Thasia menyalahkan dirinya sendiri. Dia sudah menahan diri begitu lama, kenapa tidak bisa menahan lebih lama lagi.Jika dirinya tidak begitu emosian tadi, Karen juga tidak akan mengetahuinya."Aku minta maaf."Thasia sebenarnya tidak ingin menimbulkan masalah bagi Jeremy, tapi kata-kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik kembali.Jeremy hanya menatapnya dengan lekat, pria itu memikirkan sesuatu, lalu berkata, "Kamu benar-benar ingin bercerai denganku?"Thasia berpikir, apakah dirinya benar-benar ingin bercerai dengan Jeremy?Sebenarnya Thasia ingin memulai hidup baru.Sekarang wanita itu merasa dirinya tidak ada harapan, dia tidak ingin tetap dalam keadaan seperti ini lagi.Ketika Thasia tidak menjawab, Jeremy bertanya lagi, "Apakah bersamaku terasa begitu berat untukmu?"Mendengar ini, Thasia tidak tahan lagi, matanya seketika berkaca-kaca, seolah-olah air matanya akan jatuh.Jika Jeremy marah dan menyalahkannya, mungkin Thasia tidak akan merasa seperti ini.Namun, pria itu malah
Melihat ini, Rina segera mengambil gelas itu dan berkata, "Pak Hendra, Kak Thasia nggak bisa minum. Biar aku yang menggantikannya minum."CEO Hendra terlihat tidak senang. "Nggak bisa."Rina tiba-tiba merasa sedikit tidak enak. Dia kurang berpengalaman dalam melayani klien, jadi dia bingung harus bersikap seperti apa. Saat ini Rina merasa sangat gugup dan malu, dia takut dirinya akan melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan kesalahan fatal."Thasia, kamu nggak mungkin menyuruh anak buahmu yang menggantikanmu minum, bukan?"Mereka berdua sama-sama wanita, sehingga CEO Hendra bersikap lebih berani, kata-katanya pun menjadi tidak sopan. "Kamu datang mewakili Pak Jeremy, Pak Jeremy biasanya selalu menemani kami minum, mana mungkin kamu nggak minum? Karena kamu yang berada di sini, kamu harus berbaur dengan kami baru seru.""Sini, aku akan menuangkannya untukmu, mari bersenang-senang malam ini."Yang lainnya juga ikut-ikutan. "Thasia, jangan bersikap sok jual mahal. Jika Pak Hendra menyur
Sentuhan itu tiba-tiba membuat Thasia merasa mual. Dia pun segera menepisnya. "Pak Hendra, mohon jaga sikap Anda!""Jaga sikapku? Kamu hanyalah simpanan Jeremy, entah sudah berapa kali kamu ditidurinya. Kali ini aku hanya menyuruhmu menemani kami minum, tapi kamu malah sok jual mahal!" CEO Hendra merasa sangat marah karena ditolak berkali-kali, karena sudah tidak sabar, pria itu pun segera memeluk Thasia. "Aku bisa memberikan semua yang diberikan Jeremy padamu, aku bisa memberimu sebuah vila sehingga kamu nggak perlu khawatir akan masa depanmu. Tapi kamu harus menjadi simpananku dulu, aku jamin menjadi wanitaku lebih enak daripada menjadi wanita Jeremy ....""Minggir!"Karena merasa tidak tahan, Thasia pun menamparnya dengan keras. "Jangan sentuh aku!"CEO Hendra yang dipukuli seketika matanya memerah, dia menatap Thasia dengan kesal. "Dasar jalang, beraninya kamu memukulku. Lihat saja, aku pasti akan membunuhmu!"Rina merasa sangat ketakutan.Thasia juga takut Rina akan terkena imbas.
Jeremy memeluk Thasia erat-erat, berharap bisa memasukkan tubuh wanita itu ke dalam tubuhnya, sehingga Thasia tidak akan terluka lagi.Dia meletakkan dagunya di atas kepala Thasia, menjawabnya dengan nada bersalah, "Aku ada di sini, Thasia, nggak apa-apa, sudah nggak apa-apa!"Thasia menguburkan dirinya di dada Jeremy, tubuhnya masih gemetar, dia berkata dengan histeris, "Kenapa kamu baru datang? Hampir, hampir saja ... Aku nggak akan bisa melihatmu lagi!"Jeremy memeluk Thasia yang terlihat pucat. Pria itu mengepalkan tangannya erat-erat, sorot matanya terlihat mengerikan, tapi dia dengan sabar mencoba menenangkan Thasia, sehingga wanita itu bisa merasa aman dan menghilangkan semua rasa takutnya. "Maaf aku terlambat, jangan takut, aku nggak akan pernah meninggalkanmu lagi!"Dia tadi mengkhawatirkan Thasia, jadi dia memutuskan untuk datang, tapi dirinya malah terlambat!Tangisan Thasia seketika pecah, semua kegelisahannya, ketakutannya dan keluhannya dia lampiaskan semua pada Jeremy.T
Ketika mereka berjalan keluar, di dalam ruangan terdengar suara jeritan kesakitan.Thasia bermimpi sangat panjang, dia bermimpi dikejar-kejar oleh setan.Dia ingin berlari, tapi tidak bisa. Ketakutan menyelimuti dirinya, mencekiknya sehingga dia merasa sesak, seakan-akan dirinya akan mati.Saat tidur pun Thasia terisak, air matanya terus mengalir.Jeremy melihatnya, dia pun menyeka air mata wanita itu dengan lembut.Thasia demam, suhu tubuhnya sangat tinggi.Rina yang berada di samping terus menangis. Dia tadi ingin memanggil bala bantuan, tapi malah bertemu Jeremy di depan pintu. Untungnya, pria itu tiba tepat waktu, jika tidak, mungkin nasib Thasia akan berakhir dengan tragis.Rina menangis dan berkata, "Pak Jeremy, ini semua salahku, aku nggak menjaga Kak Thasia dengan baik. Kak Thasia saat ini demam, sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit."Wajah Jeremy saat ini terlihat dingin dan sangat mengerikan. Dia hanya berkata, "Nggak perlu. Tony, bawa Rina pulang!"Setelah itu, Jeremy masu
Ketika Jeremy membuka pintu kamar mandi, dia melihat Thasia duduk di bak mandi. Wanita itu menggosok tubuhnya dengan kuat bahkan tanpa mengeluarkan suara, karena takut dirinya akan mendengar."Thasia, jangan!"Jeremy segera berjalan mendekat dan meraih tangan Thasia.Mata Thasia memerah, setelah tangannya ditangkap, dia segera menghindar dan berusaha melawan. "Jangan sentuh aku, tubuhku kotor ....""Kamu nggak kotor," bisik Jeremy. Pria itu memegangi tubuh Thasia dengan kedua tangan untuk menghalanginya melukai tubuh sendiri. "Kamu nggak kotor."Thasia mengingat kembali saat tubuhnya ditekan di atas meja, dia merasa tubuhnya menjijikkan dan kotor, bahkan saat disentuh oleh Jeremy sekalipun. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Jangan bohong. Aku tahu tubuhku kotor. Aku sendiri saja merasa diriku menjijikkan!"Thasia terus menggosok tubuhnya hingga memerah."Thasia."Walau Jeremy sudah berteriak, Thasia tetap tidak mau dengar.Wanita itu menggosok setiap bagian tubuhnya sambil terus ber
Thasia melingkarkan tangannya di leher Jeremy. "Aku ingin kamu menemaniku.""Aku nggak akan ke mana-mana." Jeremy membelai pipinya. "Saat tidur nanti jangan bergerak-gerak, jadi lukamu nggak kena, ngerti nggak?"Thasia memandangnya, lalu akhirnya dia mengerti bagaimana rasanya Lisa bersikap sok lemah di depan pria ini.Hanya anak-anak yang menangis baru bisa mendapat permen.Dia baru menunjukkan sedikit sisi lemahnya, Jeremy pun menjadi sangat lembut padanya."Oke." Thasia melepaskan genggamannya dengan enggan.Jeremy menutupi tubuh Thasia dengan selimut, dia duduk di samping ranjang. "Dingin nggak?"Thasia menggelengkan kepalanya. "Nggak.""Kamu sedikit demam." Jeremy berkata dengan khawatir, "Aku akan mengompresmu dengan handuk."Thasia memandangnya dan berkata dengan tulus, "Oke, kamu baik sekali."Jeremy tersenyum. Dia mencubit hidungnya, Thasia tidak mengelak, malah menatap pria itu dengan saksama.Dia ingin mengingat kebaikan pria ini di dalam hatinya.Jeremy berkata, "Dasar, jan
Rina berkata, "Nggak. Aku nggak sempat memanggil bala bantuan, saat aku keluar pas sekali aku bertemu Pak Jeremy yang sedang terburu-buru masuk. Kak Thasia, Pak Jeremy sepertinya sudah tahu akan terjadi masalah, aku lihat dia sangat mengkhawatirkanmu."Begitu membahas hal ini, Rina masih merasa penasaran dan berkata, "Kak Thasia, kamu nggak lihat kemarin, Pak Jeremy seram sekali saat dia tiba di tempat kejadian, dia seakan-akan berubah menjadi orang yang berbeda. Pak Jeremy memukul Pak Hendra dan yang lainnya dengan marah, lalu membawa Kak Thasia pergi, seakan-akan dia nggak membiarkan siapa pun menyentuh kamu."Kata-kata Rina membuat Thasia terdiam, dia pun mengambil gelas di sampingnya dan meminum air."Kak Thasia, memangnya Pak Jeremy begitu peduli pada bawahannya, ya? Seperti dulu aku nggak melihatnya seperti itu. Kalau aku yang terluka waktu itu, apakah dia juga akan begitu peduli?" Rina masih tidak mengerti, seolah-olah dia teringat sesuatu dan berbicara pada dirinya sendiri. "Me
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak