Sore ini, Ervan menemani Gea menyiram tanaman di halaman depan. Kondisi tubuhnya juga sudah lebih baik. Ervan sengaja menemani agar mengetahui siapa yang mencibir istrinya waktu itu. Ervan tampak berdiri di tengah-tengah taman—supaya lebih dekat dengan pagar.Ervan tersenyum memandangi wajah Gea yang semakin membulat karena kehamilannya."Nggak usah dilihatin kayak gitu, Mas," tegur Gea."Ya kan nggak pa-pa. Namanya istri sendiri.""Aku risih," celetuk Gea.Ervan tertawa ringan lalu mengambil alih selang air dari tangan Gea. "Sini, biar aku aja yang siram tanamannya. Kamu lihatin ketampanan aku aja.""Hadeh. Nggak usah kepedean, Mas.""Loh, aku kan bicara fakta," ujar Ervan sambil menyirami tanaman setelah berhasil merebut selang air dari tangan istrinya. "Suami kamu ini memang tampan, kan? Akui aja lah."Gea hanya mencebik kesal sambil mengalihkan pandangan ke arah tanaman lain. Sedangkan Ervan terkekeh geli melihat respon istrinya.Tak lama kemudian, muncullah gerombolan ibu-ibu yan
"Van, kamu yakin mau berangkat ke Solo?" tanya Bagus ketika dirinya ikut mengantar Ervan ke Bandara.Ervan mengangguk cepat setelah melihat jam tangannya. Waktu keberangkatan masih sekitar 60 menit lagi. Ia akan berangkat pada pukul 08.00 dan sekarang masih pukul 07.00 pagi."Yakin, Pa. Ervan cuma mau nemuin Ibunya Jelita, sekalian ziarah."Tapi sebenarnya, itu bukan kesalahan kamu loh, Van. Kamu nggak perlu sampai minta maaf gitu," celetuk Bagus.Ervan pun tersenyum mendengar tanggapan sang ayah. Memang benar, ia tidak bersalah dalam hal ini. Tapi, Jelita bunuh diri karena perasaannya ditolak oleh Ervan. Otomatis Ervan juga merasa bersalah. Tidak mungkin Ervan bisa hidup tenang jika dirinya belum meminta maaf langsung pada Ibunya Jelita."Papa bener. Cuma kan dia bunuh diri juga gara-gara aku tolak, Pa. Apapun alasannya, aku harus minta maaf sama Ibunya."Bagus justru mendengus kesal. "Ya masalahnya, kamu ninggalin istri yang lagi hamil, Van. Lagian suruh siapa dia bunuh diri? Padaha
"Siapa kalian?"Ervan dan Herman kompak menoleh ke belakang. Ervan menatap seorang wanita paruh baya yang kelihatan lusuh sambil membawa plastik kresek berisi bunga. Tampaknya wanita itu juga ingin ziarah ke makam Jelita.Ervan menatap Herman yang berdiri dan langsung menghampiri wanita itu. Ervan pun terpaksa ikut berdiri, namun tidak mendekati wanita yang sedang berbincang dengan Herman."Ayo, Bu. Saya kenalkan Ibu sama Pak Ervan," ajak Herman."Oh, kamu yang datang ke rumah saya waktu itu, kan?""Iya, Bu."Wanita paruh baya itu berjalan sambil tetap memandangi Ervan dari atas sampai bawah. Senyumnya terkembang hingga membuat Ervan sedikit kikuk. "Jadi, ini cowok yang disukai Jelita semasa sekolah ya?""I-Iya, Bu," jawab Ervan gugup. Ia baru menyadari bahwa wanita itu adalah orang tua Jelita. "Maaf karena saya baru muncul sekarang, Bu.""Nggak pa-pa, Nak. Nanti kita bica
"Assalamualaikum," ucap Ervan saat tiba di rumah pukul 09.00 pagi."Waalaikumsalam."Gea yang baru saja keluar dari kamar langsung turun ke bawah untuk menemui suaminya. Ia mencium tangan sang suami. "Aku kira Mas pulangnya besok.""Ya nggak dong. Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian saat hamil gini," ujar Ervan.Gea mengulum senyum manis. 'Kalau aku nggak hamil, pasti ditinggal lama sama kamu, Mas,' batinnya."Oh iya, Mas puasa?" tanya Gea."Alhamdulillah puasa," jawab Ervan sambil berjalan ke arah sofa dan duduk di sana, diikuti Gea. "Oh iya, rencananya aku mau ketemu sama Wahyu di penjara. Kamu mau ikut?""Kalau nggak ngerepotin, aku mau ikut, Mas. Sekalian jenguk Mbak Intan."Ervan tersenyum sambil membelai kepala Gea dengan lembut. Sementara tangan lainnya membelai perut Gea yang membesar. "Yaudah, kamu siap-siap ya. Kita berangkat setengah jam lagi.""Iya, Mas. Tapi, sebelum siap-siap, aku mau tanya masalah Mas sama keluarga Mbak Jelita. Udah selesai belum?" tanya Gea."Al
Pukul 11.30 siang, Ervan dan Gea tiba di kantor kepolisian, ditemani Herman. Mereka bertiga ingin menemui Wahyu yang sudah ditahan beberapa hari lalu. Sambil menunggu Wahyu datang, mereka bertiga tampak berbincang sebentar dengan Raffi.Raffi memberi beberapa informasi terkait interogasi yang ia lakukan pada Wahyu. Wahyu memang mengakui semuanya dan selalu menyalahkan Ervan atas kejadian yang menimpa Jelita."Dia masih terus menyalahkan Pak Ervan, walaupun saya udah jelaskan yang sebenarnya. Tapi, dia tetap nggak percaya," ujar Raffi."Nggak pa-pa, Pak. Saya bisa maklum," kata Ervan yang berusaha untuk tetap tenang.Dan tak lama, muncullah Wahyu bersama salah seorang sipir yang bertugas. Tatapan mata Wahyu yang tertuju pada sosok Ervan di depannya. Sorot matanya menyiratkan bahwa dirinya masih menaruh dendam pada Ervan atas kematian Jelita.Brak! Dengan tangan diborgol, Wahyu menggebrak meja yang menjadi penghalang antara dirinya dan Ervan. Bahkan Wahyu masih tetap berdiri dan enggan
"Ge, kamu yakin mau ketemu Intan?" tanya Ervan ketika mereka kembali lagi ke ruang tunggu untuk bertemu tahanan.Gea mengangguk mantap. "Iya, Mas. Kasihan kalau nggak ditemui. Barangkali dia butuh support dari aku, Mas."Ervan menghela napas kasar. Heran melihat istrinya yang masih bersikap baik pada Intan. Padahal Intan selalu saja bersikap buruk pada istrinya itu."Gea, jangan terlalu baik sama dia. Ntar dia ngelunjak," nasehat Ervan. Ia tidak mau Gea terbuai dengan rayuan maut Intan.Gea tersenyum dan berkata, "Nggak pa-pa, Mas. Dia juga nggak mungkin ngelunjak kok. Kan dia lagi di penjara. Aku cuma mau support dia aja. Pasti dia lagi terpuruk banget. Apalagi pasca keguguran.""Kamu kok bisa baik banget sih?""Mas, aku kan juga lagi hamil. Aku tahu gimana perasaan Mbak Intan. Walaupun sifatnya kayak gitu, aku yakin hatinya lagi sedih sekarang," ujar Gea. "Jadi wajar aku berbuat baik sama Mbak Intan, Mas."Ervan menghela napas pasrah. Ya, hanya bisa pasrah saja dengan pemikiran posi
Ervan dan Gea baru saja tiba di salah satu showroom mobil. Tadi, saat masih di perjalanan, Bagus menghubungi Ervan dan memintanya untuk mengambil mobil yang sudah dibeli cash. Bagus sengaja tidak mengatakan apapun pada Ervan. Anggap ini surprise. Begitulah ucapan Bagus saat menghubungi Ervan. Bagus merasa kasihan karena Ervan dan Gea pergi menggunakan taksi online terus-menerus. Dan terkadang menumpang dengan Herman, seperti saat ini."Man, kamu balik ke rumah aja duluan. Aku udah bisa pulang sendiri kok," ucap Ervan pada Herman."Loh, beneran nggak pa-pa saya tinggal, Pak?"Ervan mengangguk. "Iya, Man. Nggak usah khawatir gitu.""Ehm, yaudah kalau gitu saya permisi dulu ya, Pak, Bu. Hubungi saya kalau terjadi sesuatu ya, Pak," ucap Herman berpamitan."Iya, Man. Makasih ya udah anterin kita," kata Ervan.Herman tersenyum. "Sama-sama, Pak. Saya pamit. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ervan dan Gea kompak.Setelah Herman pergi, Ervan langsung menggandeng tangan Gea dan melangka
Dua hari kemudian, Ervan mendapat sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Ervan mengernyit sambil memperhatikan nomor yang tertera di layar. Saat jari Ervan berniat menerima panggilan tersebut, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu dari arah luar.Ervan menatap ke arah pintu dan berkata, "Masuk."Pintu terbuka dan menampilkan wajah Herman di sana. Pria itu bergegas menutup pintu lalu menghampiri Ervan yang masih duduk di tempatnya."Maaf, Pak. Ada telpon dari Pak Raffi. Katanya mau ngomong sama Bapak," ujar Herman sambil menyodorkan ponselnya pada Ervan.Ervan menerimanya dengan senang hati dan mulai mengobrol dengan Raffi. Sedangkan Herman masih setia menunggu di depan Ervan."Ya, Pak Raffi. Ada apa?" tanya Ervan. "Ini saya Ervan.""Oh, iya. Maaf ganggu waktunya, Pak. Saya cuma mau bilang kalau Fahri mau bicara sebentar sama Bapak. Dia mau minta maaf sekalian," jawab Raffi di seberang sana.Ervan menaikkan satu alisnya. "Fahri?""Iya, Pak. Sebentar, sa