Keesokan paginya, Ervan sudah bangun dan kini sedang duduk di sofa ruang tamu. Keadaannya sudah jauh lebih baik dari semalam. Ia tahu, Gea yang merawatnya. Sedangkan Bagus dan Nurma hanya datang sebentar—untuk memastikan kondisi Ervan. Bagus juga melarang Ervan untuk masuk ke kantor hari ini. Padahal ada banyak tugas yang harus diselesaikan."Dimakan dulu buburnya, Mas."Suara lembut Gea langsung membuyarkan lamunan Ervan. Wanita itu meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas air mineral.Ervan menatap bubur tersebut. Sejujurnya, ia masih belum selera makan. Tapi, sorot mata Gea mengisyaratkan dirinya agar tetap makan karena harus minum obat setelah ini."Iya, aku makan," ucap Ervan pasrah. "Tapi, mau disuapin sama kamu.""Mas, jangan manja deh."Ervan cemberut—manja. "Masa suami minta suapin, responnya kayak gitu sih."Dalam hati, Gea tertawa—gemas dengan tingkah manja Ervan. Apalagi bibirnya masih mengerucut seperti bebek."Hhh! Iya, maaf."Gea langsung mengambil mangkuk berisi bub
Sore ini, Ervan menemani Gea menyiram tanaman di halaman depan. Kondisi tubuhnya juga sudah lebih baik. Ervan sengaja menemani agar mengetahui siapa yang mencibir istrinya waktu itu. Ervan tampak berdiri di tengah-tengah taman—supaya lebih dekat dengan pagar.Ervan tersenyum memandangi wajah Gea yang semakin membulat karena kehamilannya."Nggak usah dilihatin kayak gitu, Mas," tegur Gea."Ya kan nggak pa-pa. Namanya istri sendiri.""Aku risih," celetuk Gea.Ervan tertawa ringan lalu mengambil alih selang air dari tangan Gea. "Sini, biar aku aja yang siram tanamannya. Kamu lihatin ketampanan aku aja.""Hadeh. Nggak usah kepedean, Mas.""Loh, aku kan bicara fakta," ujar Ervan sambil menyirami tanaman setelah berhasil merebut selang air dari tangan istrinya. "Suami kamu ini memang tampan, kan? Akui aja lah."Gea hanya mencebik kesal sambil mengalihkan pandangan ke arah tanaman lain. Sedangkan Ervan terkekeh geli melihat respon istrinya.Tak lama kemudian, muncullah gerombolan ibu-ibu yan
"Van, kamu yakin mau berangkat ke Solo?" tanya Bagus ketika dirinya ikut mengantar Ervan ke Bandara.Ervan mengangguk cepat setelah melihat jam tangannya. Waktu keberangkatan masih sekitar 60 menit lagi. Ia akan berangkat pada pukul 08.00 dan sekarang masih pukul 07.00 pagi."Yakin, Pa. Ervan cuma mau nemuin Ibunya Jelita, sekalian ziarah."Tapi sebenarnya, itu bukan kesalahan kamu loh, Van. Kamu nggak perlu sampai minta maaf gitu," celetuk Bagus.Ervan pun tersenyum mendengar tanggapan sang ayah. Memang benar, ia tidak bersalah dalam hal ini. Tapi, Jelita bunuh diri karena perasaannya ditolak oleh Ervan. Otomatis Ervan juga merasa bersalah. Tidak mungkin Ervan bisa hidup tenang jika dirinya belum meminta maaf langsung pada Ibunya Jelita."Papa bener. Cuma kan dia bunuh diri juga gara-gara aku tolak, Pa. Apapun alasannya, aku harus minta maaf sama Ibunya."Bagus justru mendengus kesal. "Ya masalahnya, kamu ninggalin istri yang lagi hamil, Van. Lagian suruh siapa dia bunuh diri? Padaha
"Siapa kalian?"Ervan dan Herman kompak menoleh ke belakang. Ervan menatap seorang wanita paruh baya yang kelihatan lusuh sambil membawa plastik kresek berisi bunga. Tampaknya wanita itu juga ingin ziarah ke makam Jelita.Ervan menatap Herman yang berdiri dan langsung menghampiri wanita itu. Ervan pun terpaksa ikut berdiri, namun tidak mendekati wanita yang sedang berbincang dengan Herman."Ayo, Bu. Saya kenalkan Ibu sama Pak Ervan," ajak Herman."Oh, kamu yang datang ke rumah saya waktu itu, kan?""Iya, Bu."Wanita paruh baya itu berjalan sambil tetap memandangi Ervan dari atas sampai bawah. Senyumnya terkembang hingga membuat Ervan sedikit kikuk. "Jadi, ini cowok yang disukai Jelita semasa sekolah ya?""I-Iya, Bu," jawab Ervan gugup. Ia baru menyadari bahwa wanita itu adalah orang tua Jelita. "Maaf karena saya baru muncul sekarang, Bu.""Nggak pa-pa, Nak. Nanti kita bica
"Assalamualaikum," ucap Ervan saat tiba di rumah pukul 09.00 pagi."Waalaikumsalam."Gea yang baru saja keluar dari kamar langsung turun ke bawah untuk menemui suaminya. Ia mencium tangan sang suami. "Aku kira Mas pulangnya besok.""Ya nggak dong. Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian saat hamil gini," ujar Ervan.Gea mengulum senyum manis. 'Kalau aku nggak hamil, pasti ditinggal lama sama kamu, Mas,' batinnya."Oh iya, Mas puasa?" tanya Gea."Alhamdulillah puasa," jawab Ervan sambil berjalan ke arah sofa dan duduk di sana, diikuti Gea. "Oh iya, rencananya aku mau ketemu sama Wahyu di penjara. Kamu mau ikut?""Kalau nggak ngerepotin, aku mau ikut, Mas. Sekalian jenguk Mbak Intan."Ervan tersenyum sambil membelai kepala Gea dengan lembut. Sementara tangan lainnya membelai perut Gea yang membesar. "Yaudah, kamu siap-siap ya. Kita berangkat setengah jam lagi.""Iya, Mas. Tapi, sebelum siap-siap, aku mau tanya masalah Mas sama keluarga Mbak Jelita. Udah selesai belum?" tanya Gea."Al
Pukul 11.30 siang, Ervan dan Gea tiba di kantor kepolisian, ditemani Herman. Mereka bertiga ingin menemui Wahyu yang sudah ditahan beberapa hari lalu. Sambil menunggu Wahyu datang, mereka bertiga tampak berbincang sebentar dengan Raffi.Raffi memberi beberapa informasi terkait interogasi yang ia lakukan pada Wahyu. Wahyu memang mengakui semuanya dan selalu menyalahkan Ervan atas kejadian yang menimpa Jelita."Dia masih terus menyalahkan Pak Ervan, walaupun saya udah jelaskan yang sebenarnya. Tapi, dia tetap nggak percaya," ujar Raffi."Nggak pa-pa, Pak. Saya bisa maklum," kata Ervan yang berusaha untuk tetap tenang.Dan tak lama, muncullah Wahyu bersama salah seorang sipir yang bertugas. Tatapan mata Wahyu yang tertuju pada sosok Ervan di depannya. Sorot matanya menyiratkan bahwa dirinya masih menaruh dendam pada Ervan atas kematian Jelita.Brak! Dengan tangan diborgol, Wahyu menggebrak meja yang menjadi penghalang antara dirinya dan Ervan. Bahkan Wahyu masih tetap berdiri dan enggan
"Ge, kamu yakin mau ketemu Intan?" tanya Ervan ketika mereka kembali lagi ke ruang tunggu untuk bertemu tahanan.Gea mengangguk mantap. "Iya, Mas. Kasihan kalau nggak ditemui. Barangkali dia butuh support dari aku, Mas."Ervan menghela napas kasar. Heran melihat istrinya yang masih bersikap baik pada Intan. Padahal Intan selalu saja bersikap buruk pada istrinya itu."Gea, jangan terlalu baik sama dia. Ntar dia ngelunjak," nasehat Ervan. Ia tidak mau Gea terbuai dengan rayuan maut Intan.Gea tersenyum dan berkata, "Nggak pa-pa, Mas. Dia juga nggak mungkin ngelunjak kok. Kan dia lagi di penjara. Aku cuma mau support dia aja. Pasti dia lagi terpuruk banget. Apalagi pasca keguguran.""Kamu kok bisa baik banget sih?""Mas, aku kan juga lagi hamil. Aku tahu gimana perasaan Mbak Intan. Walaupun sifatnya kayak gitu, aku yakin hatinya lagi sedih sekarang," ujar Gea. "Jadi wajar aku berbuat baik sama Mbak Intan, Mas."Ervan menghela napas pasrah. Ya, hanya bisa pasrah saja dengan pemikiran posi
Ervan dan Gea baru saja tiba di salah satu showroom mobil. Tadi, saat masih di perjalanan, Bagus menghubungi Ervan dan memintanya untuk mengambil mobil yang sudah dibeli cash. Bagus sengaja tidak mengatakan apapun pada Ervan. Anggap ini surprise. Begitulah ucapan Bagus saat menghubungi Ervan. Bagus merasa kasihan karena Ervan dan Gea pergi menggunakan taksi online terus-menerus. Dan terkadang menumpang dengan Herman, seperti saat ini."Man, kamu balik ke rumah aja duluan. Aku udah bisa pulang sendiri kok," ucap Ervan pada Herman."Loh, beneran nggak pa-pa saya tinggal, Pak?"Ervan mengangguk. "Iya, Man. Nggak usah khawatir gitu.""Ehm, yaudah kalau gitu saya permisi dulu ya, Pak, Bu. Hubungi saya kalau terjadi sesuatu ya, Pak," ucap Herman berpamitan."Iya, Man. Makasih ya udah anterin kita," kata Ervan.Herman tersenyum. "Sama-sama, Pak. Saya pamit. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ervan dan Gea kompak.Setelah Herman pergi, Ervan langsung menggandeng tangan Gea dan melangka
Delapan tahun kemudian....“Papa!”Iqbal berseru riang saat melihat sang ayah sudah menunggunya di parkiran mobil. Saat ini, Iqbal sudah bersekolah di Sekolah Dasar yang cukup terkenal dan bonafit di Semarang. Iqbal baru saja selesai ulangan matematika dan mendapatkan nilai terbaik. Ia tidak sabar ingin menunjukkan hasil ulangannya pada sang ayah.Iqbal berlari-lari kecil menghampiri ayahnya. Setelah hampir sampai, Iqbal tersandung batu dan hampir terjatuh. Untunglah sang ayah dengan sigap menangkap tubuhnya.“Astaga, Iqbal. Kamu tuh jangan suka lari-lari. Hampir aja jatuh kamunya. Kalau sampai ada yang luka, Papa yang dimarahi Mama,” ucap Ervan.Iqbal justru tertawa lalu meminta maaf pada Ervan. “Iya maaf ya, Pa. Soalnya aku semangat banget mau nunjukin hasil ulangan matematika aku ke Papa.”“Kamu ada ulangan matematika hari ini?” tanya Ervan.“Iya, Pa. Ini hasilnya.”Iqbal menyodorkan selembar kertas ulangan pada Ervan. Ervan pun dengan senang hati menerimanya dan memeriksa hasil ul
Dua tahun kemudian, Ervan tampak disibukkan dengan toko sembakonya yang semakin hari semakin ramai pembeli. Padahal ia sudah memiliki tiga orang pekerja, namun dirinya masih harus membantu jika sudah ramai pesanan. Belum lagi ada pesanan yang berasal dari beberapa toko kelontong yang harus diantar. Ervan benar-benar kewalahan, namun tetap bersyukur karena kios sembakonya selalu ramai pembeli.Hingga malam pun tiba, Ervan bergegas masuk ke kamar untuk tidur setelah menghitung keuntungan hari ini. Saat masuk ke kamar, ia melihat istrinya masih belum tidur. Sedangkan Iqbal sudah tidur di kamar satunya.“Sayang, kok belum tidur?” tanya Ervan sambil memeluk istrinya yang berdiri memandangi langit malam dari jendela kamar.“Aku belum bisa tidur, Mas. Tadi udah minum susu hangat, tapi belum ngantuk juga,” jawab Gea. “Oh iya, gimana keuntungan hari ini, Mas?”“Alhamdulillah makin meningkat, Sayang. Aku kayaknya butuh dua karyawan lagi deh, Yang. Soalnya setiap hari pembeli makin ramai. Kadang
Seminggu setelah kepergian Intan, Ervan dan Gea memutuskan untuk mengikhlaskan semuanya. Mulai dari permasalahan awal dengan Intan dan Irma, sampai merembet ke masalah Wahyu yang dendam karena kematian Jelita. Bahkan sampai menyeret beberapa orang, termasuk Restu. Mereka sudah mulai berdamai dengan masa lalu dan akan memulai kehidupan baru bersama-sama.Dan pagi ini, mereka berniat melihat kondisi terkini Irma dan juga Dira. Mereka berada di RSJ yang sama. Namun, mereka hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Kondisi Irma dan Dira sangat buruk dan sulit untuk dikendalikan, terutama Irma yang terkadang berteriak bahwa dirinya adalah orang paling kaya di muka Bumi ini. Obsesinya menjadi orang kaya memang masih sangat melekat di pikirannya, sehingga membuatnya depresi ketika keinginan itu tak tercapai.Setelah selesai melihat kondisi Irma dan Dira, mereka memutuskan untuk berkunjung ke makam Wahyu dan Intan. Hanya sebentar karena mereka sekeluarga berencana untuk liburan ke tempat rekreas
Fahri berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuannya dengan Ervan malam ini. Pagi tadi, ia ditugaskan Ervan untuk mengunjungi para pelaku yang sudah mengganggu kehidupan Ervan. Hanya sekadar mengetahui keadaan mereka masing-masing. Kalau Restu, Ervan sendiri sudah mempekerjakannya lagi mulai besok, dan itu atas permintaan Gea. Ervan juga sudah bisa memaafkan kesalahan Restu, mengingat kondisi Restu saat itu sedang terdesak.Ervan yang melihat keberadaan Fahri langsung melambaikan tangan. Posisi duduknya memang sedikit ke belakang area kafe karena lebih sepi dari bagian depan. Untung saja Fahri bisa menyadari lambaian tangannya dan bergegas menghampirinya.Fahri duduk di hadapan Ervan. Wajahnya tampak murung setelah mengunjungi Intan, Irma dan Dira. Ervan bisa merasakan aura tidak enak dari tatapan mata Fahri.“Ada apa, Ri?” tanya Ervan.Sebelum berbicara, Fahri menghela napas terlebih dulu. Helaan napasnya terdengar sangat berat sekali. Kemudian, Fahri berkata, “Van, gue puny
Gea melambaikan tangan ketika mobil Bagus sudah melaju meninggalkan rumahnya. Senyum bahagia Gea tak luntur sedetikpun. Hatinya sangat-sangat lega sekarang. Bagus kembali bersikap seperti biasanya dan justru menerima putranya sebagai cucu.Hingga tak lama kemudian, suara Ervan terdengar jelas di telinganya. Gea menoleh dan ternyata Ervan sudah berdiri di sampingnya.“Loh, ini kado dari siapa, Yang?” tanya Ervan sambil mengernyit heran.“Dari Papa, Mas.”Ervan melongo mendengar jawaban Gea. “Hah? Papa?”“Iya, Mas.”“Papa kesini?” tanya Ervan lagi.Gea mendengus dan hanya mengangguk. Sementara Ervan mencoba menepuk pipinya. Ia merasa sedang bermimpi. Namun hal itu justru membuatnya terlihat lucu di mata sang istri, sampai membuat istrinya tertawa.Ervan lantas menatap istrinya dengan alis yang tertaut samar. “Kok kamu ketawa, Yang?”“Ya soalnya kamu lucu,” jawab Gea apa adanya.“Lucu kenapa?”“Itu tadi, tepuk-tepuk pipi.” Gea menekan pipi Ervan yang tampak sedikit berisi. “Kamu itu lagi
“Ma, makasih banyak udah kasih pencerahan Gea. Berkat Mama, dia sekarang jauh lebih tenang dan nggak jadi pergi,” ucap Ervan lega.“Iya, Van. Mama ngelakuin ini demi kebahagiaan kalian. Jangan sampai kalian berpisah hanya karena ocehan dari tetangga. Memang pernikahan kalian terjadi atas dasar kesalahan. Tapi, bukan berarti mereka berhak menilai kalian seenaknya.”Saat ini, Ervan dan Lastri sedang duduk di ruang tamu. Sedangkan Gea dan Iqbal sudah tidur di kamar. Mereka masih mengobrol sambil menikmati segelas teh yang dibuat oleh Lastri.Ervan benar-benar lega sekali ketika hati Gea luluh oleh nasehat Lastri. Ia tidak menyangka, ucapan Lastri sangat berpengaruh pada keputusan Gea. Hingga akhirnya, Gea membatalkan keputusannya untuk pergi meninggalkan Ervan.“Ehm, atau kami pindah aja ya, Ma. Ke Semarang lagi. Soalnya tetangga di lingkungan sana baik-baik banget, terutama sama Gea. Beda sama tetangga di sini,” ujar Ervan.Lastri tersenyum dan berkata, “Van, mau kalian keliling dunia p
Semenjak Gea berkata seperti itu kemarin, Ervan terus memikirkan hal tersebut sepanjang hari. Bahkan ia tak fokus lagi membantu Nurma untuk menyiapkan acara syukuran. Fokusnya hanya tertuju pada Gea dan juga anaknya, Iqbal Zubayr Pratama. Bahkan Ervan sampai menghampiri para tetangga yang kemarin sudah menghujat istri dan anaknya. Abdi yang memberitahukan siapa saja tetangga itu.Ervan tidak segan membentak para tetangganya karena sudah berani mengusik ketenangan keluarganya. Karena ucapan mereka, Gea yang masih sangat sensitif pasca melahirkan pun memutuskan hal yang menyakitkan bagi Ervan.“Jadi orang itu jangan suka usik urusan orang lain! Kalian itu nggak tahu apa-apa tentang keluarga kami! Saya udah pernah kasih peringatan sama kalian. Siapapun yang menghina istri saya, kalian akan berurusan sama polisi! Tapi kalian nggak ada kapoknya! Gara-gara kalian, istri saya jadi stres!”Dan karena dilabrak langsung oleh Ervan, para ibu-ibu itu pun tampak ketakutan. Ditambah lagi suami-suam
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Gea diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Rencananya, besok Ervan dan Gea akan mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadiran buah hati mereka.Ervan sendiri tampak semangat sekali mempersiapkan segala sesuatunya, dibantu oleh Fahri, Herman, Nurma dan Lastri. Sementara Gea hanya duduk di ayunan taman sambil menggendong bayinya yang sedang terlelap. Dipandanginya wajah sang anak yang telah ia kandung selama 9 bulan itu.Gea tersenyum bahagia. Bayi yang tadinya tak ia harapkan ternyata berhasil ia pertahankan sampai lahir ke dunia. “Wajah kamu mirip banget sama Papa, Nak,” ucapnya pelan.Saat sedang sibuk mengamati wajah anaknya, tiba-tiba dari arah gerbang rumah, para tetangga julid itu muncul lagi. Mereka melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan yang ditujukan pada Gea.“Tuhkan ibu-ibu, bener dugaan kita. Pasti itu anak di luar nikah.”“Iya, Bu. Ya ampun, nggak nyangka ya. Mukanya polos, tapi kelakuannya memalukan.”“Percum
Menjelang kelahiran, Gea tiba-tiba mengalami serangan panik. Ia khawatir jika dirinya akan meninggal dunia setelah melahirkan. Itu semua karena Gea baru saja menonton sebuah video tentang seorang wanita yang meninggal dunia setelah melahirkan, di salah satu media sosialnya. Gea mulai memikirkan hal-hal buruk itu, sehingga membuatnya tidak nafsu makan.Ervan yang melihat perubahan sikap istrinya seketika bertanya, “Sayang, kamu kenapa?”“Nggak papa, Mas.”“Kalau nggak papa, kenapa nggak mau makan? Mukanya juga murung terus. Ada apa? Nggak mau cerita sama suami sendiri?” tanya Ervan dengan suara lembut.Gea menghela napas berat, dan menatap Ervan. Ia pun berkata, “Mas, aku takut.”Mendengar pernyataan Gea, dahi Ervan mengernyit heran. “Takut? Takut kenapa, Sayang? Masih takut soal Papa? Kan belakangan ini Papa udah nggak ganggu kita.”Memang benar yang dikatakan Ervan. Semenjak peristiwa pertengkaran dengan Lastri, Bagus sudah tidak pernah lagi mengganggu kehidupan Ervan dan Gea. Bahkan