Pak Ibnu datang ke apartemen sang putri dirinya sudah sakit kepala karena telah ditelpon oleh pihak bank mengingatkan untuk segera membayar cicilan dirinya. Ia juga kesal karena Alea memutuskan kontak komunikasi dengannya. Bahkan selama satu Minggu ini sang putri tak pernah terlihat walaupun batang hidungnya."Alea ada?"Pak Ibnu berpapasan dengan Hana. "Ada," jawab Hana.Pak Ibnu segera melanjutkan langkahnya.Hana keluar hanya ingin membeli kebutuhan dapur apartemen mereka. Walaupun sudah diusir, tetapi nyatanya Alea masih sangat membutuhkan dirinya. Alea meminta maaf dan menyuruhnya kembali. Ia tak sejahat itu pada artisnya. Tak mungkin meninggalkan Alea pada saat seperti ini. Mereka telah berjuang bersama sampai pernah berasa di puncak, tidak mungkin dirinya meninggalkan Alea sekarang.Pak Ibnu telah sampai di pintu apartemen putrinya, ia menekan bel bahkan mengetuk pintu. Hingga terdengar derap langkah mendekat."Untuk apa Papa ke sini?" Pertanyaan Alea sangat to the point. Kare
"Oh, iya boleh Ma. Nek, aku pergi dulu." Berlian pamit, juga Bu Shafira pada Nenek Lastri.Sementara, Cinta sedang bermain di rumah temannya di sekitar rumah. Sengaja tidak di ajak takutnya menangis melihat sang ibu yang akan pergi. Berlian masuk ke mobil yang di bawa Bu Shafira. Setelah pamit, mereka langsung menuju beberapa butik dan kantor Bu Shafira. Tidak berselang, beberapa menit mereka sampai di salah satu restoran milik Bu Shafira yang dekat dengan kontrakan."Nah, Lusi ini dia kepala pengawas di sini yang melapor pada Ibu jika ada apa-apa," ungkap Bu Shafira.Berlian senang diajak berkeliling oleh sang ibu. Ia dikenalkan kebeberapa karyawan juga diajarkan bagaimana cara bersikap dengan orang lain. Semua orang menyambutnya ramah."Nanti kamu sama Lusi koordinasi bersama bagaimana kedepannya atau akan ada rencana baru dan lainnya," papar Bu Shafira.Berlian mengangguk paham. Ia sudah ada gambaran bagaimana caranya dia bekerja nanti. Takkan menyia-nyiakan kesempatan yang telah
"Iya, aku Shafira. Apa kamu masih ingat kalau pernah merebut suamiku ups, mantan suamiku?" Bu Shafira tersenyum tipis saat melihat wajah Bu Agnia yang merah padam. Netranya beralih ke Berlian yang ada di sampingnya. Suatu hal yang tidak bisa ia cerna, bagaimana bisa Berlian berada bersama ibu kandungnya. "Bagaimana bisa kalian bersama?" Bu Agnia terlihat syok sekali. Sementara, Rani mencoba mencerna kejadian itu. Sudah lama ia tidak bertemu mantan saudara tirinya. "Semua bisa saja terjadi, apalagi takdir mempertemukan kita lagi. Bagaimana kabarmu?"Bu Agnia tak menjawab, ia teringat bagaimana dirinya berusaha membuat berlian hancur dengan mengatakan jika ibu kandungnya pergi dengan wanita lain hingga ia membencinya. Bahkan Agnia senang melihat kehancuran Berlian, apalagi saat tahu Berlian hamil dengan kekasihnya. Ia malah senang dan membuat ayahnya membenci dan mengusir anak kandungnya."Aku seperti yang kamu lihat, baik-baik saja. Aku tidak ada waktu untuk meladeni kamu, apa tid
"Kamu kenapa seperti kaget?" tanya Pak Hardian."Eh, enggak. Kaya pernah dengar saja." Bu Agnia sedikit berdusta kalau sebenarnya ia kaget karena Ferdinand adalah ayahnya Jonathan.Bu Shafira mengangguk paham. Pantas saja tidak keluar kota rupanya sang suami akan mengurus kerja sama di Jakarta. Ia mendengarkan perjalanan pak Hardian selama tour bisnisnya. Ya, itu adalah suatu kegiatan rutin mereka berdua saat berjumpa."Mas, aku ingin meminta izin akan membawa Berlian anaknya serta nenek Lastri untuk tinggal di sini apakah boleh?" tanya Bu Shafira.Pak Hardian menatap ke arah istrinya yang juga tengah menatap ke arahnya. Memang sebaiknya Berlian tinggal bersama bu Shafira agar istrinya itu tidak merasa kesepian. Lagi pula rumah mereka cukup besar. Apalagi pembangunan ruangan baru sudah hampir selesai."Tentu saja boleh," jawab Pak Hardian.Bu Shafira segera berterimakasih kepada suaminya itu. Ia sangat bersyukur karena memiliki suami seperti pak Hardian yang begitu sangat pengertian w
"Aku sudah lelah, boleh aku masuk, Al?" tanya Berlian. "Oh, silakan." Berlian melangkah masuk, sedangkan Alva terus saja memperhatikan Berlian dari kejauhan. Hatinya begitu pedih saat mengetahui kenyataan yang sedang mereka jalani. Sebelum masuk kamar, Berlian pun pamit pada ibu dan suaminya."Bu, Pa, aku dan Cinta pamit ke kamar." Setelah makan malam Berlian pamit untuk istirahat lebih awal karena Cinta sudah mulai rewel sejak tadi. Ia tahu jika putrinya pasti kelelahan setelah seharian bermain dengan Alva apalagi dia tidak tidur siang otomatis anaknya itu akan rewel.Sebelum masuk ke kamar ia melihat ke kamar nenek Lastri yang juga tengah beristirahat. Sekarang dirinya tidak perlu khawatir orang yang disayangi akan kekurangan. Dirinya sangat bersyukur karena pak Hardian sangat menerimanya di rumah ini, walaupun dirinya masih merasa canggung dengan Alva."Yuk, cuci muka gosok gigi."Cinta tak ingin jalan terpaksa Berlian menggendongnya. Setelah itu mereka menuju ranjang dan Berlia
Jonathan masih saja kesal jika memikirkan Berlian. Apalagi ia tak menyangka jika akan bekerja sama dengan pak Hardian yang juga ayahnya Alva. Apabila tahu akan hal tersebut dirinya memilih untuk tidak hadir daripada merusak moodnya lagi.Pria itu juga terlihat tidak fokus sejak tadi pun yang banyak menjelaskan dan menjawab beberapa pertanyaan dari pak Hardian adalah Arnold atau pak Ferdinand. Wajah Jonathan hanya ditekuk dengan sempurna, begitu terbaca jika dirinya tidak menyukai pertemuan ini.Pak Ferdinand melihat kegelisahan sang anak. Hanya saja ia sedang menjaga jarak dan tidak bertanya-tanya pada Jonathan. Dirinya memilih sibuk dengan ponsel dan menghubungi beberapa klien. Ia ingin kembali meroket dalam dunia bisnis. Dirinya ingin menjadi orang nomor satu dalam bisnis. "Ayo." Pak Ferdinand melangkah lebih dulu.Mereka datang menggunakan mobil masing-masing karena setelah ini tujuannya berbeda-beda. Jonathan masih duduk di kursi, ia hanya menyentuh dagunya seolah tengah memikirk
"Dasar kukira kau wanita baik nyatanya sama saja. Materialistis." Jonathan kembali kesal.Suara Jonathan walaupun pelan, tetapi dapat terdengar oleh Alva dan Berlian. Karena jarak keduanya cukup dekat.Mendengar ucapan itu membuat Alva sangat kesal lelaki itu sudah mengepalkan tangannya."Jangan, Al." Berlian menahan Alva agar tak membuat keributan karena takut ada keviralan lagi. Ya, bisa-bisa hal itu membuat kerja sama pak Hardian batal. Dirinya tidak mau merugikan siapa pun juga. Karena sekarang ini banyak pasang mata yang memanfaatkan kecanggihan teknologi dan menyebarluaskan informasi."Biar aku beri dia pelajaran, Ber," ujar Alva. Ia ingin membungkam mulut Jonathan yang asal berbicara dirinya tidak terima dengan semua yang diucapkan oleh Jonathan.Berlian bukan wanita seperti itu. Baginya Berlian adalah wanita berkelas, justru Jonathan lah yang rendah karena pemikiran yang tidak terbuka. Tangan Alva terus dipegangi oleh Berlian. Bahkan wanita itu berusaha mengajaknya pergi."Ji
"Jangan Sok tahu," ujar Jonathan pada Arnold. "Aku sebagai abangmu, pasti tahu semua apa yang kamu pikirkan, jangan gegabah. Lagi pula, kalau kamu percaya Berlian, sudah pasti tidak akan percaya dengan yang sedang terjadi." "Maksudnya, bagaikan?" tanya Jonathan.Arnold hanya mengangkat bahu, ia takut salah bicara. Ia akan mencari bukti le iu dahulu sebelum mengatakan jika Berlian wanita materialistis. Sejak awal mereka bertemu, kalau memang Belian menyukai uang, dia akan meminta lebih pada Arnold yang sudah menabrak anaknya. Akan tetapi, tidak dengan Berlian. Wanita item hanya meminta pengobatan sampai selesai karena dia tidak memiliki uang."Kenapa?" tanya Jonathan saat melihat Arnold bengong."Enggak apa-apa. Oh, ya tadi Papa minta kita pulang ke rumah lebih cepat. Mau ada tamu, Om Geri pulang dari London sama keluarganya."Wajah Jonathan terlihat tidak senang, ia teringat Melisa anak Om Geri yang terlalu agresip. Dirinya pun hanya menarik napas panjang. "Lihat nanti." Jonathan