Bagian 3
PengakuanAda sebuah meja makan yang kira-kira muat menampung empat orang untuk duduk. Om Andi duduk di kursi utama, persis seperti di sinetron atau film. Aku sendiri masih bingung ingin duduk di mana. Lelaki berusia 60 tahun itu berdiri dan ia menyeret kursi di sisinya untukku. Terpaksa aku ambil tawaran ini agar sopan.“Semua Om masak sendiri. Maaf, hanya ada makanan kampung, beras juga tidak selembut dan wangi seperti di kota.” Dia bermaksud ingin menuangkan sesendok nasi padaku. Namun, aku berusaha mencegah dan sempat tangan kami bersentuhan. Om Andi minta maaf padaku.Aku mengisi nasi di piring seng khas seperti waktu aku kecil dahulu. Perlengkapan di atas piring juga barang-barang lama yang tergolong antik. Lalu aku menawarkan mengisi nasi untuk calon mertuaku, dan dia mengiyakan saja.“Sayur bening kangkung, ikan tongkol disambal dan telor dadar. Juga ini namanya rama-rama, binatang laut yang tinggal di tanah busut. Mungkin bagi Nora sangat asing, tapi masih bisa dimakan,” ucap Om Andi.Aku melihat hidangan yang antara dikatakan udang bukan, kepiting juga bukan, benar-benar asing sekali.Aku mengambil hidangan yang katanya rama-rama. Ada cangkang tipis dan ada daging seperti kepiting di dalamnya. Aku tarik dan coba, wah rasanya enak sekali, seperti memakan olahan sea food buatan professional.Om Andi menggeser satu mangkuk besar rama-rama untukku. Aku selingi dengan makan nasi supaya cepat kenyang. Dari speed boat tadi sebenarnya aku sudah lapar, tapi ingat pesan Om katanya jangan makan sembarangan.Selesai sudah kami makan dan aku baru sadar di rumah sebesar ini kami hanya berdua saja. Ya, rumah seperti istana zaman dahulu luasnya. Tidak ada pembantu, atau cucu? Oh iya, Bang Angga saja sudah meninggal. Anton masih dinas. Bagaimana caranya Om Andi dapat cucu.“Tidak usah, istirahat saja Nora, biar Om yang kemas semua sendiri.” Dia melihatku mulai membersihkan piring di meja makan.“Nggak usah, Om, biar Indah aja. Om bisa duduk atau merokok dulu.” Aku bilang begitu karena Bang Angga habis makan pasti merokok.“Om tidak pernah merokok.” Ucapannya membuatku terdiam sesaat. Lalu aku membawa semua peralatan makan yang kotor ke dapur sesuai petunjuk pemilik rumah.Di sini tidak ada tempat cuci piring. Hanya tempat basahan saja dengan baskom dan mangkok plastik biasa. Air juga ditampung dalam wadah ember bekas cat. Tekstur air yang ada di dalam ember warnanya agak kekuningan. Aku harus menggunakan air cukup banyak agar sabun cuci piring berbusa. Tapi ajaibnya, bekas minyak cepat kesat terkena air kuning ini.Selesai cuci piring, aku ingin pamitan pada Om Andi yang masih duduk di meja makan. Beliau membaca buku tebal dengan tulisan Arab tanpa harokat, hebatnya lagi tanpa menggunakan kaca mata. Padahal aku yang baru 27 tahun saja sudah menggunakan kaca mata di kantor.“Nora, duduk di sini, Om ingin bicara,” katanya tanpa berpaling dari kitab sedikit pun.Lekas aku duduk di tempat tadi. Dia berdehem sejenak lalu melipat kertas di dalam buku kemudian menutupnya. Padahal lampu di ruang makan agak remang-remang. Mata Om Andi yang sama dengan sorot penglihatan Bang Angga, tidak berair sama sekali.“Iya, Om mau tanya apa?” tanyaku basa-basi.Jujur saja situasi yang hanya berdua ini membuatku sedikit kikuk. Kalau di kota besar hal demikian sudah biasa sekali. Bahkan aku sudah sering satu ruangan dengan manager, bos. Dengan Bang Angga juga pernah, termasuk dalam hal …“Maafkan, Om, tapi hal ini perlu dipertanyakan. Walau Angga sudah tutup mata. Om ingin memastikan.” Ucapan calon mertuaku membuat diri ini waswas dan menelan air liur. Jantungku jadi bertalu-talu.“Apa ada yang salah dengan kami berdua, Om?”“Pasti ada yang salah kalau sudah lima tahun pacaran dan lama sekali menuju pernikahan. Bilang sama Om, hubungan kalian sudah sejauh mana?” Tatapan mata Om Andi melucuti keberanianku untuk jujur. Ya, jelas sekali sangat jauh aku dengan Bang Angga.“Kenapa diam?” tanyanya lagi. Apa aku harus terbuka soal semuanya?“Ehm, ap-apa harus Indah cerita semuanya, Om?” Aku serius gugup sampai terbata-bata. Apa Bang Angga sudah cerita kalau kami melakukan apa saja selama berduaan. Baik di puncak, kontrakan, atau kos-kosanku.“Harus, siapa tahu Om punya pewaris.” Dia membuka kitab lagi. “Walau sebenarnya dalam agama kita, anak di luar nikah tidak akan mendapatkan warisan … tapi, ha ha.” Om Andi tertawa sekilas. Apanya yang lucu, ya?“Tapi apa, Om?”“Om saja tidak pernah menjalankan ajaran agama dengan baik. Maka warisan sebanyak ini asalkan anak itu darah keluarga kami, dia punya hak penuh atas semua kebun-kebun Om.”Sejenak kami berdua diam, hingga gerimis turun lagi dan aku masih belum mau buka mulut. Ah, tapi apa penting untuk jujur. Bukannya pertanyaan jebakan tadi sudah berhasil membuat Om mengetahui semau aib kami.“Apa susahnya jujur, Nora.” Telapak tangan Om Andi tiba-tiba memegang tanganku. Jujur aku kaget dan mencoba melepaskan diri, tetapi pegangannya cukup kuat hingga aku bingung harus apa.“Kalau kamu tidak jujur tidak akan Om lepaskan.” Dia menatap mataku. Jantungku semakin berdetak tidak keruan.“I-iya, Om. Indah sama Bang Angga sudah sampai pada ya, Om, paham gimana anak muda tanpa pengawasan orang tua di kota besar.” Akhirnya genggaman tangan Om Angga lepas. Beliau menarik napas sejenak. Mungkin kecewa.“Om tidak menyangka, padahal Angga rajin sholat di rumah. Ternyata, tergoda perempuan juga. Apa mungkin itu penyebabnya dia buru-buru menikah, persiapan sangat singkat. Seharusnya Om bisa adakan pesta adat tujuh hari tujuh malam.”“Nggak buru-buru, Om. Kami persiapan sudah sejak tiga bulan, kok.”“Dalam tiga bulan itu, kalian bermaksiat terus, bukan?” Lagi-lagi pertanyaan yang sudah tidak perlu aku jawab lagi.“Iya, Om, tapi Indah minum pil KB, jadi sampai sekarang nggak ada jejak dari Bang Angga.”“Sayang sekali,” kata Om Andi.“Maaf, Om, tapi kami masih terikat kontrak kerja.” Dia tertawa mendengar jawabanku.“Lucu kalian berdua ini. Terikat kontrak dengan manusia takut, dengan Allah tidak takut. Sholat terus maksiat jalan. Luar biasa!” Lelaki dengan rambut pendek seperti tentara ini bertepuk tangan. Aduh, aku jadi malu. Ingin rasanya aku pulang ke kota, tapi mau pakai apa?“Maaf, Om.” Aku menundukkan kepala.“Tidak perlu minta maaf dengan Om. Semua sudah terjadi. Setidaknya kalian lebih baik daripada Om. Om sendiri tidak pernah sholat, mungkin tiang agama sudah lama roboh.”“Hah, yang bener, Om, sejak kapan?” Refleks mulutku nanyain. Kalau aku sendiri, sholat kapan ingat saja.“Lupa, tepatnya dimulai puluhan tahun lalu sejak istri Om meninggal.” Oh, aku paham, semacam perasaan kecewa.“Om, kalau gitu Indah permisi dulu, mau sholat Isya.” Perkataanku membuat Om Andi tersenyum.“Satu lagi, Nora, berapa hari sekali kalian berduaan di dalam kamar?” Mulai terlalu dalam Om Andi menggali semuanya.“Ehm, paling nggak seminggu dua kali, Om.” Dengan malu aku menjawab sambil menggaruk kepala.“Ya sudah. Om yakin kamu akan kesulitan setelah ini. Om sarankan kamu cepat menikah dengan orang lain dan jangan berbuat dosa besar lagi. Kita tidak pernah tahu akan mati kapan.” Om Andi beranjak membawa kitab dan memasuki kamarnya.Aku sendiri memberanikan diri ke kamar mandi yang sinar lampunya lebih terang sinar flash ponselku.Aku masuk ke kamar Bang Angga. Aku pakai mukena dan bentang sajadah. Eh, aku lupa kiblatnya di mana. Terpaksa aku mengetuk pintu kamar Om Andi. Beliau keluar kamar. Astaga, tidak pakai baju atasan, padahal hari dingin karena hujan.“Kenapa?” tanya Om Andi. Aku jadi melihat isi kamarnya sekilas. Seperti gaya orang zaman dahulu.“Itu namanya kelambu, anti nyamuk. Di kamar kamu tinggal hidupkan obat nyamuk saja, Nora.” Jawaban atas pertanyaan yang belum aku ajukan membuatku menatap pada mata Om Andi.“Oh, iya, Om, kiblat sebelah mana, ya?”“Om sendiri lupa karena sudah lama tidak sholat. Tapi sepertinya Andi membelakangi lemari baju. Ada lagi yang mau ditanyakan?” Aku hanya menggeleng saja.Kemudian aku beranjak meninggalkan depan kamar Om Andi. Ish, aku lancang sekali tadi memandang isi kamarnya. Jujur saja aku suka dengan desain masa lalu yang di saat sekarang sangat estetik.Aku menunaikan sholat Isya, tak khusuk, alias memang tidak pernah khusuk sama sekali. Isi kepalaku bergantian antara Bang Angga dan Om Andi. Terutama ketika beliau shirtless. Jujur saja perempuan mana yang tidak terpana, di usia 60 tahun masih menjaga bentuk tubuh.Aku berdiri setelah sujud. Parahnya aku lupa ini raka’at ke berapa. Dua atau tiga, ya? Aku jadi diam sambil pikiranku ke sana kemari. Ah, aku ulang saja sholatnya. Terserah mau diterima atau tidak. Toh, selama ini aku juga sudah berbuat dosa besar.Ketika aku sujud raka’at terakhir. Aku mendengar derit pintu kamarku bergeser dan membuat gigiku ngilu. Aku duduk paling akhir. Dalam remang-remang lampu aku melihat bayangan laki-laki berjalan perlahan ke arahku. Aku fokus menyelesaikan bacaan tahiyat.Lalu aku salam ke arah kanan agak ke belakang sedikit. Tidak ada siapa-siapa di belakang. Lanjut aku salam ke arah kiri. Dan aku terkejut hingga terjengkang dari tempat sholat. Bang Angga ada di belakangku. Dia memandangku dengan wajah pucat dan berlinang air mata.“Pergi, Bang, pergi, Abang sudah mati.” Aku mundur sampai menabrak dinding kayu rumah ini.“Indah, pergi, pergi, pergiiiiiiii!” Jerit Bang Angga hingga memekakkan telingaku. Aku pun ikut-ikutan menjerit.“Pergi!” Lagi Bang Angga berteriak sambil memukul-mukul lemari sampai pintunya terbuka. “Lariiii!” Kemudian suara itu menghilang. Jantungku berdetak sangat kencang dengan napas naik turun dan mulai berkeringat dingin.“Nora, Nora, kamu kenapa?” Om Andi datang menghampiriku yang menutup telinga dengan dua tangan. Mungkin calon mertuaku mendengar suara jeritanku yang sangat kuat.“Ta-ta-tadi, ada Bang Angga.” Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Sekujur tubuhku terasa lemas.Bersambung …Bagian 4 Ke Kuburan Aku terbangun ketika merasakan ada yang hangat di dahiku. Refleks hal pertama yang aku cari yaitu ponselku. Ternyata hari sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Aku bolos lagi shalat Shubuh. Ah, betapa diri ini terlalu main-main dengan ibadah. Kapan seriusnya? Eh, bukannya tadi malam Om Andi ke kamarku, ya? Terus kenapa dahiku dikompres? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Oh, iya, aku didatangi oleh Bang Angga. Atau mungkin lebih tepatnya lagi sosoknya. Karena Bang Angga, kan, sudah meninggal. Aku beranjak karena merasa tubuhku sudah baik-baik saja. Apa artinya tadi malam Om Andi menjagaku? Duh, gawat kalau begini. Bisa-bisa timbul fitnah luar biasa antara calon menantu dan mertua. Lekas aku ke luar kamar dan berjalan ke dapur. “Sudah bangun, sudah enakan badannya?” tanya Om tiba-tiba dan membuat jantungku hampir copot. “Iya, udah Om. Ehm, btw, makasih, Om.”“Makasih untuk?” Dia menatapku sambil memegang mangkok kaca yang mengepulkan asap beraroma
Bagian 5 Peringatan Angga Aku ingin membuka mata, tapi seperti tak mau. Seolah-olah ada yang merasakan bibirku dengan sangat lembut dan aku mulai terlena. Namun, suara-suara asing yang ada terdengar membuatku bangun. Aku terkejut ketika tertidur di bawah pohon besar. Bukankah tadi aku ingin ke kuburan Bang Angga. Lalu kenapa aku malah duduk di dekat sini. Kemudian, Om Andi mana? Apa bersama orang-orang yang berkerumun itu. Satu lagi, ciuman tadi apa hanya mimpi? Tapi terlalu nyata dan membuatku tak bisa melawan. “Nora, masih pusing kepalanya?” Aku terkejut ketika disapa Om Andi dari belakang pohon. Kupikir dia ada bersama orang-orang itu. Dia memberiku segelas air putih. Dari tadi aku mencarinya. “Emang, Indah tadi kenapa, Om?” “Katamu tadi pusing. Ya sudah, Om suruh saja istirahat di sini.” “Oh, gitu, ya udah sekarang kita ke kuburan Bang Angga, yuk.” “Itu, lagi diperbaiki sama warga,” tunjuk Om ke arah sana. “Kenapa, Om?” Aku penasaran. “Ada yang menggali kuburan anak, Om.
“Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.“Pakai tangan, Nora,” katanya. “Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya. “Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham. Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar. Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah p
Bagian 6 Detak JantungAku yang sudah telanjur lemas hanya bisa diam ketika Om Andi mengangkat diriku dan dibawa turun ke lantai satu rumahnya. Aku dibawa masuk ke kamarku, kemudian di baringkan di ranjang kapuk. Baju tidurku tersingkap. Sayangnya aku sedang tak berdaya. Calon mertuaku menutupi bagian tubuhku yang terbuka dengan selimut. Wajahnya jadi aku lihat serba salah. “Kamu sedang apa di lantai dua?” tanya lelaki berambut pendek ketika telah menutupi tubuhku dengan selimut. Aku berusaha membuka mulut, sayangnya gagal. “Di sini petugas puskemas jauh, dia ada di seberang pulau. Datang jam sembilan pagi pulang jam tiga sore. Paling juga besok baru bisa Om bawa ke sini,” katanya sambil memalingkan wajah. Apa yang salah denganku? Aku ingin berbicara pada Om Andi bahwa aku baik-baik saja. Namun, karena aku masih syok berat atas kedatangan Bang Angga, jadilah tanganku hanya memegang lengan calon mertuaku saja. Dia menoleh dan melihat ke wajahku. Maksudku ingin mengatakan aku baik-b
Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa
Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su
“Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi
Di dalam kamar, aku tidak bosan-bosannya memandang perhiasan emas pemberian Om Andi. Ke mana tadi marahku dengan dia? Semua menguap begitu saja tanpa ada jejak. Ingin kasihan dengan diri sendiri sebenarnya. Betapa mudahnya aku dibujuk dengan kilau harta dunia. Ya, orang hidup juga butuh biaya. Aku mendengar suara Om Andi memanggilku. Lekas aku rapikan rambut yang berantakan dan baju aku turunkan agar menutupi pinggang. Aku minta beliau menunggu sebentar. Satu set perhiasan emas itu aku gunakan agar aku terlihat lebih cantik. Apakah wajar yang aku lakukan hal seperti ini? “Iya, Om, kenapa?” tanyaku dengannya, nada bicaraku tidak lagi tinggi seperti tadi. Kurasa bukan Om Andi pelakunya. Mungkin saja … iya, bisa jadi itu arwah Bang Angga. “Ini tiket speed boat untuk pulang besok.” Calon mertuaku menyodorkan lembaran tiket yang masih baru. Senyumku langsung sirna.“Oh, iya ,ya, besok Indah sudah pulang.” Aku mengambil dan mengucapkan terima kasih. Ingin kuganti uang tiketnya tapi dia t
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel