. Setidaknya, membujuknya, tentu tidak akan gagal.
Apakah dengan dia lumpuh seperti itu dia akan menjadi bertobat? Anggapan Ilham yang seperti itu salah besar. Big No. Dia justru semakin menjadi-jadi. Tidak ada dalam kamusnya, kasus pertobatan. Lelaki itu itu akan tetap menjadi dirinya yang menjengkelkan untuk alasan tertentu. Dia bahkan akan menjadikan bringas untuk mendapatkan Tias.
“Satu pesan dari saat kami kalah berkelahi adalah bahwa dia akan semakin menjauh dan membenci, jika Tuan … Hem, jika Tuan terus saja mengusiknya.”
Galih terkekeh, dia tidak sadar j
Anak buah Galih mulai Berencana untuk menyuap petugas. Awalnya memang seperti itu rencananya tetapi ternyata mereka tidak mau dan pantang untuk disuap maka dari itu mereka menggunakan rencana kedua yaitu rencana dengan kekerasan. Anak buah Galih membekap petugas dan mengikat mereka. Setelahnya, dimasukkan ke dalam peti jenazah. Sebelumnya CCTV semua sudah dinonaktifkan, sehingga tidak ada yang dapat melacak perbuatan mereka. Setidaknya, sampai lelaki yang dibekap mereka ditemukan. Selanjutnya, mereka dengan pakaian petugas kamar jenazah tersebut, masuk ke ruangan Galih. Polisi yang jaga di depan agak curiga dengan mereka.“Kalian ke sini?” tanya polisi tersebut.“Ya pak mohon maaf kami akan mengambil mayat pada ruang 202.” Dua lelaki itu kompak.“Ruang 202 apa dia meninggal?” Polisi tersebut sanksi dengan ucapan petugas kamar jenazah itu.&nbs
Kabar kaburnya Galih sudah sampai ke telinga Ilham dia mengeratkan rahangnya karena merasa sangat marah.“Kok bisa? Padahal kalian berjaga 24 jam.” Ilham yang baru saja membaca ebrkas penting jadi tertunda karena hal itu.“Maafkanlah, kami juga kehilangan jejak. Kami juga sudah adakan pemeriksaan semua CCTV. Tapi ternyata juga semua CCTV pada hari itu mati.” Polisi yang menelepon Ilham juga terlihat panik.“Ke mana teknisi?” Ilham tidak menyangka akan terjadi konspirasi yang sangat ciamik.“Kami menemukan seluruh teknisi berada di peti jenazah. Begitupun juga dengan penjaga peti jenazah.” Ilham terlihat geram.“Selalu saja dia bisa lari. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia itu setengah gila, dia nanti akan berbahaya di luaran sana. Dia terobsesi sama istriku.” Ilham sudah mondar-mandir karena merasa san
Ilham ingin pulang segera tapi tidak bisa proyek di Jambi memerlukan perhatiannya. Kendati tidak dapat konsentrasi tapi dia harus professional. Dia menyelesaikan segala Urusannya di kantor sedangkan di rumah, Tias sudah dijaga oleh beberapa bodyguard. Sampai Tias merasa sesak napas karena banyak orang di rumah itu. Tyas memutuskan untuk menelpon suaminya.“Iya, Sayang?” Ilham masih ada di luar kota. Dia meninjau proyek di sana. Bahkan dia baru saja masuk ke hotel.“Ada apa, Mas. Kok banyak banget, sih orang di sini? Aku jadi nggak bisa ngapa-ngapain, ih. Aku mau mau tidur aja jadinya malah nggak enak. Aku ‘kan ingin tidur di depan TV.” Tias terlihat merajuk di depan layer ponsel itu. Ilham melepas dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Kan ada kamar, Sayang. Tidur di kamar.” Ilham melepas kancing kemejanya dan membuangnya begitu saja di ranjangnya.
“Masak enggak? Nggak usah ngambek. Paling sekitar beberapa jam lagi aku pulang .” Tias merasa bahagia mendengarnya.Memang Selama dua bulan ini Ilham dibuat resah Galih memang tidak pernah mengintip ataupun menyerang tetapi hal itu Justru membuat Ilham semakin penasaran. Sebab tidak mungkin seorang Galih Itu menyerah begitu saja. Selama dua bulan ini juga dia belum terlacak keberadaannya.Galih nekat datang ke rumah Ilham, saat dia sedang berada di luar kota dan anehnya sangat sopan dia mengetuk pintu terlebih dahulu. Galih mengenakan baju sopan, kemeja warna biru dengan dasi bergaris-garis. Celana bahan berwarna biru dongker, membuat dia mirip dengan pegawai bank yang akan menagih tunggakan.“Tolong buka masker Anda.” Galih membuka masker tapi karena dia menggunakan make-up maka penjaga tidak mengenali. Penata rias itu memang sanggup menyamarkan wajah Galih menjadi orang lain maka pen
“Jangan salah paham dulu, Tias. Aku hanya ingin berteman sama kamu. Aku memang tidak bisa melupakanmu. Tapi setidaknya, aku juga tidak ingin bermusuhan denganmu.” Galih terlihat sungguh-sungguh, namun hati Tias ternyata terlanjur memiliki kesan buruk dengan mantan suaminya itu.“Berteman? Untuk apa? ….” Tias menjeda perkataannya. Dia merasa sangat muak dengan lelaki di depannya itu yang penuh kamuflase. “Untuk apa? Saya rasa pertemuan laki-laki dan perempuan akan menimbulkan fitnah nantinya.” Tias mencoba menekan segala rasa bencinya dan emosinya agar dadanya tidak meledak.“Tias, apakah tidak ada sedikit pun yang tersisa untuk kita perbaiki? Setidaknya sebagai sesama manusia.” Terlihat mata Galih penuh permohonan. Tapi tidak bagi Tias terpancing Kembali dengan semua kebohongan dia. Baginya, sekali berbohong maka akan bersambung kebohongan yang lain. Dia pernah memberikan kes
“Kamu ada di mana? Ini anakmu nangis terus.” Ya, MIlea sudah melahirkan. Tapi dia tidak bisa merawat anaknya, walau sudah ada pembantu yang membantunya. Dia masih tetap mengganggu Galih. Dia juga selalu penuh curiga dengan Galih. Pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai setiap gerak langkah mereka saat berkumpul. Tidak ada lagi kedamaian antara mereka.“Kamu ibunya, Milea. Kenapa tidak bisa mendamaikannya?” Galih memutar bola matanya jengah.Demi seluruh makhluk yang ada dilangit dan di bumi rasanya kepala Galih dan dadanya mau meledak saja mendengar Milea itu. Dia sudah tahu bahwa anaknya itu bukan darah dagingnya, tapi anehnya dia tidak tega untuk menelantarkannya. Galih sudah terlanjur menyayanginya. Pada dasarnya lelaki itu memang berhati baik. Hanya saja, entah mengapa rasa kecewanya pada Tias membuat dirinya menjadi jahat dan yang sebenarnya adalah dia sendiri yang tidak bisa memberikan keturunan. Anehnya,
“Aku udah mau mulai diet lagi.”“Kamu itu benar-benar keterlaluan, Milea.”“Serah kamu ya, Mas. Nggak lihat badanku udah kendur begini?” Galih memutar bola matanya Lelah.Galih dengan sabar menimang anaknya dalam pelukan. Anak itu terdiam, setelah Galih menepuk bokong anak tersebut. Bayi mungil berbobot sekitar tujuh kilo yang usianya masih dua bulan itu nyaman berada dalam gendongannya. Sedangkan Milea membersihkan wajahnya nya dan terlihat akan kan pergi.“Kamu mau pergi kemana, Milea?” Milea menghentikan aktivitasnya.“Suka-suka aku, dong. Emangnya duniaku cuma kamu? Dengar ya, Mas. Aku tidak mau ya kayak ibu-ibu itu yang hidup luntang-lantung di rumah. Aku butuh refreshing lah keluar. Ngapain juga di rumah. Menikah bukan berarti dipenjara.” Milea melanjutkan memoles wajahny
Nasi subur tidak mungkin akan kembali menjadi nasi saat sudah selumat bubur. Ingin deket aja sulit. Dia lelah mengejar Tias, dengan berbagai cara. Tetap saja Tias bisa lolos. Mau dengan cara halus ataupun dengan cara kasar tetap saja dia pergi dan tidak mungkin kembali lagi.Ilham pulang dari luar kota mendapati istrinya yang termenung di balkon. Dia memeluk tubuh sang istri dari belakang.“Ayo ngelamunin apa? Aku bukan, ya? Yang dilamunin apa ada cowok lain?” Tias melirik ke belakang. Melihat lirikan sinis dari istrinya, Ilham tertawa.“Tuh, segitunya … sadis. Tidakkah Kau kangen dengan Aku?” Ilham mencumbui istrinya.“Apakah masih harus bertanya?” Tias menyenderkan kepalanya ke dada bidang itu.“Okelah yang kangen sama suaminya, satu kecupan untuk cintaku.” Maka Ilham memberikan hisapan pada leher belakang istrinya, sehingga istrin