Ketika kembali ke kamar inap Mentari, Senja menaikkan satu alisnya. Di sana, hanya ada Mentari seorang. Keluarganya dan juga anak semata wayangnya tidak ada di ruangan tersebut. Di belakang Senja, Awan dan Samudra juga memikirkan hal yang sama. Kebingungan di mata mereka terpancar dan hal itu membuat Mentari tersenyum kecil. “Ayah, bunda sama kak Gerhana mutusin untuk pulang. Mereka percaya, aku bakalan aman di sini karena ada Pak Senja, pak Awan dan Sam yang jagain. Soal Angel, ayah sama bunda mau Angel buat menginap di rumah mereka. Katanya, mereka sangat menyukai Angel. Angel juga mau ke rumah aku, main sama orang tua aku dan tidur sama kakek dan nenek katanya. Jadi, aku memberikan izin dan aku bilang, Pak Senja pasti akan mengizinkan.” Mentari menatap kedua manik Senja lekat-lekat. “Pak Senja nggak marah, kan, karena aku main ambil keputusan sendiri?” Senja tersenyum dan menggeleng. Dia mencubit pelan pipi Mentari dan berkata, “Nggak apa-apa. Ak
Devan datang ke restoran yang disebutkan oleh Embun Kurniawan melalui panggilan telepon setengah jam yang lalu. Cowok itu menunggu dengan tidak sabar. Dia mengetuk jari telunjuknya ke meja beberapa kali. Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh Devan. Saat-saat di mana Embun akan memberikannya tugas untuk memisahkan Mentari dan Senja. Lalu, dia akan mendapatkan Mentari Chrysalis seutuhnya. Tidak sia-sia dia menunggu selama ini. Bukankah jika sudah berjodoh, memang tidak ada satu orang pun yang bisa memisahkannya dari cewek cantik itu? Kursi di hadapannya ditarik dan Devan mendongak. Embun Kurniawan duduk di sana dengan raut wajah datarnya dan tatapan yang menyorot dingin. Di belakang kursi Embun, seorang cowok yang mungkin jauh lebih tua daripada Devan, berdiri. Orang itu mengenakan pakaian formal serba hitam. Wajahnya memang tampan, tapi ada aura berbahaya yang menyelimutinya. Tanpa sadar, Devan memasang sikap waspada di hadapan Embun karena keberadaan cowok
Senja Abimana menatap Mentari Chrysalis yang sudah kembali tertidur. Untungnya kali ini, Mentari tertidur dengan nyenyak. Wajahnya terlihat damai. Tangan kecil Mentari terus saja menggenggam erat tangan Senja, seolah jika dia melepaskan tangan kekasihnya itu, Senja akan menghilang dan dirinya akan berada dalam bahaya besar. Bahaya besar yang bernama Devan. Tangan Senja yang bebas, terulur untuk mengusap kepala Mentari. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum dan Senja bisa bernapas lega sekarang. Tadi, ketika dia melihat bagaimana Mentari sangat ketakutan akibat bermimpi buruk, Senja rasanya tidak bisa berpikir jernih. Dia kehilangan ketenangannya yang selalu dibanggakannya selama ini. Kalau dipiki-pikir lagi olehnya, semenjak dia bertemu dengan Mentari, Senja selalu saja kehilangan ketenangannya dengan mudah. Mentari adalah orang yang bisa menjungkirbalikkan dunianya, seperti yang dulu pernah dilakukan oleh mendiang Serena. Jika mengibaratkan dengan cerita-cerit
“Ada perkembangan apa?” Embun Kurniawan langsung memberikan pertanyaan, ketika dia melihat Caesar memasuki ruang kerjanya. Meskipun hari ini masih akhir pekan, tapi Embun tidak bisa menelantarkan pekerjaannya begitu saja. Menjadi anak perempuan satu-satunya dari ayahnya yang pengusaha kaya raya itu tak lantas menjadikan Embun bisa bersantai-santai. Jika dia mau mewarisi seluruh aset dan kekayaan beliau, maka Embun harus bisa membuktikan kemampuan dirinya kepada sang ayah. Meski begitu, tak jarang Embun meminta bantuan ayahnya untuk menjadikan Senja sebagai miliknya. Sayangnya, ayahnya juga selalu gagal. “Sejak kemarin, Senja Abimana selalu ada di rumah sakit untuk menemani Mentari Chrysalis. Anaknya Senja, Angelica Abimana, dititipkan di rumah Mentari bersama dengan orang tua dan kakaknya Mentari. Di sana, ada Awan, sahabatnya Senja Abimana dan juga Samudra Pratama, sahabat dari Mentari. Bahkan, ada beberapa anak buah dari Senja dan Awan yang menjaga rumah ters
Ada yang salah, Mentari tahu itu. Atmosfer yang tercipta di antara kakak dan kekasihnya benar-benar menegangkan. Bahkan Awan dan Samudra yang berada di ruangan ini pun, terlihat sedikit canggung dan tidak berkata apa-apa. Memang tidak ada pertarungan sengit atau apalah itu. Tapi, hanya dengan melihat sikap Gerhana yang terus-terusan menatap tajam Senja dan Senja yang memalingkan wajah sambil meringis itu sudah menjadi bukti yang cukup bagi Mentari bahwa ada yang disembunyikan oleh keduanya. “Oke,” kata Mentari tiba-tiba, membuat perhatian semua orang mengarah kepadanya. Senja dan Gerhana terlihat saling tatap, kemudian keduanya langsung menatap Mentari yang menaikkan satu alisnya. “Ada apa sama pak Senja dan Kakak?” tanya cewek itu kepada Gerhana. “Kenapa kalian berdua diam-diaman kayak gitu? Bukannya kalian berdua udah jadi dekat akhir-akhir ini? Kak, kenapa Kakak ngeliat pak Senja, seolah-olah Kakak mau bunuh dia?” Karena emang itu yang lagi dia p
Putus? Gerhana Quill meminta Mentari untuk berpisah dengannya? Senja tidak bisa berpikir jernih sekarang. Seperti ada sebuah batu besar yang menghimpit otaknya saat ini. Matanya sedikit berkunang dan dia kesulitan bernapas. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Keringat dingin itu perlahan muncul dan membasahi wajah tampannya. Ditatapnya Gerhana yang masih saja menatap Mentari, menunggu jawaban keluar dari mulut adiknya tersebut. Sementara itu, Mentari tidak mengerti bagaimana Gerhana bisa mengetahui hubungannya dengan sang bos. Dia tahu, hal seperti ini pasti akan terjadi jika kakaknya itu tahu mengenai hubungannya dengan Senja. Karena hal itulah, Mentari meminta Senja untuk merahasiakannya terlebih dahulu dan menyuruh kekasihnya itu untuk bisa dekat dengan Gerhana dan mengambil hatinya. Tapi, Mentari sadar jika alasan dibalik sang kakak tahu mengenai statusnya sebagai kekasih Senja pasti berkaitan dengan kecelakaan ini. Percobaan pembunuhan yang men
“Jingga!” Seruan dari Awan itu tidak dihiraukan oleh Jingga yang baru saja masuk ke dalam kamar inap Mentari. Dia langsung melewati Awan yang tersenyum cerah ke arahnya sambil membuka kedua tangan, berharap mendapatkan pelukan dari cewek yang ditaksirnya itu, dan segera duduk di tepi ranjang, di sisi Mentari yang sedang terduduk. Sementara Samudra tertawa keras karena pemandangan lucu di hadapannya, Mentari tersenyum kikuk. Merasa kasihan pada Awan yang kini menunduk bak anak anjing yang baru saja dimarahi dan mendesah berat. Lalu, dia fokus pada Jingga yang kini memeluknya sambil menangis. “Mentari! Lo nggak apa-apa? Gue benar-benar kaget waktu dengar lo kecelakaan dan kecelakaan itu juga sepertinya disengaja. Gue sampai bela-belain nggak masuk kerja karena sangat mencemaskan elo. Lo nggak luka parah, kan?” Jingga memeriksa keseluruhan fisik dari sahabat dekatnya itu dan mendesah lega ketika menyadari tidak ada luka serius pada Mentari, kecuali kepalanya yang
Cukup lama Senja, Gerhana dan Awan terdiam dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Bahkan, tak sedikit dari para penjenguk pasien di rumah sakit ini dan juga para staf rumah sakit, yang menatap heran ke arah ketiganya. Seolah-olah, mereka bertiga sedang mengadakan konferensi pers di lantai rumah sakit, tepat di depan kamar salah satu pasien. Tentu saja tidak ada yang berani menegur, karena mereka memang tidak membuat keributan atau semacamnya. Dan ketiga cowok itu juga jelas tidak peduli dengan tatapan ingin tahu yang dilayangkan dari orang-orang tersebut. “Gimana kalau kita kembali ke kamar?” ajak Awan. Cowok itu berdiri dan membersihkan bagian belakang celananya. “Duduk di sini pun percuma gue rasa. Nggak ada salah satu dari kalian yang salah. Kalian berdua sama-sama mau yang terbaik untuk Mentari Chrysalis. Jadi, daripada kalian berdua hanya duduk diam dan nggak menyelesaikan apa-apa, gue rasa lebih baik kita balik ke dalam. Mentari pasti khawatir.”
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken