***
"Ja, piala kamu kenapa nggak dimasukin tas aja? Nanti kalo jatuh, gimana?"
"Nggak akan jatuh, Lang. Lagian, Senja pegang pialanya bener kok. Dan, sampai rumah Senja mau langsung kasih kabar bahagia ini ke ibu. Pasti, ibu bakalan kasih hadiah buat Senja, karena udah menang lomba lagi," ujar Senja dengan senyuman sumringah.
"Besok-besok biarin aku yang menang diperlombaan, jangan kamu terus yang dapat piala. Aku juga mau, Ja," kata Langit sambil terus mengayuh sepedanya di tengah jalanan yang sepi.
"Iya, Lang. Senja, juga bingung mau taruh piala ini di mana, karena semua lemari di kamar Senja itu udah penuh sama piala kejuaraan. Kalo perlu, Senja kasih beberapa piala ke Langit. Mau?"
"Ja, piala-piala itu adalah bukti dari semua bakat dan kepintaran kamu. Dan, piala itu juga menjadi hasil dari usaha-usaha kamu selama ini. Jadi, aku nggak mau menerima piala kamu. Aku mau dapat piala, dengan hasil jerih payahku sendiri," tolak Langit secara halus.
"Yaudah kalo gitu, mulai besok Langit harus lebih tingkatkan lagi belajarnya. Dan, ya, Langit harus banyak membaca biar wawasan Langit itu luas kaya Senja."
"Setiap hari aku ini selalu membaca," timpal Langit.
"Membaca apa?" tanya Senja, dengan melingkarkan tangannya di leher Langit.
"Membaca pikiran kamu," jawabnya melirik mata Senja yang berkilau.
"Langit, itu dukun, ya?"
"Iya, dukun yang kalo dibutuhkan saat Senja lagi menangis." Langit, semakin mengayuh sepedanya begitu cepat. Sehingga, Senja lebih mengeratkan pegangannya.
Langit, selalu punya cara. Dia, nggak pernah kehabisan satu cara pun untuk nggak menghibur Senja. Dan, setiap Senja memandang Langit. Itu seperti, Senja sedang melihat keindahan alam yang begitu indah. Senja, mau terus ada didekat Langit. Karena setiap Senja terluka, pasti ada Langit yang selalu mengobati luka itu, batin Senja meletakkan dagunya di atas bahu Langit.
"Ja, udah sampai rumah." Langit menekan rem sepedanya, membuat Senja mengalihkan pandangannya dari Langit.
Senja turun dari sepeda itu. "Makasih, Langit."
Langit tersenyum simpul, lantas telapak tangannya yang lunak mengelus puncak rambut Senja. "Sama-sama."
Senja melambaikan tangannya kepada Langit, ia bergegas membuka gerbang rumahnya dan masuk. Langit tetap di tempat, memandang punggung Senja yang melangkah ke rumahnya. Lantas, Langit mengayuh sepedanya kembali, ketika Senja sudah benar-benar masuk ke dalam rumah.
Namun, langkah Senja terhenti di depan ambang pintu. Ketika sebuah percakapan antara dua orang, terdengar oleh Senja. Bola mata cokelat itu, mencoba untuk menahan cairan bening di dalamnya supaya tidak terjatuh.
"Senja, itu anak yang pintar. Dia punya banyak mimpi, karena itu senja selalu mengikuti perlombaan yang ada di sekolah. Senja, satu-satunya anak perempuan yang mandiri di dalam keluarga ini."
"Bagaimana, kalo kita jodohkan anak-anak kita?"
"Perjodohan?!
Setelah mendengar itu, Senja melanjutkan langkahnya kembali. Ia memotong pembicaraan antara Mawar dengan kedua orang paruh baya di hadapannya.
"Senja, nggak setuju!" tegasnya.
"Senja, duduk dulu. Kita bisa bicarakan ini semua sama-sama, ya."
"Nggak, Bu! Senja, nggak mau ada perjodohan!" Senja merengut, ia menghentakan kaki memasuki kamarnya.
Senja membuang piala serta tas ranselnya ke atas tempat tidur. "Memang satu mimpi Senja itu, menikah. Tapi, nggak dengan perjodohan. Dan, masih banyak mimpi Senja yang harus terwujud, sebelum Senja menikah." Akhirnya, cairan bening yang lama terbendung pun terjatuh juga, membanjiri pipi tirus itu.
"Senja, itu berharga. Dia sempurna, karena ada Langit yang selalu menjadi tempatnya bermuara. Senja, itu indah saat warna Langit membaur bersama warna jingga yang merona. Senja dan Langit, akan terus bersatu meski badai dan hujan menghapus warna Senja dan Langit, hanya dalam satu waktu."
"Senja, sayang sama Langit." Foto dalam pigura, didekap hangat oleh Senja.
Tok! Tok!
"Senja, Sayang. Tolong dengarkan Ibu dulu, ya, kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang ini," ujar Mawar--ibu kandung Senja.
"Senja, nggak mau," lirih Senja di balik pintu.
"Iya, kamu keluar dulu dari kamar. Kita bisa bicarakan ini semua secara baik-baik, karena Ibu punya alasan untuk semua ini."
"Ibu, Senja, nggak butuh alasan apa pun."
"Kalo kamu nggak mau dengarkan Ibu, maka kamu juga harus siap kehilangan Ibu!" gertak Mawar.
Senja menghapus air matanya kasar, ia meletakkan pigura itu di atas meja. Kemudian, membuka pintu kamarnya. "Kenapa Ibu ngomong kaya gitu? Ibu tahu 'kan, Senja itu nggak suka kalo Ibu ngomong kaya gitu," ujar Senja menatap nanar bola mata Mawar, yang juga sudah berkaca-kaca.
"Senja, udah cukup kehilangan bapak. Dan, Senja nggak mau kehilangan ibu juga," lanjut Senja membuat Mawar memeluknya.
"Senja, maafin Ibu, ya. Karena Ibu terpaksa, melakukan perjodohan ini," ucap Mawar menangis dalam pelukan Senja.
"Senja, kamu harus tahu kalo semua yang Ibu lakukan itu, menyangkut hidup kamu. Dan, Ibu mau kamu bahagia," lanjutnya.
"Kebahagiaan Senja, cuman satu. Yaitu, Ibu. Senja bahagia, kalo Ibu juga bahagia. Jadi, Senja nggak butuh kebahagiaan lain lagi."
Mawar melepaskan pelukannya, ia menangkup kedua pipi Senja dan menghapus air matanya. "Kamu bahagia kalo Ibu bahagia 'kan? Kalo gitu, terima perjodohan ini biar Ibu bahagia."
Senja mendengus lemas, meneteskan air matanya lagi. "Bu, apa harus dengan perjodohan ini ... biar Ibu bahagia?"
Mawar mengangguk. "Iya, Sayang."
"Apa Ibu nggak bahagia, dengan itu ...." Jari telunjuk Senja mengarah pada piala yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
Mawar semakin menangis sejadinya, ia membungkam mulutnya dengan tangan. "Ibu, nggak bahagia dengan semua penghargaan yang ada di lemari-lemari ini?" tanya Senja memundurkan langkahnya, mendekat ke sebuah lemari kaca berukuran besar.
"Bu, ini semua buat Ibu. Biar Ibu bahagia, dan Senja juga ikut bahagia. Tapi, Ibu masih mencari kebahagiaan Ibu yang lain? Dengan cara, menjodohkan Senja sama laki-laki yang sama sekali Senja nggak tahu dia siapa," tambah Senja.
"Senja, maafin, Ibu."
"Senja, merasa gagal. Karena ternyata, Ibu masih kurang bahagia. Dan, selama ini usaha Senja sia-sia untuk mendapatkan semua piala-piala ini biar Ibu bahagia."
"Ibu, bahagia ... sangat bahagia, melihat piala-piala yang selalu kamu dapatkan setiap ikut perlombaan. Dan, Ibu bersyukur karena kamu tumbuh menjadi anak yang pintar dan berprestasi."
"Tapi, setelah semuanya Senja dapatkan. Ibu, mau menghancurkannya?"
Mawar menggelengkan kepala, ia mendekati Senja dan memeluknya lagi. "Senja, kamu perlu tahu. Perjodohan ini, salah satu wasiat dari bapak kamu," lirih Mawar.
"Sebelum bapak nggak ada, dia nggak pernah bilang tentang wasiatnya ke Senja, Bu."
"Karena bapak nggak mau kamu sedih, dan bapak juga nggak mau wasiat ini menambah beban pikiran kamu, Sayang. Jadi, bapak hanya menyampaikan ini ke Ibu, tanpa kamu tahu."
"Dan orang tua dari laki-laki yang mau dijodohkan sama kamu, itu teman baiknya bapak dulu. Jadi, Ibu sedikit lebih tenang untuk menjalankan wasiat dari bapak ini," imbuh Mawar, melepaskan pelukannya.
"Meskipun, mereka teman baiknya bapak. Tapi, tetap aja, Bu."
"Kamu nggak mau lihat Ibu bahagia? Dan, kamu mau bapak kecewa di atas sana? Karena anak semata wayangnya, nggak bisa menuruti perintah bapak yang terakhir kalinya."
Senja mengambil napas dalam, bola matanya berlarian ke segala arah. "Senja, butuh waktu." Senja melangkah ke arah tempat tidurnya.
"Senja, alasan yang kedua itu karena bapak punya hutang banyak ke mereka. Jadi, dengan menutup hutang-hutang bapak, kamu harus menikahi anaknya itu."
"Kenapa hutang bapak harus ditutup dengan cara kaya gini? Hutang itu harusnya dibayar dengan uang, bukan dengan orang," bantah Senja terduduk lepas di tepi tempat tidur.
"Senja! Dari mana kita bisa membayar semua hutang-hutang bapak? Sementara, ekonomi kita itu naik-turun setiap harinya, buat makan aja susah. Ibu, harus bekerja sebagai pembantu di rumah tetangga, hanya untuk menunjang kehidupan dan sekolah kamu."
"Bu, Senja sekolah itu pakai beasiswa. Dan, Ibu jangan pernah mengeluh soal pembayaran sekolah Senja," sanggah Senja.
"Iya, Ibu beruntung karena punya anak perempuan satu-satunya yang pintar. Jadi, Ibu nggak harus repot-repot membayar sekolah kamu."
"Penghasilan Ibu bekerja di rumah tetangga, bisa dikumpulin buat bayar semua hutang bapak 'kan?"
"Senja, kamu harus tahu. Hutang bapak itu nggak sedikit, dulu dia terpaksa berhutang ke teman baiknya itu hanya untuk membangun usahanya. Tapi, ternyata usaha bapak bangkrut dan bapak jatuh sakit. Selama bapak sakit, bapak nggak bisa mencari pekerjaannya lagi untuk membayar semua hutangnya itu."
"Berapa hutang bapak ke mereka?"
"Seratus Juta."
Senja terperanjat, ia bangkit dari duduknya. "Seratus Juta, Bu?" Mawar mengangguk, ketika Senja bertanya demikian.
"Selama ini bapak menutupi semuanya dari Senja, bahkan bapak nggak pernah bilang kalo dia punya hutang sebesar ini."
"Jadi, Senja. Kamu harus bisa mengerti, kamu harus bisa paham kenapa bapak mewasiatkan perjodohan ini. Bapak, nggak mau kita terus dikejar-kejar dengan hutangnya."
"Seratus Juta, Senja, janji akan membayar hutang bapak itu," ucap Senja memandang Mawar serius.
Mawar menggeleng, ia meraih kedua tangan Senja dan menggenggamnya erat. "Nggak, kamu nggak akan bisa membayarnya pakai uang. Tapi, kamu bisa membayar semua hutang bapak dengan menerima perjodohan ini."
"Mimpi Senja itu memang menikah, tapi dengan laki-laki baik yang Senja cintai. Jadi, Senja menolak perjodohan ini, Bu."
"Senja, kamu membantah Ibu?!"
"Senja, nggak membantah, Ibu. Senja, cuman membantah perjodohan ini."
"Itu sama aja Senja, pokoknya kamu harus menjalankan perjodohan ini. Kalo kamu nggak mau kehilangan Ibu." Mawar berbanjak pergi dari ruang kamar Senja.
"Bu, kalo Senja harus memilih. Senja nggak mau kehilangan Ibu, lebih baik Senja kehilangan laki-laki yang Senja cinta, daripada harus kehilangan Ibu," lirih Senja menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, dan menumpu dagunya menggunakan bantal.
Drett!
Getaran dari sebuah ponsel cukup terasa, layar ponsel Senja pun menyala. "Langit." Senja menangkap tulisan itu, lantas menerima panggilannya.
"Hallo." Senja menghapus jejak air mata disudut matanya.
"Gimana, Ja? Kamu dikasih hadiah apa sama Ibu? Hum, biar aku tebak. Pasti buku diary lagi 'kan? Nggak mungkin kalo boneka, karena kamu itu lebih suka sama buku daripada boneka, Ja." Suara Langit dari telepon, telah membuat Senja kembali tersenyum.
"Langit," panggil Senja pelan.
"Iya, Ja?"
"Buku diary Senja yang warna cokelat, halamannya udah habis. Langit, mau beliin Senja buku diary lagi nggak?"
"Loh, bukannya kamu baru dapat buku diary dari ibu? Hadiah karena kamu udah menang juara satu, di olimpiade sains 'kan?"
"Ibu, nggak kasih hadiah apa-apa."
"Nggak mungkin, Ja. Setiap kamu pulang ke rumah bawa piala, pasti ibu kamu tanya mau dibelikan hadiah apa. Terus, kamu selalu jawab buku diary."
"Iya, Langit. Tapi, hari ini ibu nggak tanya itu dan dia nggak kasih buku diary buat hadiah Senja."
"Gakpapa, mungkin ibu lagi nggak punya uang buat beli hadiahnya. Kalo gitu, biar aku yang belikan hadiahnya."
"Langit, nggak lagi bercanda 'kan?" tanya Senja bangkit dari posisi tidurnya.
"Aku ke rumah kamu sekarang, siap-siap, ya."
"Mau beli buku diary 'kan?"
"Iya, Ja. Kita beli buku diary."
Kedua sudut bibir Senja pun terangkat, Senja tersenyum lagi. "Hati-hati dijalan, Langitnya Senja!"
Senja langsung menutup panggilan itu, secara sepihak. Lalu, berlari ke arah lemari pakaian untuk memilih baju. "Senja, harus kelihatan baik-baik aja di depan Langit. Senja, nggak mau Langit sedih karena mendengar perjodohan ini."
Sepasang baju dan celana yang berwarna cokelat susu, Senja pilih untuk dikenakannya sore hari ini. Tidak lupa, ia pun mengoles sedikit wajahnya dengan bedak dan lipstik, supaya matanya yang bengkak dan bibirnya yang pucat tidak terlihat.
"Senja."
Tuk! Tuk! Assalamualaikum.
"Pasti itu, Langit."
Buru-buru Senja berjingkrak keluar dari kamarnya, ia berlari ke arah pintu tanpa peduli jika masih ada tamu di sana. "Senja, siapa yang datang?" tanya Mawar, tampaknya masih berbincang dengan kedua orang paruh baya itu.
"Langit, Bu."
Tanpa ragu, Senja membuka pintunya. Menampakkan seseorang yang tengah Senja tunggu-tunggu, Langit Septian Dirgantara tersenyum manis kepada Senja. Dengan hoodie hitam, dan celana jeans hitam yang menjadi ciri khasnya.
"Langit, suka banget pakai hitam-hitam kaya gini," kritik Senja.
"Kamu tahu sendiri, kalo aku ini suka warna hitam," katanya.
"Bu, saya sama Senja mau pamit pergi." Langit memasuki rumah, meraih tangan Mawar.
"Ke mana?" tanya Mawar dengan nada sinis.
"Ke toko buku, katanya Senja mau beli buku diary lagi."
"Senja, buku diary kamu itu udah banyak. Jadi, buat apa kamu beli lagi? Boros uangnya, lebih baik ditabung buat masa depan kamu," omel Mawar menatap Senja tajam.
"Maaf, Bu. Saya yang mau belikan Senja buku diary, jadi Senja nggak akan mengeluarkan uang sedikit pun."
"Lagian, setiap uang yang Senja dapatkan karena menang lomba. Itu selalu Senja tabung, untuk masa depan Senja sama laki-laki yang Senja cinta." Perkataan Senja lolos membuat Langit, bahkan Mawar dan kedua orang paruh baya itu memandangnya intens.
"Yaudah, ayo kita pergi sekarang. Takut hujan, soalnya udah mendung," lanjut Senja langsung menarik tangan Langit, tanpa berpamitan dahulu dengan Mawar.
"Itu tadi ibu kamu lagi ada tamu?" tanya Langit ketika sudah keluar dari gerbang rumah, bersama Senja.
"Iya."
"Tamu jauh, ya? Soalnya kalo keluarga kamu, pasti aku kenal."
"Senja, nggak tahu. Dan, Senja nggak kenal."
"Yaudah ayo naik," ajak Langit.
***
***"Ja, kamu mau beli buku diary yang kaya gimana lagi?" tanya Langit saat keduanya sudah menaiki sepeda, untuk menuju ke toko buku langganan."Buku diary yang bisa buat simpan foto, Senja belum punya buku diary kaya gitu," jawab Senja tetap menjaga keseimbangannya, karena ia membonceng sepeda Langit di belakang, yang tidak ada jok-nya. Sehingga, Senja harus berdiri di kedua pedal sepeda supaya menjadi tumpuan kakinya."Langit, serius mau beliin Senja buku diary?" Ketika sampai di depan toko buku langganan mereka berdua, Senja turun dari sepeda itu dan bertanya."Serius." Langit langsung menstandarkan sepedanya, dan meraih tangan Senja untuk masuk ke dalam toko buku."Kamu tinggal pilih mau buku diary yang mana, nanti aku yang bayar," kata Langit."Senja, mau semuanya."Langit mengembuskan napas berat, lantas menangkup pipi Senja. "Ja, uang aku nggak cuku
***"Ya, buat saling kenal. Gue 'kan siswa baru di kelas lo sama Senja, jadi gue mau berteman sama kalian berdua," jawab Devan sedikit gugup."Oh, gitu. Okey aku akan kasih tahu semuanya tentang Senja, biar kita bisa akrab dan berteman baik.""Jadi, lo mau kasih tahu 'kan semuanya tentang Senja?"Aura menyeringai senyumannya. "Iya, mau.""Senja! Jangan hujan-hujanan!" tegur Langit membuat pandangan Aura dan Devan terputus, suara itu mengalihkan pandangan keduanya."Langit, harus terbiasa sama hujan." Senja meraih kedua tangan Langit, lantas mengajaknya berdansa di bawah guyuran air hujan."Lihat, Senja itu cewek yang selalu ceria. Dia, nggak pernah membagi kesedihannya ke orang lain, bahkan ke aku dia selalu kelihatan bahagia.""Apa dia selalu menutupi lukanya?""Mungkin, dia membagi semua luka dan kesedihannya itu di buku
***"Pagi, Senja ..," sapa Aura mendekat."Pagi juga, Ra. Tumben udah berangkat jam segini? Biasanya, masih ....""Masih tidur? Ya, nggak lah. Mulai hari ini, seorang Aura Margareta akan bangun pagi. Dan, berangkat sekolah lebih awal," potong Aura menyeringai senyuman, sambil memainkan kedua alisnya."Kesambet setan apa, Ra?" tanya Senja meledek."Kesambet cowok ganteng, yang lagi main basket di sana," tunjuk Aura terperangah."Banyak cowok yang lagi main basket di sana, Ra.""Ih, Senja! Itu loh, yang lagi pegang bola basket," tunjuk Aura lagi.Senja memicingkan mata, ia melihat seorang Devan yang tengah mendribble bola basket di tangannya, untuk memasukkannya ke dalam ring."Yes!! Masuk!!!" jerit Aura lompat-lompat kegirangan."Senja!" panggil seseorang dari belakang, membuatnya berbalik.
***"Langit, duduk di sini dulu, ya." Senja melepaskan genggaman tangan Langit, lantas ia memasuki kelasnya untuk mengambil tissu di dalam tas."Heh, lo nggak usah ngambil perhatiannya Senja. Gue tahu, lo cuman pura-pura mimisan biar Senja peduli sama lo 'kan." Devan tiba-tiba saja datang menghampiri Langit."Pura-pura mimisan gimana? Jelas-jelas lo yang udah buat gue kaya gini, apa lo sengaja melempar bola voli itu ke hidung gue tadi? Biar kelompok gue kalah?" Langit berdiri dari duduknya, mendorong Devan cukup kasar."Kalo gue sengaja kenapa? Gue lakuin itu, karena gue nggak mau Senja sedih.""Ini ada apa?" tanya Senja mendekat."Ja, obatin lukanya di kelas aja," ajak Langit meraih tangan Senja."Apa-apaan! Senja, harus merayakan kemenangan kelasnya.""Lo itu udah gede, masa obatin luka mimisan aja nggak bisa. Senja, nggak perlu bantu lo
***"Senja sama Devan nggak pacaran, Bu.""Alhamdulillah kalo gitu, biar kamu bisa Ibu jodohkan."Senja mengembuskan napas berat. "Senja, tetap nggak mau dijodohkan, Bu."Tuk! Tuk!"Biar Senja aja yang buka pintunya." Senja melangkah ke ruang tamu kembali, untuk membuka pintunya."Aura!!" seru Senja dibalas pelukan darinya. "Senja.""Om, Tante. Apa kabar?" tanya Senja meraih tangan keduanya, setelah berpelukan dengan Aura."Baik Senja.""Senja, siapa yang datang?" tanya Mawar menghampiri Senja di ambang pintu."Aura sama keluarganya, Bu.""Aura datang ke sini sama Papah dan Mamah, mau kasih oleh-oleh, buat Ibu dan Senja.""Ayo masuk dulu, Ra. Shinta kamu apa kabar? Lama kita nggak bertemu," ucap Mawar memeluk Shinta--Mamah Aura."Alhamdulillah, ak
***"Itu orangnya baik-baik aja nggak, ya? Aduh, bapak sih. Kenapa nyetirnya nggak hati-hati, jadinya tabrakan sama motor 'kan."Langit bergegas keluar dari mobil itu, menghampiri pemilik motor yang sempat ditabrak oleh mobilnya. "Mas, gakpapa?" tanya Langit."Gue sih gakpapa, tapi lihat motor gue lecet!" serunya memandang Langit."Lah, lo ...." Langit menganga, ketika mendapati pemilik motor itu; ialah Devan."Oh, jadi lo yang udah nabrak gue? Tanggung jawab, gue nggak mau tahu lo harus tanggung jawab.""Bukan gue yang nabrak lo, ya. Tapi supir taksi ini, lagi pula motor lo cuman keserempet sedikit, jadi gue nggak perlu buat tanggung jawab," bantah Langit."M-maaf, Mas. Saya nggak sengaja, soalnya tadi saya buru-buru mau mengantarkan penumpang ke Bandara." Supir taksi yang mengemudikan mobil itu pun merunduk, merasa bersalah."Bapak, ngga
***"Senja, bangun!!"Suara jam beaker tidak membangunkan Senja, bahkan teriakan dari Mawar pun tidak membuat Senja bangun dari tidurnya. Satu-satunya jalan, supaya Senja terbangun; ialah menyiram wajahnya menggunakan air dingin."DINGIN!" jerit Senja langsung terduduk di atas tempat tidurnya."Dingin 'kan?!" Suara di sampingnya, membuat Senja mengucek mata dan menengok."Ibu! Kenapa siram Senja pakai air!" sembur Senja."Ini baru air dingin, belum air panas.""Bu, ini hari Minggu. Jadi, gakpapa kalo Senja bangun siang, lagian setiap malam Senja itu sibuk belajar jadi sekarang Senja mau tidur seharian," ucap Senja."Hari ini nggak ada kata tidur! Kamu harus bangun, mandi dan siap-siap!" tegas Mawar berkacak pinggang."Siap-siap memangnya mau ke mana, Bu?""Orang tua jodoh kamu, mau bertamu lagi hari ini. D
***"Mau pulang sekarang?" tanya Devan mendekat."Biar gue yang antar Senja ke rumah aja," timpal Nabil."Iya, Sayang. Kakak gue aja yang mengantar Senja pulang, kita 'kan udah lama nggak bertemu. Masa, kamu mau pergi lagi sih," sambar Neysa."Cuman sebentar antar Senja pulang.""Ah, nggak usah, Devan. Biar Nabil aja yang antar Senja pulang, Devan di sini aja temani Neysa," tolak Senja meskipun menahan lara dalam hatinya."Gakpapa, Ja?""Iya, udah ayo, Nabil." Senja menggandeng tangan Nabil tanpa ragu, memperlihatkan jika ia baik-baik saja di depan Devan dan Neysa."Kayanya kalian berdua ini cocok, Kak Nabil dan Senja. Kenapa nggak pacaran aja?" Neysa mulai membuat keadaan panas kembali."Itu masalah nanti, Sa. Yang penting, Senja nyaman dulu sama gue. Kalo udah nyaman, 'kan jadi enak buat pacaran," ujar Nabil tersenyum da
***Aura langsung menatap Senja. "Bukan gitu, Ja. Maksud aku ... kenapa Langit harus pacaran sama Neysa, kenapa nggak sama Perempuan lain.""Atau jangan-jangan, Aura suka sama Langit?" tuduh Senja."Ja, aku sama Langit itu sahabatan. Jadi, nggak mungkin aku suka sama dia," bantah Aura langsung meminta supir angkutan umum, untuk berhenti saat akan melewati persimpangan kompleks rumahnya."Aura, tunggu!" seru Senja menyusul Aura, yang sudah turun lebih dulu."Ja, Aura nggak mau bahas apa pun lagi tentang Langit. Jadi, kalo Senja tetap mau berteman sama Aura, jangan sebut-sebut nama Langit lagi, ya." Kening Senja berkerut, ia berjalan mengikuti langkah panjang dari kaki Aura. Lantas, Aura memasuki rumahnya tanpa berbicara kembali pada Senja. "Kenapa persahabatan kita bertiga, jadi berantakan kaya gini? Karena Senja menikah dengan Devan, semuanya jadi pergi meninggalkan Senja. Pertama, Langit dan sekarang Aura."Embusan napas kasar keluar dari hidung Senja, ia kembali berjalan gontai unt
***"Kapan acaranya, Van?" tanya Haikal."Setelah kelulusan gue bilang!" tegas Devan, lantas beranjak pergi dari ruang kelasnya."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumahnya? Dan, mengajak seluruh kelas IPA?" tanya Aura bingung, begitu pun dengan Senja yang mulai berhenti menangis."Senja, harus bicara sama Devan," ujar Senja pergi menyusul Devan, yang sudah berada di ruang ujian."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumah? Kita belum membicarakan sama orang tua kamu, dan belum ada persiapan juga. Ujian nasional tinggal dua hari lagi, dan setelah itu kita langsung mengadakan pesta kelulusan?""Gue cuman mau buat pesta kelulusan, sekalian merayakan pernikahan kita. Dan, lo nggak perlu pusing memikirkan persiapan buat pesta itu, gue yang akan mengatur semuanya," balas Devan tanpa ekspresi di wajahnya.Ujian nasional dilaksanakan selama tiga hari, dan hanya beberapa mata pelajaran saja yang diujikan, sesuai dengan jurusan yang ada di SMA Nusa Bangsa. Mata p
***"Kemarin waktu kamu nggak berangkat sekolah, karena menikah sama Devan. Langit sama Neysa udah resmi berpacaran."Senja hanya terdiam, ia enggan berkomentar saat ini tentang hubungan Langit dan Neysa, yang terjalin begitu cepat. Bel masuk pun berbunyi, membuat beberapa murid mulai mengeluarkan buku-bukunya, untuk mengikuti mata pelajaran di jam pertama.Senja, nggak percaya. Kalo Langit sama Neysa pacaran, karena Neysa pasti masih mencintai Devan. Nggak mungkin secepat itu, perasaan Neysa berpaling dari Devan, secara mereka berdua teman dari kecil, dan udah kenal lama, batin Senja."Ja, gimana malam pertama kamu sama Devan? Hum, pasti romantis 'kan," bisik Aura membuat lamunan Senja menghilang."Biasa aja," balas Senja datar, ia melanjutkan menulis materi, yang sudah diterangkan oleh guru di depan kelasnya."Nggak mungkin, biasa aja dong. Pasti kamu sama Devan udah melakukan itu 'kan?" tanya Aura membuat Senja berdiri dari duduknya."Senja, ada apa?" tegur guru itu."Ah, Bu. Senja
***"Bahagia kok," jawab Senja dengan senyuman kali ini."Yaudah, kalo gitu gue mau mandi dulu." Devan berlalu pergi dari hadapan Senja, tetapi sebelum memasuki kamar mandi. Devan lebih dulu melepas seluruh kancing kemejanya, dan membiarkan tubuh bagian atas terbuka begitu saja."Devan!!" seru Senja langsung menutup matanya dengan kedua tangan. Devan pun berbalik, keningnya berkerut karena teriakan dari Senja."Ada apa?" tanyanya santai."Buka bajunya 'kan bisa di dalam kamar mandi," protes Senja enggan membuka mata, apalagi mengalihkan kedua tangan dari depan matanya."Kenapa memangnya? Gue gerah, jadi gue bukan di luar sekalian." Senja terdiam, diamnya Senja justru membuat Devan melangkah mendekat.Senja yang mendengar langkah kaki Devan, langsung menghentikannya. "Stop! Devan, mau ngapain ke sini?!"Langkah Devan terhenti, saat Senja memintanya. "Lo sendiri kenapa tutup mata gitu? Apa badan gue seburuk itu?"Senja menggeleng, lalu merunduk malu. "Ja, lo lupa kalo kita berdua udah j
***"Sekarang, kalian berdua sudah resmi menjadi sepasang suami istri, dan silakan tanda tangan di buku nikah ini," ujar penghulu membuat Devan menggangguk. Setelah Devan bertanda tangan, giliran Senja yang perlahan meraih bolpoin untuk menandatanganinya, meski hatinya terasa berat.Senja masih tidak menyangka, nasib atau takdir yang saat ini ia dapatkan. Meskipun, Senja memiliki rasa terhadap Devan, akan tetapi pernikahan dini bukanlah keinginan Senja. "Ini semua udah terjadi," lirih Senja masih menangis, tanpa memperlihatkan air matanya. Sejak tadi, ia terus merunduk dan membungkam Isak tangisnya."Ja, gue bahagia banget hari ini, karena gue akhirnya bisa memiliki lo seutuhnya," ujar Devan tersenyum, lantas meraih tangan Senja di pangkuan. Namun, Senja menepisnya kasar. Kesabaran Senja sudah berakhir, pada saat Devan mengucapkan ijab qobul tersebut. Senja berdiri, ia menyeka air matanya kasar sambil memandang orang-orang di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Senja berlalu pe
***"Senja, yang sama. Senja, yang aku ...."Bugh!Devan datang dengan amarahnya, ia langsung memukul pipi Langit. "Devan!" seru Senja membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Setelah membuat pipi Langit lebam, Devan langsung menarik pergelangan tangan Senja."Besok kita berdua akan menikah, jadi lo tolong jauhi Senja!" kelakar Devan."Besok? Devan, tanggal pernikahan kita udah ditentukan. Dan, besok baru tanggal 23 Mei, sedangkan kita menikah tanggal 25 bertepatan dengan kelulusan sekolah dan ulang tahun Senja. Dan, tanggal 24 Mei kita 'kan harus ujian nasional."Devan tidak memperdulikan perkataan Senja, ia justru berlalu pergi bersama dengan Senja. Namun, perkataan Langit telah menghentikan kepergian mereka berdua. "Devan! Lo boleh menikah besok dengan Senja, karena setelah kelulusan gue juga akan pergi dari kehidupan kalian berdua.""Nggak!" Senja menepis genggaman tangan Devan, dan berbalik menatap Langit meski dari jara
***"Ajak Langit juga, ya," balas Senja dengan senyuman lebar. Lantas, mereka bertiga beranjak dari area kantin, untuk menemui Langit di perpustakaan."Ke dermaga? Ngapain? Ini masih siang, jadi mataharinya belum tenggelam," balas Langit setelah mendapat ajakan dari Senja dan juga Aura."Kita mau ke dermaga, bukan buat melihat matahari tenggelam, Langit.""Iya, kita cuman mau mewujudkan keinginan Senja, sebelum kelulusan sekolah," sambar Aura membuat Langit langsung menutup buku komik, yang sejak tadi sedang ia baca."Kita bolos sekolah hari ini?" tanya Langit memandang mereka bertiga, secara bergantian. Lantas, mendapat anggukan cepat dari Aura.Kali ini mereka lebih memilih untuk membolos, karena sudah tidak waktu bagi mereka bersenang-senang. Sebelum ujian nasional tiba, dan sebelum Senja menikah dengan Devan. Sehingga, Langit pun mengiyakan permintaan Senja dan Aura, untuk segera meninggalkan sekolah ketika jam pelajaran."Setelah
***Langit meletakkan buku-bukunya di atas tempat tidur, dan meraih kedua tangan Senja yang berada di pangkuan. "Ja, sampai kapan pun kita berdua akan menjadi sahabat. Bahkan, kalo perlu sampai tua.""Langit, janji sama Senja, ya. Jangan pergi meninggalkan Senja sendiri, karena Senja nggak bisa hidup tanpa Langit."Langit meraih tubuh Senja, untuk membawanya ke dalam dekapan. "Aku nggak bisa janji, Ja. Karena setelah lulus, aku akan pergi ke Amerika buat melanjutkan pendidikan di sana," bisik Langit membuat air mata Senja tumpah."Langit, kenapa harus pergi," ucap Senja parau."Karena aku dapat beasiswa di salah satu universitas, yang ada di Amerika." Lantas, Langit melepaskan pelukan itu, dan menghapus air mata Senja. "Kamu tahu 'kan, Ja. Kalo impian aku itu menjadi dokter, dan masa depan aku itu ada di sana. Jadi, aku harus pergi ke Amerika untuk meraih masa depan aku.""Langit, berbeda sama Devan. Devan bilang masa depannya itu Senja. Tap
***"Kenapa cari Langit, Ja? Sekarang 'kan udah ada Devan jodoh kamu, jadi kamu nggak perlu lagi memikirkan Langit," balas Aura."Ra, bagaimanapun Langit itu tetap sahabat Senja. Jadi, Senja nggak bisa sehari aja nggak memikirkan Langit. Karena bagi Senja, Langit itu segalanya."Kening Devan berkerut, saat mendengarnya. "Terus, gue bagi lo apa, Ja? Orang ketiga, dalam hubungan persahabatan kalian?"Senja langsung terperanjat, ia menangkap Devan di hadapannya. Senja tidak menyadari, jika sejak tadi Devan tengah bersamanya. "Bukan gitu maksud Senja, Devan.""Udahlah, Ja. Sekarang yang harus kamu pikirkan itu, ujian nasional sama Devan karena dia jodoh kamu." Aura mengatakannya begitu lantang, sehingga perbincangan itu pun berakhir. Kala Senja yang beranjak pergi, dari area kantin."Senja!" panggil Devan tidak diperdulikan oleh Senja, namun kedatangan Neysa telah menahan Devan, untuk tidak pergi dari kantin.Sementara itu, Senja tetap an