Cheryl mengikuti Bara menyusuri lorong rumahnya yang megah, langkah kakinya menggema ringan di lantai marmer yang mengkilap sempurna. Ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya tetap berjalan di belakang pria itu—apakah rasa penasaran, atau sekadar kesadaran bahwa menolak tidak akan ada gunanya.Hingga akhirnya, Bara berhenti di depan sebuah pintu tinggi. Dengan gerakan santai namun penuh kendali, ia membuka pintu tersebut dengan menempelkan sidik jarinya, memperlihatkan ruangan luas yang langsung membuat Cheryl terpaku.Tidak ada rak buku klasik atau dekorasi berlebihan, namun semuanya terasa modern dan futuristik.Di tengah ruangan, sebuah meja kerja panjang berdiri kokoh, terbuat dari kaca hitam mengilap. Di atasnya, beberapa tumpukan dokumen tersusun rapi, bersanding dengan sederet perangkat elektronik canggih—laptop tipis dengan logo eksklusif dan monitor berlayar datar yang besar, tampak seperti sistem kontrol dalam film-film sci-fi.Aroma kayu cendana bercampur bau maskulin yang
"Baiklah... katakan sekarang."Suaranya terdengar datar, tanpa getar emosi sedikit pun. Seolah ia telah mengubur segala perasaan jauh ke dalam lubuk hatinya."Aku siap mendengar talak cerai darimu. Setelah itu, kita akan bersikap seolah pernikahan ini tak pernah ada."Bara terdiam.Seketika, ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadanya. Getaran itu datang tiba-tiba, menyerang tanpa aba-aba, mengguncang sesuatu di dalam dirinya yang selama ini terkunci rapat. Rasa asing itu merayap perlahan, menyusup ke setiap sudut kesadarannya, mencengkeram kuat, hingga untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa kehilangan kendali atas emosinya sendiri.Tatapannya jatuh pada Cheryl—gadis yang kini duduk di depannya dengan kepala tegak. Tegas. Seolah ingin menunjukkan ketegaran, biarpun sisa air mata yang masih membekas di pipinya mengkhianati semua itu.Sial.Tatapan itu... mengganggunya. Mengusiknya dengan cara yang bahkan tak bisa ia pahami.Bukan karena ia tidak suka melihat wanita menan
Cheryl mengamati dokumen di tangannya. Tatapannya bergerak dari lembaran kertas itu kembali ke wajah Bara, mencari sesuatu—keraguan, ketidakyakinan, atau mungkin secuil emosi yang bisa memberinya alasan untuk menolak. Namun, yang ia lihat hanyalah ekspresi datar pria itu, seperti biasa, tertutup dan sulit ditebak.“Jadi, ini tentang reputasimu?” suaranya terdengar datar, tapi matanya menyimpan luka yang tak ia tunjukkan.Bara menarik napas dalam. Ia bersandar sedikit ke kursinya, mengusap dagunya sebelum akhirnya menatap Cheryl dengan sorot yang lebih serius. “Aku tidak akan mengatakannya seperti itu.” Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja sebelum melanjutkan, “Aku hanya ingin memastikan segalanya tetap terkendali. Pernikahan ini tidak perlu menjadi konsumsi publik, karena aku tidak ingin ada gosip atau spekulasi yang bisa merusak citraku—atau pun citramu.”Cheryl tersenyum kecil, namun bukan senyum yang menunjukkan kebahagiaan. Ia meletakkan dokumen itu di atas meja, mengusap permuk
Ruangan itu terasa berat, sarat dengan ketegangan yang menggantung di udara. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gesekan halus pena di atas kertas, menciptakan irama monoton yang yang seakan menegaskan keseriusan situasi.Bara duduk tegap, posturnya mencerminkan kendali mutlak. Jemarinya yang kokoh menggenggam pena, siap mengukir kesepakatan yang tak bisa ditarik kembali. Tatapan matanya tajam, nyaris tanpa emosi, seperti lautan tenang yang menyimpan pusaran di dasarnya. Sesekali, ia mengetukkan pena ke meja, menunggu Cheryl berbicara.Sementara itu, Cheryl bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya waspada. Ada ketegangan yang membungkus dirinya, seolah ia bersiap menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Ia menggigit bibirnya pelan, sebuah kebiasaan lama saat ia merasa tidak nyaman.“Baik,” suara Bara terdengar datar, terkendali, seakan ia tengah membahas kontrak bisnis biasa. “Kita perlu menyepakati beberapa hal dalam pernikahan ini. Aku tidak ingin a
Selesai membuat kesepakatan, Cheryl pun pamit untuk kembali ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah setelah perdebatan panjang yang akhirnya menghasilkan keputusan yang, setidaknya, bisa diterima kedua belah pihak. Ia ingin segera berbaring di tempat tidur dan mengistirahatkan pikirannya. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Bara terdengar dari belakang."Temani aku makan malam dulu."Cheryl menoleh, menghela napas pendek. "Harus ya, kita makan bersama? Aku sudah makan tadi, sepertinya aku mau langsung tidur saja setelah ini."Bara hanya mengangkat sebelah alisnya, ekspresi tenangnya sama sekali tidak tergoyahkan. "Berhubung kesepakatan ini belum final, jadi aku perlu menambahkan satu poin lagi tentang makan bersama."Cheryl menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pernyataan itu. "Makan bersama? Memangnya kenapa itu harus masuk dalam perjanjian?""Ini bagian dari tugasku mengurusmu, Cheryl," jawab Bara santai, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang sulit dibanta
Cheryl meletakkan piring di atas meja makan yang diterangi cahaya lilin lembut. Bara duduk di seberangnya dengan sikap santai, seolah ini hanyalah makan malam biasa.Tapi bagi Cheryl, makan malam ini terasa berbeda. Mungkin karena atmosfer hangat yang diciptakan oleh cahaya temaram, atau mungkin karena ini pertama kalinya ia duduk makan malam seperti ini—berdua saja dengan seorang pria selain ayahnya.Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis dalam minyak zaitun memenuhi udara, menggoda inderanya. Bara telah menyajikan sepiring Aglio e Olio dengan Udang—pasta yang tampak sederhana namun kaya rasa. Spaghetti yang mengilap karena minyak zaitun berpadu dengan udang panggang berwarna keemasan, dihiasi taburan peterseli segar dan serpihan cabai kering.Cheryl menelan ludah. Ia tidak menyangka pria yang dikenal dingin dan serius seperti Bara bisa memasak sesuatu yang terlihat begitu menggugah selera.Dengan sedikit ragu, ia melilit spaghetti di garpunya dan memasukkan ke dalam mulut. Begit
Bara mengalihkan pandangannya ke jendela besar di ruangan itu, seakan sedang melihat sesuatu yang jauh lebih dari sekadar pemandangan malam di luar sana. Ia menyandarkan punggung ke kursi, napasnya terdengar lebih panjang sebelum kembali berbicara.“Sabira terbiasa tinggal nyaman di mansion keluarga kami sejak lahir. Dia… seorang princess di keluarga kami—kesayangan kami semua.”Ada sesuatu yang tidak selaras antara suaranya yang bergetar dan ekspresinya yang terlihat tegar. Dan senyum kaku itu… tidak menghangatkan matanya, seolah ia sedang berbicara tentang sesuatu yang dulu indah, tapi kini hanya tinggal kenangan pahit.“Meskipun mansion itu besar dan luas… tapi dulu penuh kehangatan dan kegembiraan. Kami adalah keluarga yang bahagia, sebelum… negara api datang menyerang.”Cheryl mengangkat alis. Sekilas, ia hampir ingin tertawa kecil mendengar istilah itu, tapi melihat ekspresi Bara yang serius, ia mengurungkan niatnya.Bara memandangnya sejenak sebelum melanjutkan, suaranya sediki
Bara menunduk. Dada pria itu terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpitnya. Udara di sekelilingnya mendadak membeku, atau mungkin hanya dirinya yang kehilangan kehangatan yang begitu ia butuhkan.Selama ini, ia tidak pernah mengeluh. Ia bukan tipe pria yang mengumbar luka atau meminta sesuatu yang mustahil baginya—seperti pelukan.Ia terbiasa menelan kepahitan dalam diam.Namun tadi… di hadapan Cheryl, ia mendapati dirinya membuka celah yang seharusnya tetap terkunci. Dan sialnya, gadis itu tidak memahami. Tidak ada simpati dalam sorot mata Cheryl, hanya keheranan samar. Seolah permintaannya barusan hanyalah lelucon murahan."Ck. Apa yang Cheryl tahu tentang neraka yang aku dan Sabira jalani?" pikirnya getir. "Setidaknya, dia punya ayah yang mencintainya tanpa syarat. Sedangkan aku? Aku bahkan tidak diinginkan oleh papaku sendiri."Bara mengembuskan napas panjang, menelan kepahitan yang menyisakan rasa pahit di tenggorokan. Kekecewaan menggumpal di dadanya, entah
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl