***
"Devan, kamu cepat bersiap-siap."
"Memangnya kita mau ke mana, Mah?"
"Udah kamu jangan banyak tanya," timpal Nirwan yang tengah membaca koran di teras depan rumahnya.
"Pah, Devan nggak tahu mau ke mana. Jadi, buat apa Devan bersiap-siap," bantah Devan.
"Mau ke rumah jodoh kamu," balas Nirwan masih fokus dengan koran di tangannya.
"Jodoh?"
"Devan, maksud papah lo apa?" tanya Neysa yang ada di rumah Devan.
"Gue juga nggak tahu."
"Neysa, sayang. Lebih baik kamu pulang sekarang, ya. Karena Tante, Om, sama Devan mau pergi," ujar Anggun mendekat.
"Mau pergi ke mana, Tante?"
"Kamu nggak perlu tahu, kita mau pergi ke mana. Karena kamu bukan siapa-siapanya Devan, jadi tolong kamu menjauh dari Devan."
"Loh, Mah. Mamah lupa sama Neysa? Dia ini teman kecil Devan, dan nggak mungkin Neysa menjauh dari Devan," sanggah Devan.
"Kalian berdua itu cuman teman kecil, dan sebentar lagi Devan mau bertemu
***"Devan, kamu ini apa-apan sih?! Kenapa kamu menolak untuk dijodohkan sama Senja? Bukannya kalian berdua sudah saling kenal?""Devan, nggak menolak perjodohan ini, Pah. Tapi, Devan nggak mau menerima perjodohan ini kalo Senja juga belum bisa menerimanya.""Jadi, maksud kamu? Kamu mau menunggu sampai Senja menerima perjodohan ini?""Iya, Mah. Devan, nggak mau perjodohan ini cuman disetuju sama satu pihak. Devan, maunya Senja juga setuju sama perjodohan ini.""Yaudah kalo itu mau kamu."**"Senja!! Jangan harap kamu bisa bertemu sama ibu lagi!" seru Mawar mengemaskan barang-barangnya, sembari berteriak."Ibu!" Senja yang mendengarnya, langsung menghampiri Mawar ke dalam kamar. Melihat Mawar tengah berkemas, Senja pun menghentikannya."Bu, jangan pergi. Kalo Ibu pergi, nanti Senja tinggal sama siapa di sini? Terus, Ibu mau tinggal di mana nanti?""Nggak usah peduli lagi sama Ibu. Kamu pikirkan aja perasaan k
***"Hati, memang nggak bisa berbohong!" seru Mawar kembali."Bu, sakit," rintih Senja ketika darah segar mengalir dari pergelangan tangannya."Astaga!!!" Mawar terperanjat, ia memundurkan langkahnya dan melepaskan cengkeramannya dari tangan Senja."Bu, sakit," rengek Senja memegangi pergelangan tangannya, yang berdarah."Ibu, minta maaf, Sayang." Mawar langsung mengambil kotak obat di kamar Senja, dan membersihkan sedikit luka di pergelangan tangan Senja.Senja mencoba menahan Isak tangisnya, melihat Mawar yang sibuk mengobati lukanya itu. Meskipun, hanya luka kecil akibat kuku panjang milik Mawar, yang membuat goresan di pergelangan tangan Senja. Akan tetapi, Senja masih bisa melihat sisi malaikat tanpa sayap, dari sosok Mawar."Bu, gakpapa. Ini cuman sakit sedikit," kata Senja, dibalas senyuman singkat dari Mawar."Senja, maafkan ibu."
*** Pagi-pagi buta, Senja sudah berada di dalam angkot. Bersama dengan Aura--si cerewet yang selalu berada di samping Senja. Keduanya sangat menikmati suasana hening selama di perjalanan, karena angkot itu tidak begitu banyak penumpang. Namun, suara dari seseorang telah menghilangkan keheningan itu. Tampak Devan dengan motornya, berteriak dari arah belakang angkot. Ia terus mengikuti angkot yang Senja tunggangi bersama Aura, dan tanpa jeda ia memanggil nama Senja. "Ja, itu Devan kenapa?" "Senja, juga nggak tahu, Ra." Senja mengedikkan kedua bahunya, hanya memandang Devan dari balik kaca angkot. "SENJA!!" panggilnya mulai mengetuk kaca angkot. "Aduh, itu siapa sih. Udah bosan hidup, apa gimana?!" decak supir angkot yang resah, akibat perlakuan Devan. "Devan, kayanya mau ngomong sesuatu sama kamu, Ja," kata Aura. "Tapi, Senja nggak m
***"Tolong telepon ambulance!" seru Devan membuat Senja dan Aura menatapnya."Ini semua itu karena Devan!" sembur Senja dengan kedua pipinya yang basah, akan air mata yang terus menderas.Tampak napas Devan tersengal-sengal, ia membalas tatapan Senja dengan raut cemas. Melihat Senja menangis, ia berniat untuk mendekati. Namun, Aura lebih dulu mencegah langkah Devan."Jangan pernah dekati Senja, ataupun Langit.""Ra, gue minta maaf. Gue nggak sengaja," kilah Devan.Aura diam, kemudian ia berbalik dan menghampiri Senja lagi. "Hallo ambulance, tolong ke sekolah SMA Nusa Bangsa. Ada orang yang terluka di sini, tolong cepat, ya.""Langit, jangan tinggalin Senja!" teriak Senja menyentuh kedua pipi Langit, dengan telapak tangannya yang penuh bercak darah."Langit, nggak akan pergi. Ja, kamu harus percaya, ya. Langit itu kuat, dia nggak akan pergi secepat ini," ujar Aura membuat tangisan Senja semakin menjadi-jadi.Bebera
***"Bu, Senja berangkat, ya." Pagi-pagi sekali, Senja sudah bersiap dengan kaos dan celana jeans panjangnya."Kamu ke sekolah nggak pakai seragam?" tanya Mawar menghampiri."Senja, nggak sekolah, Bu. Senja mau ke rumah sakit, jagain Langit."Mawar mengembuskan napasnya berat. "Jadi kamu lebih pilih untuk bolos sekolah?""Bukan bolos, Bu. Senja nanti izin kok sama guru yang mengajar hari ini, kalo Senja nggak bisa berangkat sekolah.""Tapi, Ibu nggak kasih izin." Mawar melipat kedua tangannya, di depan dada."Kenapa, Bu? Lagian, Senja nggak sekolah itu karena ada alasan lain.""Cuman karena mau menjaga Langit, kamu harus bolos sekolah?" tanya Mawar mengintimidasi. "Dengar, ya, Senja. Kamu akan ketinggalan pelajaran, dan Ibu nggak mau kamu tertinggal. Sekolah kamu itu yang utama, Ibu susah payah cari uang biar kamu bisa sekolah," lanjutnya.
*** "Ja, mau makan apa?" Senja terdiam, saat langkah keduanya tiba di area kantin. Dan, Senja terdiam di belakang Devan. "Ja, mau makan apa?" tanya Devan kedua kali, menengok ke belakang. "Kenapa? Gue nggak boleh pegang tangan lo?" tanya Devan. "Gakpapa." Sejak tadi, Senja terus memandang tangannya yang digenggam oleh Devan. "Yaudah sekarang lo mau makan apa?" Senja melepaskan tangannya dari genggaman Devan, dan terduduk di bangku panjang yang kosong. "Apa aja," jawab Senja setelahnya. "Yaudah, lo tunggu di sini dulu, ya. Biar gue yang beli makanan buat lo," ujar Devan beranjak pergi. Selama menunggu, Senja dibalut dengan kebosanan. Ia duduk seorang diri di meja itu, sedangkan beberapa meja di sekelilingnya tampak ramai. Sekumpulan anak berada di area kantin, pada jam pelajaran. Mereka sepertinya sedang membolos, dan lebih memilih
***"Ja, dermaganya sepi banget hari ini," ujar Devan menghentikan laju kendaraannya."Iya, mungkin karena besok hari Minggu jadi nggak banyak kapal yang singgah.""Lo biasanya melihat Senja, di mana?" tanya Devan membuka helm dari kepala Senja.Senja tersenyum. "Senja, biasanya lihat matahari tenggelam di dekat laut.""Kenapa lo menyebut Senja sebagai matahari tenggelam?" tanya Devan lagi."Karena matahari tenggelam lebih cantik, daripada Senja.""Masa sih? Menurut gue, Senja lebih cantik dan bola matanya juga indah," goda Devan menangkup bahu Senja."Devan, jangan bercanda. Maksud Senja itu, matahari tenggelam yang sering disebut Senja sama kebanyakan orang.""Gue serius kok, lo memang cantik, Ja." Devan, telah membuat Senja tersipu malu. Rona merah pun tampak di kedua pipinya, ketika senyuman itu mengembang.
***"Ja, jangan, ya. Kalo hati kamu menolaknya," ucap Langit."Tapi, Senja itu mencintai Devan," sambar Aura."Senja memang mencintai Devan, tapi Senja juga nggak mau merelakan mimpi-mimpi Senja, untuk menikah sama Devan.""Kalo kamu nggak mau menikah sama Devan, terus buat apa kamu menerima Perjodohannya?" Mawar tiba-tiba saja datang, bersama dengan Dani di sampingnya."Ibu." Senja menoleh, tangannya ia lepaskan dari genggaman Langit."Sebenarnya mau kamu itu apa, Senja? Jangan mempermalukan Ibu seperti ini, Ibu juga nggak mau kamu menderita karena Ibu jodohkan.""Maaf, Bu. Senja, cuman nggak mau terlalu terburu-buru buat menikah," kata Senja pelan."Ibu, juga nggak mau kamu menikah secepatnya. Ibu mau kamu mencapai impian kamu, dan melanjutkan pendidikan kamu dulu.""Jadi, Ibu nggak akan memaksa Senja buat menikah secepa
***Aura langsung menatap Senja. "Bukan gitu, Ja. Maksud aku ... kenapa Langit harus pacaran sama Neysa, kenapa nggak sama Perempuan lain.""Atau jangan-jangan, Aura suka sama Langit?" tuduh Senja."Ja, aku sama Langit itu sahabatan. Jadi, nggak mungkin aku suka sama dia," bantah Aura langsung meminta supir angkutan umum, untuk berhenti saat akan melewati persimpangan kompleks rumahnya."Aura, tunggu!" seru Senja menyusul Aura, yang sudah turun lebih dulu."Ja, Aura nggak mau bahas apa pun lagi tentang Langit. Jadi, kalo Senja tetap mau berteman sama Aura, jangan sebut-sebut nama Langit lagi, ya." Kening Senja berkerut, ia berjalan mengikuti langkah panjang dari kaki Aura. Lantas, Aura memasuki rumahnya tanpa berbicara kembali pada Senja. "Kenapa persahabatan kita bertiga, jadi berantakan kaya gini? Karena Senja menikah dengan Devan, semuanya jadi pergi meninggalkan Senja. Pertama, Langit dan sekarang Aura."Embusan napas kasar keluar dari hidung Senja, ia kembali berjalan gontai unt
***"Kapan acaranya, Van?" tanya Haikal."Setelah kelulusan gue bilang!" tegas Devan, lantas beranjak pergi dari ruang kelasnya."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumahnya? Dan, mengajak seluruh kelas IPA?" tanya Aura bingung, begitu pun dengan Senja yang mulai berhenti menangis."Senja, harus bicara sama Devan," ujar Senja pergi menyusul Devan, yang sudah berada di ruang ujian."Devan, kenapa tiba-tiba membuat pesta kelulusan di rumah? Kita belum membicarakan sama orang tua kamu, dan belum ada persiapan juga. Ujian nasional tinggal dua hari lagi, dan setelah itu kita langsung mengadakan pesta kelulusan?""Gue cuman mau buat pesta kelulusan, sekalian merayakan pernikahan kita. Dan, lo nggak perlu pusing memikirkan persiapan buat pesta itu, gue yang akan mengatur semuanya," balas Devan tanpa ekspresi di wajahnya.Ujian nasional dilaksanakan selama tiga hari, dan hanya beberapa mata pelajaran saja yang diujikan, sesuai dengan jurusan yang ada di SMA Nusa Bangsa. Mata p
***"Kemarin waktu kamu nggak berangkat sekolah, karena menikah sama Devan. Langit sama Neysa udah resmi berpacaran."Senja hanya terdiam, ia enggan berkomentar saat ini tentang hubungan Langit dan Neysa, yang terjalin begitu cepat. Bel masuk pun berbunyi, membuat beberapa murid mulai mengeluarkan buku-bukunya, untuk mengikuti mata pelajaran di jam pertama.Senja, nggak percaya. Kalo Langit sama Neysa pacaran, karena Neysa pasti masih mencintai Devan. Nggak mungkin secepat itu, perasaan Neysa berpaling dari Devan, secara mereka berdua teman dari kecil, dan udah kenal lama, batin Senja."Ja, gimana malam pertama kamu sama Devan? Hum, pasti romantis 'kan," bisik Aura membuat lamunan Senja menghilang."Biasa aja," balas Senja datar, ia melanjutkan menulis materi, yang sudah diterangkan oleh guru di depan kelasnya."Nggak mungkin, biasa aja dong. Pasti kamu sama Devan udah melakukan itu 'kan?" tanya Aura membuat Senja berdiri dari duduknya."Senja, ada apa?" tegur guru itu."Ah, Bu. Senja
***"Bahagia kok," jawab Senja dengan senyuman kali ini."Yaudah, kalo gitu gue mau mandi dulu." Devan berlalu pergi dari hadapan Senja, tetapi sebelum memasuki kamar mandi. Devan lebih dulu melepas seluruh kancing kemejanya, dan membiarkan tubuh bagian atas terbuka begitu saja."Devan!!" seru Senja langsung menutup matanya dengan kedua tangan. Devan pun berbalik, keningnya berkerut karena teriakan dari Senja."Ada apa?" tanyanya santai."Buka bajunya 'kan bisa di dalam kamar mandi," protes Senja enggan membuka mata, apalagi mengalihkan kedua tangan dari depan matanya."Kenapa memangnya? Gue gerah, jadi gue bukan di luar sekalian." Senja terdiam, diamnya Senja justru membuat Devan melangkah mendekat.Senja yang mendengar langkah kaki Devan, langsung menghentikannya. "Stop! Devan, mau ngapain ke sini?!"Langkah Devan terhenti, saat Senja memintanya. "Lo sendiri kenapa tutup mata gitu? Apa badan gue seburuk itu?"Senja menggeleng, lalu merunduk malu. "Ja, lo lupa kalo kita berdua udah j
***"Sekarang, kalian berdua sudah resmi menjadi sepasang suami istri, dan silakan tanda tangan di buku nikah ini," ujar penghulu membuat Devan menggangguk. Setelah Devan bertanda tangan, giliran Senja yang perlahan meraih bolpoin untuk menandatanganinya, meski hatinya terasa berat.Senja masih tidak menyangka, nasib atau takdir yang saat ini ia dapatkan. Meskipun, Senja memiliki rasa terhadap Devan, akan tetapi pernikahan dini bukanlah keinginan Senja. "Ini semua udah terjadi," lirih Senja masih menangis, tanpa memperlihatkan air matanya. Sejak tadi, ia terus merunduk dan membungkam Isak tangisnya."Ja, gue bahagia banget hari ini, karena gue akhirnya bisa memiliki lo seutuhnya," ujar Devan tersenyum, lantas meraih tangan Senja di pangkuan. Namun, Senja menepisnya kasar. Kesabaran Senja sudah berakhir, pada saat Devan mengucapkan ijab qobul tersebut. Senja berdiri, ia menyeka air matanya kasar sambil memandang orang-orang di sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Senja berlalu pe
***"Senja, yang sama. Senja, yang aku ...."Bugh!Devan datang dengan amarahnya, ia langsung memukul pipi Langit. "Devan!" seru Senja membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Setelah membuat pipi Langit lebam, Devan langsung menarik pergelangan tangan Senja."Besok kita berdua akan menikah, jadi lo tolong jauhi Senja!" kelakar Devan."Besok? Devan, tanggal pernikahan kita udah ditentukan. Dan, besok baru tanggal 23 Mei, sedangkan kita menikah tanggal 25 bertepatan dengan kelulusan sekolah dan ulang tahun Senja. Dan, tanggal 24 Mei kita 'kan harus ujian nasional."Devan tidak memperdulikan perkataan Senja, ia justru berlalu pergi bersama dengan Senja. Namun, perkataan Langit telah menghentikan kepergian mereka berdua. "Devan! Lo boleh menikah besok dengan Senja, karena setelah kelulusan gue juga akan pergi dari kehidupan kalian berdua.""Nggak!" Senja menepis genggaman tangan Devan, dan berbalik menatap Langit meski dari jara
***"Ajak Langit juga, ya," balas Senja dengan senyuman lebar. Lantas, mereka bertiga beranjak dari area kantin, untuk menemui Langit di perpustakaan."Ke dermaga? Ngapain? Ini masih siang, jadi mataharinya belum tenggelam," balas Langit setelah mendapat ajakan dari Senja dan juga Aura."Kita mau ke dermaga, bukan buat melihat matahari tenggelam, Langit.""Iya, kita cuman mau mewujudkan keinginan Senja, sebelum kelulusan sekolah," sambar Aura membuat Langit langsung menutup buku komik, yang sejak tadi sedang ia baca."Kita bolos sekolah hari ini?" tanya Langit memandang mereka bertiga, secara bergantian. Lantas, mendapat anggukan cepat dari Aura.Kali ini mereka lebih memilih untuk membolos, karena sudah tidak waktu bagi mereka bersenang-senang. Sebelum ujian nasional tiba, dan sebelum Senja menikah dengan Devan. Sehingga, Langit pun mengiyakan permintaan Senja dan Aura, untuk segera meninggalkan sekolah ketika jam pelajaran."Setelah
***Langit meletakkan buku-bukunya di atas tempat tidur, dan meraih kedua tangan Senja yang berada di pangkuan. "Ja, sampai kapan pun kita berdua akan menjadi sahabat. Bahkan, kalo perlu sampai tua.""Langit, janji sama Senja, ya. Jangan pergi meninggalkan Senja sendiri, karena Senja nggak bisa hidup tanpa Langit."Langit meraih tubuh Senja, untuk membawanya ke dalam dekapan. "Aku nggak bisa janji, Ja. Karena setelah lulus, aku akan pergi ke Amerika buat melanjutkan pendidikan di sana," bisik Langit membuat air mata Senja tumpah."Langit, kenapa harus pergi," ucap Senja parau."Karena aku dapat beasiswa di salah satu universitas, yang ada di Amerika." Lantas, Langit melepaskan pelukan itu, dan menghapus air mata Senja. "Kamu tahu 'kan, Ja. Kalo impian aku itu menjadi dokter, dan masa depan aku itu ada di sana. Jadi, aku harus pergi ke Amerika untuk meraih masa depan aku.""Langit, berbeda sama Devan. Devan bilang masa depannya itu Senja. Tap
***"Kenapa cari Langit, Ja? Sekarang 'kan udah ada Devan jodoh kamu, jadi kamu nggak perlu lagi memikirkan Langit," balas Aura."Ra, bagaimanapun Langit itu tetap sahabat Senja. Jadi, Senja nggak bisa sehari aja nggak memikirkan Langit. Karena bagi Senja, Langit itu segalanya."Kening Devan berkerut, saat mendengarnya. "Terus, gue bagi lo apa, Ja? Orang ketiga, dalam hubungan persahabatan kalian?"Senja langsung terperanjat, ia menangkap Devan di hadapannya. Senja tidak menyadari, jika sejak tadi Devan tengah bersamanya. "Bukan gitu maksud Senja, Devan.""Udahlah, Ja. Sekarang yang harus kamu pikirkan itu, ujian nasional sama Devan karena dia jodoh kamu." Aura mengatakannya begitu lantang, sehingga perbincangan itu pun berakhir. Kala Senja yang beranjak pergi, dari area kantin."Senja!" panggil Devan tidak diperdulikan oleh Senja, namun kedatangan Neysa telah menahan Devan, untuk tidak pergi dari kantin.Sementara itu, Senja tetap an