Share

Om Andi

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-02 16:37:52

Bagian 2

Om Andi

Selesai sudah drama menaiki bus yang minta ampun bercampur aduk baunya jadi satu. Sekarang aku sedang menunggu kedatangan speed boat. Iya, satu-satunya alat transportasi menuju kampung Bang Angga. Tiga puluh menit kemudian para penumpang diminta turun satu demi satu sesuai nomor kursi penumpang.

Aku duduk di sebelah ibu-ibu menggunakan jilbab dan membawa anak kecil. Speed mulai berjalan. Kupikir akan mabok laut ternyata tidak. Nakhkoda berhasil membawa speed sesuai debur air yang terkena angin. Aroma yang tercium di hidungku antara lautan dan sungai.

“Mau ke mana, Dek?” tanya ibu di sebelahku sembari menawarkan sebungkus roti. Teringat dengan pesan Om Andi agar tidak menerima sembarang makanan. Namun, aku takut ibu ini tersinggung. Aku ambil dan pegang saja entah kapan dimakan.

“Mau ke Pulau Sagu, Bu.”

“Ngapain?” tanyanya lagi dengan alis hampir menyatu. Sepertinya dia tahu desa itu.

“Ya, itu mengunjungi calon mertua saya, Bu.” Terpaksa aku berbohong. Aku malas menceritakan semuanya detail pada orang yang baru dikenal.

“Ya, gimana, ya, Dek. Saran Ibu, lebih baik kamu balik hari aja. Speed ini, kan berhenti terakhir di Pulau Sagu. Sambil loading penumpang, ada sekitar mungkin satu jam. Nah, selesai kamu berkunjung pulang aja, Dek, pulang. Itu saran Ibu, sepertinya kamu orang kota. Kelihatan dari gayanya.” Ibu ini menatap outfitku yang pakai baju kaus panjang agak press body dan celana jeans. Sedangkan rata-rata perempuan di dalam speed pakai jilbab.

“Kenapa, Bu?” Aku semakin penasaran.

“Ada hantu polong di sana. Serem banget, dusun-dusun di Pulau Sagu juga belum semua kena bantuan pemerintah. Soalnya orang-orang di sana masih suka hidup apa adanya.”

“Hah, hantu polong. Apaan itu, Bu?” Aduh, kok, aku makin serem sama kampung Bang Angga.

“Hantu kepala yang terbang dengan isi perutnya. Makan darah segar.”

Halah, zaman sudah tik tok begini merajalela, masih juga percaya sama yang beginian. Namun, demi menjaga perasaan ibu di depanku, ya, aku iyakan saja apa katanya.

Dua jam speed boat berjalan. Satu demi satu desa di perairan mulai disinggahi. Ibu di sebelahku akhirnya sampai juga. Dari dalam speed aku melihat ada pelabuhan dari kayu-kayu keras dan tinggi. Sebelum pergi ibu yang aku tidak ketahui siapa namanya kembali mengingatkanku.

“Kalau ada orang meninggal baru 40 hari kamu jangan keluar rumah malam-malam, ya, Nak. Bahaya, tapi baiknya kamu pulang hari aja. Soalnya speed boat ke Pulau Sagu, kan, lama.” Demi menghargai nasehat ibu ini aku mengucapkan terima kasih.

Jujur, aku nggak percaya di zaman modern seperti ini ada hantu-hantu yang begini, begitu, dan masih aja membuat masyarakat ketakutan. Please, hantu itu datang kalau kita ketakutan. Buktinya selama ngekos sendiri aku tidak pernah ketemu sama salah satu dari mereka.

Ya sudah aku lanjut melihat pemandangan sekitar yang isinya perairan saja. Satu demi satu penumpang kembali ke desa mereka. Lalu hanya tinggal aku sendirian, dengan dua kru dan satu nakhkoda. Salah satu awak speed boat mendekatiku.

“Awak mau ke Pulau Sagu?” tanya Abang berkulit hitam dan berwajah keras padaku.

“Iya, Bang.”

“Balik hari apa nginap?”

“Balik, eh, nginap, Bang.”

“Yakin?” Alisnya bertaut seperti ibu tadi.

“Iya, Bang.”

“Soalnya kami ni empat hari lagi baru ke Pulau Sagu, dah tak ade penumpang lagi. Baik-baik kat Pulau Sagu, ye. Jangan asal cakap dengan orang, jangan asal nak terime makanan. Lagi elok kalau adik ni duduk je kat dalam rumah. Paham cakap Abang, Kan?” Duh bahasanya agak sulit aku mengerti.

“Iya, Bang, terima kasih.” Daripada dia lama-lama di depanku.

Tak lama setelah itu speed boat mendekat di sebuah pelabuhan. Dengan jelas aku lihat di sebuah papan kayu sederhana, bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Pulau Sagu’. Hanya aku yang turun, itu juga speed boat bersiap untuk kembali.

“Bang, nggak tunggu penumpang?” Entah kenapa aku nekat bertanya.

“Tak ade yang nak pegi, hati-hati, ye, Dik. Kalau Adik nak balik hari, Abang tunggu satu jam lagilah, paling lambat.”

“Tak payah, budak ni calon mantu aku. Die tinggal kat sini, agak-agak empat hari.” Suara seorang laki-laki membuatku menoleh. Setelah mendengar kata-kata dalam bahasa yang agak sulit aku mengerti, speed boat pun pergi.

“Om Andi?” Aku mencoba menerka-nerka, katanya tadi yang mengatakan aku calon mantu, tapi aku heran mengapa ada kata budak. Ini, kan, udah zaman modern.

“Indah Nora Diana,” ucapnya padaku.

Aku mengangguk, itu memang nama lengkapku. Namun, ada keanehan yang aku tangkap. Kalau ini Om Andi yang berusia 60 tahun seperti kata Bang Angga. Lalu kenapa perawakannya masih gagah sekali?

“Budak artinya anak kecil, jangan salah paham, ya. Om bawa motor, karena di sini tidak akan ada mobil kamu jumpa seperti di kota tempat kamu tinggal. Barang-barang biar Om bawa di depan, kamu duduk di belakang. Pernah naik motor?” Dia melirik dan mengambil tas baju yang aku bawa.

Sekilas aku menatap matanya. Persis sama seperti sorot mata Bang Angga. Kemudian aku tersadar memandangnya sedikit lama.

Aku mengikuti langkah kaki Om Andi. Dia menuju sepeda motor Yamaha keluaran tahun lama. Setelah menempatkan tasku di depan, calon mertuaku mengengkol motor sampai hidup. Lalu aku dimintanya untuk duduk.

“Nggak ada helm, Om?” Aku sudah biasa memakainya.

“Di sini tidak ada polisi. Hanya babinsa, itu pun jauh, Nora.” Eh, kenapa Om Andi memanggilku dengan nama tengah.

“Nama saya Indah, Om, biasa dipanggil Indah.” Aku berbicara agak keras karena suara motor ini menggangu pendengaranku.

“Saya tahu. Itu panggilan Angga sama kamu. Saya lebih suka memanggil dengan kata Nora. Terlihat lebih cantik dan anggun seperti bangsawan kerajaan Melayu zaman dahulu.” Oh, romantis sekali Om Andi.

Bang Angga saja tidak pernah memujiku seperti ini. Eh, astaga, kenapa denganku? Aku nggak boleh salah tujuan. Aku ingin ke makam beliau yang hampir menikahiku.

Agak terjal jalan yang hanya pengerasan dan belum diaspal di Desa Sagu. Aku melihat rumah-rumah kayu di atas, apa, sih, namanya, aku tidak terlalu paham. Mungkin sungai atau laut. Juga pohon-pohon yang batangnya sangat kokoh tumbuh di dekat perairan bertanah lunak.

Agak lama perjalanan kami, karena Om Andi membawa motor tidak bisa cepat. Ya, aku maklum karena jalannya sendiri tidak terlalu bagus. Setiap kali berpapasan dengan warga desa yang sangat sunyi ini. Mereka seperti agak lain menatapku. Apa mungkin karena pengaruh gayaku yang terlalu kota.

“Nora, hari sudah sore, sebentar lagi maghrib. Om sarankan besok saja ke kuburan Angga. Karena di sini kalau malam sangat gelap, beda dengan di kota.” Om Andi membelokkan motor ke arah yang kiri dan kanannya pepohonan.

“Eh, iya, Om, gimana bagusnya aja.” Aku agak tidak familiar dengan panggilan Nora.

“Ini semua kebun saya, Nora. Pohon karet sekian hektar. Dulunya harga getah sangat primadona, tapi sekarang sudah anjlok. Saya juga punya kebun sagu dan beberapa kebun lainnya. Rencana akan saya wariskan pada Angga dan Anton. Tapi apa daya Angga meninggal lebih duluan daripada saya.” Sepertinya Om Andi tahu kebingunganku.

Yang membuatku sedikit bingung. Penampilan Om Andi ini sangat apa, ya, tidak menunjukkan kalau dia orang tua. Gaya lebih matang dan dewasa. Ada sosok yang bisa mengayomi seperti bosku di kantor. Tata bahasanya juga aku tidak yakin kalau Om Andi ini orang desa banget. Dia tahu Kerajaan Melayu. Apa jangan-jangan dia keturunan raja?

“Ini gubug kami. Tempat saya membangun usaha kecil-kecilan yang tidak seberapa.” Om Andi memberhentikan motor di sebuah rumah kayu tingkat dua sangat besar, dan dibagian bawah seperti ada kolong yang sangat besar. “Ini namanya rumah panggung.”Om Andi mengangkat barang-barangku.

Gila, ini, sih, bukan gubug. Besar sekali. Kayunya juga masih kokoh serta tercium aroma cat yang masih segar. Warna cokelat terang mendominasi sekeliling rumah. Aku hanya bisa ber wow saja. Kalau di kota membangun rumah sebesar ini bisa habis milyaran. Om Andi suka merendah. Katanya tadi usaha kecil-kecilan. Tapi kenapa Bang Angga tidak pernah cerita kalau rumahnya besar, ya?

“Ini kamar kamu, Nora. Dulunya ini kamar Angga. Silakan tempati dan anggap saja rumah sendiri. Kamar mandi di dekat dapur. Dapur ada di belakang. Kamar saya sendiri sebelum dapur.” Om Andi lelaki berusia 60 tahun tapi terlihat tegap menatapku sejenak. Kemudian aku mengerjap dan mengucapkan terima kasih.

Aku berbaring di kasur kapuk dengan sprei bunga-bunga hijau khas zaman dulu. Kamar ini asri. Di dekat lemari aku melihat ada foto mereka berempat. Om Andi dengan istrinya, lalu Bang Angga dan Anton. Foto yang sudah sangat lama, terlihat kusamnya. Istri Om Andi juga sudah tiada puluhan tahun silam.

Berarti Om Andi menduda sekian lama? Hebat, juga, ya? Katanya laki-laki itu kalau istrinya meninggal sebelah matanya menangis, sebelahnya lagi mencari calon istri baru. Tanah kuburan masih basah juga sudah menikah lagi. Lama-lama mataku terasa berat dan aku tidak sadar apa-apa lagi.

Aku terbangun ketika suara hujan begitu deras dan petir menyambar memekakkan telinga. Jendela kayu di kamar Bang Angga terbanting dan membuatku semakin kaget. Kamar sangat gelap dan aku tidak tahu di mana letaknya sakelar lampu.

Aku hidupkan flash pada ponsel dan mulai melangkah menutup jendela. Pada saat gelap gulita seperti ini aku teringat dengan hantu polong. Ah, tidak mungkin. Om Andi kelihatannya baik, pasti dia tidak diganggu hantu.

Aku berusaha menarik jendela kayu yang sangat berat karena terkena air. Kemudian aku seperti melihat sebuah benda terbang melesat tiba-tiba begitu saja di depan mataku. Duh, kakiku mulai terasa dingin. Tolong, aku ke sini hanya ingin silaturahmi dan ziarah saja.

Suara ketukan pintu membuatku kaget. Untung saja itu suara Om Andi. Aku lekas membuka pintu kamar.

“Listrik di rumah ini memang ala kadarnya, Nora.” Om Andi menghidupkan lampu yang sinarnya remang-remang.

“Makasih, Om.”

“Ayo kita makan. Om sudah masak makan malam saat kamu tidur tadi.” Duh sepertinya kedatanganku merepotkan lelaki berusia 60 tahun ini. Aku pun keluar. Om Andi izin memasuki kamar putranya dan dia begitu mudah menutup jendela.

“Lain kali jangan biarkan jendela terbuka kalau sudah senja, Nora.” Dia melewatiku dan berjalan di depan.

“Om, apa karena hantu polong ya? Indah dikasih tahu gitu.” Aku mencoba akrab dengannya.

“Bukan hantu polong yang harus kamu takutkan. Tapi, manusia yang lebih mengerikan daripada hantu. Manusia kalau sudah terjerat nafsu bisa berbuat apa saja.” Om Andi menjawab dengan senyuman khas setelah menoleh ke belakang.

Sesaat jantungku berdetak sedikit keras. Astaga perasaan seperti apa ini. Aku harus membersihkan isi kepalaku.

Bersambung …

Bab terkait

  • CALON MERTUAKU    Pengakuan

    Bagian 3 PengakuanAda sebuah meja makan yang kira-kira muat menampung empat orang untuk duduk. Om Andi duduk di kursi utama, persis seperti di sinetron atau film. Aku sendiri masih bingung ingin duduk di mana. Lelaki berusia 60 tahun itu berdiri dan ia menyeret kursi di sisinya untukku. Terpaksa aku ambil tawaran ini agar sopan. “Semua Om masak sendiri. Maaf, hanya ada makanan kampung, beras juga tidak selembut dan wangi seperti di kota.” Dia bermaksud ingin menuangkan sesendok nasi padaku. Namun, aku berusaha mencegah dan sempat tangan kami bersentuhan. Om Andi minta maaf padaku. Aku mengisi nasi di piring seng khas seperti waktu aku kecil dahulu. Perlengkapan di atas piring juga barang-barang lama yang tergolong antik. Lalu aku menawarkan mengisi nasi untuk calon mertuaku, dan dia mengiyakan saja. “Sayur bening kangkung, ikan tongkol disambal dan telor dadar. Juga ini namanya rama-rama, binatang laut yang tinggal di tanah busut. Mungkin bagi Nora sangat asing, tapi masih bisa d

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-02
  • CALON MERTUAKU    Ke Kuburan

    Bagian 4 Ke Kuburan Aku terbangun ketika merasakan ada yang hangat di dahiku. Refleks hal pertama yang aku cari yaitu ponselku. Ternyata hari sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Aku bolos lagi shalat Shubuh. Ah, betapa diri ini terlalu main-main dengan ibadah. Kapan seriusnya? Eh, bukannya tadi malam Om Andi ke kamarku, ya? Terus kenapa dahiku dikompres? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Oh, iya, aku didatangi oleh Bang Angga. Atau mungkin lebih tepatnya lagi sosoknya. Karena Bang Angga, kan, sudah meninggal. Aku beranjak karena merasa tubuhku sudah baik-baik saja. Apa artinya tadi malam Om Andi menjagaku? Duh, gawat kalau begini. Bisa-bisa timbul fitnah luar biasa antara calon menantu dan mertua. Lekas aku ke luar kamar dan berjalan ke dapur. “Sudah bangun, sudah enakan badannya?” tanya Om tiba-tiba dan membuat jantungku hampir copot. “Iya, udah Om. Ehm, btw, makasih, Om.”“Makasih untuk?” Dia menatapku sambil memegang mangkok kaca yang mengepulkan asap beraroma

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-02
  • CALON MERTUAKU    Peringatan Angga 1

    Bagian 5 Peringatan Angga Aku ingin membuka mata, tapi seperti tak mau. Seolah-olah ada yang merasakan bibirku dengan sangat lembut dan aku mulai terlena. Namun, suara-suara asing yang ada terdengar membuatku bangun. Aku terkejut ketika tertidur di bawah pohon besar. Bukankah tadi aku ingin ke kuburan Bang Angga. Lalu kenapa aku malah duduk di dekat sini. Kemudian, Om Andi mana? Apa bersama orang-orang yang berkerumun itu. Satu lagi, ciuman tadi apa hanya mimpi? Tapi terlalu nyata dan membuatku tak bisa melawan. “Nora, masih pusing kepalanya?” Aku terkejut ketika disapa Om Andi dari belakang pohon. Kupikir dia ada bersama orang-orang itu. Dia memberiku segelas air putih. Dari tadi aku mencarinya. “Emang, Indah tadi kenapa, Om?” “Katamu tadi pusing. Ya sudah, Om suruh saja istirahat di sini.” “Oh, gitu, ya udah sekarang kita ke kuburan Bang Angga, yuk.” “Itu, lagi diperbaiki sama warga,” tunjuk Om ke arah sana. “Kenapa, Om?” Aku penasaran. “Ada yang menggali kuburan anak, Om.

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-02
  • CALON MERTUAKU    Peringatan Angga 2

    “Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.“Pakai tangan, Nora,” katanya. “Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya. “Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham. Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar. Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah p

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-02
  • CALON MERTUAKU    Detak Jantung 1

    Bagian 6 Detak JantungAku yang sudah telanjur lemas hanya bisa diam ketika Om Andi mengangkat diriku dan dibawa turun ke lantai satu rumahnya. Aku dibawa masuk ke kamarku, kemudian di baringkan di ranjang kapuk. Baju tidurku tersingkap. Sayangnya aku sedang tak berdaya. Calon mertuaku menutupi bagian tubuhku yang terbuka dengan selimut. Wajahnya jadi aku lihat serba salah. “Kamu sedang apa di lantai dua?” tanya lelaki berambut pendek ketika telah menutupi tubuhku dengan selimut. Aku berusaha membuka mulut, sayangnya gagal. “Di sini petugas puskemas jauh, dia ada di seberang pulau. Datang jam sembilan pagi pulang jam tiga sore. Paling juga besok baru bisa Om bawa ke sini,” katanya sambil memalingkan wajah. Apa yang salah denganku? Aku ingin berbicara pada Om Andi bahwa aku baik-baik saja. Namun, karena aku masih syok berat atas kedatangan Bang Angga, jadilah tanganku hanya memegang lengan calon mertuaku saja. Dia menoleh dan melihat ke wajahku. Maksudku ingin mengatakan aku baik-b

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-03
  • CALON MERTUAKU    Detak Jantung 2

    Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-03
  • CALON MERTUAKU    Wewangian Memabukkan 1

    Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04
  • CALON MERTUAKU    Wewangian Memabukkan 2

    “Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04

Bab terbaru

  • CALON MERTUAKU    Akhir yang Keji

    Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag

  • CALON MERTUAKU    Empat Tahun Kemudian

    Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah

  • CALON MERTUAKU    Perpisahan

    Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue

  • CALON MERTUAKU    Berakhir

    Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang

  • CALON MERTUAKU    Cinta Buta

    Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik

  • CALON MERTUAKU    Runtuh

    Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan

  • CALON MERTUAKU    Mengerikan

    Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum

  • CALON MERTUAKU    Induk Racun

    Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la

  • CALON MERTUAKU    Tirakat

    Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status