"Mana uang kos lo? Gue nggak ada waktu lama-lama di sini. Urusan gue banyak."
Aku menelan ludah gugup "uangnya belum ada, Mas."
Dia bersedekap dan menghembuskan nafas panjang, "yaudah kalau gitu lo keluarin bar-"
Meoww~~
Demi eyeliner firaun! Kenapa Mochi keluar dan ndusel-ndusel kakiku disaat genting seperti ini? Oh lihat matanya yang bulat dan sarat akan permohonan itu. Aku baru ingat aku belum memberi dia makan sejak tadi pagi. Terlalu galau membuat aku melupakan teman kecilku ini.
Aku sedikit menunduk dan berbisik padanya "Mochi, jangan minta makan dulu deh. Ini kita lagi terancam terusir nih.”
"Itu kucing lo?" Tanya si juragan kos.
"Iya."
"Hmm" dia memperhatikan Mochi dengan seksama "kelihatan terawat dan sehat. Untuk ukuran kucing kampung, kucing lo udah bagus banget."
Aku melotot tidak percaya. Setelah body shamming sekarang dia rasis terhadap kucing.
Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. "Walaupun kucing kampung tapi Mochi aku rawat sepenuh hati, seperti anak sendiri. Dia nggak pernah kelaparan dan selalu dapat nutrisi cukup."
Si Sada itu mengangguk-angguk "lo masih boleh ngekos disini, tapi dengan satu syarat."
Persetan dengan apa yang membuat dia berubah pikiran secepat ini, karena kesempatan tidak datang dua kali. "Oke, apa syaratnya?"
"Lo harus mau ngurus majikan gue dengan benar. Gue nggak tega ninggalin dia di rumah sendirian dan nggak bisa juga bawa dia kemana-mana. Gue juga nggak percaya sama tempat penitipan hewan peliharaan."
"Ha?"
"Tenang aja. Untuk biaya perawatannya semua dari gue. Buat upahnya, uang kos lo gue potong dari nominal yang seharusnya."
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Dia berubah pikiran hanya karena butuh perawat untuk kucingnya?
Belum sempat aku bertanya lebih jauh, Sada sudah membawa Mochi dalam gendongannya. Dia melihat Mochi seperti melihat belahan jiwa yang sudah lama tak bertemu. Seperti mempunyai radar untuk pria-pria tampan, Mochi bergelung dengan nyaman dalam lengan berotot itu. Cih, dasar kucing betina.
Setelah puas menggendong dan sedikit bercengkrama dengan Mochi, pria bernama Sada itu pergi untuk mengambil kucingnya. Sejujurnya sampai saat ini aku tidak percaya bahwa pria arab kesasar itu memiliki kasih sayang sebesar dunia untuk kucing.
Kenapa kusebut dia pria arab? Karena dia sangat mirip dengan orang arab sana. Rambut hitam lebat yang sengaja dipanjangkan, alis tebal, mata tajam, hidung dengan tulang yang tinggi, kumis dan brewok yang dirawat. Ah, jangan lupakan tingginya yang sulit diterima oleh aku yang mungil dan menggemaskan ini. Kalau dia tidak menghinaku dengan bahasa Indonesia, mungkin aku akan berpikir dia benar-benar orang arab kesasar.
Menurut Mas Lukman yang ternyata bernama Lukman Nuryadi, aku adalah orang yang sangat beruntung, karena biasanya Sada tidak akan pernah memberi keringanan bagi mereka yang menunggak uang kos. Business is business, tidak ada kasih mengasihani di dalamnya, begitu prinsip Sada. Beruntung dia sangat menghargai orang-orang yang menyayangi kucing hingga aku sangat mudah termaafkan.
Oh Mochi, aku berhutang nyawa padamu.
-£-
Dua makhluk menggemaskan yang sedang berguling-guling di lantai memecahkan fokusku. Mereka adalah Mochi dan Reo. Reo adalah kucing kampung yang sehat dan juga lincah, terlihat sangat maskulin untuk ukuran kucing jantan yang baru berusia empat bulan. Sada benar-benar merawatnya dengan baik. Tidak seperti pemiliknya, Reo sangat-sangat manis dan mudah akrab, baik denganku ataupun dengan Mochi.
Setelah menitipkan Reo beberapa hari yang lalu, Sada menerorku setiap saat untuk memastikan anak kesayangannya aku jaga dengan aman. Dua jam sekali dia menanyakan keadaan Reo dan memintaku mengirimkan vidio kegiatannya. Aku yakin seribu persen dia mengambil kontakku dari Mas Lukman.
Tring!
Speaking of the devil.
Arab KW
Gue depan kos lo.
Buka pintunya.
Mataku melotot membaca isi pesannya, lalu bergegas membukakan pintu. Benar saja, dia berdiri disana dengan raut tak bersahabat.
"Lo nggak denger gue dari tadi manggil-manggil?"
Aku menggeleng.
"Ini pintu udah hampir jebol gue gedor-gedor dari tadi."
"Ya maaf. Aku pake headset, nyetel musik. Jadinya nggak dengar apa-apa."
Sada mendengus lalu menerobos masuk ke dalam kosku begitu saja. Dia duduk di kursi kerjaku dan melihat ke sekeliling, menilai sampai ke sudut ruangan.
"Ternyata lo beneran pengangguran. Yadi bilang dia nggak pernah liat lo keluar buat pergi kerja."
Ya ya ya, terserah. Aku menyusulnya dan duduk di kasur dekat meja kerjaku. Sada memutar kursi dan mengamati laptopku yang masih menyala. Butuh beberapa detik sampai dia menyadari apa yang sedang aku kerjakan.
"Lo penerjemah?"
Aku mengangkat bahu lalu mengibaskan rambut. "Seperti yang terlihat. Makanya jangan underestimate dulu sama orang. Nggak pernah keluar bukan berarti pengangguran."
Sada mengangguk-angguk lalu seenak jidat memasang headset imutku ke kepalanya hingga tak berapa lama dia tertawa keras sambil menatapku seperti aku adalah seonggok manusia hina, "lo wibu? Ahahaha astaga lo wibu. Sialan, sakit banget telinga gue denger musik jepun lo ini."
Tidak ada yang boleh mencela selera dan kegemaran orang lain. Itu adalah hak setiap insan. Aku tidak bisa mentolerir manusia yang menggap kesenangan orang lain adalah sesuatu yang layak untuk ditertawakan.
"Heh yang nyuruh kamu dengerin musik aku siapa? Walaupun kamu yang punya kos ini bukan berarti kamu bisa seenaknya sama barang-barangku, ngerti nggak? Ini namanya kamu udah melanggar privasi orang."
Aku tidak tahu manusia semenyebalkan ini benar-benar ada.
Seperti tak menganggap aku disini, Sada melanjutkan menginvansi laptopku. Dia tampak mengamati beberapa aplikasi dan mulai membuka berkas. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan.
"Stop! Kamu ngapain sih?" aku berjalan kebelakangnya dan berniat menutup laptopku, tapi....
Tuk!
Layar laptopku jatuh dari sarangnya yang memang sudah tidak layak pakai. Kalian tahu bingkai monitor laptop yang sudah patah sehingga tidak bisa menyanggah layarnya lagi? Yap, seperti itulah keadaan laptopku. Aku lupa jika benda renta ini sudah tidak bisa ditutup.
Ya Tuhan, boleh tidak aku mencakar wajah yang terpahat dengan indah itu? Rasanya aku sudah kesal setengah mati. Aku ingin mengacak-acak wajahnya yang kini sedang memerah menahan tawa.
"Apa! Gak usah ketawa! Ini semua gara-gara kamu tau nggak?! Ngapain sih kamu kesini? Kamu tuh ganggu tau nggak? Emang kamu nggak punya kerjaan lain? Sekarang gimana coba nasib laptopku? Kerjaan aku belum selesai!"
Seperti tak paham lahar amarahku yang siap menyembur, Sada sialan ini malah terkikik sambil memegangi perutnya "ya siapa suruh lo kerja pake rongsokan gitu? Itu barang udah nggak layak pakai, buang aja lah."
Baru aku akan membalas perkataannya, perutku sudah lebih dulu menyela dengan bunyi gemuruh yang memalukan. Aku segera meringkuk untuk meredam bunyi laknat ini. Kenapa aku harus lapar disaat seperti ini sih?
Tambah jadilah tawa Sada. Dia tampak puas menertawaiku dalam kurun waktu kurang dari satu jam ini.
"Ternyata wibu selain malas mandi juga malas makan."
"Diam."
"Bentar gue telpon Yadi dulu."
Hanya Tuhan yang tahu apa isi kepala pria bersurai gondrong ini dan apa yang akan dia lakukan.
Sambil mengiris wortel sesekali aku memperhatikan Sada yang sangat gesit memasak dengan alat masak yang sangat-sangat seadanya. Dia tampak lihai dan akrab dengan kegiatan ini, yang membuat aku paling tercengang adalah aksinya menggiling cabai secara manual, alias diuleg sendiri. Beberapa menit yang lalu Mas Lukman datang dengan sekantong plastik penuh bahan masakan. Sepertinya Sada meminta pria itu membawa semua bahan masakan di rumahnya, lengkap dengan ulekan cabai. Jadilah dia chef dadakan di dapurku yang sangat minimalis. Katanya dia akan memasak sop ayam. Tapi sejujurnya, aku sanksi dengan rasa masakannya. Terlihat lihai belum tentu hasilnya enak, 'kan? "Gue nggak percaya lo cuma punya wajan, panci, spatula, dan cutter karatan." "Masih mending dari pada nggak ada." "Gue juga nggak percaya lo masih bisa bertahan hidup dengan kemampuan masak nol besar kayak gini. Masak itu adalah basic skill buat survive."
Aku sedang menjemur Mochi dan Reo di luar saat Ranti datang menghampiriku. Dia datang dengan wajah tertekuk lalu menatapku dengan puppy eyes andalannya. Oh tidak bisa. Aku tidak akan luluh lagi dengan mata bulat yang cantik itu."Keykey, kok kamu marahnya lama banget?""Nggak usah panggil aku pakai nama itu deh Ran. Geli aku dengarnya.""Iya aku nggak akan panggil kamu gitu lagi asal kamu maafin aku, ya?""Nggak.""Ayo dong. Aku beneran nyesel, nggak akan aku ulangi. Janji.""Ya memang nggak seharusnya kamu ngulang perbuatan itu. Baik ke aku atau ke siapa pun.""Aku harus lakuin apa biar kamu maafin aku?""Nggak tau. Aku lagi males mikir, lagi pengen sendiri."Mata bulat yang penuh permohonan tadi berubah menjadi delikan tajam. Kan sudah kuduga raut sedih tadi hanya kepura-puraan agar aku luluh."Tega banget sih kamu ngusir aku lagi. Nggak, kali ini aku nggak bakal pergi sampai kamu maafin aku. Aku udah b
Setelah selesai buang air kecil, aku bercermin untuk melihat penampilanku. Ewh aku sangat terganggu melihat minyak di wajahku ini. Aku menghidupkan air kran dan membasuh wajah dan memoles liptint kembali. Setidaknya ini akan sedikit membantu penampilanku agar tak terlihat terlalu lusuh. "Mbak, majikannya baik banget ya." Aku menoleh ke kiri, melihat ke arah seorang perempuan remaja yang aku perkirakan baru lulus SMA. Dia terseyum ramah padaku. "Maksudnya gimana?" Tanyaku tak paham. "Aku lihat mbak tadi makan sama majikan mbak. Aku kesini juga sama majikan aku, dia artis, tapi baik banget. Asik ya mbak punya majikan baik, ditraktir makan yang enak-enak terus." "Hah?" "Sesekali coba ikut majikannya perawatan deh mbak. Aku udah dua kali dibawa ke salon, jadinya wajah aku jadi lebih bersih dan sehat gini. Walaupun kita nggak cantik dan nggak putih, tapi kalau wajah terawat jadi lebih mendingan. Terus coba upgr
Sesuai arahan Sada, aku pergi ke alamat yang dia kirim pada siang hari ini. Ternyata dia mengirim aku ke salah satu restoran terbaik di kota ini, yang seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya. Delizio, adalah salah satu restoran bintang lima yang sering kali dikunjungi atau di-review oleh artis maupun foodvloger ternama. Tampilan luarnya saja sudah menjanjikan kemewahan, kenikmatan, dan tentu saja kemahalan untuk kantongku yang tidak pernah sehat ini.Akan bekerja sebagai apa aku disini? Tukang cuci piring kah? Atau tukang bersih-bersih?Aku mematut tampilan diriku di depan jendela restoran ini yang sangat berkilau dan bebas debu. Jika dilihat dari penampilanku, diterima sebagai petugas bersih-bersih saja rasanya sudah sangat bersyukur.Omong-omong dari mana Sada punya link untuk memasukkan aku ke restoran ini ya? Memang siapa Juna Juna itu? Sedekat apa mereka? Kalau aku benar-benar bisa diterima disini karena re
Alarm sialan yang lupa aku non-aktifkan mengacaukan rencana leha-lehaku hari ini. Karena bunyinya yang sangat berisik, aku jadi tidak bisa tidur lagi. Mungkin memang sudah seharusnya aku bangun, karena sekarang sudah hampir jam sebelas. Setelah peregangan sebentar, aku beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi. Mandi hanya dilakukan jika kita banyak mengeluarkan keringat dan lama beraktivitas diluar ruangan. Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mochi yang menghapiriku sambil mengeong tak jelas. "Kamu kenapa? Udah laper ya?" Aku mengikuti Mochi yang berlari ke tempat tidurnya dan menemukan Reo yang masih bergelung di dalam kandang. Makanan dan minum yang aku berikan tadi malam tampak tak tersentuh sama sekali. Ini aneh. Biasanya makanan Reo akan habis atau tersisa sedikit, tapi ini makanannya seperti benar-benar tak tersentuh. Aku jongkok di depan kandang Reo dan mencoba mengelusnya. Tubuhhya terasa sangat l
Setelah diperika, ternyata Reo sedang menderita sariawan yang cukup parah. Beruntung dia segera dibawa ke vet dan diberikan penanganan tepat. Untuk membantu proses penyembuhan, Reo juga diberikan beberapa obat-obatan. Oh iya, kami juga memeriksa keadaan tubuh Reo paska terkena pukulan tadi. Untungnya menurut dokter pukulan itu tidak berdampak apa-apa. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Sada jika pukulan itu menyebabkan cidera serius untuk Reo."Kita makan dulu. Lo belum sarapan kan?" Tanya Sada saat motornya bergerak menjauh dari klinik hewan.Teringat akan keadaan uangku yang masih belum membaik, rasanya tawaran sarapan di luar ini tidak begitu menggiurkan. Lagi pula, aku sudah menyetok telur, minyak, dan beras di kos untuk menghemat pengeluaranku."Mau sarapan dimana?" Tanyaku.Menanyakan tempat sarapan tentu menjadi hal yang penting. Jika dia mengajakku sarapan di warung tenda tepi jalan maka aku akan memesan teh hangat. Tapi jika dia ingin sarapan
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya
“Mbak ada uang nggak buat bayar SPP aku? Minggu depan aku UAS, kalau nggak melunasi SPP nggak bisa ikut ujian.” Aku meremas celana kulotku dengan jemari yang tiba-tiba mendingin. Kepalaku juga seketika pening. Aku melirik Mas Mahen sekilas, berharap speaker hp kentangku ini tidak mengelurkan suara terlalu keras hingga Mas Mahen tidak bisa mendengar percakapan barusan. Aku menjawab pertanyaan Fabian, adikku, dengan sedikit berbisik. “Nanti mbak telfon lagi kalau udah di kos ya. Mbak tutup dulu telfonnya.” Tanpa menunggu balasan dari Fabian, aku mengakhiri panggilan. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di tengah malam yang hening, di dalam mobil yang pengemudinya adalah Mas Mahen? Aku akan benar-benar merasa tak enak dan canggung jika Mas Mahen mendengar semuanya. Entah sudah berapa kali aku melirik Mas Mahen, sembari merapal doa semoga saja dia tidak mendengar. “Kos kamu yang mana Nay?” “H-hah?” “Kos kamu sebel
Aku berangkat ke Delizio dengan kereta yang sepagi ini saja sudah penuh sesak dengan orang-orang yang masih harus berkegiatan di akhir pekan seperti aku ini. Sesaknya membuat tak nyaman, seperti kondisi hatiku saat ini. Kenapa ya? Setelah pulang dari apartment Sada aku merasakan sesuatu yang mengganjal, rasanya aku jadi tidak terlalu bersemangat untuk menjalani hari. Sekelebat ingatan di apartment Sada tadi kembali membayang. Sada kembali dari kamarnya dengan pakaian kasual yang biasa aku lihat, lalu menyuruhku metakkan Reo di atas pantry dapur. Ah iya, wanita cantik tadi juga sudah pergi setelah memakai pakaian yang lebih layak sembari menenteng clutch yang aku tahu harganya sangat fantastis. “Cantik banget. Kamu selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik, ya? Enak banget kalau kaya dan good looking.” Detik berikutnya aku tersadar apa yang aku ucapkan tampaknya telah menyinggung perasaan Sada. Dia menatapku
Kanaya Aku boleh numpang makanan di kulkasnya Reo nggak? Ternyata tak butuh waktu lama untuk Sada membalas pesanku. Kelihatannya dia sedang sangat santai. Arab KW Tinggal masukin aja ribet banget lo Pake nanya segala Wah, sepertinya Sada sedang kerasukan malaikat. Momen langka ini harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Kanaya Okayyy. Terima kasiihh ^_^ Arab KW Besok-besok nggak usah tanya hal gak penting kek gini lagi lah Gue sibuk Paling males gue ditanyain hal-hal nggak penting gini Sekarang setannya sudah mengambil alih. Manusia satu ini benar-benar aneh bin ajaib, sangat sulit untuk ditebak. Sering kali aku berpikir mungkin Sada ini berkepribadian ganda karena mood-nya sering berubah-ubah dalam hitungan menit. Tersera
Salah satu bagian yang paling aku suka ketika bekerja di dapur pastry ini adalah saat indera penciumanku dipenuhi oleh aroma berbagai macam bahan yang meninggalkan kesan manis. Ini juga yang mendorongku untuk semangat berangkat bekerja setiap harinya. Rasanya aku bekerja sembari mempelajari banyak hal baru, seperti hari ini kami membuat menu baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu Danish pastry. Jika saja aku tidak ditugaskan sebagai helper di bagian dekorasi, pasti aku sudah berkeliling untuk melihat proses pembuatan bagian-bagian yang lain. “Nay, tolong ambilin blueberry, rasberry, sama apricot dong,” seru mbak Nana –senior bagian dekorasi – yang sedang sibuk dengan sesuatu. “Okay, mbak.” Aku berjalan menuju food storage dengan langkah semangat. Salah satu bagian yang paling aku suka dari dapur ini adalah bagian storage-nya. Disana tersedia sangat banyak bahan-bahan makanan dan minuman yang segar dengan kualitas terbaik.
Karena memang bodoh dan sudah terlanjur panik, aku memungut patahan statue di lantai dan mencoba merekatkannya kembali, yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa. "Ya ampun, kok bisa jadi patah gitu sih?!" Hardik si pramuniaga yang berdiri di depanku. Dalam posisi jongkok, si bodoh Naya ini masih terus mencoba menyatukan statue yang patah itu. "Maaf mbak, tadi saya nggak sengaja nyenggol." "Makanya mbak, kalau nggak punya uang tuh nggak usah masuk ke sini. Nggak usah pegang-pegang kalau memang nggak mampu beli. Sekarang liat, jadi rusak gitu barangnya. Emang mbak bisa ganti?" "Iya mbak, maaf." Pelasku, masih memegang statue yang patah dengan tangan yang mulai bergetar dan dingin. Walaupun jongkok, tapi aku sadar beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Rasanya malu sekali. Mataku juga mulai panas dan berair. Aku terkejut saat lengan atasku tiba-tiba ditarik hingga aku bangkit dari lantai. "Dia datan
Hari ini aku mendapat shift pagi, jadi seharusnya di waktu sore begini aku sudah bisa bersantai-santai di kos sambil mengerjakan beberapa proyek terjemah. Yap, seharusnya. Tapi kenyataan berkata lain. Pukul setengah lima sore, aku harus buru-buru mandi lalu berdesakan dengan orang-orang dalam angkutan umum hanya demi menemui the big boss Sada di sebuah pusat perbelanjaan. Aku tidak tahu kenapa dia selalu bisa mengacaukan rencana indahku di kos. Aku curiga dia memasang semacam alat penyadap untukku sehingga dia bisa tahu kapan waktu aku ingin bersantai, lalu dia bisa mengacaukan rencanaku dengan mudahnya. Sampai di pusat perbelanjaan yang dia maksud, aku mencari-cari toko tempat Sada menyuruhku menemuinya. Ini baru kedua kalinya aku masuk kesini, jadi tentu saja aku tidak hapal seluk beluk bangunan ini, yang mana pasti membuat aku kesulitan menemui Sada di tempat sebesar ini. Dari pada repot, lebih baik aku telfon saja dia. Baru didering pertama, pang
Setelah Ranti memergoki posisiku yang sangat tidak biasa –alias di atas perut Sada– pria itu pergi begitu saja dari kosku dengan seringai jahil di bibirnya yang tak pernah hilang bahkan sampai dia menutup pintu, meninggalkan aku bersama tatapan Ranti yang mengandung sejuta tanya dan tentu saja beragam spekulasi yang dia ciptakan sendiri. Aku tahu setelah ini aku akan memasuki tahap introgasi ala Ranti yang lebih ditail dan memusingkan dibandingkan ketika sesi tanya jawab saat sidang skripsi. “Langsung aja ya, Kay,” Ranti menarik nafas dramatis, welcome back our drama queen, “sejak kapan kamu punya simpanan singa arab begitu tapi nggak pernah kasih tau aku?” Pfftt Ranti dan pilihan katanya. Singa arab? Yah, kalau dipikir-pikir Sada memang bisa saja menjadi singa yang siap mencabik mangsanya jika dia benar-benar murka. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga. “Pertama-tama, yang perlu kamu tahu adalah dia bukan simpananku,” terangku pada Ranti.
“Lo dimana?” adalah pertanyaan Sada saat pertama kali aku menangkat telfon. “Di kos.” “Gue kesana sekarang.” “Mau ngapain?” Tut. Aish! Kenapa sih dia suka sekali mematikan panggilan secara sepihak? Membuat jengkel saja. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu mulai mencuci muka dan gosok gigi. Setelahnya aku pergi ke dapur miniku dan melihat ke dalam ricecooker, oh syukurlah nasinya masih cukup untuk sarapan pagi ini. Saatnya memberikan majikanku makan lalu membuat makananku sendiri. Saat akan menggoreng telur, Sada menggedor pintu kosku dengan tidak manusiawi. Oh tentu saja itu dia, memang siapa lagi yang menggedor pintu seperti sedang membangunkan orang sahur begitu? Hanya Sada orangnya. Biarlah, toh jika pintu kosku jebol, dia juga yang akan mengganti. “Kenapa sih tiap gedor pintu tuh nggak pernah santai?” tanyaku saat membukakan pintu. “Gue kira lo masih tidur, atau nggak lagi deng
“Mbak ada uang nggak buat bayar SPP aku? Minggu depan aku UAS, kalau nggak melunasi SPP nggak bisa ikut ujian.” Aku meremas celana kulotku dengan jemari yang tiba-tiba mendingin. Kepalaku juga seketika pening. Aku melirik Mas Mahen sekilas, berharap speaker hp kentangku ini tidak mengelurkan suara terlalu keras hingga Mas Mahen tidak bisa mendengar percakapan barusan. Aku menjawab pertanyaan Fabian, adikku, dengan sedikit berbisik. “Nanti mbak telfon lagi kalau udah di kos ya. Mbak tutup dulu telfonnya.” Tanpa menunggu balasan dari Fabian, aku mengakhiri panggilan. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di tengah malam yang hening, di dalam mobil yang pengemudinya adalah Mas Mahen? Aku akan benar-benar merasa tak enak dan canggung jika Mas Mahen mendengar semuanya. Entah sudah berapa kali aku melirik Mas Mahen, sembari merapal doa semoga saja dia tidak mendengar. “Kos kamu yang mana Nay?” “H-hah?” “Kos kamu sebel
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya