"Iya aku akan ke sana. Buat laporan dulu."Berlian menulis balasan pada Jonathan, jika tidak seperti itu mungkin pria itu akan terus mengirim atau menghubunginya. Tidak mau menjadi bahan tontonan kembali seperti saat itu."Kenapa lagi kamu Berlian?" tanya Mbak Desi.Berlian tidak menjawab, hanya saja dia berpikir seandainya bisa mencurahkan segala-galanya yang ada di hati pada rekan kerjanya itu. Mungkin ia akan sedikit lega, tapi dirinya belum percaya pada semua orang yang ia kenal."Kalau kamu mau, Mbak bisa mendengarkan ceritamu atau kalau kamu mau mungkin aku bisa membantu mencari solusi." "Terima kasih ya mbak sudah peduli sama aku. Saat Ini aku belum bisa bercerita sama mbak," ujar Berlian.Mbak Desi mengerti dengan sikap Berlian, baru saja berkenalan dan tidak mungkin berlian menceritakan masalah pribadinya dengan orang baru. Berlian pun gegas merapikan pekerjaannya dan closing uang. Keberadaan Jonatan di luar membuatnya tertekan, apalagi ada Alva di dalam juga. Tidak butuh
"Bisa kok kalau tanpa menyebut nama kamu, tapi jangan salahkan aku jika Cinta kubawa langsung dan jangan pernah menemuinya lagi," ujar Jonathan."Tega kamu, aku yang mengandung dan melahirkan." Berlian begitu emosi. Dua orang itu selalu saja bertengkar, entah mereka masih menyimpan rasa atau tidak. Berlian yang selalu emosi jika bertemu dengan Jonathan, baginya pria masa lalu itu sangat menyebalkan. Baru saja menekan dirinya demi kepentingan sendiri.Berbeda dengan Jonathan, pria itu menganggap Berlian sangat keras kepala dan susah diatur. Apalagi saat wanita itu kekeh tak mau bicara jika Cinta adalah anaknya. "Tega enggak tega, itu urusanku. Lagi pula bukannya itu yang kamu mau, kan? Tidak di publikasikan jika kamu ibu kandungnya Cinta." Dengan santai Jonathan kembali mengemudikan mobilnya. Jonathan tidak peduli dengan ocehan wanita di sebelahnya, kini ia berpikir bagaimana membuat pertunangan sekaligus pernikahan itu batal. "Aku hanya tidak mau di bully satu perusahaan. Aku tida
Merasa sangat risih Arnold ingin memutuskan untuk pergi saja dari ruangan sang ayah. Hanya saja, Pak Ferdinand menahannya dan meminta Pak Ibnu untuk sementara ke luar dulu. Walau kecewa, Pak Ibnu pun ke luar dari ruangan itu. Padahal dia ingin tahu berapa nominal uang yang akan mereka dapatkan jika menang tander. "Rasanya Papa harus berpikir ulang jika ingin berbesanan dengan Om Ibnu." Arnold dengan sengaja membahas masalah itu. Ferdinand tak menjawab, ia hanya mengingat bagaimana persahabatan mereka saat di desa. Saat dia kelaparan, Ibnu pun memberikannya makanan. "Walau anaknya sudah jadi artis terkenal, tapi ayahnya tetap saja kaya orang desa. Harusnya waktu kita mau meeting dia paham, keluar dulu atau yah paling tidak tahu diri," ujar Arnold."Jangan bahas itu, kita bahas pekerjaan saja. Mana yang akan kamu diskusikan, lalu berapa persen keuntungan yang akan kita dapatkan?" Arnold tersenyum penuh maksud, ia tahu jika ayahnya tak mau membahas tentang sahabat kampungnya itu. Wa
"Apa?" "Apa kurang jelas pertanyaanku?" Jonathan menggaruk telinganya, pertanyaan Berlian membuat jantungnya berdebar. Perasaan berbeda kini terasa di hatinya, sebuah kata cinta yang sejak dulu memang belum pernah berubah di hati Jonathan."Apa kamu masih mencintai aku seperti dulu saat kita masih bersama?" Lagi, Berlian memperjelas apa yang sejak tadi membuat Jonathan salah tingkah. "Kalau diam, berarti aku anggap memang kamu masih mencintai aku.""Dih, kok maksa?" "Siapa yang memaksa, aku hanya ingin memastikannya jika ajakan menikah itu tidak membuat aku sengsara saat menjadi istri kamu," ujar Berlian.Kali ini ia harus berani bicara agar tidak membuat hatinya kembali tersakiti apalagi masalah pernikahan itu akan mengikat dirinya untuk selamanya.Tangan Jonathan menggenggam jemari Berlian, sempat wanita itu menarik tangannya. Namun, Jonathan kembali menggenggam erat. "Apa rasa cinta itu harus di ungkapkan? Bukannya dengan apa yang aku lakukan, sudah cukup membuktikan jika aku m
"Yah, Alva. Pria yang menjadi dewa penolong kamu bukan?" tanya Jonatan kembali."Alva teman sekolah aku dulu, lagi pula bukan urusan kamu. Harusnya kamu berterima kasih sama dia karena tawaran pekerjaan dari Alva, aku dan Cinta kembali ke Jakarta." "Mungkin, haruskah aku menelepon atau memberikannya beberapa saham dari perusahaan untuk berterima kasih padanya?" Senyum Jonathan seolah-olah mengejek Berlian. Tarikan napas Berlian membuat Jonathan sadar wanita di hadapannya tidak senang dengan responnya. Makan malam kali ini tidak begitu sempurna karena banyak membahas masa lalu dan kejadian yang tidak ingin Berlian bahas kali ini. Namun, Jonathan terus saja membahas masalah itu. "Sepertinya sudah agak malam, bisa antar aku pulang?" "Apa kamu tidak mau menghabiskan satu makananmu lagi sebelum kita pulang," ujar Jonathan."Napsu makanku sudah hilang." Berlian kembali menatap Jonathan yang sepertinya enggan mengajaknya pulang. Namun, Berlian kekeh untuk cepat meninggalkan restoran itu
"Mama setuju, tapi kamu harus melakukannya secara bersih. Jangan sampai mengotori tangan cantik kamu." Bu Agnia mencoba mengingatkan Alea. Penolakan Jonathan membuat keluarga itu ketar ketir, pasalnya mereka sangat berharap menjadi bagian keluarga Pak Ferdinand yang kaya raya. Kehidupan mereka akan terjamin, dengan bermodal janji masa lalu, ayah Alea pun menemui Pak Ferdinand dan membahas janji menikahkan anak mereka. Berhubung Arnold sudah menikah, tinggal Jonathan yang menjadi sasarannya."Papa sudah cemas jika kamu batal menikah, lagi pula karir kamu sedang tidak baik-baik saja bukan?" "Banyak pendatang baru, jadi aku tersingkir. Memang sialan mereka." Alea kembali bergumam kesal. Namanya di dunia hiburan sedang turun, banyak iklan yang memutuskan kontrak dan tak mau perpanjangan karena sudah banyak artis muda yang lebih segar darinya. "Pokonya kalau pernikahan kalian sudah terlaksana, mama mau kamu pinta uang untuk melunasi hutang kita. Bagaimana?" Bu Agnia langsung mengutara
"Apa ada yang salah dengan panggilan itu?" tanya Jonathan."Tidak ada yang salah, hanya saja apa tidak sebaiknya memanggil dengan sebutan biasa saja," ujar Berlian.Jonatan melirik ke arah sang anak, kedua alisnya naik lalu kembali melirik ke arah Berlian. Harusnya tidak ada yang salah pikir Jonathan dengan panggilan Papa padanya. "Kamu lupa apa pura-pura lupa kalau Cinta itu--""Iya, terserah kamu mau Cinta memanggil apa. Terserah, aku minta jangan bicara hal apa pun di depan Cinta." Jonathan kembali diam, lalu ia memilih pamit pada Cinta. Memang sudah larut, dan putri kecilnya itu harus sudah tidur malam. Jonathan juga pamit pada Nenek Lastri, sebenarnya Berlian tak mau banyak bicara. akan tetapi, ia harus bicara beberapa hal dengan Jonathan."Pak Jo tunggu," panggil Berlian. "Ada apa? Masih kangen?" Bola mata Berlian hampir saja keluar mendengar ucapan Jonathan yang menjijikan baginya. Sementara, pria di hadapannya merasa tidak bersalah. "Ih, terserah kamu. Aku hanya bicara j
"Kemungkinan apa?""Semoga saja apa yang aku pikirkan tidak benar. Aku saja pusing jika berdebat dengan Berlian, dia keras sekali Kak." Jonathan memijit pelipisnya dengan harapan menghilangkan pening di dahi. Arnold paham dengan masalah yang di hadapi sang adik, ia berharap semoga semua selesai dan Jonathan bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini tertunda. "Kamu berhasil membujuk dia untuk menikah?" tanya Arnold lagi."Dia seperti ragu, ada yang sedang mendekati dia. Pemilik restoran tempat dia bekerja juga salah rekan bisnis perusahaan kita," papar Jonathan."Serius?" "Iya, aku baru tahu. Beberapa orang yang aku suruh sudah menghubungi kalau pria itu teman lama Berlian. Mereka terlihat beberapa kali bersama." Jonathan terlihat sangat emosi, sikapnya yang cuek berubah menjadi agresip karena ia takut Berlian malah menerima pria lain. Walau sebenarnya ia sudah memegang kartu dengan restu dari sang anak. Hanya saja Berlian terlihat sedang memikirkan hal lain lagi. "Kalau kamu mau