"Ehem! Apa ada yang kurang?"
Deheman dan suara yang dikeraskan, menyadarkan aku.
"I-iya. Harus isi form dulu," jawabku segera.
Aku gelengkan kepala, sambil membungkuk mengambil form di laci bagian bawah, dan menyerahnya. Sesaat aku menepuk dada, meruntuki kelakuanku yang kampungan ini. Memang dia terlihat tampan, tapi tidak seharusnya aku melongo seperti orang bodoh.
Telunjuk dan ibu jari memposisikan frame kacamataku. Mata rabun ini harus menajam untuk membaca kartu identitas yang terlihat kecil.
Nama yang tidak biasa, Alexander Dominic. Sepadan dengan penampilannya yang tidak seperti orang kebanyakan.
'Masih bocah,' bisik hatiku.
Kalau dihitung dari tahun lahir, dia berusia dua puluh lima. Kemungkinan anak muda ini berasal dari universitas lain yang berkunjung ke sini. Tidak mungkin dia mahasiswa di kampus ini, aku tidak pernah bertemu.
Memang aku tidak hapal. Akan tetapi seseorang yang mencolok seperti dia, tidak mungkin terlewat dari pandangan.
"Selain kartu identitas, dilampirkan juga kartu mahasiswa, dan surat pengantar dari kampus anda," ucapku sambil menerima form yang sudah terisi.
Dia tersenyum. Mataku melihat sekilas, kemudian kembali menekuri tulisan tangannya yang terlalu rapi untuk ukuran laki-laki.
'Edan. Senyumannya menunjukkan lesung pipit. Orang kok gantengnya kebangetan.'
Aku menyibukkan diri menstaples fotokopi KTP pada form pendaftaran.
"Tapi, Mbak. Saya bukan mahasiswa."
"Oh, dari perusahaan? Kalau begitu ada surat pengantarnya, kan?"
"Ada."
Dia mengeluarkan amplop dari tas selempang berwarna hitam.
Tasnya terlihat mahal dengan logo burung elang yang merentangkan sayap. Mataku menyipit memastikan huruf di tengah-tengah logo itu, ya GA. Persis dengan tas yang dikenakan tokoh fiksiku, yang menggambarkan dia orang berduit.'Halah, mungkin dia beli di pasar malam. Merk dalam dan luar negeri pun di sana banyak, dan harganya terjangkau,' bisik hatiku sambil melirik tasku yang berlogo H.
"Ini, Mbak. Tapi maaf, saya belum membawa foto."
"Tidak apa-apa. Bisa menyusul. Tapi belum bisa pinjam buku, ya," jawabku tanpa melihat ke arahnya.
"Iya, Mbak."
Aku memilih menekuri surat pengantar yang dia sertakan. Kop surat bertuliskan Global Dominic Technologies, Tbk.
Seingatku, perusahaan ini sering terdengar di telinga, gara-gara mensponsori pengiriman atlet ke luar negeri. Pintar pemilik perusahaan ini, dia mendulang simpati publik demi popularitas perusahaannya.
Dahi ini mengernyit saat membaca bagian terakhir, 'Alexander Dominic.'
"Surat pengantar harus ditandatangani atasan, bukan dibuat diri sendiri," ucapku sambil menyodorkan kembali kertas.
Sudah sering aku mendapati kasus seperti ini. Karena butuh referensi, mereka menghalalkan segala cara. Buku, jurnal, dan hasil penelitian di perpustakaan di sini, terhitung lengkap. Tak jarang, orang dari luar membutuhkan untuk melengkapi data.
Kertas yang aku sodorkan tadi, bergerak ke arahku kembali. Tidak hanya itu, dia menyertakan juga kartu nama di atasnya.
"Ini asli, Mbak. Saya tidak punya orang di atas saya lagi " ucapnya.
Aku mengangkat wajah. Sekarang aku menilik sosoknya lebih jeli. Dia anak muda, yang masih pantas disebut mahasiswa semester akhir. Bajunya saja dia hanya menggunakan kaos lengan panjang berkerah, dan dipadukan dengan celana jeans biru tua.
Penampilannya tidak terlihat seperti eksekutif muda, yang biasanya mengenakan baju kerja rapi. Dia lebih pantas disebut anak kuliahan yang sedang menyusun skripsi.
"Iya? Jadi kamu pemilik perusahaan?" ucapku mulai kesal. Ngibul boleh, tapi kalau keterlaluan jangan. Aku tertawa kecil dengan memberikan tatapan tidak percaya.
Kepala ini terpaksa mengikuti arah pandangan. Jari telunjuk mengetuk tulisan tepat di bawah namanya pada kartu nama dan surat pengantar, yang bertulis:
~~
Alexander Dominic
Chief Executive Officer
~~
"Masih kurang percaya?"
DUH!
Sudah kedua kali aku dibuatnya melongo. Lelaki muda ini ternyata seorang CEO. Beruntung Mbak Lani segera datang. Dia langsung menyambutnya dengan posisi yang memantik dahi ini berkerut.
"Selamat datang, Pak Alex. Sekretaris bapak bilang akan datang hari besok."
"Iya. Ini dengan Mbak Lani, ya?"
"Iya, Pak. Saya Lani. Dan ini teman saya, Raya," ucapnya sambil menyenggol lenganku. "Maaf, karena saya pikir Bapak tidak datang hari ini, jadi saya tidak memberikan pesan pada teman saya ini."
Aku menatap mereka dengan heran. Berarti dia benar-benar seorang pimpinan perusahaan itu? Sampai-sampai kedatangan di perpustakaan ini sudah diatur oleh sekretaris.
"Oh, pantas," serunya sambil tertawa.
Senyum Mbak Lani menyurut. Dia menggelengkan kepala ke arahku, sorot matanya terlihat menuntut jawaban.
"Oh, tidak apa-apa. Mbak Raya ini menghandle saya dengan baik. Cuma dia sempat berpikir kalau saya masih kuliah. Apa penampilan saya masih terlihat seperti anak muda, ya?" ucapnya sambil tertawa.
Mbak Lani pun ikut tertawa. Aku juga, setelah sikunya di arahkan kepadaku.
Untung saja, drama tidak berlanjut. CEO itu melanjutkan masuk ke ruang perpustakaan. Mbak Lani terlihat mengistimewakan dia. Seniorku itu mengantar sampai ke gedung yang dia maksud.
Tujuannya, gedung yang menyimpan jurnal penelitian.
*
"Ganteng, ya," ucap Mbak Leni sambil menghempaskan bokong ke tempat duduk. Dia membuka tas yang dia bawa tadi. Mengambil minuman botolan dan disodorkan kepadaku.
"Tukang jusnya tutup. Kopi ini cukup kan?"
"Lebih dari cukup. Ini kesukaanku. Walaupun kopi botolan, tapi diminum tidak bikin kembung."
Aku membuka tutup berwarna merah, kontras dengan botol yang berwarna hitam.
"Makasih, ya, Mbak. Aku tidak perlu bikin kopi lagi," ucapku setelah meneguk setengah dari isi botol.
Kopi dingin dengan pemanis dari gula aren. Rasanya mantap. Aku menerima roti pisang yang disodorkan Mbak Leni. Kami menikmati di waktu senggang sambil berbincang ringan.
"Dia keren, ya?"
"Siapa?" tanyaku setelah menenggak habis sisa kopi.
"Alexander Dominic."
Aku tertawa kecil. Hanya orang sakit mata yang mengatakan laki-laki itu tidak keren.
"Laki-laki seperti dia itu, calon suami idaman. Ganteng, tajir, pinter. Pokoknya paket komplit!" seru Mbak Leni.
Dia ini memang lebih tua dua tahun dariku. Tubuhnya mungil dengan wajah yang selalu tersenyum. Rambutnya yang dipotong pendek, mengelabui usia dan statusnya yang sudah janda dua kali.
Aku tidak habis pikir, kegagalannya tidak menyurutkan dia berganti-ganti pacar. Katanya, pernikahan yang ketiga nanti harus menjadi yang terakhir. Makanya, seleksi harus ketat.
"Menurut kamu bagaimana, Raya? Kita kan sama-sama jomlo. Siapa tahu bisa menggaet dia," ucapnya semakin tidak karuan.
"Mbak Leni. Itu kejauhan. Halusinasinya terlalu jauh."
"Lah. Siapa tahu, Yak. Seperti di novel online, CEO kecantol gadis desa yang lugu. Atau pewaris tunggal, jatuh cinta dengan pembantu. Atau, CEO ndeso kepincut karyawannya. Kita kan lebih dari itu. Iya, kan?"
Aku tertawa.
"Itu hasil ngimpi penulis, Mbak," celetukku.
Dalam hati aku tertawa. Beberapa yang dikatakan Mbak Leni itu hasil tulisanku yang dimuat di platform novel online. Nama pena menyembunyikan identitasku. Jadi walaupun mendapat pembaca yang aku kenal, dia tidak tahu itu aku. Seperti Mbak Leni ini.
"Lah. Siapa tahu, Yak. Ucapan itu doa," ucapnya kemudin menggeser tempat duduk. Dia mendekat.
"Tapi seandainya dia suka kamu, kamu mau, kan?"
*****
Aku terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ogah. Laki-laki yang tampangnya pas-pasan saja banyak yang belagu. Apalagi seperti dia? Bisa makan hati setiap hati." "Kenapa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin." "Laki-laki seperti Alexandra Dominic itu, anggap saja makhluk astral. Ada tapi tidak bisa dijangkau. Dia itu–" Ucapanku terhenti seketika. Dia ini benar-benar makhluk astral. Disebut namanya langsung muncul di hadapan. "Em... Mbak Raya. Ini ternyata sekretaris saya sudah menitipkan foto. Tadi jatuh di dalam tas," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar foto berukuran kecil. Mbak Leni yang duduk membelakangi langsung membalikkan badan, dengan posisi seperti tadi. Bibir lelaki ini menyunggingkan senyuman tipis. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi, ya? Ingin segera mengusir orang itu, aku langsung menempel foto itu ke kartu perpustakaan dan menyerahkan kembali. "Sekarang Pak Alex bisa menggunakan untuk meminjam buku," ucap Mbak Leni sambil mengangguk. Lagi-lag
Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang. "Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar. "Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut. "Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?" Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana." "Kalau saya ambil besok, bisa?" Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya. "Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat. Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku. "Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya. "Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus. Mata ini melebar, walaupun ber
“Ada yang salah?” Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan. Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk. “Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino. Huft! Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana. “Kenapa disembunyikan?” “Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. “Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant. Aku mengernyit. ‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih bai
“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso
Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu