“Gila! Dia kayaknya marah sama gue. Tapi, kenapa?” “Senja marah sama lo?” tanya Samudra sambil menaikkan satu alis, ketika tadi dia tidak sengaja mendengar Mentari bergumam. Cowok itu menyandarkan punggungnya dan bersedekap. “Kenapa dia marah sama lo? Bukannya barusan lo bilang kalau dia hanya memberikan pekerjaan sama lo?” Mentari menarik napas panjang dan memijat pangkal hidungnya. Dia menaruh ponselya kembali ke tas dan memutuskan untuk menghadapi Senja nanti saja. Saat ini, mau Mentari menjelaskan apa pun kepada kekasihnya itu, pasti tidak akan masuk ke dalam otak Senja. Pasti Senja akan melempar tantrum seperti biasa, seperti yang biasa dilakukan oleh Angelica Abimana, anaknya yang lucu dan menggemaskan itu, jika sedang merajuk. “Jadi, tadi ada sedikit kesalahan dalam kerjaan gue,” dusta Mentari, membicarakan kesalahan beberapa rekan-rekannya untuk dijadikan alasan. “Dan kayaknya, setelah gue perbaiki, masih ada kesalahan juga. Ini pekerjaan ya
Hanya orang bodoh yang tidak menyadari bahwa Senja Abimana menguntit Mentari Chrysalis atau memasang alat pelacak pada cewek itu. Itulah yang ada di dalam pikiran Samudra. Karena, tidak mungkin cowok berusia tiga puluh lima tahun itu tiba-tiba muncul di sini dan berkata sedang di sekitar area. Jelas-jelas hal yang mustahil, mengingat area ini dekat dengan SMA-nya dan Mentari dulu. Memangnya, Senja Abimana berasal dari SMA yang sama dengan keduanya atau sekolah di sekitar sini? Dan, apa katanya tadi? Takdir? Jodoh? Ha! Kalau hanya berbicara seperti itu, Samudra juga bisa melakukannya. Dia bisa mengumumkan kepada semua orang bahwa dirinya adalah jodoh, belahan jiwa serta takdir cintanya Mentari. Toh, jika dia berkata demikian, tidak mungkin ada satu orang pun yang akan melarangnya. Benar, kan? “Omongan lo benar-benar sangat cheesy untuk ukuran seorang cowok semi tua yang menjabat sebagai seorang CEO,” sindir Samudra. Dia melirik Mentari. Sahabatnya it
Selesai sudah. Setelah ini, Samudra hanya akan menjalankan tugasnya sebagai seorang sahabat. Dia tidak akan mengganggu hubungan Mentari dan Senja, walau melihat mereka tentu saja akan terus menyakitinya. Tapi, seiring berjalannya waktu, Samudra yakin dia akan bisa melepaskan dan menghilangkan rasa cintanya untuk Mentari. Setelah meyakinkan Mentari bahwa hubungan persahabatan mereka akan baik-baik saja, Samudra membiarkan Mentari pergi dari hadapannya. Cewek itu berjalan menuju mobil yang dikendarai oleh Senja dan Awan, dengan dikawal oleh Awan. Sebelumnya, Awan sempat menyapa Samudra dan memberikan semangat untuk cowok tersebut. “Hei.” Panggilan itu membuat Senja yang mengikuti langkah Mentari dan Awan, berhenti. Dia menoleh, menatap Samudra melalui pundaknya sampai Samudra memosisikan dirinya tepat di samping Senja. Cowok itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan menatap Senja. “Lo... beneran cinta sama Mentari, kan?”
Hal yang selalu membuat Senja kesal adalah, jika ada klien yang mengajaknya bertemu di akhir pekan. Sebelum menjalin hubungan dengan Mentari, hal itu akan mengurangi waktunya untuk bermain seharian penuh dengan Angelica Abimana. Dan sekarang, di saat dia sudah menjalin hubungan dengan Mentari, dia juga jadi tidak bisa menghabiskan waktunya dengan sang kekasih. Padahal, Senja sudah menunggu waktu di mana dia bisa berkumpul dan jalan-jalan dengan Mentari juga Angelica hari ini. Tapi karena pertemuan ini, semua rencana dan impiannya buyar. Dia juga terpaksa membujuk Angelica yang menangis dengan cara menyuruh pengasuh dan supirnya pergi menemani Angelica ke mal untuk berbelanja semua yang diinginkan oleh anaknya tersebut. “Muka lo benar-benar nggak bisa dikontrol, Sen,” komentar Awan. Dia menemani Senja karena sahabatnya itu yang menyuruhnya. Tentu saja Awan duduk di meja yang berbeda dengan meja yang ditempati oleh Senja dan para kliennya. “Bahkan gue yang duduk
Sakit. Mentari bisa merasakan sakit pada seluruh tubuhnya. Seolah-olah, tulang-tulang di dalam tubuhnya patah dan remuk semua. Begitu juga dengan organ-organ tubuhnya yang memberontak di mana-mana. Jangan lupakan kepalanya yang seakan ingin meledak. Dia menggerakan bola matanya ke kanan dan ke kiri dengan lemah. Kebisingan di sekitarnya mulai membuatnya tidak nyaman. Lalu, kenapa Mentari merasa tubuhnya didorong dengan kecepatan tinggi? “Ibu Mentari, apa Ibu bisa mendengar saya?” Ya, dia bisa mendengarnya. Tapi, kemampuannya berbicara seolah lenyap tak bersisa. Cewek itu menangis, bahkan tanpa dia sendiri sadari. Sesuatu dipasangkan pada bagian mulut dan hidungnya, seperti sebuah masker, dan memberikannya oksigen. Ya, begini lebih baik. Dia jadi bisa bernapas dengan benar. Tidak seperti sebelumnya, di mana untuk menarik napas saja rasanya sulit dan terasa sesak. “Pendarahan di kepalanya harus segera dihentikan!” Pendarahan? K
Mentari Chrysalis perlahan membuka kedua matanya. Tubuhnya masih terasa sakit dan nyeri di beberapa tempat. Kepalanya pusing dan pandangannya sedikit berkabur. Dia membasahi bibirnya dan menelan ludah. Ingin mengangkat tangan, tapi rasanya cukup sulit. Mentari seolah kehilangan seluruh kekuatannya. Lemas sekali. Dia hanya sanggup mengeluarkan suara erangan pelan. Erangan pelan tersebut menarik perhatian Senja yang memang sedang duduk di kursi di samping ranjang Mentari. Cowok itu menggenggam erat tangan Mentari dan kepalanya ditelungkupkan di atas kasur. Dia sedang beristirahat sejenak atas perintah orang tua Mentari. Saat ini, orang tua Mentari, Gerhana Awan dan Angelica sedang berada di kafetaria rumah sakit untuk makan malam. Erangan tersebut membuat Senja tersadar dan langsung mengangkat kepalanya. Dia menatap Mentari dengan tatapan lega sambil tersenyum. Mentari sendiri menatap Senja dengan tatapan berkaca. “Hei,” panggil Senja. Dia mengusap pe
Embun Kurniawan melempar kunci mobilnya ke atas meja dan langsung mengambil vas bunga dari sana. Tak lama, vas bunga itu mendarat di lantai dalam keadaan hancur berantakan, setelah sebelumnya dia sempat terlempar ke dinding. Embun mencoba mengatur deru napasnya yang memburu karena emosi. Kedua tangannya mengepal kuat dan dia berteriak keras. Bahkan para pelayan rumahnya yang saat ini berdiri di depan pintu kamarnya hanya bisa bergidik ngeri sambil menunduk dan saling tatap. Sama-sama berdoa di dalam hati agar mereka tidak menjadi sasaran amarah dari majikannya tersebut yang memang terkenal sangat temperamental. Embun memaki, mengacak rambutnya dan kembali melempar benda apa pun hingga hancur berantakan. Meski begitu, amarahnya tak kunjung mereda. Justru semakin meningkat. Matanya memerah dan air mata itu mengalir akibat rasa bencinya untuk Mentari Chrysalis dan Angelica Abimana. Dua tikus got sialan yang berada di sekitar Senja Abimana dan sangat berpotensi unt
Setelah ditelepon oleh Senja, Samudra langsung menuju rumah sakit tempat Mentari dirawat. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Samudra tak bisa berhenti mencemaskan keadaan Mentari. Senja memang berkata jika sahabatnya itu baik-baik saja. Dia tidak membicarakan apa yang menimpa Mentari. Tapi, jika Senja sudah meyakinkannya bahwa Mentari baik-baik saja, Samudra bisa merasa sedikit tenang. Selain itu, yang mengganggu pikiran Samudra saat ini adalah permintaan tolong Senja barusan. CEO itu rela menurunkan harga dirinya hanya demi meminta bantuannya untuk sama-sama melindungi Mentari. Kalau sudah begitu, bukankah memang benar ada yang terjadi pada sahabatnya, yang kemungkinan disebabkan karena kesengajaan seseorang? Samudra sampai di rumah sakit setengah jam kemudian. Dia langsung menuju ke kamar inap Mentari yang tadi disebutkan oleh Senja via telepon. Ketika dia masuk ke dalam kamar, semua orang langsung menatap ke arahnya. Samudra tersenyum dan m
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken