Share

Bab 2. Kekacauan

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dia terkesiap, matanya terbelalak.

Mungkin, tidak percaya kalau aku mampu melakukannya. Tangan ini dia lepaskan, kemudian dia menangkup kepala.

Dari sela-sela jemarinya, mengucur darah segar. Sengaja aku arahkan ke dahi.

Ini tidak akan menimbulkan akibat fatal, dari pada terkena tengkuk.

“Perempuan kurang ajar!” serunya sebelum lelaki kurang ajar itu ambruk di lantai. Saat itu, dengan sisa kekuatan aku berhasil menghubungi Bapak.

Kami pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

***

“Maafkan Bapak, Nduk. Bapak yang salah karena menyebabkan kamu seperti ini.”

Bapak menangis sambil menciumi tanganku.

Orang tua mana yang sanggup melihat keadaan anaknya yang lebam di pipi dan memar di punggung akibat tendangan?

Bapak begitu geram melihat keadaanku. Bahkan tadi sempat menambah tendangan dan pukulan pada Arman.

Kemarahan itu redam kala beberapa hari kemudian keluarga beserta Arman datang ke rumah. Arman bersujud mengaku bersalah. Dia melantunkan kata-kata yang merujuk kalau dia khilaf karena begitu terpesona denganku.

’Seterpesonanya seseorang, kalau sayang tidak mungkin memaksakan kehendak,’ batinku saat itu.

Rasa penyesalan juga dilontarkan oleh orang tuanya. Ibu Arman bahkan meminta izin untuk membelai kepala ini.

“Cah ayu. Maafkan Arman, ya. Sebenarnya dia anak baik, mungkin karena dia salah pergaulan yang menyebabkan ini terjadi. Dia hanya tidak sabar menunggu bersama denganmu, Cah ayu.”

Pak Sanjaya, teman Bapak berbicara berdua di ruang depan. Entah apa yang dibicarakan, setelahnya Bapak justru mendukung untuk meneruskan rencana pernikahan. Bahkan rencananya akan dipercepat. Dengan lantang aku menolak.

“Maaf. Saya tetap tidak mau menikah dengan Mas Arman. Sampai kapanpun,” jawabku bersikukuh.

“Dipikir sekali lagi. Semua orang sudah tahu kalau kalian akan menikah. Kalau Arman tidak apa-apa tidak jadi menikah. Dia laki-laki.  Kalau pihak perempuan justru akan mendapatkan kerugian. Apakah kamu mau seperti itu?” ucap Pak Sanjaya terlihat mulai tidak sabar.  “Kami melakukan ini karena kasihan denganmu.”

Aku mengerutkan dahi, merasa harga diriku terusik. Kasihan? Lebih kasihan lagi, kalau aku menyerahkan hidup ini kepada laki-laki yang otaknya berada di antara dua paha. Aku tidak membayangkan menghabiskan umur dengan orang seperti itu.

Bapak akan bicara. Tapi aku menyentuh lengannya, memberi tanda aku ingin bicara.

“Terima kasih Pak Sanjaya dengan perhatiannya. Tapi, saya tidak membutuhkan itu. Yang dilakukan anak bapak sudah masuk pada ranah kriminal. Saya tidak hanya menolak pernikahan ini, tetapi saya akan melaporkan anak bapak karena berniat jahat.”

Calon suami yang sudah aku buang itu, tertawa kecil. Wajahnya terlihat mengejek. “Halah. Memang kamu akan melaporkan apa? Mengatakan kalau aku memaksa kamu? Kita ini calon suami istri, wajarlah kalau mesra-mesraan. Kamu pun tidak aku paksa untuk berduaan denganku, kan?”

“Arman! Yang dikatakan Raya benar. Ternyata kamu tidak tepat mendapat kepercayaan mendapatkan anakku!” teriak Bapak.

Suasana semakin tidak terkendali, Pak Sanjaya juga ikut berdiri. Bapak dan Pak Sanjaya beradu mulut. Saling teriak dan saling menuding.

“Lihat saja nanti, anakmu pasti tidak bakal menikah. Siapa yang doyan dengan perempuan sisa!” teriak ayah dari lelaki kurang ajar itu.

Tangan Bapak terlihat bergetar hebat, mungkin dia tidak mengira kalau temannya tega melontarkan kata-kata itu.

“Lebih baik, anakku tidak menikah dibanding menjanda akibat anakmu yang bejat!” teriak Bapak tidak mau kalah.

Aku dan Ibu menahan lengannya.

Sebagai anak satu-satunya, aku harus membela martabat keluarga. Aku mengerti hukum, alat yang mampu menunjukkan kebenaran.

“Pak Sanjaya, Ibu, dan Arman. Kita tidak usah bertengkar di sini. Pengadilan akan menunjukkan siapa yang benar. Saya akan menuntut kalian.”

“Apa buktinya?”

Aku menoleh ke arah lelaki yang nyaris menjadi imamku. “Visum. Saya sudah menyiapkan ini untuk menunjukkan siapa kamu sebenarnya,” ucapku lantang dengan percaya diri.

Sayangnya, mencari keadilan ternyata hanya impian semu.

Itu hanya tempat berlaga pengacara dan jaksa beradu argumentasi.

Pasal-pasal yang menjadi pijakan, seperti mainan yang dijadikan tameng kepentingan.

Aku tetap menang, tetapi Arman hanya mendapatkan hukuman ringan. Dia masih bisa menampilkan senyuman, bahkan menyiapkan serangan balasan yang menyakitkan.

Pengaruh dan koneksi menggiring opini orang sekitar.

Keluarga Sanjaya memutar balikkan kenyataan. Mereka mencetuskan gosip kalau menggagalkan pernikahan karena aku tidak perawan lagi.

Ia menuduhku dan memberi tuntutan ke pengadilan hanya untuk alibi semata.

Tudingan demi tudingan secara kejam menyerangku. Terlebih, kepada Ibu melalui teman sejawatnya. Tak jarang, Ibu pulang dengan tangisan mengadu.

Bapak semakin merasa bersalah. Dia meruntuki dirinya sendiri, karena dialah yang membawa keluarga itu ke tengah-tengah keluarga ini.

“Bapak. Raya tidak apa-apa. Biarkan gosip itu. Toh, nanti akan hilang kalau mereka bosan. Justru raya bersyukur karena diselamatkan dari orang yang tidak menganyomi.”

“Tapi, Nduk. Ini berpengaruh pada masa depanmu. Laki-laki mana yang–”

“Cukup, Pak. Justru orang yang tidak tulus menyayangi Raya, akan tersingkir karena gosip itu. Hanya laki-laki yang tulus menyayangi Raya yang bertekad menikahi Raya. Iya, kan Pak?”

Ucapan itu terdengar mudah. Namun, sebenarnya itu untuk menghibur diriku. Bagaimana tidak, di setiap pertemuan dan dimanapun aku melangkah, ada saja yang berbisik-bisik dengan kasus itu. Pandangan mereka seakan menunjuk kalau aku perempuan tidak benar.

Kesehatan Bapak mulai menurun bersamaan dengan bisnis yang mengalami banyak masalah.

Pak Sanjaya menghasut rekan kerja lainnya untuk menjauhi Bapak. Kami sekeluarga seperti diserang dari segala arah. Mereka seakan tidak puas, sampai kami menyerah.

Puncak dari semua ini, Bapak terkena serangan jantung. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi yang di Atas menghendaki Bapak untuk beristirahat di sisi-Nya. Sejak itu, aku merasa dirikulah yang menjadi pembunuh Bapak.

Seandainya tidak ada rencana pernikahan itu, pasti kemalangan ini tidak terjadi.

Ibu pun memilih pulang ke rumah nenek. Kami sepakat meninggalkan kota yang menjadi mimpi buruk, sementara aku kembali ke kampus tempatku mengenyam pendidikan.

Di sini, aku menjadi penjaga perpustakaan sambil menekuni sebagai penulis cerita fiksi di beberapa platform. Meski beberapa kali ibuku itu memintaku menjalin cinta, tapi aku masih trauma….

“Selamat siang. Selamat siang!”

Teriakan dan lambaian tangan tepat di depan wajah ini, meluruhkan semua kenangan buruk. Aku menyusut air mata yang sempat mengambang di mata ini.

“Mbak petugas perpustakaan ini, kan?”

Mataku mengerjap, mencoba mengumpulkan serpihan kesadaran. Apa aku berhalusinasi? Lelaki di depanku ini tidak seperti mahasiswa yang sering ke sini. Penampilannya pun sungguh berbeda. Warna kulitnya terlalu putih untuk ukuran laki-laki. Rambutnya sedikit berwarna coklat, dan ….

Mataku menyipit. Kenapa manik matanya berwarna hazel?

Aku terhenyak. Mengucek-ngucek kedua mata dengan tangan. Apa sosok di depanku ini nyata? Dia seperti tokoh di cerita fiksi.

“Mbak. Maaf, saya ingin mendaftar anggota perpustakaan. Kata petugas di pintu masuk harus mengurus di sini. Nama saya Alexander Dominic. Ini fotokopi kartu identitas, dan ini ….”

Aku mendengar apa yang diucapkan. Seharusnya aku menyodorkan form pendaftaran dan menyuruhnya melengkapi semuanya. Namun, kenapa aku tetap bergeming, dan mata kurang ajar ini enggan berkedip darinya?

"Ehem! Apa ada yang kurang?"

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Asiah Erap
Mbak aku suka alur cerita novel mu ini ayuh mbak semangat menulisnya.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 3. CEO

    "Ehem! Apa ada yang kurang?"Deheman dan suara yang dikeraskan, menyadarkan aku."I-iya. Harus isi form dulu," jawabku segera.Aku gelengkan kepala, sambil membungkuk mengambil form di laci bagian bawah, dan menyerahnya. Sesaat aku menepuk dada, meruntuki kelakuanku yang kampungan ini. Memang dia terlihat tampan, tapi tidak seharusnya aku melongo seperti orang bodoh.Telunjuk dan ibu jari memposisikan frame kacamataku. Mata rabun ini harus menajam untuk membaca kartu identitas yang terlihat kecil.Nama yang tidak biasa, Alexander Dominic. Sepadan dengan penampilannya yang tidak seperti orang kebanyakan.'Masih bocah,' bisik hatiku.Kalau dihitung dari tahun lahir, dia berusia dua puluh lima. Kemungkinan anak muda ini berasal dari universitas lain yang berkunjung ke sini. Tidak mungkin dia mahasiswa di kampus ini, aku tidak pernah bertemu.Memang aku tidak hapal. Akan tetapi seseorang yang mencolok seperti dia, tidak mungkin terlewat dari pandangan."Selain kartu identitas, dilampirkan

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 4. Ketahuan

    Aku terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ogah. Laki-laki yang tampangnya pas-pasan saja banyak yang belagu. Apalagi seperti dia? Bisa makan hati setiap hati." "Kenapa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin." "Laki-laki seperti Alexandra Dominic itu, anggap saja makhluk astral. Ada tapi tidak bisa dijangkau. Dia itu–" Ucapanku terhenti seketika. Dia ini benar-benar makhluk astral. Disebut namanya langsung muncul di hadapan. "Em... Mbak Raya. Ini ternyata sekretaris saya sudah menitipkan foto. Tadi jatuh di dalam tas," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar foto berukuran kecil. Mbak Leni yang duduk membelakangi langsung membalikkan badan, dengan posisi seperti tadi. Bibir lelaki ini menyunggingkan senyuman tipis. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi, ya? Ingin segera mengusir orang itu, aku langsung menempel foto itu ke kartu perpustakaan dan menyerahkan kembali. "Sekarang Pak Alex bisa menggunakan untuk meminjam buku," ucap Mbak Leni sambil mengangguk. Lagi-lag

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 5. Ditertawai

    Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang. "Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar. "Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut. "Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?" Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana." "Kalau saya ambil besok, bisa?" Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya. "Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat. Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku. "Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya. "Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus. Mata ini melebar, walaupun ber

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 6. Baikan

    “Ada yang salah?” Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan. Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk. “Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino. Huft! Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana. “Kenapa disembunyikan?” “Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. “Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant. Aku mengernyit. ‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih bai

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 7. Sah!

    “Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 8. Niat Lain

    “Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 9. Tersengat

    Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 10. Masih Mau?

    “Jangan bergerak. Gerakanmu memicu racun menjalar ke seluruh tubuh. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu.”Deg! Bukankah ini terlalu berlebihan? Dan ... dari mana Alex kepikiran untuk mencuri adegan yang seharusnya dilakukan oleh calon suamiku? Seperti di cerita-cerita, pengantin perempuan digendong ala bridal saat memasuki kamar pengantin. ****** “Sudah aku bilang, jangan pecicilan. Bukan Raya kayanya kalau omonganku didengar, ya?!”Ria tidak henti-hentinya mengomel melihat lukaku saat ini. Walaupun tubuhnya lebih kecil dariku, tapi kalau sudah mengoceh membuatku mengkerut. Bukannya takut padanya, tapi aku menghindari ucapannya yang panjang kali lebar dikuadratkan. “Sudahlah. Nanti juga kempes sendiri,” ucapku pelan, lalu menarik tangan pelan. Sayang, pegangannya lebih kuat. Dia mengeluarkan salep dari kotak obat yang dia bawa. “Walaupun ringan, sengatan lebah itu mengandung zat beracun. Untuk netralisir dengan salep yang mengandung losion kalamin atau salep hidrokortiso

Bab terbaru

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 128. Tujuan Pernikahan  

    Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 127. Aku Ingin

    Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 126. Orang Dekat

    “Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 125. Hari Pertama

    “Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 124. Istri Kok Dilawan

    (pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 123. Sudut Pandang yang Berbeda

    Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 122. Membiasakan Diri  

    “Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 121.  Kembali

    “Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”

  • CEO Brondong itu Kekasihku   Bab 120. Akhirnya

    Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu

DMCA.com Protection Status