Ruangan itu terasa berat, sarat dengan ketegangan yang menggantung di udara. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gesekan halus pena di atas kertas, menciptakan irama monoton yang yang seakan menegaskan keseriusan situasi.Bara duduk tegap, posturnya mencerminkan kendali mutlak. Jemarinya yang kokoh menggenggam pena, siap mengukir kesepakatan yang tak bisa ditarik kembali. Tatapan matanya tajam, nyaris tanpa emosi, seperti lautan tenang yang menyimpan pusaran di dasarnya. Sesekali, ia mengetukkan pena ke meja, menunggu Cheryl berbicara.Sementara itu, Cheryl bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya waspada. Ada ketegangan yang membungkus dirinya, seolah ia bersiap menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Ia menggigit bibirnya pelan, sebuah kebiasaan lama saat ia merasa tidak nyaman.“Baik,” suara Bara terdengar datar, terkendali, seakan ia tengah membahas kontrak bisnis biasa. “Kita perlu menyepakati beberapa hal dalam pernikahan ini. Aku tidak ingin a
Selesai membuat kesepakatan, Cheryl pun pamit untuk kembali ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah setelah perdebatan panjang yang akhirnya menghasilkan keputusan yang, setidaknya, bisa diterima kedua belah pihak. Ia ingin segera berbaring di tempat tidur dan mengistirahatkan pikirannya. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Bara terdengar dari belakang."Temani aku makan malam dulu."Cheryl menoleh, menghela napas pendek. "Harus ya, kita makan bersama? Aku sudah makan tadi, sepertinya aku mau langsung tidur saja setelah ini."Bara hanya mengangkat sebelah alisnya, ekspresi tenangnya sama sekali tidak tergoyahkan. "Berhubung kesepakatan ini belum final, jadi aku perlu menambahkan satu poin lagi tentang makan bersama."Cheryl menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pernyataan itu. "Makan bersama? Memangnya kenapa itu harus masuk dalam perjanjian?""Ini bagian dari tugasku mengurusmu, Cheryl," jawab Bara santai, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang sulit dibanta
Cheryl meletakkan piring di atas meja makan yang diterangi cahaya lilin lembut. Bara duduk di seberangnya dengan sikap santai, seolah ini hanyalah makan malam biasa.Tapi bagi Cheryl, makan malam ini terasa berbeda. Mungkin karena atmosfer hangat yang diciptakan oleh cahaya temaram, atau mungkin karena ini pertama kalinya ia duduk makan malam seperti ini—berdua saja dengan seorang pria selain ayahnya.Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis dalam minyak zaitun memenuhi udara, menggoda inderanya. Bara telah menyajikan sepiring Aglio e Olio dengan Udang—pasta yang tampak sederhana namun kaya rasa. Spaghetti yang mengilap karena minyak zaitun berpadu dengan udang panggang berwarna keemasan, dihiasi taburan peterseli segar dan serpihan cabai kering.Cheryl menelan ludah. Ia tidak menyangka pria yang dikenal dingin dan serius seperti Bara bisa memasak sesuatu yang terlihat begitu menggugah selera.Dengan sedikit ragu, ia melilit spaghetti di garpunya dan memasukkan ke dalam mulut. Begit
Bara mengalihkan pandangannya ke jendela besar di ruangan itu, seakan sedang melihat sesuatu yang jauh lebih dari sekadar pemandangan malam di luar sana. Ia menyandarkan punggung ke kursi, napasnya terdengar lebih panjang sebelum kembali berbicara.“Sabira terbiasa tinggal nyaman di mansion keluarga kami sejak lahir. Dia… seorang princess di keluarga kami—kesayangan kami semua.”Ada sesuatu yang tidak selaras antara suaranya yang bergetar dan ekspresinya yang terlihat tegar. Dan senyum kaku itu… tidak menghangatkan matanya, seolah ia sedang berbicara tentang sesuatu yang dulu indah, tapi kini hanya tinggal kenangan pahit.“Meskipun mansion itu besar dan luas… tapi dulu penuh kehangatan dan kegembiraan. Kami adalah keluarga yang bahagia, sebelum… negara api datang menyerang.”Cheryl mengangkat alis. Sekilas, ia hampir ingin tertawa kecil mendengar istilah itu, tapi melihat ekspresi Bara yang serius, ia mengurungkan niatnya.Bara memandangnya sejenak sebelum melanjutkan, suaranya sediki
Bara menunduk. Dada pria itu terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpitnya. Udara di sekelilingnya mendadak membeku, atau mungkin hanya dirinya yang kehilangan kehangatan yang begitu ia butuhkan.Selama ini, ia tidak pernah mengeluh. Ia bukan tipe pria yang mengumbar luka atau meminta sesuatu yang mustahil baginya—seperti pelukan.Ia terbiasa menelan kepahitan dalam diam.Namun tadi… di hadapan Cheryl, ia mendapati dirinya membuka celah yang seharusnya tetap terkunci. Dan sialnya, gadis itu tidak memahami. Tidak ada simpati dalam sorot mata Cheryl, hanya keheranan samar. Seolah permintaannya barusan hanyalah lelucon murahan."Ck. Apa yang Cheryl tahu tentang neraka yang aku dan Sabira jalani?" pikirnya getir. "Setidaknya, dia punya ayah yang mencintainya tanpa syarat. Sedangkan aku? Aku bahkan tidak diinginkan oleh papaku sendiri."Bara mengembuskan napas panjang, menelan kepahitan yang menyisakan rasa pahit di tenggorokan. Kekecewaan menggumpal di dadanya, entah
Bara duduk di tepi kasur, punggungnya bersandar pada kepala ranjang yang kokoh. Cahaya redup dari lampu kamar memantul di dinding, menciptakan suasana tenang, tetapi pikirannya masih penuh dengan rencana.Ia meraih ponsel di nakas, menekan kontak Sofyan, lalu menempelkannya ke telinga.Tak butuh lama, panggilan tersambung."Sofyan." Suaranya rendah, berat, dan tanpa basa-basi."Ya, Pak," jawab Sofyan cepat, seolah sudah terbiasa dengan panggilan mendadak ini.Bara menggerakkan jemarinya di atas paha, ritmis dan santai. "Mulai besok, Cheryl akan menjadi asisten pribadiku. Aku ingin kamu membimbingnya, ajari dia bagaimana menjadi asisten pribadi."Ada jeda sesaat sebelum Sofyan menjawab, mungkin sedang mencerna perintah itu. "Baik, Pak. Apa tugasnya akan sama seperti saya?"Bara mendengus kecil. Ia menekan jemarinya ke pelipis. "Tentu saja tidak." Nada suaranya lebih rendah, penuh penekanan. "Jangan bebankan dia dengan hal-hal krusial. Aku tak ingin dia ikut campur dalam urusan bisnis.
Cheryl menyibakkan rambut basahnya ke belakang, napasnya masih tersengal karena air dingin yang menyentak tubuhnya barusan. Ia menatap Bara dengan sorot mata menusuk. Bara, yang juga setengah terendam di dalam air, hanya mengangkat alis. “Apa?”Cheryl mengibaskan tangan, air memercik ke arahnya. “Nyeburin aku ke kolam kayak gini, pikirmu lucu?”Bara menyandarkan lengan di pinggir kolam dengan santai. “Kamu kan bisa berenang, nggak bakal tenggelam.”Cheryl mengerang frustasi. “Itu bukan poinnya!”Bara menatapnya, diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Terus apa dong?”Cheryl mendengus. “Poinnya, kamu selalu seenaknya!”Bara mengangguk kecil. “Cheryl, marah-marah gara-gara basah di kolam renang itu nggak masuk akal.”Cheryl menyipitkan matanya. “Bara.”Bara menatap balik, ekspresinya tetap tenang. “Cheryl.”Mereka saling berhadapan, hanya terpisah beberapa langkah di dalam air.Cheryl mengerang frustrasi. “Kenapa sih kamu selalu bikin aku kesal?”Bara mengangkat bahu. “Mungkin karena
Cheryl mengangkat dirinya dari dalam air, jari-jarinya hampir mencapai pinggiran kolam ketika tiba-tiba tangan Bara mencengkeram pergelangan tangannya, menahannya.Ia menoleh tajam. "Bara—""Kenapa buru-buru?" Bara menyela, suaranya terdengar santai, tapi genggamannya cukup kuat untuk membuat Cheryl tetap di tempatnya. "Kamu tahu, berenang pagi itu sangat bagus untuk tubuh."Cheryl mengerutkan kening. "Oh, sekarang kamu jadi instruktur kesehatan juga?"Bara terkekeh, tapi tetap tidak melepaskan pegangannya. "Aku serius, Cher. Berenang pagi meningkatkan sirkulasi darah, melatih paru-paru, dan merangsang metabolisme. Belum lagi, air dingin bisa membantu mengaktifkan sistem saraf simpatis, bikin kamu lebih segar dan fokus sepanjang hari."Cheryl menatapnya, lalu mendengus kecil. "Wow. Ilmu yang menarik. Sayang sekali, aku lebih butuh keluar dari sini daripada ceramah tentang manfaat berenang."Bara tiba-tiba mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, tatapannya masih penuh dengan ketena
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta