Share

Bab 8. Niat Lain

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya.

Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan.

Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku.

“Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?”

Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda.  Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa.  Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. 

Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku.

Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemudian menoleh ke arahnya.

“Mbak Raya suka makan pizza, kan? Pizza Itali yang kriuk.”

“Kok tahu?”

Dia tertawa sambil membuka sabuk pengaman.

“Tahulah. Aku kan makhluk astral. Ayok!” serunya tanpa memedulikan keherananku.

Sejenak aku berdiri di depan pintu mobil. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Bangunan dua lantai ini masih sama seperti dulu. Berwarna dominan hijau dan pohon kamboja di beberapa titik. Bedanya, sekarang tumbuhan semakin rimbun saja.

Ini memang tidak jauh dari kampus tempatku bekerja. Akan tetapi semenjak selepas lulus dan kejadian tragis itu, keinginanku untuk memuaskan diri, musnah. Aku terlalu asyik menghukum diri, dengan bekerja dan berkutat di dalam kamar. Hanya di akhir minggu saja aku keluar dari rutinitas. Itupun ke  budidaya lebah milik Ria temanku, atau menemani Lisa di laboratorium. Lisa dan Ria ini teman sefakultas dulu.  

“Kita di atas saja. Mbak duluan, saya pesan makanan. Isian tuna dengan slice olive, kan?”

Sekali lagi aku mengernyit. Ingin melontarkan pertanyaan, tapi keburu punggung lebar itu meninggalkan aku.

Tangga dari papan kayu ini masih sama. Cat terkelupas terutama di tempat tapak kaki. Dulu saat mahasiswa, aku sering ke sini. Aku merelakan menyisihkan uang bulanan, untuk menikmati pizza dengan topping tuna dan irisan buah zaitun. Untungnya, saat itu aku mendapatkan tiga beasiswa, yang bisa menambah jatah kunjungan ke tempat ini.

“Pesanan datang!”

Alex datang diikuti dua karyawan yang membawa pesanan. Benar, pizza ukuran besar kesukaanku menguar harum yang aku rindukan. Aku masih menatapnya heran, terlebih saat minuman dingin berwarna kuning terhidang di sebelahnya.

“Ginger zinger jus. Paduan dari pineapple, orange, dan ginger.  Iya, kan?”

“Tunggu sebentar. Dari tadi kamu kok seperti mengerti kesukaanku?”

Dia menggeleng mengelak. “Tidak. Saya tidak tahu. Kebetulan saja aku suka ini dan ingin makan bersama teman.”

“Terus, minuman ini juga.” Aku meneleng, memberi tatapan curiga.

“Kalau makan yang berbau ikan tuna, minuman ini dianjurkan untuk menghilangkan bekas di mulut. Makan, yuk. Cacing saya sudah unjuk rasa,” ucapnya sambil membuka mulut.

Satu slice pizza dengan keju yang memeleh, lenyap begitu saja. Tak terasa, aku menelan ludah. Pertanda tidak sanggup mengabaikan makanan kesukaanku ini. Menu yang selalu sama di setiap kunjunganku dulu di tempat ini.

Kecurigaanku masih tersisa, tapi terkalahkan oleh air liur yang sudah memenuhi mulut ini.

Sambil makan, dia menceritakan tentang dirinya yang belum lama pindah dari luar negeri.  Membuka cabang di negara ini untuk mengembangkan biotek yang nantinya memajukan pertanian dan peternakan. 

"Saya gemas. Kita yang tertulis negara agraris, tapi penduduknya jarang memakan buah.  Beli beras saja terasa berat. Terus, bagaian mana yang disebut negara berbasis pertanian? Harusnya kita kaya raya seperti anak ayam di lumbung padi."

"Itu masalahnya complicated, Pak."

"Eit! Tunggu dulu. Telinga ini tidak nyaman kalau Mbak Raya memanggil saya pak. Panggil saja nama saya."

"Alex?"

"Iya."

Aku tersenyum. Memang dia terlihat jauh lebih muda dibandingkan aku, tapi kok rasanya tidak nyaman memanggilnya nama saja. 

"Saya panggil Mas Alex saja. Bagaimana?"

"Mas Alex ...?" Dia mengangguk-angguk, kemudian tersenyum. "Terdengar bagus."

Kembali, kami berkutat membicarakan pertanian. Yang katanya kita negara berkolam susu, tapi penduduknya pun ada yang minum susu saja sakit perut. Karena tidak tahan dengan kadar laktosa dalam susu sapi.  Ini karena orang itu tidak pernah minum susu.  Aneh, kan?

Dia menjelaskan dengan runtut. Membandingkan sektor pertanian orang luar dan negara ini. Ternyata, CEO brondong yang mengesalkan ini, ternyata mempunyai jiwa nasionalis. Walaupun dari penampilannya, terlihat jelas dia hasil pernikahan campuran. 

"Seusia muda seperti ini, sangat luar biasa sudah mempunyai perusahaan dan memegang jabatan CEO. Dulu saat kecil makannya apa, sih?' ucapku mulai santai. 

"Makan beton dan kawat besi." Dia tertawa.

"Saat sekolah dulu, saya mengikuti program akselerasi. Jadi sekolahnya loncat-loncat. Makanya setelah lulus S2 masih terbilang muda, dan langsung membentuk perusahaan. Kebetulan mendapat sponsor."

Rasa kagum mulai menyeruak. Di masa anak muda pada umumnya berkutat dengan cinta-cintaan, dia sudah disibukkan dengan bagaimana caranya mengembangkan perusahaan. 

"Hebat! Pasti orang tua sangat membanggakan kamu."

Bukan membalas senyumku, dia justru menghela napas. Dia justru meneguk minuman dingin sampai tandas. Seperti tergesa, sampai bajunya basah karena ketumpahan. 

"Seandainya mereka mempunyai kesempatan."

Aku mengernyit.  "Ayah dan ibu kamu ....?"

"Iya. Ibu saya yang orang sini, meninggal saat melahirkan saya. Sedangkan laki-laki yang seharusnya dipanggil papa, justru kembali ke negara asal. "

"Oh, maaf." 

"Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa. Kakek yang satu-satunya aku kenal sebagai kerabat pun meninggal tahun lalu. Dan dia memberi wasiat untuk kembali ke sini."

"Maaf, ya. Kalau membuatmu bersedih, tidak usah melanjutkan cerita."

Dia sekarang tersenyum membalas tatapan kekawatiranku. Kalau membicarakan orang tua, dada ini terasa sesak. Seakan mengingatkan aku, kalau tidak mempunyai kesempatan membanggakan Bapak. 

"Justru dengan bercerita, saya merasa memiliki teman lagi."

Banyak yang ingin aku tanyakan, tapi mulut ini terkunci. Kawatir hanya menimbulkan kesedihan. 

"Tapi tidak hanya wasiat Kakek yang membuatku kembali ke sini. Saya mencari seseorang yang menjadi alasanku untuk mempercepat langkah tanpa tergantung dengan usia. Saya ingin secepatnya sukses, untuk menyamakan usia dengannya."

"Siapa?"

Mataku menyipit, melihat bibirnya tersenyum . "Cinta pertamaku."

Anehnya, Alex justru menatapku dalam--seperti orang jatuh cinta. 

"Maksudmu?"" 

*****

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Priati Sjam
lanjut saya suka
goodnovel comment avatar
Tuti Lestari
ok lanjud, saya penasaran dng ceritanya
goodnovel comment avatar
Abdul Ghofur
lanjutlah bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 9. Tersengat

    Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 10. Masih Mau?

    “Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 11. Berimbas

    Namun, isi kepalaku ini masih saja dipenuhi dengan nama Alexander Dominic. Seperti orang gila, di setiap apa yang aku kerjakan, ingatan itu hadir. Menjengkelkan, lucu, dan berakhir dengan mendatangkan senyuman. Gilanya lagi, ini berimbas pada cerita yang aku tulis. Alur langsung banting setir. Seharusnya si mantan suami menikahi pelakor dan mendapatkan azab, ini justru bersimpuh dan mengajukan rujuk. Jalan cerita yang aku rancang berakhir dengan kebencian, sekarang malah diliputi bunga-bunga cinta. Pasangan yang mendapatkan badai itu, mendapatkan kesempatan kedua dan mengalami jatuh cinta pada orang yang sama. “So sweet banget, Tor. Lanjut! Aku bacanya senyum-senyum.” “Bener banget ini, seperti kisahku. Cobaan justru mempererat hubungan kami, dan tambah cinta dan mesra.” “Aku menangis, Mbak Otor. Seandainya mantan suamiku seperti itu.” Komentar senada memenuhi di bab-bab yang menunjukkan keromantisan mereka. Aku tersenyum, ternyata mendulang pembaca tidak harus membangkitkan ke

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 12. Logika dan Perasaan

    Ingin tertawa, melihat bibirnya yang mengerucut menggemaskan.Namun, aku tidak bisa berkutik, terlebih saat tangan Mbak Leni mengalung erat di lenganku. ‘Sorry!’ ucapku tanpa bersuara. Melafalkan kata berharap dia mengerti yang aku maksud.Sedangkan seniorku ini, asyik menceritakan ada lapak baru di kantin. Katanya menjual gado-gado uleg dan karedok. Katanya pemiliknya asli dari Sunda yang memastikan rasa benar-benar khas. “Kita ke sana, Yak! Makan sayur segar bagus untuk kita untuk melawan usia. Tahu kan,wanita Sunda terkenal berkulit halus, cantik, dan awet muda,” ucapnya sambil menunjuk tempat yang akan kami tuju. “Terus setelah makan, kita berubah lebih muda sepuluh tahun?” “Harapannya, sih. Seperti aku ini,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Aku tertawa. “Berarti makanan ini bahaya untuk anak-anak.” “Iya. Apalagi kalau masih dibawah umur sepuluh tahun, bisa dia berubah jadi zigot setelah makan ini,” ucapnya berakhir kami tertawa bersama. Bukan Alexander Dominic namanya, k

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 13. Bukti

    Mungkin menjadi seorang CEO, modal utamanya adalah keras kepala. Kata penolakan tidak menyurutkan keinginan. Karena itu, mungkin menjadikan Alexander berhasil dalam menjalankan perusahaan. Terlebih, bidang yang dijalani tidak seperti pada umumnya. Berbanding terbalik denganku, yang maju mundur antara iya atau tidak. Pertarungan antara hati dan isi kepada menjadikan aku di persimpangan. Upaya dia untuk lebih dekat denganku membuatku bahagia, tetapi sesaat kemudian menjadikan aku seperti pemimpi di siang bolong. Angka sembilan tahun bukan hal remeh. Bayangkan saja, ketika aku sudah kelas tiga SD, dia baru lahir. Ketika aku sudah mengenal kata cinta monyet, dia masih sibuk berlatih membersihkan ingus. “Aku memang sudah di usia ambang, tetapi bukan berarti aku menerima siapapun yang datang. Kalaupun aku harus menikah, sepertinya kamu bukan pilihan,” ucapku saat dia menelpon tadi malam “Apa alasannya? Masih sibuk menghitung usia?” “Tentu saja iya. Wanita menikah itu untuk mencari ima

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 14. Tak Sengaja

    Aku pernah membaca quote di media sosial. Katanya, perlu manajemen pikiran untuk menjaga kewarasan. Memang benar, kalau semua dipikir bersamaan, kepala ini akan meledak. Rencana kedatangan ibu, alur cerita yang aku tulis yang tersendat, juga tawaran Alex yang menjadikan kaki ini maju mundur. Lebih baik, aku memasukkan semua itu ke dalam almari dan menutup rapat-rapat. Tentu saja supaya aku bisa menikmati hidup, terutama saat makan seperti sekarang. Warung pojok yang terletak di ujung gang kos-kosanku dulu menjadi tujuanku. Tempatnya hanya selangkah dari pintu gerbang kampus di sisi samping. Sekalian menikmati suasana segar dari anak-anak kampus yang berburu makanan murah dan enak, plus mampu membuat perut kenyang. “Tumben baru kelihatan, Mbak Raya. Sibuk?” “Iya, Bu. Kerjaan numpuk, padahal sudah kangen makanan di sini,” jawabku ke pemilik warung yang sudah mengenalku sebagai pelanggan tahunan. “Lauknya biasanya?” Aku menunjukkan jempol, karena mulutku sudah penuh dengan kerupuk

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 15. Mencari Tahu

    Sejenak aku terdiam. Bohong kalau jantungku baik-baik saja. Dia berdegub kencang, beriringan dengan hari yang berdesir indah. Mataku membalas manik hazel yang bersorot sendu. Senyumku mengembang dan berujung pada tawa tergelak. “Gombal boleh. Tapi jangan ngibul ketinggian. seruku sambil melayangkan telapak tangan ke lengannya. Dia berkelit, dan aku mengejarnya sampai dia mengaduh. Mataku mengedarkan pandangan, tepi jalan paving ini dipenuhi semak-semak tinggi “Mana ada lamaran di jalanan sepi seperti ini. Tidak romantis amat! Dasar gombal!” Langkah aku segerakan mendahuluinya. Sekilas, tangan ini menepuk dada, memastikan jantung dan hatiku di posisi aman. Huft! “Pak Alexander. Ternyata ada di sini. Saya mencari dimana-mana ingin memberi tahu kalau makan siangnya sudah siap.” Suara yang aku kenal, dan menjadikan alasanku untuk mempercepat langkah. “Mbak Raya!” Mau tidak mau aku berhenti. Pelan aku menoleh dan kedua orang itu melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Alex dan

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 16. Mengumpulkan Keberanian

    Rasa tidak tahu diri ini semakin bertambah. Aku seperti wanita tua yang tidak peduli dengan kerutan yang mulai berbayang di sudut mata. Apalagi dorongan dari orang sekitarku yang semakin menguapkan rasa tidak percaya diri. “Cie …. Yang lagi pendekatan dan mulai jatuh cinta.” “Siapa?” tanyaku ke Mbak Leni. Aku berjongkok membelakangi, pura-pura merapikan file yang sudah aku tata tadi. “Kamu, lah.” Gerakan tanganku terhenti. Tidak mungkin kalau Mbak Leni tahu, aku sedang dekat dengan Alex. Selama ini aku berusaha bersembunyi dari teman-teman di perpustakaan ini. Tubuhku mundur dengan sendirinya, saat tiba-tiba dia ikut berjongkok sambil menelengkan wajah. “Siapa laki-laki itu? Bukan Jaka, kan?” Aku tertawa dan menggeleng. Dalam hati bersyukur ternyata Mbak Leni tidak tahu yang sebenarnya. Ini kesempatan aku berkonsultasi dengan senior yang berpengalaman dalam percintaan beda usia ini. “Kelihatan, ya, Mbak?” Aku berdiri. Tidak butuh lagi menyembunyikan diri dengan pura-pura. Dia

Bab terbaru

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 128. Tujuan Pernikahan  

    Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 127. Aku Ingin

    Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 126. Orang Dekat

    “Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 125. Hari Pertama

    “Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 124. Istri Kok Dilawan

    (pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 123. Sudut Pandang yang Berbeda

    Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 122. Membiasakan Diri  

    “Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 121.  Kembali

    “Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 120. Akhirnya

    Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu

DMCA.com Protection Status