Karena terus didesak oleh Putra dengan segala pertanyaan aneh yang tidak pernah berhenti sejak tadi, akhirnya Sean memutuskan untuk kembali lebih awal ke rumah.
“Yes! let’s go boss!” ujar Putra.Bisa dilihat betapa Putra begitu kegirangan ketika dia berhasil membuat Sean mendengarkan perkataannya. Mereka berdua berkendara dengan Putra yang mengemudi, dan Sean yang sedang melakukan sesuatu dengan tabletnya.Sean memang mengerjakan sesuatu menggunakan tablet berukuran sedang yang sering dia bawa jika berada di luar kantor. Bahkan saat berkendara sekalipun, Sean akan tetap memeriksa banyak hal.“Ini laporan buat besok..” ucap Sean yang mulai membahas pekerjaan dengan Putra.Sore itu jalanan memang tampak macet, dan mobil yang dikendarai Sean dan Putra melaju dengan perlahan. Sebenarnya itu tidak begitu mengejutkan mengingat sekarang adalah jam pulang kantor.Ketika Putra mengemudikan mobil iSesampainya di rumah, Valerie langsung memakirkan mobil kantor miliknya. Tetapi sebelum itu dia berbicara dengan sopir sebentar.“Ini mobilnya masih bisa diparkir di sini, pak?” tanya Valerie setelah turun dari mobilnya. Dia sengaja bertanya lebih dulu sehingga tidak akan menimbulkan masalah nantinya.“Masih ada, nyonya,” jawab sopir itu.Valerie mengangguk pelan seraya menatap ke sekelilingnya, “Semua ini mobilnya Sean yah pak?” tanya Valerie lagi.Untuk seseorang yang hanya akan menggunakan satu mobil terasa begitu berlebihan ketika menyadari Sean memiliki koleksi mobil sebanyak itu. Valerie tahu jika itu semua bisa dijadikan investasi, itu jika Sean memang mengoleksi semua itu dengan tujuan tertentu dan bukan hanya sekedar hobi.“Ini semua memang punya Tuan, nyonya. Tuan memang suka mengoleksi mobil,” balas Pak Sopir.Pria paruh baya itu tampak jujur ketika dia mencer
Sesampainya di kamar, Sean langsung melemparkan tabletnya di atas sofa begitu saja. Dia melepaskan jas kantornya dan mencopot dasinya dengan gerakan cepat.“Huh!”Pria itu merasa seolah oksigen di sekitarnya menjadi menipis sehingga dia kesusahan untuk bernapas. Ruangan yang begitu besar disertai penyejuk ruangan itu juga tidak membantu sama sekali sekarang.Akhirnya Sean berjalan menuju kaca besar yang ada di kamarnya, dan segera menuju balkon. Mungkin saja suasana di luar ruangan akan menjadi lebih baik. Sean berdiri di dekat pembatas balkon sembari menatap sekeliling.Sepanjang malam itu, Sean terus saja memikirkan tentang Valerie dan tidak bisa melakukan pekerjaan apapun dengan tenang. Fokusnya menjadi kacau dan benar dugaannya, kalau dia tidak bisa mengendalikan dirinya kali ini.. . .Keesokan harinya, Sean sudah bergegas lebih dulu untuk keluar. Dia tidak bisa tidur sepanjang malam sehingga bergegas
Siang itu, Valerie dan asisten pribadinya sedang berada di sebuah restoran untuk bertemu dengan klien. Restoran itu juga cukup besar serta memiliki ruangan khusus untuk mengadakan pertemuan atau membahas hal yang privasi seperti bisnis.“Ini kliennya sepertinya masih di jalan, mba,” ucap Nana-Asisten pribadi Valerie.Valerie juga sudah bisa menebak hal itu, “It’s okay, kita tunggu sebentar,” balas Valerie.Setelah mereka berdua menunggu selama beberapa saat, akhirnya klien yang ditunggu datang juga, “Selamat siang!” sapa Pak Fian, klien mereka.“Selamat siang, pak,” balas Valerie.Mereka saling berjabat tangan dan Pak Fian tidak lupa meminta maaf atas keterlambatannya hari ini. Beliau juga menyampaikan beberapa hal singkat sebelum mulai membahas urusan bisnis, “Saya hari ini tidak ditemani asisten, jadi mohon pengertiannya,” ucap Pak Fian.Barulah setel
Karena Nana yang tidak kunjung datang, Valerie akhirnya menjadi penasaran. Dia tidak berpikir bahwa Nana sedang melakukan pembahasan bisnis melalui ponselnya.“Apa yang sedang dilakukan Nana?” ujar Valerie.Setelah menunggu selama beberapa saat dan dia sudah semakin merasa penasaran, Valerie akhirnya memutuskan untuk menelpon asistennya itu, “Kenapa tidak diangkat?” ucap Valerie.Ketika Valerie menatap sekeliling dan mencoba mencari keberadaan Nana, saat itu tatapannya tanpa sengaja menemukan sesuatu.“Ahh, dia membuatku kaget saja,” batin Valerie.Saat itu, dia menyadari bahwa tidak jauh dari tempat duduknya, di sana terdapat Sean dengan tatapan tajam yang menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Valerie juga bisa melihat keberadaan Putra yang kini mencoba melambaikan tangan ke arahnya.Akhirnya Valerie beranjak dari duduknya, dan di saat yang sama Nana menjawab panggilan teleponnya.
Malam itu, Valerie kembali dari kantor tepat waktu dan menyempatkan untuk membeli beberapa barang di supermarket terdekat. Dia berencana untuk memasak makan malam dan sudah menanyai Bi Tina terlebih dulu. “Santan sudah, jeruk..” Valerie memperhatikan bahan makanan yang telah dia ambil seraya mencari bahan lain yang dia perlukan. Sebenarnya dia bisa saja membiarkan para asisten rumah Sean untuk menyiapkan makan malam, itulah yang selalu mereka lakukan. Hanya saja dia merasa harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga meskipun ada yang membantunya. Alasan lainnya karena dia sudah terbiasa mengerjakan semuanya seorang diri. Dia jadi tidak bisa jika hanya berdiam diri di rumah. “Baiklah, sekarang bagian seafood,” ujar Valerie. Setelah menyelesaikan belanjaan miliknya, Valerie segera bergegas kembali ke rumah. Dia juga akan memerlukan waktu untuk menyiapkan makan malam. Ketika Valerie dalam perjalanan kembali itupun, dia mulai memikirkan sesuatu. Dia tidak tahu apakah Sean akan beranjak
Sean sudah menunggu di kamarnya sejak tadi, dan dia bahkan belum mengganti pakaiannya. Dia hanya melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemeja yang dia kenakan hingga siku. Pria itu hanya ingin melihat apakah Valerie datang menemui dirinya atau tidak. “Bagaimana jika dia tidak datang?” ujar Sean. Pria itu berjalan ke sana kemari seraya berkacak pinggang. Dia mulai berfikir andai saja dia mengatakan dengan jelas tadi bahwa dia ingin Valerie menemui dirinya. Anggap saja Sean menyesali perkataannya yang tidak bisa bersikap jujur barusan. “Tidak, dia pasti akan senang jika tahu aku memanggilnya,” kata Sean. Sepertinya pria itu sedang frustasi sekarang. Dia ingin melihat wajah Valerie tetapi tidak ingin mengatakan bahwa dia mencarinya. Bukankah seorang istri seharusnya mendatangi suaminya ketika dia pulang kerja tanpa harus diminta? Itulah yang sedang Sean pikirkan. Masalahnya, dia menyadari bahwa semua itu hanya bisa dilakukan oleh pasangan suami istri yang saling mencintai. Dia da
Keesokan harinya, Valerie kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Dia hanya perlu berangkat ke kantor sehingga tidak akan berdiam diri di rumah pada waktu kerja. Dia memeriksa tas tangannya dan memastikan tidak ada barang yang dia lupakan. “Dompet sudah, ponsel juga sudah, apa lagi yang kurang?” ujar Valerie. Baru saja dia selesai mengatakan itu, kini sebuah kartu secara tiba-tiba terulur di depannya. Tampaknya itu adalah kartu kredit. “Itu bukan punyaku,” ucap Valerie. Hanya itu yang Valerie katakan, sehingga dia langsung berjalan kembali tanpa menunggu lebih lama. Tetapi baru dua langkah dia berjalan, Sean sudah kembali menghentikannya. “Ini untukmu,” kata Sean. Pria itu kembali mengulurkan kartu yang kini Valerie sadari tidak hanya satu, tapi tiga. Valerie tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Sean seolah berkata bahwa dia harus segera berangkat ke kantor, jadi dia tidak ingin dihadang lebih lama lagi. “Ambilah, ini bukan seperti saya menyuapmu,” kata Sean lagi. Se
Ternyata masalah Sean tidak hanya berakhir di kantor. Sepulangnya pria itu dari kantor, dia langsung mencari keberadaan Valerie. Tetapi harapannya untuk bertemu dengan Istrinya itu kembali pupus, karena Sean sama sekali tidak mendapati mobil Valerie yang terparkir di halaman. “Di mana Istri saya?” tanya Sean. Entah sopir pribadinya yang salah mendengar, atau Sean memang menyebut nyonya rumah mereka sebagai istrinya hari ini. Tampaknya itu adalah kemajuan yang besar. “Maaf, Tuan. Nyonya masih belum kembali,” jawab sopirnya. Sean kembali menghela napas kasar untuk kesekian kalinya hari ini. Dia sama sekali tidak bisa mengendalikan moodnya. Karena Valerie masih belum berada di rumah, Sean jadi tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia akhirnya bergegas masuk dan langsung menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua. “Argghh, saya seharusnya minta maaf,” teriak Sean. Kamar dengan pendingin ruangan yang menyala itupun terasa begitu panas ketika Sean memasukinya. Padahal sebelumnya su