Tiga jam aku menunggu di ruangan bernuansa coklat ini bersama beberapa orang lainnya. Aku memeriksa tiap sudut ruangan, ada AC dimana-mana, tapi keringatku tak berhenti mengucur. Ini pertama kalinya aku dipanggil wawancara dan aku tak mengira rasanya akan sama mendebarkan seperti akan ujian nasional.
Perasaanku saja atau memang sejak tadi beberapa pelamar silih berganti memperhatikan aku? Memang ada yang salah?
"Kanaya."
Debaran jantungku semakin jadi saat namaku dipanggil. Ini giliranku untuk wawancara. Semoga lancar, Aamiin.
Ketika aku memasuki ruangan interview, pandangan beberapa orang di balik meja juga sama menelisiknya seperti pandangan para pesaingku di luar tadi. Astaga, aku semakin gugup.
Setelah aku duduk, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, "kamu sudah baca semua persyaratannya?"
Aku mengangguk patah-patah.
"Sudah semua?"
"Sudah, pak."
Seorang wanita berkaca mata mencondongkan tubuhnya dan melihatku dari rambut hingga kaki, "kamu tidak baca di persyaratan pertama tertulis berpenampilan menarik?"
"Hah?"
Jujur saja aku terkejut. Pasalnya, di persyaratan yang ditunjukkan oleh Ranti tidak ada tuntutan akan penampilan menarik. Kecuali... Sial! Pasti Ranti sudah menipuku.
Sekarang gantian aku yang memperhatikan pakaian hingga sepatuku, lalu menelan ludah. Tidak ada hal yang menarik.
"Maaf bu, saya tidak teliti membaca persyaratannya."
Sepatu flatku yang usang sekarang jadi jauh lebih menarik untuk diperhatikan. Aku tak sanggup menatap wajah empat orang di depan sana, rasanya sangat malu.
"Dari tinggi kamu saja sudah kurang jauh dari syarat yang dicantumkan. Saya nggak paham kenapa berkas kamu bisa lolos."
"Saya kira tingginya bisa termaafkan dengan wajah yang enak dilihat, ternyata tidak juga. Yah, dari pasfotonya sudah terlihat tidak menarik memang," ujar seorang pria yang duduk paling pinggir.
Sialan memang si Ranti. Gara-gara dia aku harus menanggung malu sebegini besarnya. Lihat saja nanti.
Akhirnya aku keluar ruangan dengan wajah tertunduk dalam, tak sanggup lagi menatap para pesaing lain yang baru aku sadari ternyata cantik-cantik dengan wajah terawat. Astaga, seumur hidup aku tak akan pernah mau lagi menginjakkan kaki di tempat ini. Malunya pasti sampai aku punya cucu kelak.
-£-
Pintu kosku didrobak begitu saja saat aku sedang bersemedi di depan kipas sambil mengunyah sepotong eskrim mochi.
"Gimana interview-nya, Kay?"
Hoho lihat siapa yang datang merusak me time dan acara penghiburan diriku. Ya, orang yang sama dengan yang merusak kepercayaan diriku sampai anak cucu kelak.
"Tanya noh sama tembok. Males aku ngomong sama kamu."
"Dih jutek amat jawabnya."
"Ya situ pikir aja sendiri."
"Hmm kalo makan es mochi gini berarti reward buat diri sendiri nih. Jadi keterima dong?"
"Keterima ndasmu. Iya keterima jadi bahan olok-olokan di ruang interview."
Ntah kenapa dadaku panas seketika, lalu menjalar ke wajah dan mataku. Sialan, padahal sudah makan eskrim.
Rasanya banyak sekali benang semrawut dalam hatiku. Terlalu kusut sampai aku tidak tahu yang mana yang membuatku sedih. Sikap Ranti, orang-orang yang mewawancaraku tadi, atau sikap bodohku sendiri yang begitu saja percaya pada Ranti. Mungkin semuanya.
"Olok-olokan gimana maksud kamu?"
"Ya menurut kamu aku yang jelek, gak enak dipandang, dekil gini terlihat wajar ada di sana? Enggak Ran. Yang ada aku jadi bahan cemooh sama mereka. Kamu pikir aku cari kerja ini main-main sampai kamu seenaknya aja ngedit ulang brosur lowongannya?"
Setelah menumpahkan uneg-uneg, dadaku terasa sesak. Air mataku juga berjatuhan tanpa aku sadari. Aku tak bisa menepis rasa kecewaku pada Ranti.
Ada hening yang cukup lama sampai Ranti angkat suara, "aku minta maaf. Aku pikir setelah melihat kemampuan kamu, mereka bakal terima kamu kerja. Menurutku juga kamu enak dipandang kok, semua perempuan itu cantik, Kay. Aku emang salah banget karna udah edit brosurnya. Tapi kalau aku gak ngelakuin itu, kamu nggak akan mau coba daftar. Menurut aku kerjaan itu cocok banget buat kamu."
Hahaha, naif.
"Ngerti apa kamu soal semua perempuan cantik, Ran. Kamu beruntung karena terlahir sempurna. Tinggi, mancung, putih, rambut lembut, bisa perawatan terus, mulus. Gak gradakan kayak aku. Mudah buat kamu bilang semua perempuan cantik karena kamu nggak pernah ngerasain diperlakukan beda karna kamu jelek. Kamu nggak pernah ngerasain kayak apa malunya pas orang-orang ngejek hanya karna aku nggak sesuai sama standar kecantikan dimata mereka."
Aku memperhatikan Ranti dengan seksama. Lihat, bahkan harga pakaian yang dia pakai saja melebihi uang terbanyak yang bisa aku dapatkan selama sebulan. Lalu lihat fisiknya yang sempurna seperti model yang biasa berlenggok di Paris sana. Aku tidak iri. Perasaan itu sudah lama kubuang sejak aku menerima kenyataan bahwa aku memang terlahir pendek dan tidak menarik. Namun melihat orang yang bertindak sesuka hati hanya karena mereka tampan atau cantik, tanpa memikirkan perasaan orang lain sering kali membuatku sakit hati.
"A-aku cuma pengen kamu lebih percaya diri aja Kay, nggak ada maksud lain apalagi buat bikin kamu malu."
"Yah tapi ujung-ujungnya aku tetap dipermalukan, jadi makasih buat niat baik kamu."
Ranti hendak bicara lagi namun aku tahan, "aku lagi pengen sendiri, Ran. Mendingan kamu pulang aja."
-£-
Minggu pagiku yang damai diusik oleh gedoran pintu kos yang tidak bersahabat. Siapa sih?!
"Kalau ngetok pintu tuh biasa aja dong!" Hardikku pada orang yang entah siapa ini, aku nggak kenal.
Pria yang sepertinya beradik kakak dengan tiang listrik ini menatapku dengan sebelah alis terangkat, sudut bibirnya tersungging menyiratkan cemoohan, "ternyata kurcaci itu benar-benar ada."
Hah? Siapa yang dia bilang kurcaci?
Aku mundur beberapa langkah untuk melihatnya lebih seksama, demi kenyamanan leherku.
"Kamu ini siapa sih? Gedor-gedor pintu orang, gak pakai salam malah langsung body shamming."
"Well, berarti si Yadi belum cerita."
"Yadi siapa?"
Seorang pria awal tiga puluhan tergopoh-gopoh menghampiri kami dengan nafas menderu, sepertinya sehabis berlari. Dia Mas Lukman, pemilik kos-kosan yang aku tempati ini. Waduh gawat, dia pasti mau menagih uang kosku yang sudah terlambat dua minggu.
"Duh maaf mas saya nggak tau kalau mas Sada udah datang dari subuh," ujar Mas Lukman pada si manusia tiang listrik. Mas Lukman kelihatan sangat ketakutan.
Ooh jadi dia ini kenalannya Mas Lukman.
"Makanya jangan nonton bokep mulu lu semalaman. Gua datang aja lu nggak sadar."
Mas Lukman meringis salah tingkah.
Ewh apa-apaan pembicaraan pria-pria ini.
Mas Lukman beralih padaku. Tatapan takutnya yang seperti anak kucing tadi berubah menjadi segarang harimau. Dia berkacak pinggang. Uh hawa disini jadi tidak enak.
"Eh Naya. Kamu dari semalam kemana aja hah? Aku telfonin nomormu nggak aktif. Kamu mau main petak umpet?"
"Aku nggak kabur kok, Mas. Sumpah deh. Dari semalam aku emang nggak lihat hp. Mungkin baterainya habis."
"Pokoknya sekarang kamu nggak bisa ngelak lagi. Ini Mas Sada udah datang langsung buat nagih uang kos kamu."
"Ya Allah mas, nggak perlu sampai nyewa algojo gini dong buat nagih uang kos ke aku. Aku pasti bayar kok kalau udah ada uangnya."
"Sembarangan aja kamu. Mas Sada ini juragan yang punya semua kos dan kontrakan disini." Sembur Mas Lukman.
"Loh terus mas Lukman ini siapa dong?"
"Saya cuma tukang jaga sekaligus tukang tagih uang kos, karna selama ini mas Sada di Jakarta. Nggak bisa kesini sering-sering."
Nyaliku menciut saat kembali menatap pria bernama Sada ini. Sepertinya aku harus siap-siap angkut barang sebentar lagi.
"Mana uang kos lo? Gue nggak ada waktu lama-lama di sini. Urusan gue banyak."
Aku menelan ludah gugup "uangnya belum ada, Mas."
Sepertinya aku akan resmi menjadi gelandangan sebentar lagi.
"Mana uang kos lo? Gue nggak ada waktu lama-lama di sini. Urusan gue banyak."Aku menelan ludah gugup "uangnya belum ada, Mas."Dia bersedekap dan menghembuskan nafas panjang, "yaudah kalau gitu lo keluarin bar-"Meoww~~Demi eyeliner firaun! Kenapa Mochi keluar dan ndusel-ndusel kakiku disaat genting seperti ini? Oh lihat matanya yang bulat dan sarat akan permohonan itu. Aku baru ingat aku belum memberi dia makan sejak tadi pagi. Terlalu galau membuat aku melupakan teman kecilku ini.Aku sedikit menunduk dan berbisik padanya "Mochi, jangan minta makan dulu deh. Ini kita lagi terancam terusir nih.”"Itu kucing lo?" Tanya si juragan kos."Iya.""Hmm" dia memperhatikan Mochi dengan seksama "kelihatan terawat dan sehat. Untuk ukuran kucing kampung, kucing lo udah bagus banget."Aku melotot tidak percaya. Setelah body shamming sekarang dia rasis terhadap kucing.Ini benar-benar tidak b
Sambil mengiris wortel sesekali aku memperhatikan Sada yang sangat gesit memasak dengan alat masak yang sangat-sangat seadanya. Dia tampak lihai dan akrab dengan kegiatan ini, yang membuat aku paling tercengang adalah aksinya menggiling cabai secara manual, alias diuleg sendiri. Beberapa menit yang lalu Mas Lukman datang dengan sekantong plastik penuh bahan masakan. Sepertinya Sada meminta pria itu membawa semua bahan masakan di rumahnya, lengkap dengan ulekan cabai. Jadilah dia chef dadakan di dapurku yang sangat minimalis. Katanya dia akan memasak sop ayam. Tapi sejujurnya, aku sanksi dengan rasa masakannya. Terlihat lihai belum tentu hasilnya enak, 'kan? "Gue nggak percaya lo cuma punya wajan, panci, spatula, dan cutter karatan." "Masih mending dari pada nggak ada." "Gue juga nggak percaya lo masih bisa bertahan hidup dengan kemampuan masak nol besar kayak gini. Masak itu adalah basic skill buat survive."
Aku sedang menjemur Mochi dan Reo di luar saat Ranti datang menghampiriku. Dia datang dengan wajah tertekuk lalu menatapku dengan puppy eyes andalannya. Oh tidak bisa. Aku tidak akan luluh lagi dengan mata bulat yang cantik itu."Keykey, kok kamu marahnya lama banget?""Nggak usah panggil aku pakai nama itu deh Ran. Geli aku dengarnya.""Iya aku nggak akan panggil kamu gitu lagi asal kamu maafin aku, ya?""Nggak.""Ayo dong. Aku beneran nyesel, nggak akan aku ulangi. Janji.""Ya memang nggak seharusnya kamu ngulang perbuatan itu. Baik ke aku atau ke siapa pun.""Aku harus lakuin apa biar kamu maafin aku?""Nggak tau. Aku lagi males mikir, lagi pengen sendiri."Mata bulat yang penuh permohonan tadi berubah menjadi delikan tajam. Kan sudah kuduga raut sedih tadi hanya kepura-puraan agar aku luluh."Tega banget sih kamu ngusir aku lagi. Nggak, kali ini aku nggak bakal pergi sampai kamu maafin aku. Aku udah b
Setelah selesai buang air kecil, aku bercermin untuk melihat penampilanku. Ewh aku sangat terganggu melihat minyak di wajahku ini. Aku menghidupkan air kran dan membasuh wajah dan memoles liptint kembali. Setidaknya ini akan sedikit membantu penampilanku agar tak terlihat terlalu lusuh. "Mbak, majikannya baik banget ya." Aku menoleh ke kiri, melihat ke arah seorang perempuan remaja yang aku perkirakan baru lulus SMA. Dia terseyum ramah padaku. "Maksudnya gimana?" Tanyaku tak paham. "Aku lihat mbak tadi makan sama majikan mbak. Aku kesini juga sama majikan aku, dia artis, tapi baik banget. Asik ya mbak punya majikan baik, ditraktir makan yang enak-enak terus." "Hah?" "Sesekali coba ikut majikannya perawatan deh mbak. Aku udah dua kali dibawa ke salon, jadinya wajah aku jadi lebih bersih dan sehat gini. Walaupun kita nggak cantik dan nggak putih, tapi kalau wajah terawat jadi lebih mendingan. Terus coba upgr
Sesuai arahan Sada, aku pergi ke alamat yang dia kirim pada siang hari ini. Ternyata dia mengirim aku ke salah satu restoran terbaik di kota ini, yang seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya. Delizio, adalah salah satu restoran bintang lima yang sering kali dikunjungi atau di-review oleh artis maupun foodvloger ternama. Tampilan luarnya saja sudah menjanjikan kemewahan, kenikmatan, dan tentu saja kemahalan untuk kantongku yang tidak pernah sehat ini.Akan bekerja sebagai apa aku disini? Tukang cuci piring kah? Atau tukang bersih-bersih?Aku mematut tampilan diriku di depan jendela restoran ini yang sangat berkilau dan bebas debu. Jika dilihat dari penampilanku, diterima sebagai petugas bersih-bersih saja rasanya sudah sangat bersyukur.Omong-omong dari mana Sada punya link untuk memasukkan aku ke restoran ini ya? Memang siapa Juna Juna itu? Sedekat apa mereka? Kalau aku benar-benar bisa diterima disini karena re
Alarm sialan yang lupa aku non-aktifkan mengacaukan rencana leha-lehaku hari ini. Karena bunyinya yang sangat berisik, aku jadi tidak bisa tidur lagi. Mungkin memang sudah seharusnya aku bangun, karena sekarang sudah hampir jam sebelas. Setelah peregangan sebentar, aku beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi. Mandi hanya dilakukan jika kita banyak mengeluarkan keringat dan lama beraktivitas diluar ruangan. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mochi yang menghapiriku sambil mengeong tak jelas. "Kamu kenapa? Udah laper ya?" Aku mengikuti Mochi yang berlari ke tempat tidurnya dan menemukan Reo yang masih bergelung di dalam kandang. Makanan dan minum yang aku berikan tadi malam tampak tak tersentuh sama sekali. Ini aneh. Biasanya makanan Reo akan habis atau tersisa sedikit, tapi ini makanannya seperti benar-benar tak tersentuh. Aku jongkok di depan kandang Reo dan mencoba mengelusnya. Tubuhhya terasa sangat l
Setelah diperika, ternyata Reo sedang menderita sariawan yang cukup parah. Beruntung dia segera dibawa ke vet dan diberikan penanganan tepat. Untuk membantu proses penyembuhan, Reo juga diberikan beberapa obat-obatan. Oh iya, kami juga memeriksa keadaan tubuh Reo paska terkena pukulan tadi. Untungnya menurut dokter pukulan itu tidak berdampak apa-apa. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Sada jika pukulan itu menyebabkan cidera serius untuk Reo."Kita makan dulu. Lo belum sarapan kan?" Tanya Sada saat motornya bergerak menjauh dari klinik hewan.Teringat akan keadaan uangku yang masih belum membaik, rasanya tawaran sarapan di luar ini tidak begitu menggiurkan. Lagi pula, aku sudah menyetok telur, minyak, dan beras di kos untuk menghemat pengeluaranku."Mau sarapan dimana?" Tanyaku.Menanyakan tempat sarapan tentu menjadi hal yang penting. Jika dia mengajakku sarapan di warung tenda tepi jalan maka aku akan memesan teh hangat. Tapi jika dia ingin sarapan
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya
Aku berangkat ke Delizio dengan kereta yang sepagi ini saja sudah penuh sesak dengan orang-orang yang masih harus berkegiatan di akhir pekan seperti aku ini. Sesaknya membuat tak nyaman, seperti kondisi hatiku saat ini. Kenapa ya? Setelah pulang dari apartment Sada aku merasakan sesuatu yang mengganjal, rasanya aku jadi tidak terlalu bersemangat untuk menjalani hari. Sekelebat ingatan di apartment Sada tadi kembali membayang. Sada kembali dari kamarnya dengan pakaian kasual yang biasa aku lihat, lalu menyuruhku metakkan Reo di atas pantry dapur. Ah iya, wanita cantik tadi juga sudah pergi setelah memakai pakaian yang lebih layak sembari menenteng clutch yang aku tahu harganya sangat fantastis. “Cantik banget. Kamu selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik, ya? Enak banget kalau kaya dan good looking.” Detik berikutnya aku tersadar apa yang aku ucapkan tampaknya telah menyinggung perasaan Sada. Dia menatapku
Kanaya Aku boleh numpang makanan di kulkasnya Reo nggak? Ternyata tak butuh waktu lama untuk Sada membalas pesanku. Kelihatannya dia sedang sangat santai. Arab KW Tinggal masukin aja ribet banget lo Pake nanya segala Wah, sepertinya Sada sedang kerasukan malaikat. Momen langka ini harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Kanaya Okayyy. Terima kasiihh ^_^ Arab KW Besok-besok nggak usah tanya hal gak penting kek gini lagi lah Gue sibuk Paling males gue ditanyain hal-hal nggak penting gini Sekarang setannya sudah mengambil alih. Manusia satu ini benar-benar aneh bin ajaib, sangat sulit untuk ditebak. Sering kali aku berpikir mungkin Sada ini berkepribadian ganda karena mood-nya sering berubah-ubah dalam hitungan menit. Tersera
Salah satu bagian yang paling aku suka ketika bekerja di dapur pastry ini adalah saat indera penciumanku dipenuhi oleh aroma berbagai macam bahan yang meninggalkan kesan manis. Ini juga yang mendorongku untuk semangat berangkat bekerja setiap harinya. Rasanya aku bekerja sembari mempelajari banyak hal baru, seperti hari ini kami membuat menu baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu Danish pastry. Jika saja aku tidak ditugaskan sebagai helper di bagian dekorasi, pasti aku sudah berkeliling untuk melihat proses pembuatan bagian-bagian yang lain. “Nay, tolong ambilin blueberry, rasberry, sama apricot dong,” seru mbak Nana –senior bagian dekorasi – yang sedang sibuk dengan sesuatu. “Okay, mbak.” Aku berjalan menuju food storage dengan langkah semangat. Salah satu bagian yang paling aku suka dari dapur ini adalah bagian storage-nya. Disana tersedia sangat banyak bahan-bahan makanan dan minuman yang segar dengan kualitas terbaik.
Karena memang bodoh dan sudah terlanjur panik, aku memungut patahan statue di lantai dan mencoba merekatkannya kembali, yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa. "Ya ampun, kok bisa jadi patah gitu sih?!" Hardik si pramuniaga yang berdiri di depanku. Dalam posisi jongkok, si bodoh Naya ini masih terus mencoba menyatukan statue yang patah itu. "Maaf mbak, tadi saya nggak sengaja nyenggol." "Makanya mbak, kalau nggak punya uang tuh nggak usah masuk ke sini. Nggak usah pegang-pegang kalau memang nggak mampu beli. Sekarang liat, jadi rusak gitu barangnya. Emang mbak bisa ganti?" "Iya mbak, maaf." Pelasku, masih memegang statue yang patah dengan tangan yang mulai bergetar dan dingin. Walaupun jongkok, tapi aku sadar beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Rasanya malu sekali. Mataku juga mulai panas dan berair. Aku terkejut saat lengan atasku tiba-tiba ditarik hingga aku bangkit dari lantai. "Dia datan
Hari ini aku mendapat shift pagi, jadi seharusnya di waktu sore begini aku sudah bisa bersantai-santai di kos sambil mengerjakan beberapa proyek terjemah. Yap, seharusnya. Tapi kenyataan berkata lain. Pukul setengah lima sore, aku harus buru-buru mandi lalu berdesakan dengan orang-orang dalam angkutan umum hanya demi menemui the big boss Sada di sebuah pusat perbelanjaan. Aku tidak tahu kenapa dia selalu bisa mengacaukan rencana indahku di kos. Aku curiga dia memasang semacam alat penyadap untukku sehingga dia bisa tahu kapan waktu aku ingin bersantai, lalu dia bisa mengacaukan rencanaku dengan mudahnya. Sampai di pusat perbelanjaan yang dia maksud, aku mencari-cari toko tempat Sada menyuruhku menemuinya. Ini baru kedua kalinya aku masuk kesini, jadi tentu saja aku tidak hapal seluk beluk bangunan ini, yang mana pasti membuat aku kesulitan menemui Sada di tempat sebesar ini. Dari pada repot, lebih baik aku telfon saja dia. Baru didering pertama, pang
Setelah Ranti memergoki posisiku yang sangat tidak biasa –alias di atas perut Sada– pria itu pergi begitu saja dari kosku dengan seringai jahil di bibirnya yang tak pernah hilang bahkan sampai dia menutup pintu, meninggalkan aku bersama tatapan Ranti yang mengandung sejuta tanya dan tentu saja beragam spekulasi yang dia ciptakan sendiri. Aku tahu setelah ini aku akan memasuki tahap introgasi ala Ranti yang lebih ditail dan memusingkan dibandingkan ketika sesi tanya jawab saat sidang skripsi. “Langsung aja ya, Kay,” Ranti menarik nafas dramatis, welcome back our drama queen, “sejak kapan kamu punya simpanan singa arab begitu tapi nggak pernah kasih tau aku?” Pfftt Ranti dan pilihan katanya. Singa arab? Yah, kalau dipikir-pikir Sada memang bisa saja menjadi singa yang siap mencabik mangsanya jika dia benar-benar murka. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga. “Pertama-tama, yang perlu kamu tahu adalah dia bukan simpananku,” terangku pada Ranti.
“Lo dimana?” adalah pertanyaan Sada saat pertama kali aku menangkat telfon. “Di kos.” “Gue kesana sekarang.” “Mau ngapain?” Tut. Aish! Kenapa sih dia suka sekali mematikan panggilan secara sepihak? Membuat jengkel saja. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu mulai mencuci muka dan gosok gigi. Setelahnya aku pergi ke dapur miniku dan melihat ke dalam ricecooker, oh syukurlah nasinya masih cukup untuk sarapan pagi ini. Saatnya memberikan majikanku makan lalu membuat makananku sendiri. Saat akan menggoreng telur, Sada menggedor pintu kosku dengan tidak manusiawi. Oh tentu saja itu dia, memang siapa lagi yang menggedor pintu seperti sedang membangunkan orang sahur begitu? Hanya Sada orangnya. Biarlah, toh jika pintu kosku jebol, dia juga yang akan mengganti. “Kenapa sih tiap gedor pintu tuh nggak pernah santai?” tanyaku saat membukakan pintu. “Gue kira lo masih tidur, atau nggak lagi deng
“Mbak ada uang nggak buat bayar SPP aku? Minggu depan aku UAS, kalau nggak melunasi SPP nggak bisa ikut ujian.” Aku meremas celana kulotku dengan jemari yang tiba-tiba mendingin. Kepalaku juga seketika pening. Aku melirik Mas Mahen sekilas, berharap speaker hp kentangku ini tidak mengelurkan suara terlalu keras hingga Mas Mahen tidak bisa mendengar percakapan barusan. Aku menjawab pertanyaan Fabian, adikku, dengan sedikit berbisik. “Nanti mbak telfon lagi kalau udah di kos ya. Mbak tutup dulu telfonnya.” Tanpa menunggu balasan dari Fabian, aku mengakhiri panggilan. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di tengah malam yang hening, di dalam mobil yang pengemudinya adalah Mas Mahen? Aku akan benar-benar merasa tak enak dan canggung jika Mas Mahen mendengar semuanya. Entah sudah berapa kali aku melirik Mas Mahen, sembari merapal doa semoga saja dia tidak mendengar. “Kos kamu yang mana Nay?” “H-hah?” “Kos kamu sebel
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya