"BRAK!!!"Pintu gubuk reyot itu terhempas dengan keras. Serpihan kayu beterbangan, menggema di tengah keheningan hutan. Para warga menyerbu masuk, beberapa dari pintu depan, yang lain dari pintu belakang, sementara beberapa orang berjaga di jendela, siap menangkap dukun santet itu jika ia mencoba melarikan diri.Namun, begitu pintu terbuka… Bau busuk langsung menyergap hidung mereka.Bukan sekadar bau darah ini lebih mengerikan. Campuran anyir, bangkai, dan sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan memenuhi udara dengan begitu pekat, menusuk hingga ke tenggorokan."Hrrgh...! Bau apa ini!?" salah seorang warga langsung menutup hidung, wajahnya berubah pucat.Yang lain ikut tersedak. Beberapa refleks menutup mulut dan hidung mereka dengan tangan atau kain, tapi bau itu seakan menempel di kulit mereka, merasuk ke dalam paru-paru."HOEEK!!"Seorang pria tak mampu menahan diri. Ia membungkuk, muntah seketika. Yang lain menyusul, wajah mereka semakin pucat saat kaki mereka melangkah lebih jauh
Akhirnya, Selena dibawa ke Jakarta tanpa sepengetahuan Rangga. Ambulans melaju kencang, diiringi oleh mobil polisi dan kendaraan ayah Nicholas, membelah jalanan malam menuju ibu kota. Sirene meraung tanpa henti, menciptakan gema yang menusuk keheningan."Ni! Nu! Ni! Nu! Ni! Nu!" Sementara itu, di desa...Rangga hanya bisa menatap layar ponselnya dengan perasaan hampa. Pesan dari Linggar terasa seperti hantaman keras ke dadanya. Selena telah pergi. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Seharusnya dia bisa melakukan sesuatu. Seharusnya dia bisa melindungi Selena.Di tempat lain, ibunya Rangga telah dibawa kembali ke pondok pesantren. Para kyai bersiap untuk meruqyah dan membersihkan tubuhnya dari makhluk-makhluk yang telah bersarang akibat pesugihan terkutuk itu. Namun, pembersihan ini bukan proses singkat memutus rantai tumbal pesugihan bukanlah hal yang bisa selesai dalam satu malam.Keesokan harinya...Perburuan dimulai. Semua warga telah menyebar. Mereka menggeledah hutan, menyisir s
Langit tidak mendung, dan hujan pun tidak turun, namun petir menyambar keras di siang bolong. Suara gemuruhnya menggetarkan udara, dan seketika seluruh warga terdiam, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. Namun, kakek bongkok itu justru terkekeh geli, merasa petir itu adalah sahutan dari rajanya, yang seolah merestui tindakannya."Cepat, bakar dia!" Ujar adik ayah Rangga, suaranya tegas. Dia mulai mengatur kayu-kayu besar dan menumpuknya mengelilingi tubuh kakek bongkok yang sudah terikat.Kayu yang digunakan bukan kayu sembarangan, seakan cukup untuk memanggang domba seberat satu ekor hingga matang sempurna. Dengan penuh kehati-hatian, bensin disiramkan, bahkan sampai ke tubuh kakek bongkok itu sendiri, dan korek api pun mulai dinyalakan.Adik ayah Rangga sudah tersenyum penuh kepuasan. Dia merasa, akhirnya, dukun santet yang selama ini telah menimbulkan banyak penderitaan akan menemui akhir yang setimpal. Namun, saat dia hendak melemparkan korek api ke tumpukan kayu, tiba-tiba
Malam Hari di JakartaSelena akhirnya membuka mata setelah tak sadarkan diri sejak kemarin. Pandangannya masih buram, tetapi yang pertama kali ia lihat adalah wajah seorang perempuan sangat dekat, hampir menempel dengan wajahnya."Astaghfirullah!" Selena tersentak, jantungnya berdebar kencang."HUAA!" Sosok perempuan itu juga terkejut, seolah tak menyangka dirinya bisa terlihat. Dalam sekejap, ia menghilang begitu saja.Kalau saja Selena punya penyakit jantung, mungkin dia sudah mati di tempat. Baru saja sadar, dia langsung dihadapkan dengan sesuatu yang tak seharusnya ada di dunia nyata.Matanya bergerak liar, mencoba memahami situasi. Ini rumah sakit, jelas dari bau obat yang menyengat dan lampu putih redup di langit-langit. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Sekelilingnya, berjejer sosok perempuan dalam balutan kain putih panjang, rambut mereka tergerai menutupi sebagian wajah. Mereka menatapnya dalam diam.Selena menelan ludah. "Kenapa kalian ngeliatin aku kayak gitu?"Para sosok itu s
Setelah ibunya menceritakan kisah kelam hidupnya yang singkat itu pada Selena, kini Selena tengah berusaha membujuk ibunya agar bisa pergi dengan tenang ke tempat yang lebih baik. Selena tahu betul bahwa ibunya sangat mencintainya, tetapi dia tak ingin ibunya terus terjebak di dunia ini, terikat oleh masa lalu yang penuh penderitaan."Bunda nggak mau ada yang nyakitin kamu, Selena... Bunda mau terus melindungi kamu," ujar ibunya, dengan suara penuh keputusasaan dan air mata yang terus mengalir."Tapi Selena sudah baik-baik saja sekarang, Bunda. Bunda sudah berhasil melindungi Selena dari kakek jahat itu. Bunda bisa pergi sekarang, Bunda," kata Selena, mencoba meyakinkan ibunya."Apakah Bunda nggak kangen sama Ayah? Selena yakin Ayah pasti ingin sekali bertemu dengan Bunda sekarang. Ayah pasti bangga, karena Bunda berhasil melindungi Selena dengan sangat baik," tambah Selena dengan suara lembut, meski hatinya terasa sangat berat."Mas Sinclar..." gumam ibunya, mengenang nama yang begit
Selena terbelalak dan langsung menutup mulutnya, terkejut melihat sosok yang sedang berdiri di kamar. Sosok itu adalah orang yang selalu dirindukannya, Nicholas..."Bang Nicholas?!" ujar Selena, hampir tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.Ia berniat bangun, tapi terlupa dengan jahitan di perutnya, dan langsung meringis kesakitan."Eh! Eh! Jangan bangun, dek!" Nicholas langsung berlari mendekat, cemas."Ish, bandel banget sih kamu, disuruh nggak bikin diri sendiri celaka, malah kena tusuk." ujar Nicholas sambil melirik Selena yang tampak bingung."Kenapa? Kok ngeliatin abang kayak gitu?" tanya Nicholas, heran melihat Selena yang terlihat kebingungan."Tunggu, ini mimpi bukan ya? Perasaan tadi lagi main di pantai, tapi kok rasanya kayak nyata banget... ini..." Selena bergumam pelan, lalu tanpa pikir panjang mencubit lengan Nicholas."Eh! Sakit dek!" Nicholas meringis."Abang... nyata?" tanya Selena, masih tak percaya."Ya nyata dong, kan abang belum jadi hantu, dek," jawab Nicholas
Nicholas baru saja kembali ke kamarnya. Begitu masuk, dia langsung merasakan perubahan yang mencolok. Pasti ulah adiknya, Selena. Mesin game-nya yang sering dimainkan, buku-buku di rak lemari, semuanya tampak berbeda."Dasar bocah nakal, masih bilang nggak kangen, padahal kamarku udah jadi pelampiasan," gumam Nicholas, setengah kesal namun juga geli.Dia merebahkan diri di ranjang, merasa lelah, tentu saja. Tapi lelah itu sedikit terhapus oleh senyum cerah Selena yang terus terbayang di pikirannya. Meski tubuhnya lelah, dia tak bisa tidur. Jet lag mengganggu, karena di tempatnya di LA, saat ini adalah siang hari, sementara di sini, di Jakarta, malam sudah datang.Sementara itu, di kamar Selena, dia baru keluar dari kamar mandi. Di belakangnya, ada sosok kuntilanak yang mengikuti keluar dari rumah sakit."Eh, kamu udah balik? Udah inget nama kamu belum?" tanya Selena, sedikit penasaran.Sosok itu menggeleng pelan. "Nggak mau inget, kamu jangan ingetin aku, aku nggak mau inget," jawabny
Selena ikut menangis. Kisah yang Yumna ceritakan begitu menyayat hati, membuat dadanya sesak. Rasa sedih Yumna meluap, menular padanya. Hanya sebuah keinginan sederhana, tapi seumur hidupnya, Yumna tak pernah mendapatkannya. Dia hanya ingin disayang.Namun, ada satu hal yang tak bisa Selena pahami mengapa Yumna masih di dunia ini? Bukankah dia anak yang baik? Lagipula, dia meninggal karena sakit, bukan karena hal lain yang mengikatnya di dunia manusia."Kenapa kamu bisa lupa namamu sendiri?" tanya Selena, suaranya lirih."Karena aku nggak pernah dipanggil pakai namaku," Yumna tersenyum miris. "Mereka cuma manggil aku 'heh! heh! heh!' gitu aja."Yumna menirukan cara orang-orang memanggilnya. Tidak ada nama, tidak ada panggilan sayang, hanya seruan tanpa makna."Jahat banget mereka..." gumam Selena, tangannya cepat menghapus air mata yang menggenang di sudut matanya."Cuma nenek yang manggil aku pakai namaku," lanjut Yumna pelan. "Kamu tahu? Waktu aku ngeliatin tubuhku sendiri, aku kasi
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya