***
"Langit, duduk di sini dulu, ya." Senja melepaskan genggaman tangan Langit, lantas ia memasuki kelasnya untuk mengambil tissu di dalam tas.
"Heh, lo nggak usah ngambil perhatiannya Senja. Gue tahu, lo cuman pura-pura mimisan biar Senja peduli sama lo 'kan." Devan tiba-tiba saja datang menghampiri Langit.
"Pura-pura mimisan gimana? Jelas-jelas lo yang udah buat gue kaya gini, apa lo sengaja melempar bola voli itu ke hidung gue tadi? Biar kelompok gue kalah?" Langit berdiri dari duduknya, mendorong Devan cukup kasar.
"Kalo gue sengaja kenapa? Gue lakuin itu, karena gue nggak mau Senja sedih."
"Ini ada apa?" tanya Senja mendekat.
"Ja, obatin lukanya di kelas aja," ajak Langit meraih tangan Senja.
"Apa-apaan! Senja, harus merayakan kemenangan kelasnya."
"Lo itu udah gede, masa obatin luka mimisan aja nggak bisa. Senja, nggak perlu bantu lo," lanjut Devan ikut meraih tangan Senja.
"Ja, ikut Langit!" seru Langit menarik pergelangan tangan Senja.
"Senja, ikut gue!" seru Devan.
"Ah, sakit." Senja menepis tangan keduanya, lantas memandang Langit dan Devan secara bergantian.
"Sekarang, biarin Senja mengobati luka Langit. Setelah itu, Senja ikut Devan," ujar Senja melihat darah itu terus mengalir dari hidung Langit.
"Senja, nggak bisa gitu dong. Lo harus ikut gue dulu!" protes Devan.
"Nggak bisa, Devan." Senja menggenggam tangan Langit, dan melangkah pergi.
"Langit, pusing nggak?" tanya Senja pada saat mereka berjalan berdampingan di lorong kelas.
"Ja," lirih Langit memasuki ruang kelas lebih dulu, dan terduduk di atas meja.
"Kenapa kamu harus dekat sama Devan sih?" tanya Langit dengan satu alisnya terangkat.
"Kenapa memangnya? Langit, cemburu?" Senja mengeratkan jemarinya di genggaman tangan Langit.
"Cemburu? Ya, nggak." Bola mata Langit, berlarian.
Senja diam, ia justru menempelkan tissue di tangannya ke hidung Langit. Darah segar pelan-pelan berhenti, bercak merah di bawah hidung pun sudah Senja hilangkan dengan tissue-nya. Sementara, Langit mulai memandang wajah Senja yang begitu dekat dengannya. Tidak ada jengkal jarak sedikit pun, Senja tampak sangat hati-hati saat membersihkan darah di hidung Langit.
"Ja, kamu suka sama Devan?" tanya Langit membuat mata Senja menatapnya intens.
"Kalo Senja suka sama gue kenapa?!" Devan menarik tangan Senja, memandang Langit tajam. Lalu, membawa Senja keluar dari dalam kelasnya.
Langit mematung, ia masih terduduk di atas meja sembari memandang kepergian Senja dan Devan. "Ja, Langit nggak mau kalo Senja tersakiti lagi karena cowok," geming Langit mengembuskan napasnya berat.
"Nah itu Senja sama Devan." Aura yang tengah terduduk di bangku kantin pun melambaikan tangannya.
"Udah lengkap semua 'kan? Sekarang gue mau pesan bakso, yang mau minum es jeruk bisa pesan sendiri, ya. Karena ini pakai uang kas kelas, jadi minumnya cukup es teh," ujar ketua kelas.
"Iya, Pak Ketu," balas Aura.
"Ja, kamu dari mana aja sih? Di lapangan aku nggak lihat kamu sama Devan, memangnya kalian berdua habis dari mana?" tanya Aura ketika Senja mengambil posisi duduk di sebelahnya.
"Dari kelas, Ra."
"Senja, nanti pulang sekolah bareng gue, ya," ajak Devan tersenyum.
Senja terdiam sejenak, memasang raut sedih karena masih memikirkan kondisi Langit. "Udah jawab aja, iya." Aura tiba-tiba menyenggol lengan Senja, membuatnya tersadar.
"Iya, apa?"
"Lah, sejak kapan Senja budek?" Aura mengeryitkan kening bingung.
Senja tersentak, saat tangan Devan mengelus tangannya di atas meja. "Tadi gue bilang, lo pulang sekolah bareng gue, ya," ucap Devan dengan tatapan lekat.
Devan, kenapa selalu buat jantung Senja berdetak cepat kaya gini? Senja, nggak tahu perasaan apa yang saat ini Senja rasakan, batin Senja membalas tatapan Devan.
"Baksonya udah jadi!!" seru ketua kelas, membuat semuanya bersorak riang. Begitu pula dengan Senja dan Devan, yang saling memutus pandangan.
"Ra, kamu aja, ya, yang pulang bareng Devan," bisik Senja di telinga Aura.
"Aura sih mau banget, Ja. Cuman nanti Aura pulangnya dijemput sama mamah, soalnya mau ke Bandara."
"Papah kamu pulang dari luar Negeri?" tanya Senja kaget.
"Iya, Ja. Jadi, aku nggak bisa pulang bareng Devan deh. Tapi, gakpapa kalo kamu mau pulang bareng Devan."
"Tapi, Langit," lirih Senja sambil mengaduk semangkuk bakso di hadapannya.
"Langit itu anaknya cuek, jadi kamu jangan khawatir kalo Langit bakalan cemburu. Karena itu nggak mungkin, dan nggak akan mungkin, Ja," balas Aura mulai melahap baksonya.
Nggak akan mungkin, bukan berarti nggak bisa. Tapi, Langit sama Senja 'kan nggak punya hubungan apa-apa, selain teman kecil. Jadi, buat apa Langit cemburu sama Devan, batin Senja.
"Ja, itu baksonya di makan, jangan cuman diaduk-aduk aja," tegur Devan yang melihatnya.
"Apa mau gue suapin?" tanya Devan dibalas gelengen kecil dari Senja.
"Udah, gakpapa sinih. Biar gue suapin aja, daripada nggak dimakan-makan," ujar Devan langsung mengambil sendok dari tangan Senja. "Ayo, buka mulutnya," suruh Devan kemudian.
Dari sisi lain, Langit tengah berdiri mengamati pemandangan itu. Senja membuka mulutnya, menerima suapan bakso dari Devan, dan Langit hanya bisa menahan rasa 'cemburu' itu dari arah kejauhan.
"Semoga Devan, nggak akan menyakiti hati kamu, Ja. Dan, aku nggak mau kamu menangis lagi," ujar Langit lantas beranjak pergi.
"Hum, romantis banget sih," sindir Aura dengan sedikit tawa.
Selama istirahat anak kelas IPS menghabiskan waktunya di area kantin, dan kini bel berdering menandakan jam pelajaran kembali dimulai. Mereka pun berbondong-bondong untuk menuju kelasnya, sebelum guru memasuki ruang kelas.
"Ayo cepat ke kelas, habis ini pelajarannya Bu Suci."
"Iya, guru killer disekolah Nusa Bangsa."
"Jangan sampai telat, nanti kalo telat suruh berdiri di luar kelas sampai jam pelajarannya selesai."
Senja, Aura dan Devan sudah lebih dulu masuk kelas, beberapa saat kemudian Bu Suci pun memasuki ruang kelas itu. Penggaris kayu berukuran panjang yang ada di tangannya, diletakan tepat di depan meja Devan.
"Buka buku paket kalian halaman seratus!" tegasnya.
"Kamu, rangkum materi di buku paket ini di papan tulis!" lanjutnya dengan menunjuk Devan.
"S-saya, Bu?" tanya Devan gelagapan.
"Kamu murid baru di kelas ini 'kan?! Jadi, kamu harus bisa beradaptasi di jam pelajaran Ibu."
"Bu Suci memang suka gitu, Van. Tunjuk anak seenaknya, jadi kamu jangan kaget," bisik teman sebangku Devan.
"Kamu dengar atau tidak!"
"Dengar, Bu." Devan langsung beranjak dari bangkunya, dengan membawa buku paket untuk merangkumnya di papan tulis.
"Semuanya catat materi dipapan tulis, setelah itu ulangan harian!"
Seisi kelas terbelalak, mendengar jika harus ulangan harian mendadak. "Jangan ada yang protes, cepat catat materinya. Baca dan pahami, biar kalian bisa mengerjakan ulangannya!" seru Bu Suci yang mengajar pelajaran Sejarah.
"Aduh, Ja. Nanti Aura nyontek, ya," lirih Aura.
"Ya, nggak bisa, Ra. Nanti kalo Aura nyontek, terus ketahuan sama Bu Suci gimana?"
"Ya, jangan sampai ketahuan dong, Ja."
"Nggak, Senja nggak mau mengambil resiko," tolak Senja.
"Ja, Aura mohon."
"Tapi, Ra ...."
"Tidak ada yang menyontek!" seru Bu Suci membuat Aura merunduk.
"Bu, sudah saya rangkum." Devan menghampiri Bu Suci yang tengah berkeliling di dalam kelas.
"Duduk, dan buka buku tulisnya!"
"Ulangan dimulai!!"
Keheningan terjadi saat ulangan sejarah dimulai, semuanya tampak serius dalam mengerjakan soal yang telah diberikan Bu Suci. Sementara, Bu Suci terus membawa penggaris kayu yang berukuran panjang itu, sambil mengamati satu per satu muridnya. Agar tidak ada yang menyontek, selama ulangan berlangsung.
"Ja, sudah banget nomor sepuluh. Apa jawabannya, Ja?" tanya Aura dengan nada pelan.
"Panjang, Ra. Itu suruh dijelasin," kata Senja.
"Waktu tinggal lima menit lagi! Selesai atau tidak, tetap dikumpulkan ke depan!"
Kring!!
Jam pulang berdering, pertanda jika waktu ulangan sudah habis. "Yaampun, Ja! Aura belum selesai," gerutu Aura.
"Ketua kelas, kumpulkan kertas ulangannya ke depan!" suruh Bu Suci.
"Aura, belum selesai," rengek Aura.
"Udah, Ra. Gakpapa, ini cuman ulangan harian bukan ujian 'kan," ucap Senja menepuk bahu Aura.
"Selamat siang, anak-anak. Semoga hasil ulangan hari ini, tidak ada yang remidi." Bu Suci pun berlalu pergi dari dalam kelas, membuat seluruh anak kelas berhamburan keluar.
"Senja!!" panggil Langit dari kejauhan.
Senja yang sedang berjalan bersama Devan pun terhenti, dan menoleh ke belakang. "Langit."
"Pulang bareng aku 'kan?"
"Hari ini, Senja pulang bareng sama gue," sambar Devan langsung meraih tangan Senja.
"Maaf, ya, Langit." Senja tersenyum getir, menerima genggaman tangan Devan. Keduanya pun berbalik dan melangkah pergi.
Langit menghela napasnya panjang, berjalan seorang diri menuju parkiran. Mengambil sepeda, untuk pulang. Di persimpangan jalan raya, Langit menangkap sepasang remaja yang tengah bergurau di perhentian lampu merah.
"Senja, sebahagia itu kamu bersama Devan," lirih Langit.
Senja tertawa lepas di atas motor Devan, keduanya berbincang tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Setelah lampu berubah menjadi hijau, motor itu membawa Senja pergi menjauh dari Langit.
Sebelum Devan hadir dikehidupan Senja, tawa lepas itu selalu terlihat ketika Senja bersama dengan Langit. Namun, kini tidak lagi bersama Langit. Melainkan, dengan laki-laki lain.
"Senja, kita belum jalan-jalan disekitar sekolah loh. Lo udah janji ke gue waktu itu, kira-kira lo bisa 'kan tepatin janjinya?"
"Bisa kok Devan, tapi jangan besok. Karena besok 'kan hari Minggu, jadi nggak mungkin ke sekolah."
"Kalo gitu, besok kita jalan aja. Sebelum kita keliling lingkungan sekolah, kita keliling kota ini? Gimana?"
"Ja, lo mau 'kan?" imbuhnya.
"Boleh."
"Okey ... besok gue jemput lo, ya."
Motor itu berhenti, membuat Senja turun. "Ini rumah Senja."
"Gue boleh masuk?"
"Mau ngapain?"
"Masa gue kaya tukang ojek sih, cuman nganterin lo doang sampai depan rumah. Dan, nggak disuruh masuk," ucap Devan.
"Yaudah ayo masuk," ajak Senja.
Senja dan Devan memasuki rumah yang berhalaman luas, lantas Senja mengetuk pintu itu sebelum membukanya. "Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, kamu udah pulang?"
"Bu, ini ada teman Senja."
"Saya Devan, Tante."
"Ini yang kemarin ke sini antar kamu 'kan? Waktu kamu pingsan itu?"
"Iya, Tante."
"Eh, jangan panggil Tante. Panggil Ibu aja, biar lebih dekat."
Devan memandang Senja sebentar, kemudian tersenyum memperlihatkan gigi rapihnya. "Iya, Ibu."
"Ayo masuk, mau minum apa?" tanya Mawar sangat ramah terhadap Devan.
"Biar Senja aja, Bu, yang buat minum," ujar Senja.
"Nggak usah, kamu temani Devan aja di sini. Biar Ibu yang buat minuman, ya." Mawar buru-buru melangkah ke dapur.
"Udah sinih Senja duduk sama gue," pinta Devan yang sudah duduk, tanpa ada yang menyuruhnya.
"Devan, beneran nggak mau pulang?" tanya Senja ragu mendekatinya.
"Lo ngusir gue, Ja?" Devan yang tadinya tengah memandang ruangan rumah Senja, kini beralih memandang Senja.
"Ng-nggak gitu, maksudnya Devan nggak capek habis pulang sekolah?"
"Ya, gue capek. Jadi, gue istirahat di sini dulu, boleh 'kan?"
"Ini minumannya udah jadi." Mawar datang dengan membawa nampan minuman dan makanan ringan.
"Makasih banyak, Ibu." Devan langsung mengambil gelas berisi es sirup merah itu, dan meneguknya pelan-pelan sampai habis.
"Haus banget kayanya," ledek Mawar.
"Eh, iya, Bu. Soalnya di luar panas," ucap Devan.
"Kalo gitu, Ibu masuk ke dalam dulu, ya. Kalian berdua ngobrol aja, jangan malu-malu." Mawar masuk ke dalam kembali.
"Ja, lo kelihatan risih ada gue di sini."
"Nggak kok, Senja gakpapa."
"Hum, terus lo mau gue pulang?" Devan mendekatkan diri pada Senja, meraih dagunya sehingga sorot mata keduanya bertemu.
Aduh, Devan. Senja bukannya nggak mau kalo Devan ada di sini, cuman kalo setiap Senja dekat sama Devan kaya gini. Jantung Senja, itu rasanya mau copot, batin Senja.
"Oh, iya. Ngomong-ngomong, lo tinggal di rumah sebesar ini berdua doang sama Ibu?" tanya Devan melepaskan tangannya dari dagu Senja.
"Rumah lo ini modelnya klasik, dan kuno. Tapi, halamannya luas, ya. Apa ini rumah turun-temurun? Atau rumah ...."
"Ini rumah dari aset keluarga ayah Senja, jadi turun-temurun dan rumah ini juga salah satu peninggalan dari ayah," potong Senja.
"Peninggalan? Memangnya, ayah lo ke mana?" tanya Devan mulai mengulik keluarga Senja, untuk mencari tahu rahasia dibaliknya.
"Ayah Senja, udah meninggal satu tahun yang lalu. Waktu Senja baru masuk SMA, dan ayah nggak ada karena jatuh sakit," jawab Senja.
"Sorry, gue nggak tahu soal itu. Gue kira ayah lo masih hidup, gue turut sedih dengarnya."
"Gakpapa kok, Devan."
Ternyata, orang yang udah mengkhianati bokap gue itu udah mati. Jadi, buat apa bokap dan nyokap gue suruh gue buat balas dendam ke keluarga ini? Apa, cuman buat menyakiti hati putri satu-satunya ini? batin Devan.
"Kalo gue boleh tahu, bokap lo jatuh sakit itu karena apa?" tanya Devan lagi.
"Karena usaha yang ayah Senja bangun itu bangkrut, dan ayah memang punya riwayat penyakit jantung. Jadi, ayah langsung jatuh sakit."
"Usaha apa?"
"Jadi, dulu ayah pernah berkerja di satu perusahaan sama teman dekatnya, dan ayah berniat untuk bangun usahanya sendiri. Jadi, ayah meminjam sejumlah uang ke teman dekat itu untuk usaha ayah. Tapi, ternyata usaha yang ayah bangun nggak sesuai dengan harapan ayah sendiri, dan akhirnya bangkrut. Padahal, ayah udah banyak meminjam uang ke teman dekatnya itu, tapi karena usaha ayah bangkrut jadi ayah nggak bisa mengembalikan uang yang dipinjamnya itu. Dan, ayah juga nggak bisa bekerja lagi, karena jatuh sakit."
Nggak sepenuhnya salah keluarga ini, tapi kenapa bokap gue bilang kalo bokapnya Senja udah bawa uang bokap gue, dan bokap gue sampai masuk penjara karena bokapnya Senja. Karena kasus penggelapan uang, apa gue harus tetap menjalankan balas dendam ini? Gue nggak tega lihat Senja, tapi gue juga nggak mau jadi anak durhaka, karena nggak menjalankan perintah bokap dan nyokap sendiri, batin Devan.
"Devan?" panggil Senja saat Devan tengah melamun.
"Ja, gue pulang, ya. Makasih udah kasih gue minuman," ujar Devan bergegas keluar dari rumah Senja.
"Besok?"
Langkah Devan terhenti tepat di depan motornya. "Oh, iya, besok gue jemput lo."
"Jam berapa?"
"Pagi, ya, biar kita pulangnya nggak kemalaman."
"Makasih, ya, udah antar Senja pulang."
"Devan, hati-hati di jalan," tambah Senja.
"Sampai bertemu besok!" seru Devan melajukan motornya dari halaman rumah Senja.
"Devan, mana?" tanya Mawar saat Senja akan memasuki kamarnya.
"Udah pulang."
"Kamu sama Devan pacaran?" tanya Mawar membuat Senja mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar.
***
***"Senja sama Devan nggak pacaran, Bu.""Alhamdulillah kalo gitu, biar kamu bisa Ibu jodohkan."Senja mengembuskan napas berat. "Senja, tetap nggak mau dijodohkan, Bu."Tuk! Tuk!"Biar Senja aja yang buka pintunya." Senja melangkah ke ruang tamu kembali, untuk membuka pintunya."Aura!!" seru Senja dibalas pelukan darinya. "Senja.""Om, Tante. Apa kabar?" tanya Senja meraih tangan keduanya, setelah berpelukan dengan Aura."Baik Senja.""Senja, siapa yang datang?" tanya Mawar menghampiri Senja di ambang pintu."Aura sama keluarganya, Bu.""Aura datang ke sini sama Papah dan Mamah, mau kasih oleh-oleh, buat Ibu dan Senja.""Ayo masuk dulu, Ra. Shinta kamu apa kabar? Lama kita nggak bertemu," ucap Mawar memeluk Shinta--Mamah Aura."Alhamdulillah, ak
***"Itu orangnya baik-baik aja nggak, ya? Aduh, bapak sih. Kenapa nyetirnya nggak hati-hati, jadinya tabrakan sama motor 'kan."Langit bergegas keluar dari mobil itu, menghampiri pemilik motor yang sempat ditabrak oleh mobilnya. "Mas, gakpapa?" tanya Langit."Gue sih gakpapa, tapi lihat motor gue lecet!" serunya memandang Langit."Lah, lo ...." Langit menganga, ketika mendapati pemilik motor itu; ialah Devan."Oh, jadi lo yang udah nabrak gue? Tanggung jawab, gue nggak mau tahu lo harus tanggung jawab.""Bukan gue yang nabrak lo, ya. Tapi supir taksi ini, lagi pula motor lo cuman keserempet sedikit, jadi gue nggak perlu buat tanggung jawab," bantah Langit."M-maaf, Mas. Saya nggak sengaja, soalnya tadi saya buru-buru mau mengantarkan penumpang ke Bandara." Supir taksi yang mengemudikan mobil itu pun merunduk, merasa bersalah."Bapak, ngga
***"Senja, bangun!!"Suara jam beaker tidak membangunkan Senja, bahkan teriakan dari Mawar pun tidak membuat Senja bangun dari tidurnya. Satu-satunya jalan, supaya Senja terbangun; ialah menyiram wajahnya menggunakan air dingin."DINGIN!" jerit Senja langsung terduduk di atas tempat tidurnya."Dingin 'kan?!" Suara di sampingnya, membuat Senja mengucek mata dan menengok."Ibu! Kenapa siram Senja pakai air!" sembur Senja."Ini baru air dingin, belum air panas.""Bu, ini hari Minggu. Jadi, gakpapa kalo Senja bangun siang, lagian setiap malam Senja itu sibuk belajar jadi sekarang Senja mau tidur seharian," ucap Senja."Hari ini nggak ada kata tidur! Kamu harus bangun, mandi dan siap-siap!" tegas Mawar berkacak pinggang."Siap-siap memangnya mau ke mana, Bu?""Orang tua jodoh kamu, mau bertamu lagi hari ini. D
***"Mau pulang sekarang?" tanya Devan mendekat."Biar gue yang antar Senja ke rumah aja," timpal Nabil."Iya, Sayang. Kakak gue aja yang mengantar Senja pulang, kita 'kan udah lama nggak bertemu. Masa, kamu mau pergi lagi sih," sambar Neysa."Cuman sebentar antar Senja pulang.""Ah, nggak usah, Devan. Biar Nabil aja yang antar Senja pulang, Devan di sini aja temani Neysa," tolak Senja meskipun menahan lara dalam hatinya."Gakpapa, Ja?""Iya, udah ayo, Nabil." Senja menggandeng tangan Nabil tanpa ragu, memperlihatkan jika ia baik-baik saja di depan Devan dan Neysa."Kayanya kalian berdua ini cocok, Kak Nabil dan Senja. Kenapa nggak pacaran aja?" Neysa mulai membuat keadaan panas kembali."Itu masalah nanti, Sa. Yang penting, Senja nyaman dulu sama gue. Kalo udah nyaman, 'kan jadi enak buat pacaran," ujar Nabil tersenyum da
***"Pagi, Tante. Senjanya ada?" Nabil lebih dulu datang ke rumah Senja, sebelum Senja bersiap diri.Mawar mengeryit kebingungan, ia mempersilakan Nabil untuk duduk. "Kamu siapanya Senja?""Saya ...." Belum sepenuhnya Nabil menjawab pertanyaan dari Mawar, Senja tiba-tiba datang."Dia pacar Senja, Bu."Pernyataan yang Senja lontarkan, berhasil membuat beku suasana. Nabil terperangah, begitu juga dengan Mawar yang mendengarnya. "Maksud kamu apa, Senja!" bentak Mawar."Maksud Senja, Nabil ini pacar Senja."Mawar mendelik, menarik pergelangan tangan Senja kasar. "Kamu jangan main-main sama, Ibu!""Bu, maaf kemarin Senja lupa bilang ke Ibu kalo Senja udah punya pacar. Dan, Senja mau kenalin Ibu sama pacar Senja. Dia namanya Nabil," ucap Senja memandang Nabil yang juga sedang kebingungan, atas perkataan Senja."Sejak kapan kalian berdua pacaran?!" tanya Mawar sambil menatap Senja dan Nabil, secara bergantian.
***"Kok Senja?""Iya, karena dia!" serunya lagi."Tapi, apa masalahnya? Bukannya, lo sama Senja berteman baik?""Namanya teman itu, kadang ada baiknya kadang nggak.""Maksud lo? Sorry, gue nggak paham.""Devan, aku itu suka sama kamu," terang Aura dengan sorot matanya memandang bola mata berwarna cokelat, milik Devan."Suka sama gue?""Terserah, Devan mau percaya apa nggak. Tapi, yang jelas Aura suka sama Devan.""Sejak kapan?""Devan, pikir aja sendiri," ketus Aura memalingkan pandangannya dari Devan."Terus, apa masalah lo sama Senja?" Devan menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal."Masalahnya ada di Devan!" seru Aura."Kenapa jadi gue?" Devan membelalakan matanya, menatap Aura sengit."Aura!" panggil Senja yang masuk ke dalam kelas
***"Devan, kamu cepat bersiap-siap.""Memangnya kita mau ke mana, Mah?""Udah kamu jangan banyak tanya," timpal Nirwan yang tengah membaca koran di teras depan rumahnya."Pah, Devan nggak tahu mau ke mana. Jadi, buat apa Devan bersiap-siap," bantah Devan."Mau ke rumah jodoh kamu," balas Nirwan masih fokus dengan koran di tangannya."Jodoh?""Devan, maksud papah lo apa?" tanya Neysa yang ada di rumah Devan."Gue juga nggak tahu.""Neysa, sayang. Lebih baik kamu pulang sekarang, ya. Karena Tante, Om, sama Devan mau pergi," ujar Anggun mendekat."Mau pergi ke mana, Tante?""Kamu nggak perlu tahu, kita mau pergi ke mana. Karena kamu bukan siapa-siapanya Devan, jadi tolong kamu menjauh dari Devan.""Loh, Mah. Mamah lupa sama Neysa? Dia ini teman kecil Devan, dan nggak mungkin Neysa menjauh dari Devan," sanggah Devan."Kalian berdua itu cuman teman kecil, dan sebentar lagi Devan mau bertemu
***"Devan, kamu ini apa-apan sih?! Kenapa kamu menolak untuk dijodohkan sama Senja? Bukannya kalian berdua sudah saling kenal?""Devan, nggak menolak perjodohan ini, Pah. Tapi, Devan nggak mau menerima perjodohan ini kalo Senja juga belum bisa menerimanya.""Jadi, maksud kamu? Kamu mau menunggu sampai Senja menerima perjodohan ini?""Iya, Mah. Devan, nggak mau perjodohan ini cuman disetuju sama satu pihak. Devan, maunya Senja juga setuju sama perjodohan ini.""Yaudah kalo itu mau kamu."**"Senja!! Jangan harap kamu bisa bertemu sama ibu lagi!" seru Mawar mengemaskan barang-barangnya, sembari berteriak."Ibu!" Senja yang mendengarnya, langsung menghampiri Mawar ke dalam kamar. Melihat Mawar tengah berkemas, Senja pun menghentikannya."Bu, jangan pergi. Kalo Ibu pergi, nanti Senja tinggal sama siapa di sini? Terus, Ibu mau tinggal di mana nanti?""Nggak usah peduli lagi sama Ibu. Kamu pikirkan aja perasaan k
***Aura langsung menatap Senja. "Bukan gitu, Ja. Maksud aku ... kenapa Langit harus pacaran sama Neysa, kenapa nggak sama Perempuan lain.""Atau jangan-jangan, Aura suka sama Langit?" tuduh Senja."Ja, aku sama Langit itu sahabatan. Jadi, nggak mungkin aku suka sama dia," bantah Aura langsung meminta supir angkutan umum, untuk berhenti saat akan melewati persimpangan kompleks rumahnya."Aura, tunggu!" seru Senja menyusul Aura, yang sudah turun lebih dulu."Ja, Aura nggak mau bahas apa pun lagi tentang Langit. Jadi, kalo Senja tetap mau berteman sama Aura, jangan sebut-sebut nama Langit lagi, ya." Kening Senja berkerut, ia berjalan mengikuti langkah panjang dari kaki Aura. Lantas, Aura memasuki rumahnya tanpa berbicara kembali pada Senja. "Kenapa persahabatan kita bertiga, jadi berantakan kaya gini? Karena Senja menikah dengan Devan, semuanya jadi pergi meninggalkan Senja. Pertama, Langit dan sekarang Aura."Embusan napas kasar keluar dari hidung Senja, ia kembali berjalan gontai unt
***"Kapan acaranya, Van?" tanya Haikal."Setelah kelulusan gue bilang!" tegas Devan, lantas beranjak pergi dari ruang kelasnya."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumahnya? Dan, mengajak seluruh kelas IPA?" tanya Aura bingung, begitu pun dengan Senja yang mulai berhenti menangis."Senja, harus bicara sama Devan," ujar Senja pergi menyusul Devan, yang sudah berada di ruang ujian."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumah? Kita belum membicarakan sama orang tua kamu, dan belum ada persiapan juga. Ujian nasional tinggal dua hari lagi, dan setelah itu kita langsung mengadakan pesta kelulusan?""Gue cuman mau buat pesta kelulusan, sekalian merayakan pernikahan kita. Dan, lo nggak perlu pusing memikirkan persiapan buat pesta itu, gue yang akan mengatur semuanya," balas Devan tanpa ekspresi di wajahnya.Ujian nasional dilaksanakan selama tiga hari, dan hanya beberapa mata pelajaran saja yang diujikan, sesuai dengan jurusan yang ada di SMA Nusa Bangsa. Mata p
***"Kemarin waktu kamu nggak berangkat sekolah, karena menikah sama Devan. Langit sama Neysa udah resmi berpacaran."Senja hanya terdiam, ia enggan berkomentar saat ini tentang hubungan Langit dan Neysa, yang terjalin begitu cepat. Bel masuk pun berbunyi, membuat beberapa murid mulai mengeluarkan buku-bukunya, untuk mengikuti mata pelajaran di jam pertama.Senja, nggak percaya. Kalo Langit sama Neysa pacaran, karena Neysa pasti masih mencintai Devan. Nggak mungkin secepat itu, perasaan Neysa berpaling dari Devan, secara mereka berdua teman dari kecil, dan udah kenal lama, batin Senja."Ja, gimana malam pertama kamu sama Devan? Hum, pasti romantis 'kan," bisik Aura membuat lamunan Senja menghilang."Biasa aja," balas Senja datar, ia melanjutkan menulis materi, yang sudah diterangkan oleh guru di depan kelasnya."Nggak mungkin, biasa aja dong. Pasti kamu sama Devan udah melakukan itu 'kan?" tanya Aura membuat Senja berdiri dari duduknya."Senja, ada apa?" tegur guru itu."Ah, Bu. Senja
***"Bahagia kok," jawab Senja dengan senyuman kali ini."Yaudah, kalo gitu gue mau mandi dulu." Devan berlalu pergi dari hadapan Senja, tetapi sebelum memasuki kamar mandi. Devan lebih dulu melepas seluruh kancing kemejanya, dan membiarkan tubuh bagian atas terbuka begitu saja."Devan!!" seru Senja langsung menutup matanya dengan kedua tangan. Devan pun berbalik, keningnya berkerut karena teriakan dari Senja."Ada apa?" tanyanya santai."Buka bajunya 'kan bisa di dalam kamar mandi," protes Senja enggan membuka mata, apalagi mengalihkan kedua tangan dari depan matanya."Kenapa memangnya? Gue gerah, jadi gue bukan di luar sekalian." Senja terdiam, diamnya Senja justru membuat Devan melangkah mendekat.Senja yang mendengar langkah kaki Devan, langsung menghentikannya. "Stop! Devan, mau ngapain ke sini?!"Langkah Devan terhenti, saat Senja memintanya. "Lo sendiri kenapa tutup mata gitu? Apa badan gue seburuk itu?"Senja menggeleng, lalu merunduk malu. "Ja, lo lupa kalo kita berdua udah j
***"Sekarang, kalian berdua sudah resmi menjadi sepasang suami istri, dan silakan tanda tangan di buku nikah ini," ujar penghulu membuat Devan menggangguk. Setelah Devan bertanda tangan, giliran Senja yang perlahan meraih bolpoin untuk menandatanganinya, meski hatinya terasa berat.Senja masih tidak menyangka, nasib atau takdir yang saat ini ia dapatkan. Meskipun, Senja memiliki rasa terhadap Devan, akan tetapi pernikahan dini bukanlah keinginan Senja. "Ini semua udah terjadi," lirih Senja masih menangis, tanpa memperlihatkan air matanya. Sejak tadi, ia terus merunduk dan membungkam Isak tangisnya."Ja, gue bahagia banget hari ini, karena gue akhirnya bisa memiliki lo seutuhnya," ujar Devan tersenyum, lantas meraih tangan Senja di pangkuan. Namun, Senja menepisnya kasar. Kesabaran Senja sudah berakhir, pada saat Devan mengucapkan ijab qobul tersebut. Senja berdiri, ia menyeka air matanya kasar sambil memandang orang-orang di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Senja berlalu pe
***"Senja, yang sama. Senja, yang aku ...."Bugh!Devan datang dengan amarahnya, ia langsung memukul pipi Langit. "Devan!" seru Senja membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Setelah membuat pipi Langit lebam, Devan langsung menarik pergelangan tangan Senja."Besok kita berdua akan menikah, jadi lo tolong jauhi Senja!" kelakar Devan."Besok? Devan, tanggal pernikahan kita udah ditentukan. Dan, besok baru tanggal 23 Mei, sedangkan kita menikah tanggal 25 bertepatan dengan kelulusan sekolah dan ulang tahun Senja. Dan, tanggal 24 Mei kita 'kan harus ujian nasional."Devan tidak memperdulikan perkataan Senja, ia justru berlalu pergi bersama dengan Senja. Namun, perkataan Langit telah menghentikan kepergian mereka berdua. "Devan! Lo boleh menikah besok dengan Senja, karena setelah kelulusan gue juga akan pergi dari kehidupan kalian berdua.""Nggak!" Senja menepis genggaman tangan Devan, dan berbalik menatap Langit meski dari jara
***"Ajak Langit juga, ya," balas Senja dengan senyuman lebar. Lantas, mereka bertiga beranjak dari area kantin, untuk menemui Langit di perpustakaan."Ke dermaga? Ngapain? Ini masih siang, jadi mataharinya belum tenggelam," balas Langit setelah mendapat ajakan dari Senja dan juga Aura."Kita mau ke dermaga, bukan buat melihat matahari tenggelam, Langit.""Iya, kita cuman mau mewujudkan keinginan Senja, sebelum kelulusan sekolah," sambar Aura membuat Langit langsung menutup buku komik, yang sejak tadi sedang ia baca."Kita bolos sekolah hari ini?" tanya Langit memandang mereka bertiga, secara bergantian. Lantas, mendapat anggukan cepat dari Aura.Kali ini mereka lebih memilih untuk membolos, karena sudah tidak waktu bagi mereka bersenang-senang. Sebelum ujian nasional tiba, dan sebelum Senja menikah dengan Devan. Sehingga, Langit pun mengiyakan permintaan Senja dan Aura, untuk segera meninggalkan sekolah ketika jam pelajaran."Setelah
***Langit meletakkan buku-bukunya di atas tempat tidur, dan meraih kedua tangan Senja yang berada di pangkuan. "Ja, sampai kapan pun kita berdua akan menjadi sahabat. Bahkan, kalo perlu sampai tua.""Langit, janji sama Senja, ya. Jangan pergi meninggalkan Senja sendiri, karena Senja nggak bisa hidup tanpa Langit."Langit meraih tubuh Senja, untuk membawanya ke dalam dekapan. "Aku nggak bisa janji, Ja. Karena setelah lulus, aku akan pergi ke Amerika buat melanjutkan pendidikan di sana," bisik Langit membuat air mata Senja tumpah."Langit, kenapa harus pergi," ucap Senja parau."Karena aku dapat beasiswa di salah satu universitas, yang ada di Amerika." Lantas, Langit melepaskan pelukan itu, dan menghapus air mata Senja. "Kamu tahu 'kan, Ja. Kalo impian aku itu menjadi dokter, dan masa depan aku itu ada di sana. Jadi, aku harus pergi ke Amerika untuk meraih masa depan aku.""Langit, berbeda sama Devan. Devan bilang masa depannya itu Senja. Tap
***"Kenapa cari Langit, Ja? Sekarang 'kan udah ada Devan jodoh kamu, jadi kamu nggak perlu lagi memikirkan Langit," balas Aura."Ra, bagaimanapun Langit itu tetap sahabat Senja. Jadi, Senja nggak bisa sehari aja nggak memikirkan Langit. Karena bagi Senja, Langit itu segalanya."Kening Devan berkerut, saat mendengarnya. "Terus, gue bagi lo apa, Ja? Orang ketiga, dalam hubungan persahabatan kalian?"Senja langsung terperanjat, ia menangkap Devan di hadapannya. Senja tidak menyadari, jika sejak tadi Devan tengah bersamanya. "Bukan gitu maksud Senja, Devan.""Udahlah, Ja. Sekarang yang harus kamu pikirkan itu, ujian nasional sama Devan karena dia jodoh kamu." Aura mengatakannya begitu lantang, sehingga perbincangan itu pun berakhir. Kala Senja yang beranjak pergi, dari area kantin."Senja!" panggil Devan tidak diperdulikan oleh Senja, namun kedatangan Neysa telah menahan Devan, untuk tidak pergi dari kantin.Sementara itu, Senja tetap an