Esok harinya, Ayah Rangga pulang ke pondok dengan wajah penuh kelelahan dan ekspresi yang menunjukkan rasa sedih yang mendalam. Begitu sampai, ia langsung disambut oleh Rangga yang terlihat bingung dan cemas."Ayah kemana aja!? Semua orang nyariin ayah, ibu juga nyariin ayah," tanya Rangga dengan penuh kekhawatiran. Ayah Rangga tertegun mendengarnya, seperti tak percaya dengan apa yang dikatakan anaknya."Ibumu? Ibumu sudah sadar?" tanya Ayah Rangga dengan raut wajah penuh kebingungan."Ibu sadar dari kemarin, dia nyariin ayah. Ayah jangan pergi lagi, ayah kan mau dibersihin," jawab Rangga, matanya penuh dengan harapan.Mendengar itu, Ayah Rangga langsung bergegas pergi mencari istrinya. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan tempat ibunya Rangga duduk, termenung sambil menatap keluar jendela. Ketika merasakan kedatangan seseorang, ia menoleh dan melihat suaminya yang berdiri tak jauh darinya."Bu.." suara Ayah Rangga bergetar, matanya mulai berkaca-kaca."Ayah kemana saja?"
Dua hari sudah berlalu sejak Selena menghilang, dan pencarian tak henti-hentinya dilakukan oleh semua orang. Mereka menyusuri setiap sudut, bahkan menjelajahi hutan lebat yang seakan tak ada ujungnya. Saat ini, ayah Nicholas, Linggar, Rangga, Ustadz Sholeh, dan beberapa anak pondok lainnya kembali menapaki jalan yang sama, berharap dapat menemukan jejak Selena.Berbekal petunjuk dari Linggar yang melihat sebuah persimpangan jalan, mereka terus mendalam ke dalam hutan, menyusuri wilayah yang kemarin belum sempat dijelajahi.“Semoga hari ini kita bisa menemukannya,” ucap ayah Nicholas dengan nada cemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia sudah melakukan shalat Istikharah berulang kali, berharap Allah memberikan petunjuk tentang keberadaan putrinya yang hilang.Dalam mimpi yang dialaminya, ayah Nicholas melihat bahwa Selena masih hidup, dan meskipun hatinya sedikit lega, kecemasan itu belum juga hilang. Keberadaan Selena yang masih belum ditemukan membuatnya semakin gelisah.“Selena pasti b
Di rumah Rangga, suasana terasa mencekam. Ayahnya, yang biasanya sehat dan kuat, kini tampak sangat berbeda. Sejak kemarin, ia mengalami hal-hal aneh yang membuatnya mengurung diri di rumah. Yang lebih mencurigakan lagi, dia tampak terganggu setiap kali mendengar suara adzan, bahkan marah-marah seolah mendengar suara itu sangat menyakitkan bagi telinganya.Semalaman, terdengar teriakan ketakutan dari kamar ayah Rangga. Dia terus berteriak, mengatakan bahwa ia melihat gorila besar bertanduk yang menakutkannya, sambil berteriak meminta ampun dan berkeringat deras. Ibu Rangga, yang melihat suaminya dalam kondisi seperti itu, menjadi sangat khawatir. Sejak kejadian aneh itu, ayah Rangga menolak makan nasi, hanya mau makan pisang dan kacang."Ayah, bangun dulu, yah. Makan dulu," ujar ibu Rangga dengan lembut, berusaha membangunkan suaminya yang terbaring lemah.Wajah ayah Rangga sangat pucat, dan saat dia bangun, matanya terbelalak dan tidak berkedip sama sekali. Ketika ibu Rangga menyentu
Selena akhirnya kembali ke rumah. Tanpa menunggu lama, ia segera masuk ke kamar mandi, membasuh tubuhnya sebersih mungkin. Bau anyir darah yang menempel di kulitnya membuatnya mual. Ia menuangkan sampo dan sabun berkali-kali ke tubuhnya, seakan ingin menghapus jejak mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Namun, bau itu tetap terasa, samar tapi nyata, menghantui pikirannya.Usai membersihkan diri, Selena duduk di ruang tamu bersama ayahnya dan Ustadz Sholeh. Di hadapannya, sepiring makanan tersaji. Perutnya yang kosong selama dua hari terakhir akhirnya mendapat asupan selain air sungai. Dengan lahap, ia menyantap setiap suapan, sementara ayah Nicholas dan Ustadz Sholeh hanya bisa menatapnya dengan perasaan campur aduk, antara lega dan prihatin."Alhamdulillah..." Selena menghela nafas lega setelah meneguk air."Nak, kamu pasti kelaparan... Kasihan sekali kamu." Suara bibi yang sedari tadi memperhatikan nya terdengar lirih.Selena tersenyum, menatap bibinya yang tampak berkaca-kaca. "Ma
Malam semakin larut. Di ruang tamu rumah Rangga, suasana begitu sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar samar. Selena, Rangga, Linggar, Ustadz Sholeh, dan Ayah Nicholas duduk melingkar, masih diselimuti ketegangan.Di sofa, Ayah Rangga terbaring tak sadarkan diri. Bukan sekadar pingsan, tapi tubuhnya kaku seperti orang yang terkena stroke. Raja monyet itu memang telah terusir, namun jiwa Ayah Rangga seolah ikut terbawa. Napasnya tersengal-sengal, wajahnya pucat, seperti bayangan hidup tanpa jiwa. Harapan untuknya kembali sadar terasa semakin tipis.Selena menghela nafas panjang. "Rangga, kami pulang dulu. Udah malam banget, besok kita coba lagi. Siapa tahu ada keajaiban, ayahmu bisa sadar," ujarnya lembut.Rangga mengangguk pelan, tapi matanya masih dipenuhi kebingungan. "Sel, makasih… Aku seneng banget kamu selamat. Tapi siapa yang nyulik kamu? Kamu tau orangnya?" tanyanya hati-hati.Sebelum Selena sempat menjawab, Linggar sudah lebih dulu menyahut dengan nada penuh amarah. "Boka
Setelah kembali dari makam, Selena terkejut melihat keramaian yang terjadi di depan rumah Rangga. Warga setempat tampak berkerumun dengan keluhan gatal-gatal yang merata. Mereka berasumsi bahwa leluhur mereka marah akibat perbuatan ayah Rangga yang melakukan pesugihan monyet dan melanggar aturan yang ada di kampung mereka.Tak hanya itu, anak didik Ustadz Sholeh dari pondok juga datang menyusul. Mereka bercerita bahwa di pondok terjadi kerasukan, dan seluruh penghuninya mengalami gatal-gatal yang sama. Ustadz Sholeh pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke pondok."Ini pasti gara-gara Warsono nyugih! Bawa sial bener orang ini!" teriak salah seorang warga, marah-marah."Heh! Heh! Heh! Yang benar kalian ngomong! Abangku udah meninggal, kalian baru sekarang ngeluh dan protes begini!" balas adiknya Ayah Nicholas dengan suara keras, tampak sangat kesal. Emosinya memang mudah tersulut, dan kali ini ia tampak benar-benar terbakar."Ya karena sebelumnya kita nggak tahu! Ini pasti leluhur kita
Malam itu, Selena benar-benar meminta izin pada ayah Nicholas untuk menginap di rumah Rangga. Rumahnya masih ramai, banyak orang yang sedang melekan dan melanjutkan tahlilan. Selena, Linggar, dan Rangga duduk bersama di ruang tamu, sementara orang-orang lain masih melanjutkan doa-doa mereka. Namun, satu hal yang tidak bisa Selena temukan: ibunya Rangga.Tiba-tiba, terdengar suara aneh yang mencuri perhatian Selena. "Srek! Srek! Srek!" Suara itu seperti orang yang sedang mengasah pisau dengan batu asahan.Hanya Selena yang mendengar suara itu, sementara yang lain tampak tidak merespons. Perasaan cemas mulai tumbuh dalam dirinya. ‘Ada apa ini?’ batin Selena, semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Dia berdiri, dengan hati-hati mengikuti arah suara itu. Dari pintu belakang dekat dapur, Selena melihat ibunya Rangga yang sedang mengasah pisau dengan wajah kosong dan tanpa ekspresi.Malam yang sunyi dan sepi, ditambah dengan ibunya Rangga yang tampak begitu aneh, membuat siapapun pasti
Selena dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh ayahnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya dingin, dan darah terus mengalir dari lukanya. Waktu terasa berjalan lebih lambat bagi mereka yang menyaksikannya. Beruntung, ayah Nicholas adalah seorang dokter, dia tahu harus berbuat apa dalam situasi genting seperti ini.Di ruang tunggu, Linggar duduk gelisah di samping ayah Nicholas. Tangannya gemetar, bajunya ternoda darah Selena.“Selena bakal baik-baik saja, kan, Om?” tanyanya lirih, suaranya nyaris bergetar.Ayah Nicholas menatap kosong ke depan, seakan meyakinkan diri sendiri sebelum menjawab. “Dia harus baik-baik saja. Dia pasti baik-baik saja.”Hening sejenak. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.“Selena selalu terlalu baik,” gumam ayah Nicholas. “Bahkan dengan mereka yang sudah tidak hidup sekalipun, dia masih merasa kasihan. Dan inilah yang paling aku takutkan… Dukun itu bisa melakukan apa saja.”Linggar menoleh cepat. “Dukun?”Tatapan ayah Nicholas berubah tajam. Ia bangkit dari
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya