“Jangan salah paham dulu, Tias. Aku hanya ingin berteman sama kamu. Aku memang tidak bisa melupakanmu. Tapi setidaknya, aku juga tidak ingin bermusuhan denganmu.” Galih terlihat sungguh-sungguh, namun hati Tias ternyata terlanjur memiliki kesan buruk dengan mantan suaminya itu.
“Berteman? Untuk apa? ….” Tias menjeda perkataannya. Dia merasa sangat muak dengan lelaki di depannya itu yang penuh kamuflase. “Untuk apa? Saya rasa pertemuan laki-laki dan perempuan akan menimbulkan fitnah nantinya.” Tias mencoba menekan segala rasa bencinya dan emosinya agar dadanya tidak meledak.
“Tias, apakah tidak ada sedikit pun yang tersisa untuk kita perbaiki? Setidaknya sebagai sesama manusia.” Terlihat mata Galih penuh permohonan. Tapi tidak bagi Tias terpancing Kembali dengan semua kebohongan dia. Baginya, sekali berbohong maka akan bersambung kebohongan yang lain. Dia pernah memberikan kes
“Kamu ada di mana? Ini anakmu nangis terus.” Ya, MIlea sudah melahirkan. Tapi dia tidak bisa merawat anaknya, walau sudah ada pembantu yang membantunya. Dia masih tetap mengganggu Galih. Dia juga selalu penuh curiga dengan Galih. Pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai setiap gerak langkah mereka saat berkumpul. Tidak ada lagi kedamaian antara mereka.“Kamu ibunya, Milea. Kenapa tidak bisa mendamaikannya?” Galih memutar bola matanya jengah.Demi seluruh makhluk yang ada dilangit dan di bumi rasanya kepala Galih dan dadanya mau meledak saja mendengar Milea itu. Dia sudah tahu bahwa anaknya itu bukan darah dagingnya, tapi anehnya dia tidak tega untuk menelantarkannya. Galih sudah terlanjur menyayanginya. Pada dasarnya lelaki itu memang berhati baik. Hanya saja, entah mengapa rasa kecewanya pada Tias membuat dirinya menjadi jahat dan yang sebenarnya adalah dia sendiri yang tidak bisa memberikan keturunan. Anehnya,
“Aku udah mau mulai diet lagi.”“Kamu itu benar-benar keterlaluan, Milea.”“Serah kamu ya, Mas. Nggak lihat badanku udah kendur begini?” Galih memutar bola matanya Lelah.Galih dengan sabar menimang anaknya dalam pelukan. Anak itu terdiam, setelah Galih menepuk bokong anak tersebut. Bayi mungil berbobot sekitar tujuh kilo yang usianya masih dua bulan itu nyaman berada dalam gendongannya. Sedangkan Milea membersihkan wajahnya nya dan terlihat akan kan pergi.“Kamu mau pergi kemana, Milea?” Milea menghentikan aktivitasnya.“Suka-suka aku, dong. Emangnya duniaku cuma kamu? Dengar ya, Mas. Aku tidak mau ya kayak ibu-ibu itu yang hidup luntang-lantung di rumah. Aku butuh refreshing lah keluar. Ngapain juga di rumah. Menikah bukan berarti dipenjara.” Milea melanjutkan memoles wajahny
Nasi subur tidak mungkin akan kembali menjadi nasi saat sudah selumat bubur. Ingin deket aja sulit. Dia lelah mengejar Tias, dengan berbagai cara. Tetap saja Tias bisa lolos. Mau dengan cara halus ataupun dengan cara kasar tetap saja dia pergi dan tidak mungkin kembali lagi.Ilham pulang dari luar kota mendapati istrinya yang termenung di balkon. Dia memeluk tubuh sang istri dari belakang.“Ayo ngelamunin apa? Aku bukan, ya? Yang dilamunin apa ada cowok lain?” Tias melirik ke belakang. Melihat lirikan sinis dari istrinya, Ilham tertawa.“Tuh, segitunya … sadis. Tidakkah Kau kangen dengan Aku?” Ilham mencumbui istrinya.“Apakah masih harus bertanya?” Tias menyenderkan kepalanya ke dada bidang itu.“Okelah yang kangen sama suaminya, satu kecupan untuk cintaku.” Maka Ilham memberikan hisapan pada leher belakang istrinya, sehingga istrin
Pagi hari Ilham mendapati istrinya muntah-muntah di kamar mandi. Bahkan subuh bekum menjelang tapi dia sudah mutah. Wajahnya terlihat sangat pucat.“Sayang kamu salah makan?” Ilham mengurut punggungnya.“Nggak tahu tiba-tiba kembung dan muntah.” Ilham menuntun sang istri agar keluar dari kamar mandi.“Udah sini aku gosok perutnya.” Dengan sabar lelaki itu menggosok perut sang istri dengan minyak angin. Tias merasa lebih baik. Dia merebahkan diri di kasur. Tiba-tiba kepalanya juga pening.“Kita ke dokter nanti,” titah Ilham.“Nggak mau aku mau istirahat di rumah saja.” Ilham menggenggam tangannya. Dia memberikan kekutan oada sang istri, bahwa dia selalu ada untuknya.“Jangan ngeyel, kebiasaan ngeyel.” Ilham membelai kepala sang istri.
“Ada apa, Bos pagi-pagi udah berisik.”“Jadwalkan ulang aktivitas aku hari ini. Istriku sakit, aku nanti terlambat ke kantor,” tegas Ilham.“Beres, Bos.” Ilham bangkit dan mengangkat bekas piring tempat sarapan istrinya tadi dan menuju ke dapur.Ilham tidak perduli walaupun istrinya itu mengomel dan tidak mau dibawa ke dokter. Dia sangat khawatir sebab Tias pernah keguguran. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan senantiasa menjaga istrinya dalam keadaan apa pun. Kehilangan bayinya membuat dia over protektif sekarang. Sakit sedikit saja pasti akan langsung heboh seperti pagi ini.“Sayang ayo kita ke dokter.” Ilham masih terus membujuk setengah memaksa pada sang istri.“Aku hanya perlu istirahat, Mas. Nggak usah berlebihan, deh.” Tias meringsut pura-pura mengambek.&ldquo
Ilham dan Tias sudah ada di kamar periksa sekarang. Dokter terlihat memeriksa dengans eksama keadaan Tias. Dokter perempuan itu menyarankan untuk cek ke dokter kandungan, karena kemungkinan Tias hamil. Dari ciri-cirinya, wamita itu memang berbadan dua.“Coba kalian ke dokter obigyn. Saya kok curiga, sakitnya karena hamil.” Tias menutup mulutnya.“Terima aksih, Dok. Saya akan mendaftarkan istri saya periksa di dokter obigyn. Ayo, Sayang.” Ilham menuntun istrinya untuk mendaftar ke dokter obigyn. Lelaki itu kali ini akan memakai koneksinya, sebab sudah melihat istrinya yang kelelahan. Dia tidak mau melihat istrinya penuh dengan rasa Lelah seperti itu.Saat sudah keluar, dia langsung di panggil. Tias sebenarnya sangat sungkan dan merasa tidak enak hati pada pasien yang berderet di sana. Tapi kemudian diabaikan saja, karena suaminya sudah menuntunnya ke dalam.“Mas, seharusn
Pagi ini terulang lagi Tyas muntah-muntah tidak karuan.“Sayang, kamu muntah-muntah gini terus. Ke rumah sakit, ya? Kamu kehilangan banyak cairan, Sayang.” Ilham terlihat sangat khawatir. Lelaki itu sangat khawatir bukan hanya karena mencintainya saja, namun karena ada anak dalam perutnya. Bahkan juga karena perempuan itu pernah keguguran. Menjadi bertumpuk-tumpuk rasa khawatirnya.“Aku tidak apa-apa, Mas. Palingan juga mendingan kalau tidur sebentar. Pasti nanti juga sudah sembuh.” Tias memegang perutnya karena terasa nyeri. Sedangkan Ilham menuntunnya kembali ke kamar.“Enggak apa-apa bagaimana? Pagi ini sudah dua kali, Yank kamu muntah.” Ilham membantu istrinya berbaring dan menyelimutinya.“Nggak usah khawatir, Mas. Kamu konsen saja, bukankah ada proyek baru?” Tias telah menelusup ke bawah selimut.“Nggak
“Kamu jangan menyalahkan Aditya. Kamu yang salah. Istrimu hamil tapi kamu nggak kasih tahu.” Ilham memutar bola matanya.“Papa menikah juga diam-diam. Apa sih mau papa?” Ilham sudah sangat muak bicara dengan sang papa.“Kamu sudah nggak mau anggap papa lagi?” Mahardika terdengar sangat marah.“Habisnya papa itu ribet. Jadinya aku nggak mau melibatkan Papa. Ini nggak boleh, itu nggak boleh.” Mahardika di seberang kesal dengan anaknya itu. Selalu saja tidak bisa dibilangi.“Itu demi kebaikan kamu,” sanggah sang papa.“Bukan demi kebaikan aku, tapi demi kebaikan Citra papa. Dengar ya, Pa. Aku sudah bahagia, jadi nggak perlu papa mengusik aku lagi.” Mahardika tidak tersinggung dengan ucapan putranya karena sudah tahu tabiatnya.“Aku hanya