Bagian 4
Ke KuburanAku terbangun ketika merasakan ada yang hangat di dahiku. Refleks hal pertama yang aku cari yaitu ponselku. Ternyata hari sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Aku bolos lagi shalat Shubuh. Ah, betapa diri ini terlalu main-main dengan ibadah. Kapan seriusnya?Eh, bukannya tadi malam Om Andi ke kamarku, ya? Terus kenapa dahiku dikompres? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Oh, iya, aku didatangi oleh Bang Angga. Atau mungkin lebih tepatnya lagi sosoknya. Karena Bang Angga, kan, sudah meninggal.Aku beranjak karena merasa tubuhku sudah baik-baik saja. Apa artinya tadi malam Om Andi menjagaku? Duh, gawat kalau begini. Bisa-bisa timbul fitnah luar biasa antara calon menantu dan mertua.Lekas aku ke luar kamar dan berjalan ke dapur.“Sudah bangun, sudah enakan badannya?” tanya Om tiba-tiba dan membuat jantungku hampir copot.“Iya, udah Om. Ehm, btw, makasih, Om.”“Makasih untuk?” Dia menatapku sambil memegang mangkok kaca yang mengepulkan asap beraroma sedap.“Untuk apa, ya, ya, ya, semuanya. Indah mandi dulu, Om.” Aku gugup menghadapi sosok Om Andi. Seharusnya dia tahu aku berterima kasih untuk apa, tapi dia malah bertanya balik.Air yang aku gunakan untuk mandi ternyata dingin sekali. Gigiku sampai hampir gemeretakan karena sensasi sejuk yang ditimbulkan. Dan satu lagi kebodohanku, aku pikir ini di kamar kos-kosan. Aku lupa membawa handuk. Ah sial! Mana bajuku sudah telanjur basah kuyup. Aku harus bagaimana?Dengan menarik napas panjang dan berat sekali rasanya, terpaksa aku meminta bantuan pada satu-satunya orang di dalam rumah ini.“Om, bisa tolong ambilkan handuk di kamar Indah, Om?” Dengan tak tahu malu aku bilang begitu. Karena tidak ada jalan lain lagi.“Iya, sebentar.” Jawaban Om menenangkan batinku.Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi diketuk dan Om bilang handuk disangkutkan di dekat paku. Aku buka pintu dan menyambar handuk yang akhirnya robek tersangkut paku.Bertambah rasanya perasaan maluku. Handuk yang aku bawa bukannya yang model kimono, tapi hanya yang pendek saja. Duh, aku jadi enggak enak sama sekali. Buru-buru aku keluar dari kamar mandi dan rupanya mata Om Andi melihatku berbalut handuk. Beliau langsung berpaling dan aku pun lekas masuk ke kamar dengan jantung berdegup tak keruan.Aku mencari baju kemeja panjang dan celana jeans. Masih ingat aku rencananya hari ini akan ke makam Bang Angga. Mungkin pagi hari. Tidak ada salahnya juga aku bersiap sedia. Aku harus tahu diri tidak mungkin merepotkan Om Andi untuk mengurus makanku setiap hari selama di sini. Aku ke dapur dan ternyata Om sudah menungguku di meja makan.“Ini ada sup, tapi bukan ayam, hanya telur dan kol saja. Di sini pasar tidak setiap hari.” Aku terlambat lagi. Om Andi sudah lebih cepat membuatkan makanan. Aku cicipi sup telor buatannya, rasanya ya ampun enak sekali walau airnya bening.“Kamu mau ke mana dengan baju seperti itu?” tanya Om Andi ketika aku memotong telur rebus.Aku memperhatikan diri sendiri. Rasanya tidak ada yang salah dengan kemejaku. Panjang menutupi bagian belakang. Ya, jeans memang pas body.“Salah, ya, Om?” Aku balik bertanya.“Dengan dua kancing dibuka seperti itu, hampir tiga malah, di sini kamu bisa dibilang lonte, Nora. Kalau di kota ya terserah. Di depan Om juga tidak masalah. Tapi kalau ke luar rumah ya jangan.”Reflek aku langsung memasang kancing baju. Di kota aku sudah biasa seperti ini. Bahkan Bang Angga tidak melarang sama sekali.“Kalau dipikir-pikir pantas saja anak Om yang dulunya rajin ibadah, jadi tergoda sama kamu.”“Tapi saya nggak goda Bang Angga, Om.” Aku tidak terima dituduh seperti itu. Aku tidak pernah merayu Bang Angga, bahkan dulu responku dingin sama dia.“Merayu itu tidak perlu dengan kata-kata manis. Cukup pakai baju tertutup tapi terkesan membentuk semua lekuk tubuhmu. Nora, jangan bilang kamu tidak paham kalau godaan laki-laki itu wanita. Kamu, kan, sudah besar, sudah dewasa. Bahkan sudah hampir jadi ibu.” Lagi-lagi Om Andi membuatku malu.“Iya, Om, maaf. Indah nggak ada niat buat merayu siapa pun.”“Om juga laki-laki, Nora, Lebih baik kamu jaga penampilan di sini. Sudah Om suruh bawa baju panjang dan tebal, kan?”“I-iya, sih, om, bajunya memang panjang semua.”“Panjang dan ketat, bahkan ada yang tipis?” Aku mengangguk saja ketika tebakan Om Andi tidak ada yang salah sama sekali.“Maaf, Om, harusnya Indah lebih tahu jaga diri.”“Sudah tidak apa-apa, habiskan saja supnya.” Om Andi beranjak ke kamarnya.Aku habiskan semangkuk sup plus nasi yang disediakan juga tidak lupa teh hangat yang membuat napasku jadi tidak terasa dingin lagi. Lalu Om Andi keluar dengan membawa beberapa baju perempuan di tangannya.“Ini baju-baju istri Om dulu. Masih bagus dan wangi, boleh kamu pakai selama di sini, dan ganti baju sekarang, hari masih pagi lebih baik untuk ziarah.”Aku mengambil baju-baju yang sepertinya jaman dulu sekali ke dalam kamar. Aku gelar satu-satu di atas kasur. Aroma kapur barus jelas sekali tercium. Ya ampun, tidak ada celana jeans atau rok. Adanya hanya baju terusan atau baju yang aku tidak mengerti apa namanya. Panjang menutupi seluruh badan sampai ke mata kaki, malahan ada selendangnya.Aku memandang diri sendiri di depan kaca. Aku jadi terlihat seperti ibu-ibu qasidahan di kaset pita zaman dahulu. Selendang hanya aku lilitkan saja. Aku belum ada rencana memakai jilbab atau apalah itu namanya.“Om, Indah sudah siap,” ucapku pada Om Andi. Seketika beliau menoleh ke arahku dan matanya tidak berkedip sama sekali. Lalu dia sadar dan lekas berpaling. Apa ada yang salah denganku?“Ini pakai sepatu boot. Jalan tidak akan ada bagusnya sama sekali. Apalagi kena guyur hujan tadi malam.”Lekas aku memakai sepatu boot pemberian Om Andi, beliau juga memakai sepatu yang sama. Om andi menutup dan mengunci pintu. Kupikir akan pergi pakai motor, ternyata jalan kaki dan katanya kuburan cukup jauh.“Beginilah kalau di kampung, Nora. Makanya di telpon, Om tanya sama kamu apa benar ingin ke sini. Ya seperti ini kalau hujan becek, kalau kering berdebu.”“Ya nggak apa-apa, Om. Ini pertama sama terakhir kali Indah ke sini. Sekalian ziarah.” Aku agak kesulitan melewati jalanan yang licin dan berlumpur. Hingga terpaksalah aku memegang tangan Om Andi yang kulitnya terasa keras dan agak kasar. Tanda kalau beliau pekerja keras.“Terakhir kali? Kalau ternyata kamu balik lagi ke sini, bagaimana?” Dia menoleh dan menyunggingkan senyuman padaku. Astagah, jantungku jadi berdetak tak keruan.“Ya, lihat nanti aja, Om. Mungkin kalau rezeki dan jodoh nggak ke mana.” Aku hampir jatuh, Om Andi menahan tangan dan pinggangku. Gila, jalanan licin ini seperti hampir membunuhku.“Jodoh? Semoga saja, ya.” Ah, semoga Om Andi nggak salah tangkap sama maksud perkataanku.“Masih jauh, Om?”“Sekitar dua kilometer lagi palingan di dalam hutan.” Tautan tangan kami sudah terlepas. Jalanan sudah berbatu dan tidak terasa licin lagi.“Dua kilometer kalau pakai kereta yang nggak jauh, Om, kalau jalan kaki ya jauh,” gerutuku dan beliau tertawa saja. Aku haus dan sialnya tidak membawa beka air minum. Warung pun tidak ada yang buka, atau tepatnya tidak ada warung sama sekali.“Kamu masih muda jangan banyak mengeluh. Jalan kaki itu juga bagus, Nora. Bagus untuk meredam hasrat kamu kalau merindukan Angga.” Aduh, kenapa tiba-tiba Om Andi bicara seperti ini. Mungkin ada benarnya. Atau mungkin dari pengalaman beliau menduda selama puluhan tahun.“Om, boleh Indah tanya?”“Silakan.”“Tante meninggal karena apa?”“Sakit, waktu itu Om miskin dan tidak punya uang untuk membawa istri Om ke kota. Jadi, ya, sudah terima takdir.”“Oooh.” Hanya itu responku. Sekarang saja suasana di sini masih kampung banget, bagaimana puluhan tahun lalu, kan?“Om sangat mencintai dia. Istri Om tidak bisa digantikan oleh perempuan mana pun.” Dia bicara tanpa aku bertanya.“Tapi, Om, kata orang, biasanya lelaki itu nggak kuat menduda lama-lama. Tujuh jam kemudian juga bisa kok nikah lagi.”“Jangankan tujuh jam, istri masih hidup saja laki-laki boleh menikah lagi. Tapi tidak semua seperti itu, Nora. Om berbeda. Kebetulan pula di desa ini perempuan cantik tidak banyak. Jadi Om bisa tahan godaan, dan Om tidak berencana keluar dari desa. Berbahaya, karena Om yakin perempuan cantik seperti kamu ada banyak lagi.”“Wah, Om hebat banget.”“Angga juga Om yakin sama. Kalau sudah cinta dengan satu perempuan ya satu itu. Hanya saja kalian berdua terbawa perasaan terlalu jauh. Justru Om khawatir dengan kamu. Om sarankan lebih baik kamu cepat menikah. Jangan ulangi lagi dosa besar itu. Semoga saja dosa Angga diampuni. Berzinah itu bukan perkara mudah, Nora.”“Iya, Om, maaf lagi-lagi Indah minta maaf.”“Tapi ada dosa yang lebih besar dari berzinah, Nora. Meninggalkan sholat, dan Om sudah puluhan tahun melakukannya. Jadi ya begitulah. Apa mau dikata lagi.” Om Andi seperti memiliki trust issue dengan Alllah SWT. Ya udah aku tidak mau ikut campur. Dosaku saja banyak.“Om, boleh tahu nama tante nggak?” Entah kenapa aku iseng bertanya.“Kuburan sedikit lagi sampai, Nora.” Dia menunjuk dengan telunjuk. Aku paham dia tidak mau menjawab.“Nama istri Om, Nora Syafitri. Dia Om nikahi ketika berusia 16 tahun. Di sini sudah biasa seperti itu. Usia Om waktu itu 20 tahun. Kami menjadi suami istri yang saling melengkapi dalam suka dan duka, walau lebih banyak dukanya.”Nora Syafitri. Hah, apa aku tidak salah dengar. Itu, kan nama panggilan untukku. Jadi Om sengaja memanggilku sama dengan istrinya. Aku boleh suudzon tidak?“Jangan takut Nora, Om tidak menganggap kamu istri Om. Hanya saja Om sudah lama tidak menyebut nama Nora. Kalau kamu tidak nyaman tinggal bilang saja. Om akan ganti nama panggilan.”“Ehmm, nggak apa-apa, kok, Om. Kan, cuman nama.” Aku tersenyum. Segan bilang tidak suka.“Ayo kuburan Angga di dalam sana.” Om Andi menarik tanganku.Aku seperti tersihir untuk terus mengikuti langkahnya. Di dalam hutan di dekat semak belukar, pandangan mataku tiba-tiba saja terasa berat.Bersambung …Bagian 5 Peringatan Angga Aku ingin membuka mata, tapi seperti tak mau. Seolah-olah ada yang merasakan bibirku dengan sangat lembut dan aku mulai terlena. Namun, suara-suara asing yang ada terdengar membuatku bangun. Aku terkejut ketika tertidur di bawah pohon besar. Bukankah tadi aku ingin ke kuburan Bang Angga. Lalu kenapa aku malah duduk di dekat sini. Kemudian, Om Andi mana? Apa bersama orang-orang yang berkerumun itu. Satu lagi, ciuman tadi apa hanya mimpi? Tapi terlalu nyata dan membuatku tak bisa melawan. “Nora, masih pusing kepalanya?” Aku terkejut ketika disapa Om Andi dari belakang pohon. Kupikir dia ada bersama orang-orang itu. Dia memberiku segelas air putih. Dari tadi aku mencarinya. “Emang, Indah tadi kenapa, Om?” “Katamu tadi pusing. Ya sudah, Om suruh saja istirahat di sini.” “Oh, gitu, ya udah sekarang kita ke kuburan Bang Angga, yuk.” “Itu, lagi diperbaiki sama warga,” tunjuk Om ke arah sana. “Kenapa, Om?” Aku penasaran. “Ada yang menggali kuburan anak, Om.
“Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.“Pakai tangan, Nora,” katanya. “Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya. “Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham. Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar. Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah p
Bagian 6 Detak JantungAku yang sudah telanjur lemas hanya bisa diam ketika Om Andi mengangkat diriku dan dibawa turun ke lantai satu rumahnya. Aku dibawa masuk ke kamarku, kemudian di baringkan di ranjang kapuk. Baju tidurku tersingkap. Sayangnya aku sedang tak berdaya. Calon mertuaku menutupi bagian tubuhku yang terbuka dengan selimut. Wajahnya jadi aku lihat serba salah. “Kamu sedang apa di lantai dua?” tanya lelaki berambut pendek ketika telah menutupi tubuhku dengan selimut. Aku berusaha membuka mulut, sayangnya gagal. “Di sini petugas puskemas jauh, dia ada di seberang pulau. Datang jam sembilan pagi pulang jam tiga sore. Paling juga besok baru bisa Om bawa ke sini,” katanya sambil memalingkan wajah. Apa yang salah denganku? Aku ingin berbicara pada Om Andi bahwa aku baik-baik saja. Namun, karena aku masih syok berat atas kedatangan Bang Angga, jadilah tanganku hanya memegang lengan calon mertuaku saja. Dia menoleh dan melihat ke wajahku. Maksudku ingin mengatakan aku baik-b
Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa
Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su
“Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi
Di dalam kamar, aku tidak bosan-bosannya memandang perhiasan emas pemberian Om Andi. Ke mana tadi marahku dengan dia? Semua menguap begitu saja tanpa ada jejak. Ingin kasihan dengan diri sendiri sebenarnya. Betapa mudahnya aku dibujuk dengan kilau harta dunia. Ya, orang hidup juga butuh biaya. Aku mendengar suara Om Andi memanggilku. Lekas aku rapikan rambut yang berantakan dan baju aku turunkan agar menutupi pinggang. Aku minta beliau menunggu sebentar. Satu set perhiasan emas itu aku gunakan agar aku terlihat lebih cantik. Apakah wajar yang aku lakukan hal seperti ini? “Iya, Om, kenapa?” tanyaku dengannya, nada bicaraku tidak lagi tinggi seperti tadi. Kurasa bukan Om Andi pelakunya. Mungkin saja … iya, bisa jadi itu arwah Bang Angga. “Ini tiket speed boat untuk pulang besok.” Calon mertuaku menyodorkan lembaran tiket yang masih baru. Senyumku langsung sirna.“Oh, iya ,ya, besok Indah sudah pulang.” Aku mengambil dan mengucapkan terima kasih. Ingin kuganti uang tiketnya tapi dia t
“Om besok mengantar kamu agak siang ke pelabuhan. Karena pagi harinya harus mengurus getah untuk ditimbang. Kamu sendirian pagi di rumah, ya.” “Oke, Om,” jawabku santai aja.Sampai di rumah aku memasak bahan yang diantar oleh orang ke rumah Om Andi. Walau sebenarnya aku sangat lelah. Ada kepiting, lalu aku buat saja sup ditambah dengan jagung rebus. Makan malam kami berlangsung cepat. Kata Om Andi dia kelelahan. Kami masih ke kamar masing-masing. Aku mengganti baju tidur dengan gaun yang pendek sampai ke lutut. Tidak ada lapisan luar lagi karena malam ini cuaca agak hangat. Terasa dari ujung rambut sampai kaki. Aku membaringkan diri di kasur kapuk. Selama di sini ponselku seperti tidak ada gunanya. Detik demi detik mataku berkedip. Perlahan-lahan wewangian menyejukkan itu datang lagi dan membuatku lemas. Aku tidak bisa bergerak dibuatnya. Kembali dalam kepasrahan dan kepatuhan. Namun, tidak ada yang datang, sangat lama aku menunggu. Malam semakin gelap dan aku tidak bisa melihat
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel