Alarm sialan yang lupa aku non-aktifkan mengacaukan rencana leha-lehaku hari ini. Karena bunyinya yang sangat berisik, aku jadi tidak bisa tidur lagi. Mungkin memang sudah seharusnya aku bangun, karena sekarang sudah hampir jam sebelas.
Setelah peregangan sebentar, aku beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi. Mandi hanya dilakukan jika kita banyak mengeluarkan keringat dan lama beraktivitas diluar ruangan.
Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mochi yang menghapiriku sambil mengeong tak jelas.
"Kamu kenapa? Udah laper ya?"
Aku mengikuti Mochi yang berlari ke tempat tidurnya dan menemukan Reo yang masih bergelung di dalam kandang. Makanan dan minum yang aku berikan tadi malam tampak tak tersentuh sama sekali.
Ini aneh. Biasanya makanan Reo akan habis atau tersisa sedikit, tapi ini makanannya seperti benar-benar tak tersentuh.
Aku jongkok di depan kandang Reo dan mencoba mengelusnya. Tubuhhya terasa sangat lemah.
"Mochi, Reo kenapa?"
"Meoww."
Aku mengambil cemilan kucing dan menyodorkannya ke hadapan Reo. Kucing jantan ini hanya melirik tanpa nafsu. Biasanya dia tidak akan pernah menolak cemilan ini. Fix, Reo sedang tidak baik-baik saja.
Aku segera menghubungi Sada untuk memberi tahu keadaan Reo. Panggilan pertama tidak diangkat. Kemana sih dia?! Pesanku dari tadi malam juga masih belum dibaca. Aku mencoba memanggil sekali lagi dan saat panggilan hampir berakhir barulah ada jawaban.
"Halo, siapa nih?" oh, suara perempuan.
"Halo, Sadanya ada?"
"Ada nih, lagi tidur." Setelah itu aku mendengar suara seperti pergerakan kasur, perempuan ini kembali bicara, tapi bukan denganku. "Mas bangun. Ini ada yang nelfon. Aku mau pake baju."
Oh my oh my. Ntah apa yang sudah mereka lakukan, tapi mendengar perkataan perempuan tadi membuat aku tidak ingin membayangkan malam panas yang dilalui oleh Sada dan perempuan ini.
Tak lama aku mendengar suara khas pria baru bangun tidur, "kenapa?" Tanya Sada tanpa basa-basi.
"Maaf ganggu, tapi Reo lemes banget. Dia nggak mau makan, aku takut dia kenapa-napa."
"Jangan kemana-mana. Gue kesana sekarang."
Lalu telfon dimatikan secara sepihak.
Hanya sepuluh menit lebih sedikit, Sada sudah tiba di kosku. Entah tempat tinggalnya yang memang dekat, atau dia menjadi pembalap dadakan.
"Mana Reo?" Tanyanya sambil menerobos masuk.
Setelah memastikan Reo aman di dalam kandang, Sada menarik paksa taganku keluar dari kos. "Lo ikut." Titahnya sambil terus menyeretku.
"Eh tunggu. Ih gak usah tarik-tarik, mau kemana sih?"
"Ke vet lah."
"Kenapa aku ikut juga? Aku belum mandi. Kan kamu bisa sendiri."
"Nggak usah banyak tanya!"
Aku tersentak saat dia menyelaku dengan nada keras. Sada terlihat sangat marah.
Aku menurut saja saat dia menyuruhku duduk di jok belakang motor trailnya dan memangku kandang Reo. Kalau begini ceritanya, sudah jelas dia tidak bisa membawa Reo seorang diri.
Aku tidak tahu vet mana yang dimaksud Sada, karena kami sudah melewati dua klinik hewan terdekat dan Sada masih belum berhenti. Aku tidak bisa berkonsentrasi karena sesuatu di bawah sana sudah sangat mendesak. Aku juga heran kenapa bisa aku ingin kencing disaat genting seperti ini.
Tidak bisa. Aku sudah tidak kuat menahannya lagi.
Aku menepuk pundak Sada agar dia mendengarkan aku, "bisa berhenti sebentar? Please, aku udah nggak tahan lagi."
"Mau ngapain?"
"Berhenti di toilet terdekat tolong, aku kebelet pipis."
Aku mendengar Sada berdecak.
"Tolong dong. Bisa-bisa aku ngompol di celana nih."
Sada memberhentikan motornya di depan mesjid tepi jalan, "jangan lama-lama." Titahnya.
Aku langsung menyerahkan kandang Reo pada Sada dan belari menuju toilet mesjid.
Saat kembali ke parkiran mesjid, aku tidak menemukan Sada dimanapun. Hal yang membuat aku lebih terkejut adalah Reo yang sudah tidak ada di kandangnya. Aku berkeliling parkiran untuk mencari Reo, tapi hasilnya nihil. Apa mungkin dibawa Sada?
Tak lama Sada menghampiriku dengan sebotol minuman dinigin. Tapi tidak ada Reo bersamanya.
"Reo mana?" Tanyanya dengan tatapan yang menghunus mataku.
"Aku nggak tau, aku pikir sama kamu. Sejak aku balik dari toilet kalian udah nggak ada."
"Jangan bercanda!"
"Aku nggak bercanda! Aku udah cari keliling parkiran tapi nggak ketemu. Lagian kenapa kamu ninggalin Reo gitu aja?"
Tanpa menjawab perkataanku, Sada berlari ke sekitaran mesjid. Aku ikut menyusul di belakangnya. Reo benar-benar tidak bisa kami temukan dimanapun. Sada menyugar rambut gondrongnya hingga berantakan.
Aku berdiri di tepi jalan dan melihat kearah minimarket di sebrang sana. Mataku memicing saat menangkap seonggok objek hitam diatas mobil yang terparkir disana.
"Hei, itu bukannya Reo?" Tanyaku pada Sada.
"Mana?" Tanya Sada yang ikut berdiri di sampingku.
"Itu, yang duduk di atas mobil. Di parkiran minimarket itu lho." Sada mengikuti arah telunjukku, saat menyadari mungkin itu benar-benar Reo, dia bersiap untuk menyebrang.
Saat kami sudah sampai di tengah jalan, si pemilik mobil yang dinaiki oleh Reo tampak keluar dari minimarket. Tanpa aba-aba, dia menampar kepala Reo hingga kucing malang itu memekik dan terjatuh dari atas mobilnya. Aku refleks ikut menjerit saat melihat Reo yang jatuh berguling ke tanah.
Reaksi yang paling tidak aku duga adalah Sada yang berlari dan langsung meninju wajah pria itu.
"Anjing!" Ujarnya sambil memberikan tinjuan kedua.
Aku berlari mengambil Reo yang terlihat kesakitan. Belum sempat melerai mereka, aku melihat pria tadi membalas pukulan Sada.
"Ngapain tiba-tiba kamu mukul saya, hah?!" Seru pria itu tak terima.
"Karna lo udah mukul kucing gua, babi!" Lalu Sada menerjang pria itu tanpa ampun hingga dia terjatuh ke tanah. Sada terus memukulnya tanpa jeda, "sini gua habisin lu sekalian."
"Sada, please stop! Dia bisa mati!" Pekikku. Pria tadi benar-benar sudah terlihat tidak bisa melawan, namun Sada tampaknya tidak peduli. Orang-orang yang ikut menyaksikan tampaknya juga tidak berani menghentikan keberingasan Sada.
"Sada stop!" Aku menarik tangan Sada yang siap menghantam wajah pria tadi dengan sekuat tenaga. "Ayo bawa Reo ke vet dulu. Kasihan Reo."
Mendengar nama kucingnya kusebut, akhirnya Sada bangun dari atas tubuh pria itu. "Kalau gua lihat lo mukul kucing manapun lagi kayak tadi, gua bakal lakuin yang lebih parah dari ini. Paham lo?"
Pria itu hanya bisa mengangguk lemah.
Setelahnya Sada manarik tanganku kembali menuju parkiran mesjid dan meletakkan Reo ke dalam kandangnya dengan sangat hati-hati.
Selama perjalanan aku hanya bisa menyaksikan punggung kokoh Sada. Dia benar-benar terlihat dingin dan menyeramkan. Aku tidak menyangka dia bisa bertindak sebrutal tadi karena ada yang menyakiti kucingnya. Alarm di kepalaku meneriakkan tanda bahaya dan peringatan. Aku tidak boleh membuatnya benar-benar marah dah mengamuk. Entah apa yang bisa dia lakukan pada hidupku jika itu benar-benar terjadi.
Setelah diperika, ternyata Reo sedang menderita sariawan yang cukup parah. Beruntung dia segera dibawa ke vet dan diberikan penanganan tepat. Untuk membantu proses penyembuhan, Reo juga diberikan beberapa obat-obatan. Oh iya, kami juga memeriksa keadaan tubuh Reo paska terkena pukulan tadi. Untungnya menurut dokter pukulan itu tidak berdampak apa-apa. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Sada jika pukulan itu menyebabkan cidera serius untuk Reo."Kita makan dulu. Lo belum sarapan kan?" Tanya Sada saat motornya bergerak menjauh dari klinik hewan.Teringat akan keadaan uangku yang masih belum membaik, rasanya tawaran sarapan di luar ini tidak begitu menggiurkan. Lagi pula, aku sudah menyetok telur, minyak, dan beras di kos untuk menghemat pengeluaranku."Mau sarapan dimana?" Tanyaku.Menanyakan tempat sarapan tentu menjadi hal yang penting. Jika dia mengajakku sarapan di warung tenda tepi jalan maka aku akan memesan teh hangat. Tapi jika dia ingin sarapan
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya
“Mbak ada uang nggak buat bayar SPP aku? Minggu depan aku UAS, kalau nggak melunasi SPP nggak bisa ikut ujian.” Aku meremas celana kulotku dengan jemari yang tiba-tiba mendingin. Kepalaku juga seketika pening. Aku melirik Mas Mahen sekilas, berharap speaker hp kentangku ini tidak mengelurkan suara terlalu keras hingga Mas Mahen tidak bisa mendengar percakapan barusan. Aku menjawab pertanyaan Fabian, adikku, dengan sedikit berbisik. “Nanti mbak telfon lagi kalau udah di kos ya. Mbak tutup dulu telfonnya.” Tanpa menunggu balasan dari Fabian, aku mengakhiri panggilan. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di tengah malam yang hening, di dalam mobil yang pengemudinya adalah Mas Mahen? Aku akan benar-benar merasa tak enak dan canggung jika Mas Mahen mendengar semuanya. Entah sudah berapa kali aku melirik Mas Mahen, sembari merapal doa semoga saja dia tidak mendengar. “Kos kamu yang mana Nay?” “H-hah?” “Kos kamu sebel
“Lo dimana?” adalah pertanyaan Sada saat pertama kali aku menangkat telfon. “Di kos.” “Gue kesana sekarang.” “Mau ngapain?” Tut. Aish! Kenapa sih dia suka sekali mematikan panggilan secara sepihak? Membuat jengkel saja. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu mulai mencuci muka dan gosok gigi. Setelahnya aku pergi ke dapur miniku dan melihat ke dalam ricecooker, oh syukurlah nasinya masih cukup untuk sarapan pagi ini. Saatnya memberikan majikanku makan lalu membuat makananku sendiri. Saat akan menggoreng telur, Sada menggedor pintu kosku dengan tidak manusiawi. Oh tentu saja itu dia, memang siapa lagi yang menggedor pintu seperti sedang membangunkan orang sahur begitu? Hanya Sada orangnya. Biarlah, toh jika pintu kosku jebol, dia juga yang akan mengganti. “Kenapa sih tiap gedor pintu tuh nggak pernah santai?” tanyaku saat membukakan pintu. “Gue kira lo masih tidur, atau nggak lagi deng
Setelah Ranti memergoki posisiku yang sangat tidak biasa –alias di atas perut Sada– pria itu pergi begitu saja dari kosku dengan seringai jahil di bibirnya yang tak pernah hilang bahkan sampai dia menutup pintu, meninggalkan aku bersama tatapan Ranti yang mengandung sejuta tanya dan tentu saja beragam spekulasi yang dia ciptakan sendiri. Aku tahu setelah ini aku akan memasuki tahap introgasi ala Ranti yang lebih ditail dan memusingkan dibandingkan ketika sesi tanya jawab saat sidang skripsi. “Langsung aja ya, Kay,” Ranti menarik nafas dramatis, welcome back our drama queen, “sejak kapan kamu punya simpanan singa arab begitu tapi nggak pernah kasih tau aku?” Pfftt Ranti dan pilihan katanya. Singa arab? Yah, kalau dipikir-pikir Sada memang bisa saja menjadi singa yang siap mencabik mangsanya jika dia benar-benar murka. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga. “Pertama-tama, yang perlu kamu tahu adalah dia bukan simpananku,” terangku pada Ranti.
Hari ini aku mendapat shift pagi, jadi seharusnya di waktu sore begini aku sudah bisa bersantai-santai di kos sambil mengerjakan beberapa proyek terjemah. Yap, seharusnya. Tapi kenyataan berkata lain. Pukul setengah lima sore, aku harus buru-buru mandi lalu berdesakan dengan orang-orang dalam angkutan umum hanya demi menemui the big boss Sada di sebuah pusat perbelanjaan. Aku tidak tahu kenapa dia selalu bisa mengacaukan rencana indahku di kos. Aku curiga dia memasang semacam alat penyadap untukku sehingga dia bisa tahu kapan waktu aku ingin bersantai, lalu dia bisa mengacaukan rencanaku dengan mudahnya. Sampai di pusat perbelanjaan yang dia maksud, aku mencari-cari toko tempat Sada menyuruhku menemuinya. Ini baru kedua kalinya aku masuk kesini, jadi tentu saja aku tidak hapal seluk beluk bangunan ini, yang mana pasti membuat aku kesulitan menemui Sada di tempat sebesar ini. Dari pada repot, lebih baik aku telfon saja dia. Baru didering pertama, pang
Karena memang bodoh dan sudah terlanjur panik, aku memungut patahan statue di lantai dan mencoba merekatkannya kembali, yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa. "Ya ampun, kok bisa jadi patah gitu sih?!" Hardik si pramuniaga yang berdiri di depanku. Dalam posisi jongkok, si bodoh Naya ini masih terus mencoba menyatukan statue yang patah itu. "Maaf mbak, tadi saya nggak sengaja nyenggol." "Makanya mbak, kalau nggak punya uang tuh nggak usah masuk ke sini. Nggak usah pegang-pegang kalau memang nggak mampu beli. Sekarang liat, jadi rusak gitu barangnya. Emang mbak bisa ganti?" "Iya mbak, maaf." Pelasku, masih memegang statue yang patah dengan tangan yang mulai bergetar dan dingin. Walaupun jongkok, tapi aku sadar beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Rasanya malu sekali. Mataku juga mulai panas dan berair. Aku terkejut saat lengan atasku tiba-tiba ditarik hingga aku bangkit dari lantai. "Dia datan
Salah satu bagian yang paling aku suka ketika bekerja di dapur pastry ini adalah saat indera penciumanku dipenuhi oleh aroma berbagai macam bahan yang meninggalkan kesan manis. Ini juga yang mendorongku untuk semangat berangkat bekerja setiap harinya. Rasanya aku bekerja sembari mempelajari banyak hal baru, seperti hari ini kami membuat menu baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu Danish pastry. Jika saja aku tidak ditugaskan sebagai helper di bagian dekorasi, pasti aku sudah berkeliling untuk melihat proses pembuatan bagian-bagian yang lain. “Nay, tolong ambilin blueberry, rasberry, sama apricot dong,” seru mbak Nana –senior bagian dekorasi – yang sedang sibuk dengan sesuatu. “Okay, mbak.” Aku berjalan menuju food storage dengan langkah semangat. Salah satu bagian yang paling aku suka dari dapur ini adalah bagian storage-nya. Disana tersedia sangat banyak bahan-bahan makanan dan minuman yang segar dengan kualitas terbaik.
Aku berangkat ke Delizio dengan kereta yang sepagi ini saja sudah penuh sesak dengan orang-orang yang masih harus berkegiatan di akhir pekan seperti aku ini. Sesaknya membuat tak nyaman, seperti kondisi hatiku saat ini. Kenapa ya? Setelah pulang dari apartment Sada aku merasakan sesuatu yang mengganjal, rasanya aku jadi tidak terlalu bersemangat untuk menjalani hari. Sekelebat ingatan di apartment Sada tadi kembali membayang. Sada kembali dari kamarnya dengan pakaian kasual yang biasa aku lihat, lalu menyuruhku metakkan Reo di atas pantry dapur. Ah iya, wanita cantik tadi juga sudah pergi setelah memakai pakaian yang lebih layak sembari menenteng clutch yang aku tahu harganya sangat fantastis. “Cantik banget. Kamu selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik, ya? Enak banget kalau kaya dan good looking.” Detik berikutnya aku tersadar apa yang aku ucapkan tampaknya telah menyinggung perasaan Sada. Dia menatapku
Kanaya Aku boleh numpang makanan di kulkasnya Reo nggak? Ternyata tak butuh waktu lama untuk Sada membalas pesanku. Kelihatannya dia sedang sangat santai. Arab KW Tinggal masukin aja ribet banget lo Pake nanya segala Wah, sepertinya Sada sedang kerasukan malaikat. Momen langka ini harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Kanaya Okayyy. Terima kasiihh ^_^ Arab KW Besok-besok nggak usah tanya hal gak penting kek gini lagi lah Gue sibuk Paling males gue ditanyain hal-hal nggak penting gini Sekarang setannya sudah mengambil alih. Manusia satu ini benar-benar aneh bin ajaib, sangat sulit untuk ditebak. Sering kali aku berpikir mungkin Sada ini berkepribadian ganda karena mood-nya sering berubah-ubah dalam hitungan menit. Tersera
Salah satu bagian yang paling aku suka ketika bekerja di dapur pastry ini adalah saat indera penciumanku dipenuhi oleh aroma berbagai macam bahan yang meninggalkan kesan manis. Ini juga yang mendorongku untuk semangat berangkat bekerja setiap harinya. Rasanya aku bekerja sembari mempelajari banyak hal baru, seperti hari ini kami membuat menu baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu Danish pastry. Jika saja aku tidak ditugaskan sebagai helper di bagian dekorasi, pasti aku sudah berkeliling untuk melihat proses pembuatan bagian-bagian yang lain. “Nay, tolong ambilin blueberry, rasberry, sama apricot dong,” seru mbak Nana –senior bagian dekorasi – yang sedang sibuk dengan sesuatu. “Okay, mbak.” Aku berjalan menuju food storage dengan langkah semangat. Salah satu bagian yang paling aku suka dari dapur ini adalah bagian storage-nya. Disana tersedia sangat banyak bahan-bahan makanan dan minuman yang segar dengan kualitas terbaik.
Karena memang bodoh dan sudah terlanjur panik, aku memungut patahan statue di lantai dan mencoba merekatkannya kembali, yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa. "Ya ampun, kok bisa jadi patah gitu sih?!" Hardik si pramuniaga yang berdiri di depanku. Dalam posisi jongkok, si bodoh Naya ini masih terus mencoba menyatukan statue yang patah itu. "Maaf mbak, tadi saya nggak sengaja nyenggol." "Makanya mbak, kalau nggak punya uang tuh nggak usah masuk ke sini. Nggak usah pegang-pegang kalau memang nggak mampu beli. Sekarang liat, jadi rusak gitu barangnya. Emang mbak bisa ganti?" "Iya mbak, maaf." Pelasku, masih memegang statue yang patah dengan tangan yang mulai bergetar dan dingin. Walaupun jongkok, tapi aku sadar beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Rasanya malu sekali. Mataku juga mulai panas dan berair. Aku terkejut saat lengan atasku tiba-tiba ditarik hingga aku bangkit dari lantai. "Dia datan
Hari ini aku mendapat shift pagi, jadi seharusnya di waktu sore begini aku sudah bisa bersantai-santai di kos sambil mengerjakan beberapa proyek terjemah. Yap, seharusnya. Tapi kenyataan berkata lain. Pukul setengah lima sore, aku harus buru-buru mandi lalu berdesakan dengan orang-orang dalam angkutan umum hanya demi menemui the big boss Sada di sebuah pusat perbelanjaan. Aku tidak tahu kenapa dia selalu bisa mengacaukan rencana indahku di kos. Aku curiga dia memasang semacam alat penyadap untukku sehingga dia bisa tahu kapan waktu aku ingin bersantai, lalu dia bisa mengacaukan rencanaku dengan mudahnya. Sampai di pusat perbelanjaan yang dia maksud, aku mencari-cari toko tempat Sada menyuruhku menemuinya. Ini baru kedua kalinya aku masuk kesini, jadi tentu saja aku tidak hapal seluk beluk bangunan ini, yang mana pasti membuat aku kesulitan menemui Sada di tempat sebesar ini. Dari pada repot, lebih baik aku telfon saja dia. Baru didering pertama, pang
Setelah Ranti memergoki posisiku yang sangat tidak biasa –alias di atas perut Sada– pria itu pergi begitu saja dari kosku dengan seringai jahil di bibirnya yang tak pernah hilang bahkan sampai dia menutup pintu, meninggalkan aku bersama tatapan Ranti yang mengandung sejuta tanya dan tentu saja beragam spekulasi yang dia ciptakan sendiri. Aku tahu setelah ini aku akan memasuki tahap introgasi ala Ranti yang lebih ditail dan memusingkan dibandingkan ketika sesi tanya jawab saat sidang skripsi. “Langsung aja ya, Kay,” Ranti menarik nafas dramatis, welcome back our drama queen, “sejak kapan kamu punya simpanan singa arab begitu tapi nggak pernah kasih tau aku?” Pfftt Ranti dan pilihan katanya. Singa arab? Yah, kalau dipikir-pikir Sada memang bisa saja menjadi singa yang siap mencabik mangsanya jika dia benar-benar murka. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga. “Pertama-tama, yang perlu kamu tahu adalah dia bukan simpananku,” terangku pada Ranti.
“Lo dimana?” adalah pertanyaan Sada saat pertama kali aku menangkat telfon. “Di kos.” “Gue kesana sekarang.” “Mau ngapain?” Tut. Aish! Kenapa sih dia suka sekali mematikan panggilan secara sepihak? Membuat jengkel saja. Aku berjalan gontai ke kamar mandi lalu mulai mencuci muka dan gosok gigi. Setelahnya aku pergi ke dapur miniku dan melihat ke dalam ricecooker, oh syukurlah nasinya masih cukup untuk sarapan pagi ini. Saatnya memberikan majikanku makan lalu membuat makananku sendiri. Saat akan menggoreng telur, Sada menggedor pintu kosku dengan tidak manusiawi. Oh tentu saja itu dia, memang siapa lagi yang menggedor pintu seperti sedang membangunkan orang sahur begitu? Hanya Sada orangnya. Biarlah, toh jika pintu kosku jebol, dia juga yang akan mengganti. “Kenapa sih tiap gedor pintu tuh nggak pernah santai?” tanyaku saat membukakan pintu. “Gue kira lo masih tidur, atau nggak lagi deng
“Mbak ada uang nggak buat bayar SPP aku? Minggu depan aku UAS, kalau nggak melunasi SPP nggak bisa ikut ujian.” Aku meremas celana kulotku dengan jemari yang tiba-tiba mendingin. Kepalaku juga seketika pening. Aku melirik Mas Mahen sekilas, berharap speaker hp kentangku ini tidak mengelurkan suara terlalu keras hingga Mas Mahen tidak bisa mendengar percakapan barusan. Aku menjawab pertanyaan Fabian, adikku, dengan sedikit berbisik. “Nanti mbak telfon lagi kalau udah di kos ya. Mbak tutup dulu telfonnya.” Tanpa menunggu balasan dari Fabian, aku mengakhiri panggilan. Kenapa harus saat ini? Kenapa harus di tengah malam yang hening, di dalam mobil yang pengemudinya adalah Mas Mahen? Aku akan benar-benar merasa tak enak dan canggung jika Mas Mahen mendengar semuanya. Entah sudah berapa kali aku melirik Mas Mahen, sembari merapal doa semoga saja dia tidak mendengar. “Kos kamu yang mana Nay?” “H-hah?” “Kos kamu sebel
Kesan pertamaku bekerja di Delizio adalah lelah tapi sangat menyenangkan! Aku tidak pernah membayangkan bahwa membuat pastry akan semenyenangkan itu, ditambah dari tekanan yang tak biasa saat pengunjung ramai, rasanya aku benar-benar bekerja. Ada perasaan yang membuncah saat semua terselesaikan dengan baik. Yah, walaupun aku tidak membantu banyak dan tidak membuat bahan-bahan inti untuk dekorasi, tapi aku senang bisa membantu rekan-rekan di decorateur. Sebagai anak baru, aku ditempatkan di bagian apprentie atau yang biasa dikenal dengan cook helper.Di hari pertama saja, aku sudah mendapat begitu banyak ilmu tentang pastry. Walau pekerjaanku cukup ringan; mengupas, membersihkan, memotong, mengiris, ataupun menghaluskan, tapi bonusnya aku bisa mengintip cara para decorateur membuat berbagai macam créme atapun karamel. Seperti tadi, mereka membuat créme d'amandes. Oh, jangan tanya aku bagaimana cara menyebutnya