Aku terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ogah. Laki-laki yang tampangnya pas-pasan saja banyak yang belagu. Apalagi seperti dia? Bisa makan hati setiap hati."
"Kenapa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin."
"Laki-laki seperti Alexandra Dominic itu, anggap saja makhluk astral. Ada tapi tidak bisa dijangkau. Dia itu–" Ucapanku terhenti seketika. Dia ini benar-benar makhluk astral. Disebut namanya langsung muncul di hadapan.
"Em... Mbak Raya. Ini ternyata sekretaris saya sudah menitipkan foto. Tadi jatuh di dalam tas," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar foto berukuran kecil.
Mbak Leni yang duduk membelakangi langsung membalikkan badan, dengan posisi seperti tadi.
Bibir lelaki ini menyunggingkan senyuman tipis. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi, ya? Ingin segera mengusir orang itu, aku langsung menempel foto itu ke kartu perpustakaan dan menyerahkan kembali.
"Sekarang Pak Alex bisa menggunakan untuk meminjam buku," ucap Mbak Leni sambil mengangguk.
Lagi-lagi dia tersenyum. Yang membuatku terkesiap, dia mengerakkan kepala ke arahku.
"Mbak Raya keren, ya. Bisa melihat makhluk astral."
'Mati aku!'
Laki-laki ini terlihat jelas menjahiliku. Sepertinya dia bahagia melihatku keki karena kedapatan mengatai dia makhluk astral.
"Boleh, Mbak Leni? Mbak Raya membantu saya?" ucapnya setelah matanya menyipit ke arah name tagku. Dia menunjukkan senyuman kepada Mbak Leni. Sepertinya dia tahu, seniorku ini menatapnya tanpa berkedip.
"Saya tidak hanya membutuhkan jurnal, tetapi juga buku pustaka. Kalau diperbolehkan meminta bantuan, saya ucapkan terima kasih. Tapi itu, kalau tidak merepotkan," ucapnya sekali lagi.
Perkataannya, terlihat jelas dia orang yang piawai bernegosiasi. Permintaan paksaan yang dibalut permohonan.
'Huft!'
"Boleh, Pak. Silakan. Tidak merepotkan, kok. Memang kami bertugas membantu siapa saja yang bertandang di perpustakaan ini."
Mataku melirik ke arahnya. Melayangkan protes, tapi dibalas dengan kedipan mata.
"Iya, kan, Raya. Apalagi untuk anggota baru seperti Pak Alexander ini. Pasti kesulitan dengan bangunan seluas ini."
"Bagaimana, Mbak Raya?"
"Baik, Pak. Siap," jawabku. Aku berusaha menarik kedua sudut bibir ini. Bagaimana tidak harus, Mbak Leni sudah melotot ke arahku.
Selama bekerja di perpustakaan ini, tidak pernah ada layanan seperti ini. Memang perpustakaan dengan empat gedung utama, terlihat membingungkan.
Namun, semua ada petunjuk dan ada penjaga di setiap gedung. Walaupun ada yang kebingungan, pasti dibantu seperlunya. Tidak diharuskan menguntit, seperti yang aku lakukan sekarang ini.
"Mbak Raya tidak capek?"
"Tidak."
"Maaf, ya. Saya merepotkan."
Aku mengangguk sambil tersenyum. Tumpukan buku dari troli aku letakkan di meja pilihannya. Hatiku bersorak, setelahnya aku akan terbebas darinya.
"Mbak Raya tidak duduk?"
"Maaf, kami tidak bertugas untuk menemani pengunjung. Saya permisi."
"Baik. Terima kasih," jawabnya dengan tersenyum.
Hatiku yang tadi bersorak, kini merasa kehilangan. Langkah ini melamban, kemudian menoleh ke belakang.
Dia terlihat serius membuka buku-buku yang diminta. Semua terkait dengan fisika dan kimia. Aku mengerti itu, karena aku lulusan jurusan MIPA-Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Ada yang tidak lengkap. Seharusnya, dia tidak membiarkan aku pergi. Semestinya lelaki itu menahanku dan meminta untuk duduk menemani.
Duh!
Imaginasiku mulai liar. Segera aku menggelengkan kepala, mengusir bayangan yang tidak masuk akal.
'Adegan seperti itu hanya di novel romansa. Dalam kenyataan mana ada, Raya?' cemooh hatiku. Aku tersenyum, sambil melanjutkan langkahku. Kepala ini mulai dipenuhi ide untuk lanjutan ceritaku.
Menulis cerita fiksi secara maraton, sering kali memori di kepalaku tercampur dengan kehidupan nyata. Terkadang, tidak membedakan mana yang fiksi, mana yang kejadian yang sebenarnya.
Emosi yang ditampilkan dalam cerita, sering kali terikut dalam keseharian. Mbak Leni dan Jaka-pegawai perpustakaan bagian jurnal- yang sering menjadi korban.
Pernah, gara-gara aku merilis bab pertengkaran suami istri. Sang suami tertangkap berselingkuh dengan orang yang pernah dia bantu. Kesalnya berlipat, kan?
Dan, Jaka yang menjadi korban dengan kejudesanku. Gara-gara dia membicarakan gosip artis yang selingkuh.
"Laki-laki memang begitu. Tidak cukup dengan satu perempuan."
"Jangan disalahkan laki-lakinya saja, dong. Ini kan perselingkuhan sama-sama punya pasangan. Berarti ceweknya juga," celetuk Jaka. Saat itu kami makan siang bersama.
Terang saja aku sewot. Karena sama-sama jenis kelaminnya, dia begitu membela.
"Kalau laki-lakinya setia, pastilah dia tidak akan tergoda. Walaupun ada perempuan gila di luar sana. Iya, kan?"
"Tapi, Raya. Bertepuk tangan akan berbunyi kalau dua tangan ditepukkan bersama."
Aku masih tidak terima. "Kalau begitu, ya jangan menyambut tangan yang ingin ditepuk! Dasarnya laki-laki buaya. Ada perempuan kesepian, langsung seperti mendapat kesempatan," ucapku tidak mau kalah.
Kalau sudah begitu, Mbak Leni yang menengahi.
"Sudah-sudah. Kalian ribut amat. Mereka yang selingkuh saja santai dan ketawa-ketawa. Kalian malah saling ngotot."
"Bagaimana tidak ngotot, Mbak. Jaka membela laki-laki."
"Iya, lah. Kan aku laki-laki," sahut Jaka sambil tersenyum mengejek.
"Dasar laki-laki semuanya sama," sahutku sambil mendengkus kesal.
"Tidak semua begitu. Buktinya aku selalu menunggumu setiap malam minggu."
"Gombal kamu, Ka. Kelihatan buayanya. Satu minggu ada tujuh hari, jadi ada tujuh nama perempuan. Edan!"
Jaka dan Mbak Leni saling berpandangan, dan tertawa bersama. Mereka sudah maklum dengan emosiku yang tidak stabil. Kalau sudah mereda, aku sadar sendiri, dan minta maaf kepada teman kerjaku itu.
"Iya tidak apa-apa. Pasti lagi PMS, ya?"
"I-Iya, Mbak."
Aku iyakan saja, daripada menjelaskan yang sebenarnya. Toh gejalanya sama.
PMS, gejala yang terjadi pada wanita, biasanya antara ovulasi dan menstruasi. Perubahan hormon akan berpengaruh pada emosi yng tidak stabil. Biasanya, orang itu akan merasa kesal walaupun menghadapi masalah kecil.
Namun kekesalanku sekarang, bukan karena PMS atau efek menulis tentang perselingkuhan, tapi karena di brondong itu lagi.
Bagian peminjaman buku menghubungi karena ada yang bersikukuh meminjam buku lebih dari aturan.
"Saya membutuhkan itu semua. Bagaimana bisa saya hanya diperbolehkan meminjam dua buku saja?!"
Baru turun tangga, suara ngotot itu sudah terdengar. Langkah aku percepat, dari belakang sudah bisa aku tebak dia itu siapa. Si Alexander Dominic.
Tubuhnya menjulang. Bajunya tidak terlihat rapi seperti tadi, lengan bajunya sudah terlipat sampai siku. Di depannya, ada setumpuk buku-buku tebal.
"Kenapa, Pak Arya?"
Pak Arya pegawai lama di sini. Saking lamanya, setahuku masa bakti tertinggal satu tahun saja.
Petugas senior ini menjelaskan sekilas. Ini menjadi tugasku dan Mbak Leni kalau ada masalah yang tidak bisa dipecahkan mereka.
"Maaf, Pak Alexander. Memang peraturannya seperti itu," ucapku sambil menunjuk standing holder berisi peraturan.
Meminjam buku maksimal dua buah, dengan lama pinjam tidak lebih dari tiga hari. Ini dikarenakan supaya semua pengunjung bisa bergilir meminjam buku-buku itu.
Makanya, saat aku dulu kuliah dan membutuhkan buku lebih dari satu, aku meminta tolong teman lainnya.
"Mbak Raya. Tolong bantu saya, please," ucapnya setelah membalikkan badan ke arahku.
Wajahnya terlihat lega, dengan menunjukkan lesung pipit melalui senyuman. Matanya mengerjap, memperindah manik yang berwarna hazel itu. Dia ini CEO, tapi kelakuannya tidak membohongi usia.
'Tidak bakalan aku tergoda,' bisik satuku sambil menarik satu sudut bibir.
"Tidak bisa, Pak. Ini sudah aturan di sini."
"Zaman sekarang sudah tidak kaku. Mbak Raya pasti bisa membantu," ucapnya, kemudian menarikku dan berbisik, "Atau, saya bisa titipkan amplop?"
Kesal!
Aku paling tidak suka dengan orang yang menggampangkan sesuatu dengan uang. Merasa sok dan bisa membeli segalanya dengan rupiah.
"Pak. Bukan itu masalahnya. Tapi ini peraturan. Sekelas anda harusnya tanpa dijelaskan, tahu benar peraturan itu untuk apa?" ucapku menerocos. Aku menghela napas untuk mengambil jeda, sebelum melanjutkan.
"Kalau Pak Alex mempunyai uang, lebih baik fotokopi saja. Jangan mentang-mentang mempunyai perusahaan, terus merasa semua bisa dibeli. Maaf!" seruku dengan dengan kedua alis bertaut.
Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang. "Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar. "Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut. "Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?" Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana." "Kalau saya ambil besok, bisa?" Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya. "Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat. Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku. "Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya. "Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus. Mata ini melebar, walaupun ber
“Ada yang salah?” Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan. Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk. “Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino. Huft! Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana. “Kenapa disembunyikan?” “Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. “Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant. Aku mengernyit. ‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih bai
“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D
“Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso
Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke
Ingin tertawa, melihat bibirnya yang mengerucut menggemaskan.Namun, aku tidak bisa berkutik, terlebih saat tangan Mbak Leni mengalung erat di lenganku. ‘Sorry!’ ucapku tanpa bersuara. Melafalkan kata berharap dia mengerti yang aku maksud.Sedangkan seniorku ini, asyik menceritakan ada lapak baru di kantin. Katanya menjual gado-gado uleg dan karedok. Katanya pemiliknya asli dari Sunda yang memastikan rasa benar-benar khas. “Kita ke sana, Yak! Makan sayur segar bagus untuk kita untuk melawan usia. Tahu kan,wanita Sunda terkenal berkulit halus, cantik, dan awet muda,” ucapnya sambil menunjuk tempat yang akan kami tuju. “Terus setelah makan, kita berubah lebih muda sepuluh tahun?” “Harapannya, sih. Seperti aku ini,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Aku tertawa. “Berarti makanan ini bahaya untuk anak-anak.” “Iya. Apalagi kalau masih dibawah umur sepuluh tahun, bisa dia berubah jadi zigot setelah makan ini,” ucapnya berakhir kami tertawa bersama. Bukan Alexander Dominic namanya, k
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu