***
Kringg!!
"Ja, katanya ada murid baru yang mau masuk di kelas ini."
"Siapa?"
"Aku juga nggak tahu, Ja. Tapi, kayanya murid barunya laki-laki deh. Soalnya, kelas kita 'kan lagi kekurangan murid laki-laki."
"Selamat pagi, anak-anak." Seorang guru memasuki ruang kelas, membawa seorang siswa di sampingnya.
Setelah jam masuk berdering, seluruh siswa-siswi pun berbondong-bondong untuk memasuki ruang kelas mereka masing-masing.
"Hari ini, Ibu membawa teman baru untuk kalian semua. Silakan perkenalkan diri kamu ke teman-teman, setelah itu cari bangku yang kosong, ya."
"Tuh 'kan bener murid barunya laki-laki."
"Saya Devan Mahendra Aditama, pindahan dari SMA Rajawali."
"Ja, ganteng banget, ya," ucap Aura--sahabat Senja.
"Siapa?"
"Ya, itu muridnya barunya. Namanya Devan, serasi sama mukanya yang ganteng." Aura meletakkan tangan di bawah dagunya, mengamati Devan sampai ia menempati bangku kosong di depan.
"Baiklah anak-anak, sekarang Ibu akan mulai pelajarannya. Keluarkan buku tulis kalian, dan catat materi yang Ibu tulis di papan tulis."
"Udah, Ra. Jangan dilihatin terus, nanti kamu suka lagi." Senja membuka buku tulisnya, mencatat tanggal di bagian atas bukunya.
"Memang aku udah suka sama dia, Ja. Aku udah jatuh cinta sama dia, waktu pertama kali dia memperkenalkan dirinya di depan kelas," ujar Aura.
Senja menoleh, tersenyum ngeledek. "Kamu itu baru lihat dia tadi, masa udah suka sih? Ingat, Ra, itu hati bukan makanan yang bisa dinikmati kalo rasanya enak, dan dibuang kalo udah basi."
"Loh, Ja. Kenapa kamu samain hati aku sama makanan? Jelas, itu beda banget."
"Terserah kamu, Ra. Senja cuman ingatin kamu aja, kalo hati juga punya perasaan." Senja kembali mencatat materi di papan tulis.
Diam-diam, Devan menoleh ke belakang dan memandang Senja yang tengah menulis. Ia tersenyum, saat wajah Senja tampak begitu indah meski dari kejauhan.
"Senja, kenapa Devan lihatin kamu," bisik Aura yang menangkap pandangan Devan, tertuju pada Senja di sampingnya.
"Dia nggak lagi lihatin Senja, tapi dia lagi lihatin kamu, Ra," balas Senja masih merunduk memperhatikan tulisannya.
"Serius? Jadi, diam-diam Devan lihatin aku, Ja?"
"Senja, apa Devan juga suka sama aku, ya," tebak Aura kegirangan.
"Selesaikan catatanmu dulu, baru setelah itu kamu bisa bebas melakukan apa pun."
"Iya, iya, Ja. Sebentar lagi juga selesai kok, jangan galak-galak jadi cewek," sungut Aura baru membuka bukunya.
"Senja nggak galak, Ra, Senja cuman mau Aura fokus dalam pelajaran. Soal cowok itu belakangan, tapi ...."
"Belajar tetap yang utama," sambung Aura dengan senyuman yang memaksa.
"Itu tahu," timpal Senja.
"Ja, aku ini sahabat kamu dari SMP. Jadi, aku udah paham sama semua sifat dan perkataan kamu ini."
Kringg!
Tidak terasa, dering bel berbunyi kembali. Menandakan jika waktunya untuk istirahat, seluruh murid pun berhamburan keluar, mereka memilih untuk mengisi perut yang kelaparan di kantin.
"Ja, kamu mau ikut ke kantin?" tanya Aura beranjak dari bangkunya.
"Senja mau nulis diary, Aura ke kantin sendiri gakpapa 'kan?"
"Yaudah kalo gitu, aku minta Langit aja suruh temenin aku ke kantin." Aura pergi meninggalkan kelas, sementara Senja tetap duduk di bangkunya.
Suasana kelas menjadi hening, karena sebagian dari mereka beristirahat di kantin. Sedangkan, ruang kelas IPS tersebut hanya ada Senja dan Devan yang masih berada di bangkunya. Tidak lama kemudian, Devan menutup sebuah komik di atas mejanya dan berjalan menghampiri Senja yang tengah menulis buku diarynya.
"Devan Mahendra Aditama, siswa pindahan dari SMA Rajawali."
"Alzera Senja Maharani, siswi terpintar di SMA Nusa Bangsa." Senja menerima jabatan tangan itu.
Devan mengangguk dan lebih dulu memutus jabatan tangan keduanya. "Buku diary? Lo suka nulis dibuku diary?"
Senja berdiri dari duduknya, dan menutup buku diary yang ada di tangannya. "Banyak mimpi yang nggak semuanya dapat terwujud, dan banyak cerita yang nggak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Jadi, Senja lebih suka menuliskan mimpi dan cerita di dalam buku diary ini."
Devan mematung, setelah menjawab pertanyaan Devan. Senja pun berlalu pergi, namun satu langkahnya terhenti karena seorang laki-laki telah menghadangnya.
"Ja, kamu menjadi juara satu lomba olimpiade sains tingkat provinsi, yang diadakan minggu lalu."
"Senja!! Selamat, atas kemenangan kamu."
"Makasih, Ra." Senja menerima pelukan dari Aura, keduanya terlihat sangat bahagia.
"Senja, selamat, ya." Devan mendekat sambil menjulurkan tangannya.
"Terima kasih." Senja membalas itu, tanpa menjabat tangan Devan.
Tangan Senja lebih dulu diraih oleh Langit, ia membawa Senja keluar dari ruang kelas. Sedangkan, Aura terus memandang Devan dengan senyuman dan rasa malu-malu.
"Aura!!" panggil Langit dari luar ruang kelas.
"I-iya." Aura bergegas menghilangkan senyumannya, lantas berjalan keluar menyusul kepergian Langit dan Senja.
"Kenapa sih," decak Aura menghampiri Langit dan Senja yang sudah menunggunya di depan kelas.
"Bisa nggak jadi cewek itu jangan kecentilan," ucap Langit datar.
"What?! Siapa yang kecentilan?"
"Kamu, Ra." Senja terkekeh melihat wajah polos Aura.
"Aku cuman mau menunjukan sikap aku ke Devan, biar dia tahu kalo aku suka sama dia," ungkap Aura.
"Senja, kamu harus bertemu bapak kepala sekolah. Karena piala kejuaraan kamu ada di beliau, dan ada sedikit hadiah yang mau beliau berikan ke kamu." Langit kembali menarik tangan Senja dengan pelan, untuk mengikuti langkahnya.
"Ditinggal terus, ditinggal terus. Kayanya nggak bisa, ya, kalo Langit sama Senja itu berjauhan sehari aja," gerutu Aura melipat tangannya di depan dada.
"Nggak bisa."
Aura terbelalak, ia menoleh ke arah samping. Ternyata, suara itu bersumber dari Devan. "Langit itu udah ditakdirkan ada buat Senja, dan Senja juga udah ditakdirkan untuk selalu mengindahkan Langit. Jadi, Langit dan Senja nggak mungkin bisa berjauhan," ujar Devan memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya.
Aura justru mematung mendengar perkataan Devan, ia membuka mulutnya sambil memandang Devan di sampingnya. "Kalo gue boleh tahu, lo itu siapanya Senja?" tanya Devan membuat Aura menjulurkan tangannya cepat.
"Kenalin, aku Aura Margareta. Sahabat sekaligus temannya Senja," ucap Aura dengan senyuman lebar.
Devan mengangguk, tanpa mengeluarkan tangannya dari saku celana. "Lo udah tahu nama gue 'kan? Jadi, gue rasa gue nggak harus memperkenalkan nama gue lagi." Devan berlalu pergi, meninggalkan Aura yang masih menjulurkan tangannya.
"Ah, okey. Gakpapa, Ra, mungkin hari ini Devan nggak menerima uluran tanganmu. Tapi, besok dia pasti akan menggandeng tanganmu," Aura senyum-senyum sendiri, lalu berbalik ke belakang.
"Jangan mimpi." Langit mengetuk puncak kepala Aura menggunakan buku tulis.
"Aduh, Langit. Kamu apa-apaan sih, selalu aja muncul disaat yang nggak tepat. Dan, kenapa kamu melarang aku buat bermimpi? Senja, aja bebas punya banyak mimpi. Kenapa aku nggak boleh," ketus Aura merengut.
"Mimpi kamu sama mimpi Senja itu beda," ujar Langit membuat Senja di sampingnya tertawa.
"Beda apanya sih, sama-sama mimpi juga!" seru Aura.
"Tapi 'kan, Ra, mimpi kamu itu selalu menyangkut tentang cowok," timpal Senja.
"Memangnya salah? Kalo pun mimpi aku itu nggak bisa terwujud, aku akan cari mimpi lain."
"Cari mimpi lain, atau cari cowok lain buat dimimpikan?" balas Langit tanpa ekspresi.
"Ih, kalian berdua itu sama aja. Sama-sama nggak pernah mendukung aku, buat mencapai mimpiku itu!" murka Aura memasuki ruang kelas kembali.
"Langit, Aura jadi marah 'kan. Harusnya Langit nggak ngomong kaya gitu, sebagai teman harusnya Langit bisa dukung Aura," ujar Senja melepaskan tangannya yang sedari tadi berada di genggaman Langit.
"Ja, bukan kaya gitu maksud aku." Langit menyusul Senja, yang juga memasuki ruang kelasnya.
"Ra, maafin Langit, ya. Kamu harusnya udah paham sama sifat Langit yang kaya gitu, dan kamu jangan pernah mengambil hati semua perkataan Langit." Senja terduduk di samping Aura yang tengah menekuk wajahnya, akibat Langit.
"Iya, aku paham. Tapi, aku juga punya perasaan. Jadi, kalian berdua juga harus paham sama perasaan aku ini," ketus Aura memandang Senja tajam.
"Kamu boleh marah ke aku, Ra. Tapi, jangan pernah kamu marah ke Senja. Karena dia nggak salah, dan dia juga sahabat kamu." Langit mendekat.
"Aku nggak marah, aku cuman kesel aja."
"Jangan ditekuk gitu dong mukanya, nanti cantiknya hilang," goda Senja mencolek dagu Aura.
"Biarin."
"Yaudah, kalo gitu aku mau ke kelas dulu, ya." Langit berbeda ruang kelas dengan Aura dan Senja, tetapi kelas mereka bertiga saling bersebelahan.
"Oh, iya. Ra, aku minta maaf," imbuh Langit sebelum pergi meninggalkan ruang kelas IPA 1.
"Terus, piala kamu mana, Ja?" tanya Aura melirik ke samping, tanpa berekspresi.
"Masih di ruangan kepala sekolah, Ra. Katanya Senja bisa ambil piala itu, setelah pulang sekolah nanti." Senja memasukan buku diary-nya ke dalam tas ransel.
"Hai, Senja." Devan tiba-tiba memasuki kelas, dan menghampiri meja Senja.
"Gue bawa cokelat buat lo, gue tahu lo pasti suka sama makanan manis 'kan?" tebak Devan menyodorkan sebungkus cokelat kacang kepada Senja.
Senja terdiam, enggan menerima cokelat itu.
Kenapa Devan bisa tahu, kalo Senja suka banget sama makanan manis. Apalagi, sama cokelat kacang, batin Senja."Ahm, lebih baik cokelatnya buat Aura aja. Daripada kelamaan nggak diambil sama Senja, gakpapa 'kan Devan?" Cokelat kacang itu, diambil oleh Aura dari tangan Devan.
"Gakpapa kok, mau buat Senja atau buat lo juga gakpapa. Yang penting, cokelatnya diterima dan dimakan," kata Devan langsung berbalik arah, dan duduk di bangkunya.
"Hum, kayanya cokelat kacang ini enak banget deh. Jam masuk masih lima menit lagi, jadi masih ada waktu buat makan cokelatnya." Aura membuka bungkus cokelat itu, sementara Senja terus mengamati cokelat di tangan Aura dengan perasaan kalut.
"Senja, juga mau!" seru Senja merebut cokelat itu dari tangan Aura.
"Gengsi?"
Senja berhenti membuka bungkusnya, ia menatap Aura. "Siapa?"
"Kamu lah, siapa lagi yang dikasih cokelat tapi nggak diterima. Terus, waktu aku yang terima cokelatnya kamu ambil," jawab Aura.
"Senja, nggak gengsi, Senja cuman ...."
"Cuman gengsi 'kan," potong Aura membuat Senja mengerutkan keningnya.
"Terserah kamu aja." Senja memakan cokelat itu pelan-pelan, dan dari arah depan Devan memperhatikan Senja yang sedang memakan cokelat pemberian darinya.
"Akhirnya dimakan juga," gumam Devan tersenyum miring.
"Selamat siang anak-anak, kita lanjutkan pelajaran hari ini, ya!" Seorang guru tiba-tiba saja masuk ke ruang kelas IPA. Membuat Senja buru-buru memasukan setengah cokelatnya ke dalam saku baju, dan meneguk air mineral di botolnya.
"Hati-hati makannya," sindir Aura saat Senja sedikit tersedak.
"Siang hari ini, pelajaran olahraga hanya materi saja. Besok siang, baru kita praktek di lapangan. Silakan kalian jawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku paket, bab delapan."
"Ja, bosen banget, ya. Mana pertanyaan-pertanyaannya susah semua, aku pingin cepat-cepat pulang," gerutu Aura meletekakan kepalanya di atas lipatan tangan yang ada di meja.
"Sebentar lagi juga pulang, Ra. Jangan selalu mengeluh, belajar itu harus sungguh-sungguh."
"Okey, anak-anak waktunya tinggal lima menit. Bapak sudahi saja pelajaran siang hari ini, dan kalian bisa pulang."
"Pak, tapi belum bel pulang sekolah?" Devan bertanya, sambil mengangkat tangannya ke atas.
"Iya, gakpapa. Kalian pulang lebih awal, sebelum bel berdering. Dan, setelah praktek lapangan besok, buku paketnya dikumpulkan untuk dinilai, ya." Guru itu pun beranjak pergi dari ruang kelas. Membuat seluruh murid anak kelas IPS berbondong-bondong keluar kelas, untuk pulang.
Di depan gerbang sekolah, Senja dan Aura sedang menunggu angkutan umum. Keduanya selalu menggunakan angkutan umum, untuk transportasi berangkat dan pulang sekolah. Namun, beberapa saat ketika menunggu angkutan umum. Sebuah motor berhenti tepat di depan Senja, pemilik motor itu membuka helm full face yang menutupi wajahnya.
"Devan!!" Aura melotot, melihat Devan turun dari motornya.
"Ganteng banget, Ja," puji Aura terhadap Devan, dengan nada pelan.
"Biasa aja, Ra."
"Hai, Senja." Devan selalu menyapa Senja, padahal ada Aura di sampingnya.
"Hai," balas Senja tersenyum singkat.
"Mau bareng?" tawar Devan membuat senyuman disudut bibir Aura hilang.
Kirain Devan mau nawarin aku pulang bareng, tapi ternyata Senja yang dia tawarin buat pulang bareng, batin Aura.
"Mau 'kan pulang bareng?" tawar Devan kembali, saat tidak ada jawaban dari Senja.
"Ahm ...," deham Senja bingung.
"Senja!" Suara teriakan dari arah kejauhan membuat Senja, Devan dan Aura tergugah untuk memandangnya.
"Langit." Senja memandang Langit yang menghampirinya dengan sepeda.
"Senja pulang bareng Langit," ujar Senja cepat.
"Tapi, gue bawa motor loh," sanggah Devan.
"Maaf, ya. Tapi, Senja lebih suka naik sepeda," kata Senja ketika Langit sudah ada di dekatnya.
"Ra, Senja sama Langit pulang duluan, ya." Senja melambaikan tangannya, lantas menaiki sepeda Langit di belakang.
"Senja, lebih memilih sepeda daripada motor gue," gumam Devan membasahi bibirnya.
"Kalo aku sih, lebih pilih motornya." Aura tebar pesona dengan Devan, ia mendekatinya tanpa rasa canggung.
"Maksudnya?"
"Iya, aku mau pulang bareng sama kamu naik motor."
"Yaudah, ayo." Devan terpaksa mengiyakan perkataan Aura, agar tidak menyakiti hatinya. Devan akhirnya, memboncengkan Aura untuk pulang bareng.
"Laki-laki yang tadi bawa sepeda itu siapa?" tanya Devan dalam perjalanan.
"Maksud kamu itu, Langit?"
"Gue nggak tahu namanya siapa, yang jelas dia kelihatan dekat banget sama Senja. Apa mereka berdua pacaran?" tanyanya lagi.
Aura pun tertawa terbahak-bahak, mendengar pertanyaan dari Devan. "Kenapa ketawa sih?"
"Jelas aku ketawa dong, Devan."
"Karena apa? Gue 'kan cuman tanya, apa Senja sama Langit itu punya hubungan?"
"Senja sama Langit itu nggak punya hubungan lebih, dan mereka berdua cuman sebatas teman yang saling melengkapi," jawab Aura, setelah berhenti tertawa.
"Cuman teman, tapi sedekat itu?"
"Iya, namanya teman itu dekat 'kan? Nggak mungkin, teman itu saling berjauhan. Dan, kata kamu juga kalo Langit sama Senja itu nggak mungkin bisa terpisahkan," ujar Aura.
"Tapi, bukan Langit dan Senja itu yang gue maksud."
***
***"Ja, piala kamu kenapa nggak dimasukin tas aja? Nanti kalo jatuh, gimana?""Nggak akan jatuh, Lang. Lagian, Senja pegang pialanya bener kok. Dan, sampai rumah Senja mau langsung kasih kabar bahagia ini ke ibu. Pasti, ibu bakalan kasih hadiah buat Senja, karena udah menang lomba lagi," ujar Senja dengan senyuman sumringah."Besok-besok biarin aku yang menang diperlombaan, jangan kamu terus yang dapat piala. Aku juga mau, Ja," kata Langit sambil terus mengayuh sepedanya di tengah jalanan yang sepi."Iya, Lang. Senja, juga bingung mau taruh piala ini di mana, karena semua lemari di kamar Senja itu udah penuh sama piala kejuaraan. Kalo perlu, Senja kasih beberapa piala ke Langit. Mau?""Ja, piala-piala itu adalah bukti dari semua bakat dan kepintaran kamu. Dan, piala itu juga menjadi hasil dari usaha-usaha kamu selama ini. Jadi, aku nggak mau menerima piala kamu. Aku mau dapat piala, denga
***"Ja, kamu mau beli buku diary yang kaya gimana lagi?" tanya Langit saat keduanya sudah menaiki sepeda, untuk menuju ke toko buku langganan."Buku diary yang bisa buat simpan foto, Senja belum punya buku diary kaya gitu," jawab Senja tetap menjaga keseimbangannya, karena ia membonceng sepeda Langit di belakang, yang tidak ada jok-nya. Sehingga, Senja harus berdiri di kedua pedal sepeda supaya menjadi tumpuan kakinya."Langit, serius mau beliin Senja buku diary?" Ketika sampai di depan toko buku langganan mereka berdua, Senja turun dari sepeda itu dan bertanya."Serius." Langit langsung menstandarkan sepedanya, dan meraih tangan Senja untuk masuk ke dalam toko buku."Kamu tinggal pilih mau buku diary yang mana, nanti aku yang bayar," kata Langit."Senja, mau semuanya."Langit mengembuskan napas berat, lantas menangkup pipi Senja. "Ja, uang aku nggak cuku
***"Ya, buat saling kenal. Gue 'kan siswa baru di kelas lo sama Senja, jadi gue mau berteman sama kalian berdua," jawab Devan sedikit gugup."Oh, gitu. Okey aku akan kasih tahu semuanya tentang Senja, biar kita bisa akrab dan berteman baik.""Jadi, lo mau kasih tahu 'kan semuanya tentang Senja?"Aura menyeringai senyumannya. "Iya, mau.""Senja! Jangan hujan-hujanan!" tegur Langit membuat pandangan Aura dan Devan terputus, suara itu mengalihkan pandangan keduanya."Langit, harus terbiasa sama hujan." Senja meraih kedua tangan Langit, lantas mengajaknya berdansa di bawah guyuran air hujan."Lihat, Senja itu cewek yang selalu ceria. Dia, nggak pernah membagi kesedihannya ke orang lain, bahkan ke aku dia selalu kelihatan bahagia.""Apa dia selalu menutupi lukanya?""Mungkin, dia membagi semua luka dan kesedihannya itu di buku
***"Pagi, Senja ..," sapa Aura mendekat."Pagi juga, Ra. Tumben udah berangkat jam segini? Biasanya, masih ....""Masih tidur? Ya, nggak lah. Mulai hari ini, seorang Aura Margareta akan bangun pagi. Dan, berangkat sekolah lebih awal," potong Aura menyeringai senyuman, sambil memainkan kedua alisnya."Kesambet setan apa, Ra?" tanya Senja meledek."Kesambet cowok ganteng, yang lagi main basket di sana," tunjuk Aura terperangah."Banyak cowok yang lagi main basket di sana, Ra.""Ih, Senja! Itu loh, yang lagi pegang bola basket," tunjuk Aura lagi.Senja memicingkan mata, ia melihat seorang Devan yang tengah mendribble bola basket di tangannya, untuk memasukkannya ke dalam ring."Yes!! Masuk!!!" jerit Aura lompat-lompat kegirangan."Senja!" panggil seseorang dari belakang, membuatnya berbalik.
***"Langit, duduk di sini dulu, ya." Senja melepaskan genggaman tangan Langit, lantas ia memasuki kelasnya untuk mengambil tissu di dalam tas."Heh, lo nggak usah ngambil perhatiannya Senja. Gue tahu, lo cuman pura-pura mimisan biar Senja peduli sama lo 'kan." Devan tiba-tiba saja datang menghampiri Langit."Pura-pura mimisan gimana? Jelas-jelas lo yang udah buat gue kaya gini, apa lo sengaja melempar bola voli itu ke hidung gue tadi? Biar kelompok gue kalah?" Langit berdiri dari duduknya, mendorong Devan cukup kasar."Kalo gue sengaja kenapa? Gue lakuin itu, karena gue nggak mau Senja sedih.""Ini ada apa?" tanya Senja mendekat."Ja, obatin lukanya di kelas aja," ajak Langit meraih tangan Senja."Apa-apaan! Senja, harus merayakan kemenangan kelasnya.""Lo itu udah gede, masa obatin luka mimisan aja nggak bisa. Senja, nggak perlu bantu lo
***"Senja sama Devan nggak pacaran, Bu.""Alhamdulillah kalo gitu, biar kamu bisa Ibu jodohkan."Senja mengembuskan napas berat. "Senja, tetap nggak mau dijodohkan, Bu."Tuk! Tuk!"Biar Senja aja yang buka pintunya." Senja melangkah ke ruang tamu kembali, untuk membuka pintunya."Aura!!" seru Senja dibalas pelukan darinya. "Senja.""Om, Tante. Apa kabar?" tanya Senja meraih tangan keduanya, setelah berpelukan dengan Aura."Baik Senja.""Senja, siapa yang datang?" tanya Mawar menghampiri Senja di ambang pintu."Aura sama keluarganya, Bu.""Aura datang ke sini sama Papah dan Mamah, mau kasih oleh-oleh, buat Ibu dan Senja.""Ayo masuk dulu, Ra. Shinta kamu apa kabar? Lama kita nggak bertemu," ucap Mawar memeluk Shinta--Mamah Aura."Alhamdulillah, ak
***"Itu orangnya baik-baik aja nggak, ya? Aduh, bapak sih. Kenapa nyetirnya nggak hati-hati, jadinya tabrakan sama motor 'kan."Langit bergegas keluar dari mobil itu, menghampiri pemilik motor yang sempat ditabrak oleh mobilnya. "Mas, gakpapa?" tanya Langit."Gue sih gakpapa, tapi lihat motor gue lecet!" serunya memandang Langit."Lah, lo ...." Langit menganga, ketika mendapati pemilik motor itu; ialah Devan."Oh, jadi lo yang udah nabrak gue? Tanggung jawab, gue nggak mau tahu lo harus tanggung jawab.""Bukan gue yang nabrak lo, ya. Tapi supir taksi ini, lagi pula motor lo cuman keserempet sedikit, jadi gue nggak perlu buat tanggung jawab," bantah Langit."M-maaf, Mas. Saya nggak sengaja, soalnya tadi saya buru-buru mau mengantarkan penumpang ke Bandara." Supir taksi yang mengemudikan mobil itu pun merunduk, merasa bersalah."Bapak, ngga
***"Senja, bangun!!"Suara jam beaker tidak membangunkan Senja, bahkan teriakan dari Mawar pun tidak membuat Senja bangun dari tidurnya. Satu-satunya jalan, supaya Senja terbangun; ialah menyiram wajahnya menggunakan air dingin."DINGIN!" jerit Senja langsung terduduk di atas tempat tidurnya."Dingin 'kan?!" Suara di sampingnya, membuat Senja mengucek mata dan menengok."Ibu! Kenapa siram Senja pakai air!" sembur Senja."Ini baru air dingin, belum air panas.""Bu, ini hari Minggu. Jadi, gakpapa kalo Senja bangun siang, lagian setiap malam Senja itu sibuk belajar jadi sekarang Senja mau tidur seharian," ucap Senja."Hari ini nggak ada kata tidur! Kamu harus bangun, mandi dan siap-siap!" tegas Mawar berkacak pinggang."Siap-siap memangnya mau ke mana, Bu?""Orang tua jodoh kamu, mau bertamu lagi hari ini. D
***Aura langsung menatap Senja. "Bukan gitu, Ja. Maksud aku ... kenapa Langit harus pacaran sama Neysa, kenapa nggak sama Perempuan lain.""Atau jangan-jangan, Aura suka sama Langit?" tuduh Senja."Ja, aku sama Langit itu sahabatan. Jadi, nggak mungkin aku suka sama dia," bantah Aura langsung meminta supir angkutan umum, untuk berhenti saat akan melewati persimpangan kompleks rumahnya."Aura, tunggu!" seru Senja menyusul Aura, yang sudah turun lebih dulu."Ja, Aura nggak mau bahas apa pun lagi tentang Langit. Jadi, kalo Senja tetap mau berteman sama Aura, jangan sebut-sebut nama Langit lagi, ya." Kening Senja berkerut, ia berjalan mengikuti langkah panjang dari kaki Aura. Lantas, Aura memasuki rumahnya tanpa berbicara kembali pada Senja. "Kenapa persahabatan kita bertiga, jadi berantakan kaya gini? Karena Senja menikah dengan Devan, semuanya jadi pergi meninggalkan Senja. Pertama, Langit dan sekarang Aura."Embusan napas kasar keluar dari hidung Senja, ia kembali berjalan gontai unt
***"Kapan acaranya, Van?" tanya Haikal."Setelah kelulusan gue bilang!" tegas Devan, lantas beranjak pergi dari ruang kelasnya."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumahnya? Dan, mengajak seluruh kelas IPA?" tanya Aura bingung, begitu pun dengan Senja yang mulai berhenti menangis."Senja, harus bicara sama Devan," ujar Senja pergi menyusul Devan, yang sudah berada di ruang ujian."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumah? Kita belum membicarakan sama orang tua kamu, dan belum ada persiapan juga. Ujian nasional tinggal dua hari lagi, dan setelah itu kita langsung mengadakan pesta kelulusan?""Gue cuman mau buat pesta kelulusan, sekalian merayakan pernikahan kita. Dan, lo nggak perlu pusing memikirkan persiapan buat pesta itu, gue yang akan mengatur semuanya," balas Devan tanpa ekspresi di wajahnya.Ujian nasional dilaksanakan selama tiga hari, dan hanya beberapa mata pelajaran saja yang diujikan, sesuai dengan jurusan yang ada di SMA Nusa Bangsa. Mata p
***"Kemarin waktu kamu nggak berangkat sekolah, karena menikah sama Devan. Langit sama Neysa udah resmi berpacaran."Senja hanya terdiam, ia enggan berkomentar saat ini tentang hubungan Langit dan Neysa, yang terjalin begitu cepat. Bel masuk pun berbunyi, membuat beberapa murid mulai mengeluarkan buku-bukunya, untuk mengikuti mata pelajaran di jam pertama.Senja, nggak percaya. Kalo Langit sama Neysa pacaran, karena Neysa pasti masih mencintai Devan. Nggak mungkin secepat itu, perasaan Neysa berpaling dari Devan, secara mereka berdua teman dari kecil, dan udah kenal lama, batin Senja."Ja, gimana malam pertama kamu sama Devan? Hum, pasti romantis 'kan," bisik Aura membuat lamunan Senja menghilang."Biasa aja," balas Senja datar, ia melanjutkan menulis materi, yang sudah diterangkan oleh guru di depan kelasnya."Nggak mungkin, biasa aja dong. Pasti kamu sama Devan udah melakukan itu 'kan?" tanya Aura membuat Senja berdiri dari duduknya."Senja, ada apa?" tegur guru itu."Ah, Bu. Senja
***"Bahagia kok," jawab Senja dengan senyuman kali ini."Yaudah, kalo gitu gue mau mandi dulu." Devan berlalu pergi dari hadapan Senja, tetapi sebelum memasuki kamar mandi. Devan lebih dulu melepas seluruh kancing kemejanya, dan membiarkan tubuh bagian atas terbuka begitu saja."Devan!!" seru Senja langsung menutup matanya dengan kedua tangan. Devan pun berbalik, keningnya berkerut karena teriakan dari Senja."Ada apa?" tanyanya santai."Buka bajunya 'kan bisa di dalam kamar mandi," protes Senja enggan membuka mata, apalagi mengalihkan kedua tangan dari depan matanya."Kenapa memangnya? Gue gerah, jadi gue bukan di luar sekalian." Senja terdiam, diamnya Senja justru membuat Devan melangkah mendekat.Senja yang mendengar langkah kaki Devan, langsung menghentikannya. "Stop! Devan, mau ngapain ke sini?!"Langkah Devan terhenti, saat Senja memintanya. "Lo sendiri kenapa tutup mata gitu? Apa badan gue seburuk itu?"Senja menggeleng, lalu merunduk malu. "Ja, lo lupa kalo kita berdua udah j
***"Sekarang, kalian berdua sudah resmi menjadi sepasang suami istri, dan silakan tanda tangan di buku nikah ini," ujar penghulu membuat Devan menggangguk. Setelah Devan bertanda tangan, giliran Senja yang perlahan meraih bolpoin untuk menandatanganinya, meski hatinya terasa berat.Senja masih tidak menyangka, nasib atau takdir yang saat ini ia dapatkan. Meskipun, Senja memiliki rasa terhadap Devan, akan tetapi pernikahan dini bukanlah keinginan Senja. "Ini semua udah terjadi," lirih Senja masih menangis, tanpa memperlihatkan air matanya. Sejak tadi, ia terus merunduk dan membungkam Isak tangisnya."Ja, gue bahagia banget hari ini, karena gue akhirnya bisa memiliki lo seutuhnya," ujar Devan tersenyum, lantas meraih tangan Senja di pangkuan. Namun, Senja menepisnya kasar. Kesabaran Senja sudah berakhir, pada saat Devan mengucapkan ijab qobul tersebut. Senja berdiri, ia menyeka air matanya kasar sambil memandang orang-orang di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Senja berlalu pe
***"Senja, yang sama. Senja, yang aku ...."Bugh!Devan datang dengan amarahnya, ia langsung memukul pipi Langit. "Devan!" seru Senja membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Setelah membuat pipi Langit lebam, Devan langsung menarik pergelangan tangan Senja."Besok kita berdua akan menikah, jadi lo tolong jauhi Senja!" kelakar Devan."Besok? Devan, tanggal pernikahan kita udah ditentukan. Dan, besok baru tanggal 23 Mei, sedangkan kita menikah tanggal 25 bertepatan dengan kelulusan sekolah dan ulang tahun Senja. Dan, tanggal 24 Mei kita 'kan harus ujian nasional."Devan tidak memperdulikan perkataan Senja, ia justru berlalu pergi bersama dengan Senja. Namun, perkataan Langit telah menghentikan kepergian mereka berdua. "Devan! Lo boleh menikah besok dengan Senja, karena setelah kelulusan gue juga akan pergi dari kehidupan kalian berdua.""Nggak!" Senja menepis genggaman tangan Devan, dan berbalik menatap Langit meski dari jara
***"Ajak Langit juga, ya," balas Senja dengan senyuman lebar. Lantas, mereka bertiga beranjak dari area kantin, untuk menemui Langit di perpustakaan."Ke dermaga? Ngapain? Ini masih siang, jadi mataharinya belum tenggelam," balas Langit setelah mendapat ajakan dari Senja dan juga Aura."Kita mau ke dermaga, bukan buat melihat matahari tenggelam, Langit.""Iya, kita cuman mau mewujudkan keinginan Senja, sebelum kelulusan sekolah," sambar Aura membuat Langit langsung menutup buku komik, yang sejak tadi sedang ia baca."Kita bolos sekolah hari ini?" tanya Langit memandang mereka bertiga, secara bergantian. Lantas, mendapat anggukan cepat dari Aura.Kali ini mereka lebih memilih untuk membolos, karena sudah tidak waktu bagi mereka bersenang-senang. Sebelum ujian nasional tiba, dan sebelum Senja menikah dengan Devan. Sehingga, Langit pun mengiyakan permintaan Senja dan Aura, untuk segera meninggalkan sekolah ketika jam pelajaran."Setelah
***Langit meletakkan buku-bukunya di atas tempat tidur, dan meraih kedua tangan Senja yang berada di pangkuan. "Ja, sampai kapan pun kita berdua akan menjadi sahabat. Bahkan, kalo perlu sampai tua.""Langit, janji sama Senja, ya. Jangan pergi meninggalkan Senja sendiri, karena Senja nggak bisa hidup tanpa Langit."Langit meraih tubuh Senja, untuk membawanya ke dalam dekapan. "Aku nggak bisa janji, Ja. Karena setelah lulus, aku akan pergi ke Amerika buat melanjutkan pendidikan di sana," bisik Langit membuat air mata Senja tumpah."Langit, kenapa harus pergi," ucap Senja parau."Karena aku dapat beasiswa di salah satu universitas, yang ada di Amerika." Lantas, Langit melepaskan pelukan itu, dan menghapus air mata Senja. "Kamu tahu 'kan, Ja. Kalo impian aku itu menjadi dokter, dan masa depan aku itu ada di sana. Jadi, aku harus pergi ke Amerika untuk meraih masa depan aku.""Langit, berbeda sama Devan. Devan bilang masa depannya itu Senja. Tap
***"Kenapa cari Langit, Ja? Sekarang 'kan udah ada Devan jodoh kamu, jadi kamu nggak perlu lagi memikirkan Langit," balas Aura."Ra, bagaimanapun Langit itu tetap sahabat Senja. Jadi, Senja nggak bisa sehari aja nggak memikirkan Langit. Karena bagi Senja, Langit itu segalanya."Kening Devan berkerut, saat mendengarnya. "Terus, gue bagi lo apa, Ja? Orang ketiga, dalam hubungan persahabatan kalian?"Senja langsung terperanjat, ia menangkap Devan di hadapannya. Senja tidak menyadari, jika sejak tadi Devan tengah bersamanya. "Bukan gitu maksud Senja, Devan.""Udahlah, Ja. Sekarang yang harus kamu pikirkan itu, ujian nasional sama Devan karena dia jodoh kamu." Aura mengatakannya begitu lantang, sehingga perbincangan itu pun berakhir. Kala Senja yang beranjak pergi, dari area kantin."Senja!" panggil Devan tidak diperdulikan oleh Senja, namun kedatangan Neysa telah menahan Devan, untuk tidak pergi dari kantin.Sementara itu, Senja tetap an