"Argh, sialan!" Adrian meremas rambutnya dengan kesal melihat Keyla sudah masuk ke dalam taksi. "Se-serius dia istrimu?" tanya Kevin yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Iya, dia istriku. Bukannya kamu datang ke pernikahanku, bagaimana bisa kamu lupa dengan wajahnya?" Kevin terpaksa menyunggingkan senyum padahal dalam hati dia begitu merutuki kebodohannya karena sudah menggoda Keyla. "Sebaiknya kita masuk saja," ajak Kevin. Namun sayangnya, tangannya di tepis begitu saja saat Adrian mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Terdengar sambungan telepon yang terhubung. "Di mana kamu. Kalau nggak balik ke kantor uang bulananmu aku potong!"Setelah mengatakan itu Adrian pun masuk ke dalam kantornya di ikuti Kevin di belakang. "Beri dia pekerja di bagian keuangan." "Ta-tapi di sana nggak membutuhkan karyawan." Adrian menghentikan langkahnya. "Aku ingin dia belajar keuangan bukan untuk bekerja sebagai karyawan di sini meski pun aku harus membayarnya dengan uangk
Mata Adrian terus mengamati pagar rumahnya. Sudah pukul sepuluh malam Keyla belum juga datang membuatnya semakin kesal."Di mana dia, jangan-jangan dia pergi ke klub malam bersama teman-temannya," gumam Adrian. Dia lalu mengambil kunci mobil berlari ke halaman. Namun, baru juga Adrian akan menyalakan mobil terlihat Keyla menutup pintu pagar dengan penampilan yang sangat kacau. Seketika Adrian bersembunyi, dia tak ingin Keyla tahu kalau dirinya mengkhawatirkannya. Setelah melihat Keyla masuk ke dalam rumah, Adrian pun keluar dari dalam mobil berjalan mengendap-ngendap. Matanya terfokus pada punggung Keyla yang menghilang di balik pintu kamarnya. Tok, tok, tok. Adrian menunggu Keyla mempersilahkan masuk. Namun, satu menit berlalu tak terdengar suara Keyla. "Argh, sial. Dia mengabaikan aku," gerutu Adrian lalu membuka pintu kamar Keyla tanpa permisi. Terlihat seonggok tubuh terbaring lemah di atas ranjang. "Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" tanya Adrian dengan nada ti
Keyla pun mengambil berkas yang ada di meja lalu menunjukkan berkas itu ke Marta. Dia hanya diam lalu memeriksa semua yang sudah di kerjakan oleh Keyla. Melihat dari wajahnya saja Keyla yakin jika Marta suka dengan pekerjaan, tapi sedetik kemudian dia menggebrak meja, melempar berkas tepat ke wajah Keyla. "Apa ini, ngerjain laporan keuangan saja nggak becus! Lihat semua, begini kalau kerja pakai orang dalam, mereka nggak punya otak dan keahlian pun bisa masuk di sini. Dasar nggak tau malu, harusnya kalau di bantu masuk kerja di perusahaan ini minimal pinter." Keyla mengepalkan tangannya, dia benar-benar kesal dan ingin sekali menghajar wanita yang ada di depannya. "Maaf." Hanya itu yang bisa di ucapkan oleh Keyla. Dia tertunduk lesu saat di maki di hadapan staf yang lain hingga akhirnya suara ketukan mengalihkan perhatian semua yang ada di sana. "Ada apa ini?" Hening seketika Keyla memalingkan wajah tak ingin Adrian melihat wajahnya. Namun, pria itu semakin mendekat ke arahnya.
Brak! Keyla melempar tasnya dia atas meja lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Dia sama sekali tak peduli dengan tatapan Adrian yang memandanginya dari lantai 2. "Apa kamu baik-baik saja." "Seperti yang kamu lihat, apa aku terlihat baik-baik saja menurutmu?!" Adrian lalu menurunkan bokongnya diatas sofa. "Aku akan menyuruh office boy memindahkan meja untukmu." "Nggak usah, kamu hanya perlu membayar karena aku sudah memesannya." "Ap-apa ... Kenapa kamu nggak bilang dulu sama aku?" "Nggak perlu bilang karena kamu sudah melihat sendiri seperti apa keadaanku di divisi itu." Seketika mata Keyla memicing, "Apa itu rencanamu?" "Hah!" Keyla mengangguk lalu menyamankan punggungnya di sofa sambil melipat kedua tangannya di dada. "Aku akan mengikuti permainanmu dan akan aku pastikan aku akan bertahan di divisi itu sampai aku lulus kuliah." Adrian menelan saliva-nya, sebenarnya dia masih bingung dengan apa yang Keyla bicarakan. "Ba-baiklah, kita lihat sampai kapan kamu akan bertahan d
Dentuman musik mengalun begitu indah mengiringi tubuh seorang wanita yang sedang menari— menyatu dengan irama musik. "Key, naik yuk!" "Aku belum selesai, kamu duluan saja." Keyla Nathania memejamkan matanya sembari melenggak-lenggokkan tubuhnya melepaskan semua beban pikiran yang mengganggu kinerja otaknya. Bagaimana bisa berteman sejak lama tapi baru menyadari perasaannya begitu dalam pada sosok pria yang akan segera menikah dengan wanita lain. Kesal, marah, sekaligus kecewa terus bergemuruh di hatinya. Meski saat ini Keyla sudah memiliki kekasih tapi hatinya hanya untuk satu orang pria yaitu Adrian Pratama Putra. Setelah lelah menari Keyla pun berjalan ke meja bartender dengan langkah yang sempoyongan. "Vodka satu," ucapnya lalu menurunkan bokongnya di atas kursi. "Cheers ...." Keyla menoleh ke sumber suara yang terdengar ramai mengalahkan suara Dj yang bersiap memainkan musik. Matanya memicing di tengah lampu temaram untuk melihat wajah orang-orang yang ada di sana. "B
Dering ponsel membangunkan Keyla yang sedang tertidur pulas. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya menyusuri nakas untuk mengambil ponselnya yang tak berhenti berdering. Setelah di dapat, dia lalu menggeser tombol hijau tanpa melihat si penelepon. [Kenapa lama sekali angkat teleponnya?] teriak seorang wanita paruh baya di seberang telepon yang tak lain ibunya. “Aku baru bangun, Mah,” jawab Keyla. [Ini sudah jam berapa Keyla! Kenapa belum pulang, kamu lupa kalau hari ini Adrian akan menikah? Mamah ingin kamu hadir ke acara pernikahannya.” Sejenak Keyla mengingat malam panas yang dia lewati bersama Adrian. Entah dia harus bahagia atau sedih karena orang yang dia suka akan menikahi wanita lain. "Aku nggak bisa datang Mah, ada kelas nanti sore."[Apa kamu pikir Mamah bodoh, ini hari Minggu nggak ada jadwal kuliah. Pokoknya kamu pulang sekarang juga!] Keyla menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia terus mendengarkan ocehan Ani bertubi-tubi. “Halo, Mah. Mah, aku nggak bisa denger
Adrian mengeluarkan ponselnya lalu memanggil staf untuk segera mendandani Keyla dengan cepat. Sementara menunggu Keyla siap, Adrian memberikan secarik kertas ke staf untuk di berikan ke pendeta dan sedikit mengulur waktu pernikahan mereka. Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk mempersiapkan semuanya. Keyla yang tak suka dengan makeup tebal, meminta make-up yang natural tapi terlihat flowles di wajahnya, dibalut dengan gaun pengantin berwarna putih yang begitu pas di tubuhnya. “Wah ... Anda terlihat cantik,” puji staf yang sedang melihat Keyla dari cermin yang ada didepannya. Keyla tersenyum, menatap pantulan tubuhnya. Keputusan singkat yang akan merubah seluruh hidupnya. “Bagaimana, sudah siap?” tanya Adrian menerobos masuk. Sesaat dia terpesona melihat wanita yang berdiri menatapnya. Dengan cepat dia berjalan mendekati Keyla—mengulurkan tangan berharap wanita yang berada di hadapannya itu menyambutnya dengan baik. Namun, Keyla hanya menatap tangan Adrian kemudian berjal
Semua tamu bersorak dan memberikan ucapan selamat kepada Keyla dan juga Adrian setelah keduanya mengucap janji pernikahan.“Kamu benar-benar membuatku dalam masalah, Adrian,” ucap Keyla menatap ke arah kedua orang tuanya dan juga kedua orang tua Adrian yang sedang berjalan ke arah mereka.“Apa yang sebenarnya terjadi, Adrian?” tanya Toni. Dia merasa tidak enak dengan Rudi dan juga Ani karena tidak memberikan pelayanan yang baik untuk besannya.“Keyla, kenapa kamu enggak bilang sama Mamah sih!” hardik Ani membuat Keyla seketika berdiri di belakang Adrian seolah meminta berlindung dari pria yang kini sudah menjadi suaminya.“Aku akan jelaskan nanti Tante. Sekarang masih banyak tamu undangan dan aku enggak mau menghancurkan acara pernikahan kita.”Mereka pun mengedarkan pandangannya melihat para tamu yang sedang menatap ke arah mereka, seolah sedang membicarakan mereka.“Ya udah, nanti kita bicarakan setelah acara selesai. Selamat ya, Nak. Akhirnya kamu menikah juga. Selamat juga untukmu