Setelah ibunya menceritakan kisah kelam hidupnya yang singkat itu pada Selena, kini Selena tengah berusaha membujuk ibunya agar bisa pergi dengan tenang ke tempat yang lebih baik. Selena tahu betul bahwa ibunya sangat mencintainya, tetapi dia tak ingin ibunya terus terjebak di dunia ini, terikat oleh masa lalu yang penuh penderitaan."Bunda nggak mau ada yang nyakitin kamu, Selena... Bunda mau terus melindungi kamu," ujar ibunya, dengan suara penuh keputusasaan dan air mata yang terus mengalir."Tapi Selena sudah baik-baik saja sekarang, Bunda. Bunda sudah berhasil melindungi Selena dari kakek jahat itu. Bunda bisa pergi sekarang, Bunda," kata Selena, mencoba meyakinkan ibunya."Apakah Bunda nggak kangen sama Ayah? Selena yakin Ayah pasti ingin sekali bertemu dengan Bunda sekarang. Ayah pasti bangga, karena Bunda berhasil melindungi Selena dengan sangat baik," tambah Selena dengan suara lembut, meski hatinya terasa sangat berat."Mas Sinclar..." gumam ibunya, mengenang nama yang begit
Selena terbelalak dan langsung menutup mulutnya, terkejut melihat sosok yang sedang berdiri di kamar. Sosok itu adalah orang yang selalu dirindukannya, Nicholas..."Bang Nicholas?!" ujar Selena, hampir tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.Ia berniat bangun, tapi terlupa dengan jahitan di perutnya, dan langsung meringis kesakitan."Eh! Eh! Jangan bangun, dek!" Nicholas langsung berlari mendekat, cemas."Ish, bandel banget sih kamu, disuruh nggak bikin diri sendiri celaka, malah kena tusuk." ujar Nicholas sambil melirik Selena yang tampak bingung."Kenapa? Kok ngeliatin abang kayak gitu?" tanya Nicholas, heran melihat Selena yang terlihat kebingungan."Tunggu, ini mimpi bukan ya? Perasaan tadi lagi main di pantai, tapi kok rasanya kayak nyata banget... ini..." Selena bergumam pelan, lalu tanpa pikir panjang mencubit lengan Nicholas."Eh! Sakit dek!" Nicholas meringis."Abang... nyata?" tanya Selena, masih tak percaya."Ya nyata dong, kan abang belum jadi hantu, dek," jawab Nicholas
Nicholas baru saja kembali ke kamarnya. Begitu masuk, dia langsung merasakan perubahan yang mencolok. Pasti ulah adiknya, Selena. Mesin game-nya yang sering dimainkan, buku-buku di rak lemari, semuanya tampak berbeda."Dasar bocah nakal, masih bilang nggak kangen, padahal kamarku udah jadi pelampiasan," gumam Nicholas, setengah kesal namun juga geli.Dia merebahkan diri di ranjang, merasa lelah, tentu saja. Tapi lelah itu sedikit terhapus oleh senyum cerah Selena yang terus terbayang di pikirannya. Meski tubuhnya lelah, dia tak bisa tidur. Jet lag mengganggu, karena di tempatnya di LA, saat ini adalah siang hari, sementara di sini, di Jakarta, malam sudah datang.Sementara itu, di kamar Selena, dia baru keluar dari kamar mandi. Di belakangnya, ada sosok kuntilanak yang mengikuti keluar dari rumah sakit."Eh, kamu udah balik? Udah inget nama kamu belum?" tanya Selena, sedikit penasaran.Sosok itu menggeleng pelan. "Nggak mau inget, kamu jangan ingetin aku, aku nggak mau inget," jawabny
Selena ikut menangis. Kisah yang Yumna ceritakan begitu menyayat hati, membuat dadanya sesak. Rasa sedih Yumna meluap, menular padanya. Hanya sebuah keinginan sederhana, tapi seumur hidupnya, Yumna tak pernah mendapatkannya. Dia hanya ingin disayang.Namun, ada satu hal yang tak bisa Selena pahami mengapa Yumna masih di dunia ini? Bukankah dia anak yang baik? Lagipula, dia meninggal karena sakit, bukan karena hal lain yang mengikatnya di dunia manusia."Kenapa kamu bisa lupa namamu sendiri?" tanya Selena, suaranya lirih."Karena aku nggak pernah dipanggil pakai namaku," Yumna tersenyum miris. "Mereka cuma manggil aku 'heh! heh! heh!' gitu aja."Yumna menirukan cara orang-orang memanggilnya. Tidak ada nama, tidak ada panggilan sayang, hanya seruan tanpa makna."Jahat banget mereka..." gumam Selena, tangannya cepat menghapus air mata yang menggenang di sudut matanya."Cuma nenek yang manggil aku pakai namaku," lanjut Yumna pelan. "Kamu tahu? Waktu aku ngeliatin tubuhku sendiri, aku kasi
Nicholas menonton TV sambil ditemani Selena yang ternyata sudah tertidur lebih dulu. Sepertinya tangisan tadi telah menguras energinya, membuat kantuk datang tanpa bisa ditahan.Nicholas menoleh ke samping dan tersenyum kecil melihat adiknya yang sudah terlelap. Nafasnya teratur, wajahnya tenang, seolah beban yang tadi menyesakkan dada telah luruh bersama air matanya.Nicholas menggeleng sambil terkekeh pelan. "Katanya belum ngantuk... Belum lima belas menit udah tewas. Dasar bocah." gumamnya.Alih-alih membangunkan atau memindahkan Selena ke kamar, Nicholas membiarkannya tidur di situ, tetap di sisinya. Hingga akhirnya, kantuk pun ikut menyerangnya, dan tanpa sadar mereka berdua tertidur di sofa ruang keluarga.Adzan Subuh berkumandang, menandai awal hari yang baru. Dari dalam kamar, ayah Nicholas melangkah keluar dengan mata masih sedikit berat. Namun, saat melintasi ruang keluarga, langkahnya terhenti.Di balik sofa, tampak dua kepala yang muncul berdampingan.Dahi ayah Nicholas be
Nicholas mengusap lembut kepala Selena yang merasa bersalah, mencoba menghiburnya dengan senyuman agar gadis itu tidak merasa terlalu terpuruk. "Dia beneran bukan bocah nakal, kan?" Tanya Nicholas, matanya tajam menatap Selena. Selena langsung menggeleng cepat, menanggapi ketegasan dalam suara Nicholas. "Dia baik, bang. Dia sering bantuin aku selama ini." Jawab Selena dengan penuh keyakinan. "Abang nggak ngelarang kamu temenan sama siapa pun, dek. Abang cuma takut kamu salah pergaulan. Maaf ya, abang bikin kamu sedih." Nicholas akhirnya berkata dengan suara lebih lembut, mengungkapkan penyesalannya. Selena tersenyum, meski masih ada sedikit kecemasan di matanya. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan segala kekhawatiran yang ada di hatinya. "Abang terbaik." Selena berkata sambil memeluk lengan Nicholas dengan erat, membuat Nicholas merasa lebih tenang. Setelah itu, mereka berdua keluar dan menuju ruang tamu, tempat Linggar duduk menunggu. Selena menghampirinya, t
Selena melangkah keluar dari toko pakaian itu, berjalan berdampingan dengan Nicholas menuju lobby. Namun, sejak dia melangkah keluar, dia merasakan ada yang aneh. Sosok perempuan yang dia lihat sebelumnya, kini mengikutinya dari belakang.Selena ingin bertanya, namun dia sedang terburu-buru karena harus segera ke rumah Linggar. Nicholas, yang berjalan di sampingnya, tampaknya tidak menyadari kehadiran sosok itu."Hei, aku tahu kamu bisa lihat aku, kan?" suara lembut dan cemas itu terdengar di dalam hati Selena.‘Ya, aku melihatmu,’ jawab Selena dalam hati, merasa tidak nyaman dengan kehadiran sosok itu yang terus mengikuti."Tolong aku, aku mohon..." suara itu terisak, semakin membuat hati Selena terguncang.‘Sekarang aku tidak bisa, aku sedang terburu-buru,’ jawab Selena dalam hati, mencoba fokus pada langkahnya."Aku mohon... hiks... hiks... nggak ada yang tahu kalau aku sudah mati," sosok itu menangis terisak-isak, suaranya penuh kesedihan.Tiba-tiba, langkah Selena terhenti."Kena
Selena baru saja diantar pulang oleh Linggar. Mobilnya berhenti tepat di depan rumah, dan di sana, Nicholas sudah berdiri di depan gerbang seperti seorang penjaga pribadi."Makasih, Li," ujar Selena sambil tersenyum. Linggar hanya mengacungkan jempol, matanya sekilas melirik Nicholas yang berdiri tegak dengan ekspresi datar."Gue balik dulu. Assalamu’alaikum," kata Linggar, menatap Selena dan Nicholas bergantian sebelum berbalik pergi."Wa’alaikumussalam," jawab Selena dan Nicholas hampir bersamaan.Nicholas melirik adiknya, lalu mengusap kepalanya lembut. "Seru party-nya?" tanyanya santai.Selena mendengus kecil. "Cuma makan malam keluarga, Bang, bukan party. Tapi Abang kok nunggu di sini? Dingin, loh."Nicholas tersenyum tipis. "Baru keluar kok, udah biasa di LA, dingin juga."Mereka berdua melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi sejujurnya, Nicholas berbohong. Dia sama sekali tidak baru keluar. Sejak Selena masuk ke rumah Linggar tadi, dia diam-diam mencoba mengintip ke halaman, berha
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya