Sesampainya di kamar, Sean langsung melemparkan tabletnya di atas sofa begitu saja. Dia melepaskan jas kantornya dan mencopot dasinya dengan gerakan cepat.
“Huh!”Pria itu merasa seolah oksigen di sekitarnya menjadi menipis sehingga dia kesusahan untuk bernapas. Ruangan yang begitu besar disertai penyejuk ruangan itu juga tidak membantu sama sekali sekarang.Akhirnya Sean berjalan menuju kaca besar yang ada di kamarnya, dan segera menuju balkon. Mungkin saja suasana di luar ruangan akan menjadi lebih baik. Sean berdiri di dekat pembatas balkon sembari menatap sekeliling.Sepanjang malam itu, Sean terus saja memikirkan tentang Valerie dan tidak bisa melakukan pekerjaan apapun dengan tenang. Fokusnya menjadi kacau dan benar dugaannya, kalau dia tidak bisa mengendalikan dirinya kali ini.. . .Keesokan harinya, Sean sudah bergegas lebih dulu untuk keluar. Dia tidak bisa tidur sepanjang malam sehingga bergegasSiang itu, Valerie dan asisten pribadinya sedang berada di sebuah restoran untuk bertemu dengan klien. Restoran itu juga cukup besar serta memiliki ruangan khusus untuk mengadakan pertemuan atau membahas hal yang privasi seperti bisnis.“Ini kliennya sepertinya masih di jalan, mba,” ucap Nana-Asisten pribadi Valerie.Valerie juga sudah bisa menebak hal itu, “It’s okay, kita tunggu sebentar,” balas Valerie.Setelah mereka berdua menunggu selama beberapa saat, akhirnya klien yang ditunggu datang juga, “Selamat siang!” sapa Pak Fian, klien mereka.“Selamat siang, pak,” balas Valerie.Mereka saling berjabat tangan dan Pak Fian tidak lupa meminta maaf atas keterlambatannya hari ini. Beliau juga menyampaikan beberapa hal singkat sebelum mulai membahas urusan bisnis, “Saya hari ini tidak ditemani asisten, jadi mohon pengertiannya,” ucap Pak Fian.Barulah setel
Karena Nana yang tidak kunjung datang, Valerie akhirnya menjadi penasaran. Dia tidak berpikir bahwa Nana sedang melakukan pembahasan bisnis melalui ponselnya.“Apa yang sedang dilakukan Nana?” ujar Valerie.Setelah menunggu selama beberapa saat dan dia sudah semakin merasa penasaran, Valerie akhirnya memutuskan untuk menelpon asistennya itu, “Kenapa tidak diangkat?” ucap Valerie.Ketika Valerie menatap sekeliling dan mencoba mencari keberadaan Nana, saat itu tatapannya tanpa sengaja menemukan sesuatu.“Ahh, dia membuatku kaget saja,” batin Valerie.Saat itu, dia menyadari bahwa tidak jauh dari tempat duduknya, di sana terdapat Sean dengan tatapan tajam yang menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Valerie juga bisa melihat keberadaan Putra yang kini mencoba melambaikan tangan ke arahnya.Akhirnya Valerie beranjak dari duduknya, dan di saat yang sama Nana menjawab panggilan teleponnya.
Malam itu, Valerie kembali dari kantor tepat waktu dan menyempatkan untuk membeli beberapa barang di supermarket terdekat. Dia berencana untuk memasak makan malam dan sudah menanyai Bi Tina terlebih dulu. “Santan sudah, jeruk..” Valerie memperhatikan bahan makanan yang telah dia ambil seraya mencari bahan lain yang dia perlukan. Sebenarnya dia bisa saja membiarkan para asisten rumah Sean untuk menyiapkan makan malam, itulah yang selalu mereka lakukan. Hanya saja dia merasa harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga meskipun ada yang membantunya. Alasan lainnya karena dia sudah terbiasa mengerjakan semuanya seorang diri. Dia jadi tidak bisa jika hanya berdiam diri di rumah. “Baiklah, sekarang bagian seafood,” ujar Valerie. Setelah menyelesaikan belanjaan miliknya, Valerie segera bergegas kembali ke rumah. Dia juga akan memerlukan waktu untuk menyiapkan makan malam. Ketika Valerie dalam perjalanan kembali itupun, dia mulai memikirkan sesuatu. Dia tidak tahu apakah Sean akan beranjak
Sean sudah menunggu di kamarnya sejak tadi, dan dia bahkan belum mengganti pakaiannya. Dia hanya melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemeja yang dia kenakan hingga siku. Pria itu hanya ingin melihat apakah Valerie datang menemui dirinya atau tidak. “Bagaimana jika dia tidak datang?” ujar Sean. Pria itu berjalan ke sana kemari seraya berkacak pinggang. Dia mulai berfikir andai saja dia mengatakan dengan jelas tadi bahwa dia ingin Valerie menemui dirinya. Anggap saja Sean menyesali perkataannya yang tidak bisa bersikap jujur barusan. “Tidak, dia pasti akan senang jika tahu aku memanggilnya,” kata Sean. Sepertinya pria itu sedang frustasi sekarang. Dia ingin melihat wajah Valerie tetapi tidak ingin mengatakan bahwa dia mencarinya. Bukankah seorang istri seharusnya mendatangi suaminya ketika dia pulang kerja tanpa harus diminta? Itulah yang sedang Sean pikirkan. Masalahnya, dia menyadari bahwa semua itu hanya bisa dilakukan oleh pasangan suami istri yang saling mencintai. Dia da
Keesokan harinya, Valerie kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Dia hanya perlu berangkat ke kantor sehingga tidak akan berdiam diri di rumah pada waktu kerja. Dia memeriksa tas tangannya dan memastikan tidak ada barang yang dia lupakan. “Dompet sudah, ponsel juga sudah, apa lagi yang kurang?” ujar Valerie. Baru saja dia selesai mengatakan itu, kini sebuah kartu secara tiba-tiba terulur di depannya. Tampaknya itu adalah kartu kredit. “Itu bukan punyaku,” ucap Valerie. Hanya itu yang Valerie katakan, sehingga dia langsung berjalan kembali tanpa menunggu lebih lama. Tetapi baru dua langkah dia berjalan, Sean sudah kembali menghentikannya. “Ini untukmu,” kata Sean. Pria itu kembali mengulurkan kartu yang kini Valerie sadari tidak hanya satu, tapi tiga. Valerie tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Sean seolah berkata bahwa dia harus segera berangkat ke kantor, jadi dia tidak ingin dihadang lebih lama lagi. “Ambilah, ini bukan seperti saya menyuapmu,” kata Sean lagi. Se
Ternyata masalah Sean tidak hanya berakhir di kantor. Sepulangnya pria itu dari kantor, dia langsung mencari keberadaan Valerie. Tetapi harapannya untuk bertemu dengan Istrinya itu kembali pupus, karena Sean sama sekali tidak mendapati mobil Valerie yang terparkir di halaman. “Di mana Istri saya?” tanya Sean. Entah sopir pribadinya yang salah mendengar, atau Sean memang menyebut nyonya rumah mereka sebagai istrinya hari ini. Tampaknya itu adalah kemajuan yang besar. “Maaf, Tuan. Nyonya masih belum kembali,” jawab sopirnya. Sean kembali menghela napas kasar untuk kesekian kalinya hari ini. Dia sama sekali tidak bisa mengendalikan moodnya. Karena Valerie masih belum berada di rumah, Sean jadi tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia akhirnya bergegas masuk dan langsung menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua. “Argghh, saya seharusnya minta maaf,” teriak Sean. Kamar dengan pendingin ruangan yang menyala itupun terasa begitu panas ketika Sean memasukinya. Padahal sebelumnya su
Dua hari berlalu tetapi hubungan Sean dan Valerie masih datar seperti hari kemarin. Mereka masih tidak saling berbincang satu sama lain. Bahkan dua hari terakhir ini, Sean sama sekali tidak mendapati Valerie ketika dia hendak berangkat ke kantor. Satu waktu Valerie akan berangkat lebih cepat, atau dia akan menyempatkan diri untuk sarapan. Jika sudah menyangkut sarapan, maka bisa ditebak bahwa Sean tidak akan dengan mudah ikut serta. Sebenarnya bukan Valerie yang tidak ingin menyapa. Wanita itu hanya berpikir bahwa Sean memang tidak ingin diganggu olehnya. Mereka juga seharusnya tidak mencampuri urusan satu sama lain. Jadi bersikap tidak peduli adalah keputusan yang tepat. Siang itu, Valerie sedang berada di sebuah restoran bersama dengan asisten pribadinya. Mereka juga tidak hanya berdua di sana, karena ada klien yang juga bersama mereka. Hari-hari Valerie akan sibuk dengan melakukan pertemuan seperti itu. “Bagaimana jika ditambahkan beberapa hal seperti..” ujar klien mereka yang
Sean duduk dengan tidak tenang dan terus saja menatap ke arah meja di seberang. Di sana, Valerie sedang bersama dengan asistennya dan seorang klien. Mereka tampaknya melakukan banyak perbincangan. Sejak tadi, Sean masih tidak tenang dan sama sekali tidak menyentuh minumannya. Padahal saat itu, Putra sudah selesai dengan makan siangnya. Melihat atasannya yang tidak bisa tenang sejak tadi, membuat Putra akhirnya bertanya sekali lagi. “Apa anda sudah ingin makan?” tanya Putra dengan bahasa yang formal. “Bukankah anda ingin udang saus pedas?” tanya Putra lagi ketika Sean sama sekali tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mendengar menu udang saus pedas, Sean menjadi semakin kesal. “Bisakah kamu berhenti dengan udang saus pedas?” ucap Sean. “Saya tidak ingin makan siang,” sambungnya lagi. Sudah Putra tebak jika ada sesuatu yang salah dengan menu itu. Tetapi dia masih tidak mengerti apa yang salah dengan menu seenak itu. Jika saja tadi Valerie melanjutkan kalimatnya
Sean perlahan menindih Valerie, tubuh mereka berdekatan begitu erat, hingga mereka bisa merasakan setiap detak jantung yang saling berirama. Tatapan Sean seolah mengatakan sesuatu yang mendalam, seolah-olah dia telah menunggu momen ini selama bertahun-tahun.“Tunggu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Valerie meski dia sudah tahu maksud keinginan Sean.“Aku akan melakukan hal yang seharusnya aku lakukan sejak lama,” balas Sean.Sean menatap Valerie dengan lekat. Dia semakin mendekatkan wajahnya, dan kedua tangannya bahkan menahan lengan Valerie di samping kepalanya."Babe... aku tidak bisa menahan diri lagi," ucap Sean dengan suara yang berat, penuh dengan keinginan yang selama ini ia pendam. "Tolong, jangan hentikan aku kali ini."Valerie tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum lembut dan membelai wajah Sean dengan jemarinya. Sentuhan itu membuat Sean semakin tergoda. Dia mendekatkan wajahnya ke Valerie, dan dalam sekejap, bibir merek
Setelah pulang kerja, Valerie segera menelpon Sean untuk berbicara tentang rencana kepergiannya besok. Suara Sean terdengar berat di ujung telepon, dan Valerie merasakan kerinduan pria itu yang semakin mendalam."Hey, babe. Kamu masih di London?" tanya Valerie sambil meregangkan tubuhnya setelah seharian bekerja."Iya, babe. Masih ada beberapa urusan di sini," balas Sean dengan nada yang terdengar lelah namun hangat. "Ada apa? Kamu sudah merindukanku?" lanjutnya dengan nada menggoda.Valerie tersipu, merasa pipinya sedikit memerah mendengar kata-kata Sean yang selalu berhasil membuatnya tersipu. "Iya, aku merindukanmu,” jawab Valerie yang selalu bisa membuat jantung Sean berdetak lebih cepat. “Tapi aku punya undangan pernikahan besok," kata Valerie lagi, mencoba terdengar lebih tenang.Sean tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Terdengar juga perubahan dalam nada suaranya. "Pernikahan? Kalau begitu, aku akan pulang sekarang juga," ucap Sean dengan tegas, tan
Ketika Valerie berada di kantor menjelang makan siang, dia mendapat panggilan dari Sean. Ponselnya bergetar di atas meja, dan seketika nama suaminya muncul di layar. Valerie mengangkat panggilan itu dengan senyuman kecil di wajahnya."Hey, babe," sapanya.Di seberang sana, Sean terdengar sedikit lesu. “Babe, aku kangen,” ucap Sean.Wajah Sean yang muncul di layar itu memang terlihat lesu. Dia menyugar rambutnya sembari mengerucutkan bibir.Valerie tertawa melihat itu. Dia menjepit rambutnya yang sejak tadi tergerai. Dia bahkan membuka kancing kemejanya hingga dua kancing, dan itu membuat Sean semakin panas sendiri.“Babe..” panggil Sean. “Aku tahu kamu sengaja memancingku,” lanjut Sean.Sean menatap dengan serius, dan berbicara lagi, “Aku akan kembali besok,” kata Sean.“Baiklah, babe,” balas Valerie.Sebenarnya ketika menelpon Valerie, dia memiliki ide lain. Jadilah dia kembali melan
Keesokan paginya, Sean bangun lebih awal dari biasanya, siap berangkat ke London seperti yang ia katakan semalam. Suasana pagi itu terasa hangat, meski keduanya tahu bahwa Sean akan pergi untuk beberapa hari. Valerie, seperti biasa, sudah bangun dan sibuk mempersiapkan keperluan Sean. Ia memilihkan pakaian, menata dasi, dan memastikan segala kebutuhan suaminya terpenuhi.Sean memandangi Valerie dari belakang. Ada perasaan hangat di dalam hatinya, meski ada sedikit kecemasan juga. Tanpa berpikir panjang, Sean mendekati Valerie yang tengah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya. Sean langsung memeluk pinggang Valerie dari belakang, menariknya ke dalam pelukannya dengan erat.Valerie yang sedikit terkejut, berhenti sejenak dan menatap Sean lewat pantulan di cermin. "Ada apa?" tanyanya, suaranya lembut tapi terdengar sedikit penasaran.“Sepertinya kamu masih marah kepadaku, babe,” ucap Sean dengan nada manja, sementara ia mengeratkan pelukannya. Valerie
Malam itu, Putra dan Clara akhirnya bertemu di taman yang sama, meski awalnya Clara hendak mencari Valerie. Ketika Clara tengah berjalan, Putra tiba-tiba menghentikan langkahnya dengan sebuah sapaan. “Hai!” sapa Putra dengan senyum di wajahnya.Clara yang mendengar sapaan itu terkejut. Dia langsung berusaha berbalik, namun Putra cepat menghentikannya. “Cla,” panggil Putra lagi dengan suara yang lebih lembut.Clara memutar tubuhnya kembali, terpaksa harus menatap Putra, lelaki yang sudah lama tidak dia temui. Putra tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya.“Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” tanya Putra dengan nada yang terdengar lebih akrab dari sebelumnya.Clara berusaha untuk tetap tenang, meski dalam hatinya jantungnya berdetak sangat cepat. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, namun dia berusaha menjaga ekspresinya tetap datar. "Yah, aku baik," jawab Clara dengan singkat.Putra menatap Clara
Sean mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Valerie, "Aku akan menjemputmu sore ini, babe."Di sisi lain Valerie yang saat itu sedang memeriksa laporan di komputernya, lantas menatap layar ponselnya yang menampilan pesan dari Sean. Begitu membacanya, Valerie hanya diam saja. Dia juga tidak langsung membalas. Sean menggenggam ponselnya dengan erat, menunggu jawaban istrinya. Tetapi hingga beberapa menit kemudian, masih tidak ada balasan dari Valerie. Akhirnya karena tidak tahan lagi, Sean lantas menelponnya. Panggilan itu berdering hingga beberapa detik. Pada panggilan pertama itu, Valerie memilih mengabaikannya. Hingga panggilan yang kedua, Valerie masih diam saja. “Entah apa yang dia rencanakan sekarang,” ujar Valerie.Ketika ponselnya kembali berdering pada panggilan yang ketiga, Valerie langsung menjawabnya.Menyadari bahwa pesannya sudah dijawab, Sean lantas berbicara dengan terburu-buru. “Babe.. Apa kamu sedang d
Ketika hari menjelang subuh, Sean terjaga dengan pikiran yang masih mengganjal tentang Valerie dan Clara. Dia menatap layar ponselnya, kemudian mengetik pesan yang ditujukkan kepada Putra.“Carikan informasi teman istriku bernama Clara. Sedetail mungkin,” tulisnya, lalu mengirim pesan itu tanpa ragu.Sean kembali berbaring di samping Valerie, meskipun masih tidak bisa menutup matanya setelah berjam-jam.Ketika matahari mulai terbit, Valerie menggeliat pelan dan merasakan sebuah tangan kekar memeluk pinggangnya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Sean yang sedang menutup matanya.Valerie berbalik untuk menatap pria itu sejenak, lantas menghembuskan napas pelan. Dia menyingkirkan lengan Sean, dan hendak beranjak.Hanya saja saat itu, Sean ternyata tidak benar-benar terlelap. Dia menarik Valerie lebih dekat dalam pelukannya, dan meletakkan dagunya di bahu Valerie.“Selamat pagi, babe,” ucap Sean.Valerie mengusap rambut Sean
Setelah membayar belanjaan, Valerie dan Clara mengantri untuk membayar di kasir. Antrian cukup panjang sore itu, membuat keduanya harus berdiri lebih lama dari yang diharapkan. Clara mencoba mengalihkan perhatian dengan membicarakan hal-hal ringan. "Val, kamu yakin Putra tidak akan muncul tiba-tiba lagi?" tanya Clara dengan sedikit khawatir, mengingat pertemuan singkat mereka sebelumnya yang sudah cukup membuatnya gugup.Valerie tersenyum menenangkan, menepuk punggung Clara dengan lembut. "Jika dia datang, bukankah itu lebih baik?” ucap Valerie.Dia sengaja tidak mengatakan bahwa dia sudah meminta Sean untuk datang bersama dengan Putra tadi. Semoga saja Sean benar mendengarkan permintaannya.Clara terdiam sejenak, dan tentu saja hatinya masih berdebar kencang. Sesaat setelah selesai membayar belanjaan, Valerie melihat Sean mendekat ke arah mereka, namun kali ini dia sendirian.“Babe..” panggil Sean sembari tersenyum dengan begitu tampan.Ha
Sore itu, jam menunjukkan hampir pukul empat, dan Valerie serta Clara memutuskan untuk pergi lebih awal dari kantor. Mereka berencana memeriksa penjualan produk mereka di sebuah supermarket, seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Valerie membereskan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal. Sesekali dia melirik ke arah Clara yang tampak terburu-buru, seolah ingin cepat keluar dari ruangannya."Kenapa tergesa-gesa? Tenang saja, supermarketnya tidak akan ke mana-mana," canda Valerie, menatap sahabatnya dengan senyum simpul.Clara tertawa kecil. "Aku cuma ingin cepat menyelesaikan ini dan pulang. Rasanya aku butuh istirahat." balas Clara.Karena sebelumnya Valerie sudah membawa tas dan barang-barangnya ke ruangan Clara, jadilah dia tidak perlu lagi kembali ke ruangannya. Mereka berdua lantas keluar dari kantor, dan melangkah menuju mobil Valerie. Hanya saja di sela perjalanan mereka, Valerie baru teringat akan sesuatu. Dia