Pagi hari Ilham mendapati istrinya muntah-muntah di kamar mandi. Bahkan subuh bekum menjelang tapi dia sudah mutah. Wajahnya terlihat sangat pucat.
“Sayang kamu salah makan?” Ilham mengurut punggungnya.
“Nggak tahu tiba-tiba kembung dan muntah.” Ilham menuntun sang istri agar keluar dari kamar mandi.
“Udah sini aku gosok perutnya.” Dengan sabar lelaki itu menggosok perut sang istri dengan minyak angin. Tias merasa lebih baik. Dia merebahkan diri di kasur. Tiba-tiba kepalanya juga pening.
“Kita ke dokter nanti,” titah Ilham.
“Nggak mau aku mau istirahat di rumah saja.” Ilham menggenggam tangannya. Dia memberikan kekutan oada sang istri, bahwa dia selalu ada untuknya.
“Jangan ngeyel, kebiasaan ngeyel.” Ilham membelai kepala sang istri.
<“Ada apa, Bos pagi-pagi udah berisik.”“Jadwalkan ulang aktivitas aku hari ini. Istriku sakit, aku nanti terlambat ke kantor,” tegas Ilham.“Beres, Bos.” Ilham bangkit dan mengangkat bekas piring tempat sarapan istrinya tadi dan menuju ke dapur.Ilham tidak perduli walaupun istrinya itu mengomel dan tidak mau dibawa ke dokter. Dia sangat khawatir sebab Tias pernah keguguran. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan senantiasa menjaga istrinya dalam keadaan apa pun. Kehilangan bayinya membuat dia over protektif sekarang. Sakit sedikit saja pasti akan langsung heboh seperti pagi ini.“Sayang ayo kita ke dokter.” Ilham masih terus membujuk setengah memaksa pada sang istri.“Aku hanya perlu istirahat, Mas. Nggak usah berlebihan, deh.” Tias meringsut pura-pura mengambek.&ldquo
Ilham dan Tias sudah ada di kamar periksa sekarang. Dokter terlihat memeriksa dengans eksama keadaan Tias. Dokter perempuan itu menyarankan untuk cek ke dokter kandungan, karena kemungkinan Tias hamil. Dari ciri-cirinya, wamita itu memang berbadan dua.“Coba kalian ke dokter obigyn. Saya kok curiga, sakitnya karena hamil.” Tias menutup mulutnya.“Terima aksih, Dok. Saya akan mendaftarkan istri saya periksa di dokter obigyn. Ayo, Sayang.” Ilham menuntun istrinya untuk mendaftar ke dokter obigyn. Lelaki itu kali ini akan memakai koneksinya, sebab sudah melihat istrinya yang kelelahan. Dia tidak mau melihat istrinya penuh dengan rasa Lelah seperti itu.Saat sudah keluar, dia langsung di panggil. Tias sebenarnya sangat sungkan dan merasa tidak enak hati pada pasien yang berderet di sana. Tapi kemudian diabaikan saja, karena suaminya sudah menuntunnya ke dalam.“Mas, seharusn
Pagi ini terulang lagi Tyas muntah-muntah tidak karuan.“Sayang, kamu muntah-muntah gini terus. Ke rumah sakit, ya? Kamu kehilangan banyak cairan, Sayang.” Ilham terlihat sangat khawatir. Lelaki itu sangat khawatir bukan hanya karena mencintainya saja, namun karena ada anak dalam perutnya. Bahkan juga karena perempuan itu pernah keguguran. Menjadi bertumpuk-tumpuk rasa khawatirnya.“Aku tidak apa-apa, Mas. Palingan juga mendingan kalau tidur sebentar. Pasti nanti juga sudah sembuh.” Tias memegang perutnya karena terasa nyeri. Sedangkan Ilham menuntunnya kembali ke kamar.“Enggak apa-apa bagaimana? Pagi ini sudah dua kali, Yank kamu muntah.” Ilham membantu istrinya berbaring dan menyelimutinya.“Nggak usah khawatir, Mas. Kamu konsen saja, bukankah ada proyek baru?” Tias telah menelusup ke bawah selimut.“Nggak
“Kamu jangan menyalahkan Aditya. Kamu yang salah. Istrimu hamil tapi kamu nggak kasih tahu.” Ilham memutar bola matanya.“Papa menikah juga diam-diam. Apa sih mau papa?” Ilham sudah sangat muak bicara dengan sang papa.“Kamu sudah nggak mau anggap papa lagi?” Mahardika terdengar sangat marah.“Habisnya papa itu ribet. Jadinya aku nggak mau melibatkan Papa. Ini nggak boleh, itu nggak boleh.” Mahardika di seberang kesal dengan anaknya itu. Selalu saja tidak bisa dibilangi.“Itu demi kebaikan kamu,” sanggah sang papa.“Bukan demi kebaikan aku, tapi demi kebaikan Citra papa. Dengar ya, Pa. Aku sudah bahagia, jadi nggak perlu papa mengusik aku lagi.” Mahardika tidak tersinggung dengan ucapan putranya karena sudah tahu tabiatnya.“Aku hanya
“Iya besok papa ke rumah bareng sama mama kamu, dadah.” Panggilan diakhiri. Tias memberikan ponsel tersebut kea rah suaminya. Ilham duduk di tepi ranjang. Ada perasaan gamang untuk meninggalkan istrinya.Mahardika tepat janji sesuai dengan yang diucapkan. Esok harinya dia datang bersama istri barunya. Dia memandang seluruh sudut ruangan dan mengangguk-anggukkan kepalanya merasa puas dengan tata letak ruangan itu.Tetapi tidak dengan istri barunya. Istri barunya yang bernama sesungguhnya Solehatun, yang sudah di ubah menjadi Sabrina merasa tidak suka bahkan dia mencibir.“Aduh ini ruang tamu itu bagaimana penataannya? Kelihatan kusam banget.” Wanita itu mengusap permukaan sofa itu. ”Pekerjaanmu itu ngapain aja, sih? Kenapa bisa ruang tamu jelek begini? Suamimu itu CEO dan uangnya banyak. Masa beli sofa yang elegan saja nggak bisa.” Tias mengerutkan keningnya. Sofa itu harganya ham
“Ya pokoknya minuman sehatlah. Masa itu aja harus diajarin, sih? Istri macam apa kamu?” Sabrina menghardik Tias. Sesungguhnya Tias mulai tidak nyaman. Namun mau bagaimana lagi? Dia adalah istri dari mertuanya. Seeprtinya harus sabar.“Mah tinggal bilang apa susahnya, sih?” Mahardika sudah malas mendengar ocehan istrinya, sebab dia sangat Lelah.“Ih, si Papah ikut campur aja.” Sabrina mencibik. Sungguh rasanya Tias ingin pergi jauh dari depan wanita itu yang mulutnya super nyebelin.“Aku bikinin es selasih ya, Ma?” Tias bermaksud pergi dari hadapan sang mertua.“Tunggu! Kamu mau bikin aku gendut? Es selasih?” protes Sabrina. Tias mengembuskan napas halus agar tidak ketahuan oleh mertuanya itu, bahwa dirinya lelah mengikuti cara wanita itu, mau wanita itu.“Ya, udah selasih hangat saja kalau b
“Ya jelas bunga-bunga lah. Hewan, emang aku anak-anak? Kalau ngomong dipikir dulu, jangan pakai dengkul.” Tias memejamkan matanya untuk menetralkan perasaanya.“Baik-baik, Bi Minah ….” Wanita paruh baya yang sudah bekerja dengan keluarga Ilham sejak dia bayi itu tergopoh-gopoh. “Minta tolong ya, ganti sprei kamar Mama.” Sabrina terlihat tidak suka.“Apa? Gitu aja kamu mau minta tolong? Sok manja kamu.” Tias tidak keberatan untuk menggantinya. Walau sejujurnya dia sangat takut kalau ketahuan sang suami, karena lelaki itu pasti akan mengamuk dan meyalahkan Bi MInah.“Baik, Mah aku akan menggantinya.” Akhirnya dia sendiri yang mengganti sprei itu.“Nya, biar Bibi. Nanti Ndoro Tuan bisa marah sama saya. Ndak bisa, Nyonya nggak boleh ….” Bi Minah ingin melakukan untuk menggati
Melihat pertengkaran mereka berdua Sabrina tersenyum puas. Dia memandang licik kea rah mereka bertengkar. Dalam hatinya menyuruh mereka terus saja bertengkar.Ilham mengetuk pintu kamarnya karena dikunci oleh sang istri .“Sayang, kok jadi marahnya sama aku, sih?” Ilham Mengetuk pintu kamar. Namun tidak bergeming.“Sayang, jangan gitu dong.” Tias melempar sesuatu ke arah pintu. Hal itu membuat Ilham kaget.“Jangan ganggu aku,ih. Minta maaf dulu dengan Bi Minah baru aku akan bukakan pintu.” Ilham menarik napasnya sangat dalam.“Baiklah! Baik aku minta maaf sama Bi Minah. Jangan ngambek ya Ilham pergi menemui Minah untuk minta maaf.“Bi … Bi ….” Bi Minah yang dipanggil tergopoh-gopoh menyongsong sang majikan.“Iya, Tuan.” Wanita paruh bay