Nasi subur tidak mungkin akan kembali menjadi nasi saat sudah selumat bubur. Ingin deket aja sulit. Dia lelah mengejar Tias, dengan berbagai cara. Tetap saja Tias bisa lolos. Mau dengan cara halus ataupun dengan cara kasar tetap saja dia pergi dan tidak mungkin kembali lagi.
Ilham pulang dari luar kota mendapati istrinya yang termenung di balkon. Dia memeluk tubuh sang istri dari belakang.
“Ayo ngelamunin apa? Aku bukan, ya? Yang dilamunin apa ada cowok lain?” Tias melirik ke belakang. Melihat lirikan sinis dari istrinya, Ilham tertawa.
“Tuh, segitunya … sadis. Tidakkah Kau kangen dengan Aku?” Ilham mencumbui istrinya.
“Apakah masih harus bertanya?” Tias menyenderkan kepalanya ke dada bidang itu.
“Okelah yang kangen sama suaminya, satu kecupan untuk cintaku.” Maka Ilham memberikan hisapan pada leher belakang istrinya, sehingga istrin
Pagi hari Ilham mendapati istrinya muntah-muntah di kamar mandi. Bahkan subuh bekum menjelang tapi dia sudah mutah. Wajahnya terlihat sangat pucat.“Sayang kamu salah makan?” Ilham mengurut punggungnya.“Nggak tahu tiba-tiba kembung dan muntah.” Ilham menuntun sang istri agar keluar dari kamar mandi.“Udah sini aku gosok perutnya.” Dengan sabar lelaki itu menggosok perut sang istri dengan minyak angin. Tias merasa lebih baik. Dia merebahkan diri di kasur. Tiba-tiba kepalanya juga pening.“Kita ke dokter nanti,” titah Ilham.“Nggak mau aku mau istirahat di rumah saja.” Ilham menggenggam tangannya. Dia memberikan kekutan oada sang istri, bahwa dia selalu ada untuknya.“Jangan ngeyel, kebiasaan ngeyel.” Ilham membelai kepala sang istri.
“Ada apa, Bos pagi-pagi udah berisik.”“Jadwalkan ulang aktivitas aku hari ini. Istriku sakit, aku nanti terlambat ke kantor,” tegas Ilham.“Beres, Bos.” Ilham bangkit dan mengangkat bekas piring tempat sarapan istrinya tadi dan menuju ke dapur.Ilham tidak perduli walaupun istrinya itu mengomel dan tidak mau dibawa ke dokter. Dia sangat khawatir sebab Tias pernah keguguran. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan senantiasa menjaga istrinya dalam keadaan apa pun. Kehilangan bayinya membuat dia over protektif sekarang. Sakit sedikit saja pasti akan langsung heboh seperti pagi ini.“Sayang ayo kita ke dokter.” Ilham masih terus membujuk setengah memaksa pada sang istri.“Aku hanya perlu istirahat, Mas. Nggak usah berlebihan, deh.” Tias meringsut pura-pura mengambek.&ldquo
Ilham dan Tias sudah ada di kamar periksa sekarang. Dokter terlihat memeriksa dengans eksama keadaan Tias. Dokter perempuan itu menyarankan untuk cek ke dokter kandungan, karena kemungkinan Tias hamil. Dari ciri-cirinya, wamita itu memang berbadan dua.“Coba kalian ke dokter obigyn. Saya kok curiga, sakitnya karena hamil.” Tias menutup mulutnya.“Terima aksih, Dok. Saya akan mendaftarkan istri saya periksa di dokter obigyn. Ayo, Sayang.” Ilham menuntun istrinya untuk mendaftar ke dokter obigyn. Lelaki itu kali ini akan memakai koneksinya, sebab sudah melihat istrinya yang kelelahan. Dia tidak mau melihat istrinya penuh dengan rasa Lelah seperti itu.Saat sudah keluar, dia langsung di panggil. Tias sebenarnya sangat sungkan dan merasa tidak enak hati pada pasien yang berderet di sana. Tapi kemudian diabaikan saja, karena suaminya sudah menuntunnya ke dalam.“Mas, seharusn
Pagi ini terulang lagi Tyas muntah-muntah tidak karuan.“Sayang, kamu muntah-muntah gini terus. Ke rumah sakit, ya? Kamu kehilangan banyak cairan, Sayang.” Ilham terlihat sangat khawatir. Lelaki itu sangat khawatir bukan hanya karena mencintainya saja, namun karena ada anak dalam perutnya. Bahkan juga karena perempuan itu pernah keguguran. Menjadi bertumpuk-tumpuk rasa khawatirnya.“Aku tidak apa-apa, Mas. Palingan juga mendingan kalau tidur sebentar. Pasti nanti juga sudah sembuh.” Tias memegang perutnya karena terasa nyeri. Sedangkan Ilham menuntunnya kembali ke kamar.“Enggak apa-apa bagaimana? Pagi ini sudah dua kali, Yank kamu muntah.” Ilham membantu istrinya berbaring dan menyelimutinya.“Nggak usah khawatir, Mas. Kamu konsen saja, bukankah ada proyek baru?” Tias telah menelusup ke bawah selimut.“Nggak
“Kamu jangan menyalahkan Aditya. Kamu yang salah. Istrimu hamil tapi kamu nggak kasih tahu.” Ilham memutar bola matanya.“Papa menikah juga diam-diam. Apa sih mau papa?” Ilham sudah sangat muak bicara dengan sang papa.“Kamu sudah nggak mau anggap papa lagi?” Mahardika terdengar sangat marah.“Habisnya papa itu ribet. Jadinya aku nggak mau melibatkan Papa. Ini nggak boleh, itu nggak boleh.” Mahardika di seberang kesal dengan anaknya itu. Selalu saja tidak bisa dibilangi.“Itu demi kebaikan kamu,” sanggah sang papa.“Bukan demi kebaikan aku, tapi demi kebaikan Citra papa. Dengar ya, Pa. Aku sudah bahagia, jadi nggak perlu papa mengusik aku lagi.” Mahardika tidak tersinggung dengan ucapan putranya karena sudah tahu tabiatnya.“Aku hanya
“Iya besok papa ke rumah bareng sama mama kamu, dadah.” Panggilan diakhiri. Tias memberikan ponsel tersebut kea rah suaminya. Ilham duduk di tepi ranjang. Ada perasaan gamang untuk meninggalkan istrinya.Mahardika tepat janji sesuai dengan yang diucapkan. Esok harinya dia datang bersama istri barunya. Dia memandang seluruh sudut ruangan dan mengangguk-anggukkan kepalanya merasa puas dengan tata letak ruangan itu.Tetapi tidak dengan istri barunya. Istri barunya yang bernama sesungguhnya Solehatun, yang sudah di ubah menjadi Sabrina merasa tidak suka bahkan dia mencibir.“Aduh ini ruang tamu itu bagaimana penataannya? Kelihatan kusam banget.” Wanita itu mengusap permukaan sofa itu. ”Pekerjaanmu itu ngapain aja, sih? Kenapa bisa ruang tamu jelek begini? Suamimu itu CEO dan uangnya banyak. Masa beli sofa yang elegan saja nggak bisa.” Tias mengerutkan keningnya. Sofa itu harganya ham
“Ya pokoknya minuman sehatlah. Masa itu aja harus diajarin, sih? Istri macam apa kamu?” Sabrina menghardik Tias. Sesungguhnya Tias mulai tidak nyaman. Namun mau bagaimana lagi? Dia adalah istri dari mertuanya. Seeprtinya harus sabar.“Mah tinggal bilang apa susahnya, sih?” Mahardika sudah malas mendengar ocehan istrinya, sebab dia sangat Lelah.“Ih, si Papah ikut campur aja.” Sabrina mencibik. Sungguh rasanya Tias ingin pergi jauh dari depan wanita itu yang mulutnya super nyebelin.“Aku bikinin es selasih ya, Ma?” Tias bermaksud pergi dari hadapan sang mertua.“Tunggu! Kamu mau bikin aku gendut? Es selasih?” protes Sabrina. Tias mengembuskan napas halus agar tidak ketahuan oleh mertuanya itu, bahwa dirinya lelah mengikuti cara wanita itu, mau wanita itu.“Ya, udah selasih hangat saja kalau b
“Ya jelas bunga-bunga lah. Hewan, emang aku anak-anak? Kalau ngomong dipikir dulu, jangan pakai dengkul.” Tias memejamkan matanya untuk menetralkan perasaanya.“Baik-baik, Bi Minah ….” Wanita paruh baya yang sudah bekerja dengan keluarga Ilham sejak dia bayi itu tergopoh-gopoh. “Minta tolong ya, ganti sprei kamar Mama.” Sabrina terlihat tidak suka.“Apa? Gitu aja kamu mau minta tolong? Sok manja kamu.” Tias tidak keberatan untuk menggantinya. Walau sejujurnya dia sangat takut kalau ketahuan sang suami, karena lelaki itu pasti akan mengamuk dan meyalahkan Bi MInah.“Baik, Mah aku akan menggantinya.” Akhirnya dia sendiri yang mengganti sprei itu.“Nya, biar Bibi. Nanti Ndoro Tuan bisa marah sama saya. Ndak bisa, Nyonya nggak boleh ….” Bi Minah ingin melakukan untuk menggati
“Sepertinya, sudah waktunya.”“Oh, Galih maaf, aku harus membawanya.” Ilham menggendong sang istri untuk keluar dari pesta itu dia sangat panik. Sedangkan orang-orang juga memandang ke arah kepergian mereka. Ada bisik-bisik doa dari mereka, semoga baik-baik saja.***Meyyis_GN***Ilham langsung memasukkan tubuh sang istri ke dalam mobilnya. Keringatnya bercucuran, karena merasa tegang. “Huff … aduhhh ….”“Tahan, Sayang. Kamu kesakitan begitu. Ya Allah, semoga ….”“Mas, konsen nyetir … hufff ….” Tias menarik napas dan mengembuskan dengan berlahan lewat muluah.“Ahh … sabar, Sayang. Papa sedang berusaha, kita ke rumah sakit, ya?” Tias mengelus perutnya dan menahan rasa sakit yang teramat hebat. Dia menggigit bibir bawahnya. Ahirnya, lelaki itu
“Kamu tidak perlu mengajariku, kamu tahu … Mas Galih tidak akan pernah menyukai gaya itu lagi. Aku akan selalu membuatnya puas, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain selain diriku. Apalagi, memikirkan masa lalu yang menjijikkan.” Mira sepertinya bukan lawan yang sangat tanggung bagi Milea. Dia tersenyum dan mulai berbalik turun. Kepala Milea sudah panas dan berasap. Ingin dia meledak sekarang, tapi tunggu nanti, hingga seluruh orang fokus pada makanannya, itu akan lebih mudah.Milea turun. Dia mengambil gelas dan sendok dan menabuhnya. Mereka semua melihat ke arah Milea. “Mohon perhatiannya, permisi!” Galih sudah tidak tahan lagi, tapi Mira mencegahnya.“Jangan, Mas. Biarkan dia berbuat semaunya. Nanti dia sendiri yang akan malu.” Galih mengangguk.“Kalian tahu, kedua mempelai? Mereka adalah pembatu dan suamiku, ups aku lupa … tepatnya mantan.
“Sudahlah, aku siap mendengarmu kapan saja. Tapi tidak sekarang, pengantin priamu sudah menunggu.” Mira bangkit dibantu oleh Tias. Mereka keluar menuju pelaminan. Karpet merah yang membentang menambah suasana dramatis, bagai ratu sejagad. Tias membantu memegang gaunnya, dengan anggun Mira melewati sejegkal demi sejengkal karpet merah itu. Kelopak mawar ditabur dari kanan dan kiri. Di ujung sebelum mencapai puncak Galih sudah siap menyambut pengantinnya dengan stelan jas tuxedo.***Meyyis_GN***Jangan lupa musik pengiring yang membuat suasana semakin sakral. Seluruh pasang mata berpusat ke arah kedatangan pengantin. Bisik-bisik terdengar, sehingga membuat suasana hati Milea semakin panas.“Kalian nora, pengantin ya cantik, tapi tidak alami.” Yang ada di sebelah Milea tersenyum sinis.“Kau iri? Makanya jangan berulah.” Milea yang sedang marah rasanya ingin meledak da
“Tidak ada, hanya sedikit merasa menekan perut.” Ilham menggangguk.“Mau makan apa? Biar aku ambilkan, sebelum pengantin wanita keluar dan kita akan sibuk memandangnya.” Tias mencubit pinggang suaminya.***Meyyis_GN***“Sepertinya aku mau sate saja. Tapi tolong lepaskan dari tusuknya, ya? Kata mama tidak boleh orang hamil makan langsung dari tusuknya.” Ilham tersenyum. Dia meninggalkan sang istri duduk sendiri dan mengambilkan makanannya yang sudah dipesan istrinya. Lelaki itu dengan elegan menuju ke tempat prasmanan.“Oh, mantan istrinya Mas Galih diundang semua ternyata?” Milea mendekati Tias. Tias tersenyum.“Sebagai mantan istri, tentu masih berkewajiban menjaga tali silaturahmi ‘kan? Bagaimana pun, pernah tidur satu ranjang, jadi tidak ada salahnya kalau berbaik hati mengucapkan selamat pada wanita yang menggantikan menemaninya t
“Satu minggu terasa sangat lama. Sabar ya, Sayang. Kamu akan puas setelah ijab-kabul.” Galih menunjuk miliknya dan tersenyum setelah tatanan rambut selesai. Siang ini, dia akan bermanja-manja dengan Mira. Dia memiliki energi baru untuk memulai sebuah kehidupan. Senyumnya merekah membuai siang yang terasa terik, namun baginya berbalut dengan kesejukan. Dia sduah merindukan sentuhan wanita, menyata kulitnya yang begitu sensitif dengan rangsangan.Galih mempersiapkan pernikahan ini dengan sangat baik. Dia menyewa jasa wedding organizer terbaik untuk mempersiapkan pernikahan ini. Di gedung hotel ternama, sudah disusun acara dengan sangat baik. Galih mengenakan stelan jan warna hitam, karena memang konsepnya internasional. Dia mengenakan tuxedo itu dan memandang penampilannya sendiri di depan cermin. “Ini untuk yang ke tiga kalinya aku mengucapkan ijab kabul. Semoga ini yang terakhir.” Galih berdoa salam hati. Dia membetulkan dasi kupu-k
“Aku ingin lihat! Pertontonkan saja!” Galih mengatakannya tanpa menoleh, dia melenggang pergi. Milea terasa meledak. Dia mengumpat sejadi-jadinya dan membuang benda apa saja ke arah kepergian Galih. Galih merasa lega setelah ancaman kepada Milea tersebut terlaksana. Dia menjadi geli sendiri, pernah tergila-gila pada wanita sejenis itu. Galih menyetir mobilnya dengan cepat menuju ke rumah, harus memastikan kekasihnya baik-baik saja.Galih langsung berlari menuju ke dalam rumah. Dia melihat kekasihnya sedang menggendong putranya, membuat dirinya lega. “Ada apa? Ada yang tertinggal?” Galih menggeleng. Dia memeluk sang istri dari belakang.“Aku mengkhawatirkanmu.” Mira mengerutkan keningya.“Mengkhawatirkanku? Kenapa?” Karena Gibran sudah tenang, maka dia menurunkan anak itu ke lantai yang dilapisi karpet tebal.“Milea tadi datang ‘kan?” M
Mira luruh ke kursi. Dia menyadari, bahwa serangan dari Milea itu normal. Namun dia berpikir lagi, apakah yang dikatakan oleh Milea itu benar? Bahwa dirinya merebut Galih dari tangan Milea? Mira mengingat kembali, kapan mulai saling jatuh cinta dan menyesap indahnya ciuman nikmat.Milea pergi dari rumah Galih dengan tersenyum smirk. Dia yakin pasti Mira merasa tertekan. Dia mengenal Mira selama beberapa tahun, wanita itu berhati baik. Dia pasti akan merasa bersalah dengan tekanan yang diberikan oleh Mira.Sementara itu, Galih menyaksikan aksi manatan istrinya lewat CCTV yang memang sengaja dia pasang. Galih pernah menjadi manusia paling brengsek di muka bumi ini, jadi dia sangat hafal dengan trik brengsek yang dimainkan oleh Milea. Dia menarik napas untuk menenangkan syarafnya. Galih menyuruh ajudannya untuk menyiapkan mobil pribadinya. Dia akan mencari MIlea untuk memberinya pelajaran yang akan wanita itu sesali seumur hidupnya.
“Aku mencintaimu, apa pun yang kau inginkan akan aku lakukan. Apalagi hanya menemani tidur,” bisik Ilham. Lelaki itu tidak berapa lama kemudian terlelap ke alam mimpi menyusul sang istri. Terkadang memang bumil akan sedikit manja.***Meyyis_GN***Milea tidak terima dengan penolakan dari Galih. Dia mencari tahu penyebabnya, bahkan menyelidiki. Dia menemukan Mira sebagai pengasuh dari putranya yang dicintai Galih. Dia menunggu Galih pergi kerja. Pagi itu, terlihat Galih sedang berpamitan dengan Mira. Lelaki itu mencium kening Mira. Semakin terbakar hati Milea.“Kamu lihat nanti! Kalian terlalu enak menikmati masa pacaran, hingga lupa dengan aku yang sakit hati.” Milea menggenggam tanggannya dengan erat, hingga kukunya menancap ke telapak tangannya.“Sayang, jangan lupa kunci rumah. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kecuali aku meneleponmu dan memperbolehkan dia masuk.
“Kan bisa mengingatkan baik-baik, kenapa harus teriak, sih?” protes Tias.“Aku nggak teriak, Sayang. Maaf, ih jangan nangis, dong!” Tias sudah hampir nangis karena ucapan Ilham yang agak bernada tinggi. Dasar bumil!Ilham meraih tubuh sang istri yang hampir bergoyang karena menangis. “Ah, seperti inikah orang hamil? Kenapa selalu saja sensitif,” batin Ilham.“Aku akan menggendongmu,” ucap Ilham. Lelaki itu memang sangat memanjakan sang istri. Walau Tias begitu sedikit ceroboh dan jorok, namun lelaki itu tidak masalah untuk membereskn kekacauan yang dibuat oleh istrinya. Terkadang, memang kekurangan pasangan kita yang menjadi dasar pemicu pertengkaran. Tapi tidak dengan Ilham. Dia menjadikan kekurang sang istri sebagai semangat. Terkadang, sepulang kerja dia harus rela membereskan beberapa kekacauan istrinya.Sebenarnya, kadang Tias sudah h