POV Cahaya
"Ayah cariin kemana-mana," kata Ayah.
Kepala Ayah menoleh kesana kemari seperti mencari sesuatu.
"Haya, dari tadi di sini aja kok Yah." Agak gugup juga aku. Sepertinya Ayah curiga.
"Tadi Ayah dengar, Haya seperti sedang ngobrol. Sama siapa?"
"Em, Ayah salah dengar kali. Dari tadi Haya cuma telfonan sama teman Haya di sekolah."
"Yang bener ?" tanya Ayah menyelidik.
"Iya, suer." Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku.
"Ya sudah, cepat ke bawah. Kita makan siang dulu. Ayah sudah pesan kentang goreng kesukaan Haya."
"Iya, nanti Haya nyusul."
"Jangan lama-lama. Haya tau kan, Ayah gak bisa makan, kalau Haya belom makan." Aku menganggukkan kepalaku.
Ayah melangkah keluar lagi, membuka pintu kamarku, sebelum keluar, Ayah berbalik melihatku. Aduh, sepertinya Ayah nggak percaya, matanya masih saja melihat kesana kemari.
"Ya udah deh, Haya ikut Ayah aja." Aku segera menyusul Ayah.
"Tunggu ya," bisikku hampir tak bersuara pada Dara yang menatapku dengan dingin dan kaku. Namanya hantu, pasti rata-rata begitu tatapannya.
Saat ini, jangan buat Ayah curiga dulu. Ribet urusannya kalau Ayah mulai curiga. Bisa-bisa, Ayah konsultasi lagi sama Ustad Faruk. Pokoknya, jangan sampai gelagatku bikin Ayah jadi tau, kalau aku sudah membohonginya. Nggak asik kalau mata batinku ditutup. Aku juga masih berharap, Bunda akan bisa hadir juga di rumah ini.
Ayah nggak pernah marah sama aku. Aku yakin, kalau Ayah tau aku sudah berbohong, dia juga gak akan marah. Tapi Ayah akan jadi sedih, aku nggak mau lihat Ayah sedih. Ayah jadi jelek kalau sedang sedih. Mukanya cemberut aja sepanjang hari.
"Yah, kunci kamar itu, ada sama Ayah?" tanyaku ketika kami sudah keluar dari kamarku, dan pandanganku langsung tertuju pada kamar yang dikunci itu.
"Nggak ada. Mungkin pemiliknya lupa kasih kuncinya. Kenapa memangnya?"
"Haya pengen tau aja isinya gimana. Kali aja lebih bagus dari kamar Haya."
"Apa kurang bagus, kamar Haya?"
"Bagus sih."
"Ya sudah. Syukuri apa yang ada."
Aku menggandeng tangan Ayah saat menuruni tangga. Sudah pada menunggu di bawah semua ternyata.
"Si manja Ayah udah turun, cepetan dong Sayang. Perut Nenek udah bunyi dari tadi," sungut Nek Ipah.
"Maafin Haya, ya Nek. Sebagai gantinya, gapapa deh, Haya suapin Nenek sampai kenyang," kataku sembari memeluk Nek Ipah dari belakang kursinya.
"Males ah, memangnya Nenek udah jompo pakai disuapin segala."
"Kalau gitu, sukur deh."
"Ternyata hanya pura-pura dia." Semua tertawa mendengar yang dibilang Nek Ipah.
"Haya duduk dekat Kakek sini." Aku menuruti kata-kata Kakek. Ada bangku yang masih kosong di dekat Kakek.
"Yah, nanti sekali-kali kita pulang ke rumah lama ya. Apa kita nggak ziarahi kuburan Bunda, Nek Wati sama Kakek buyut."
Tanganku mulai mengambil nasi yang sudah tersedia di meja, juga ayam goreng dan kentang goreng juga tentunya.
"Nanti ya, kapan-kapan. Baru juga sampe di sini."
"Sudah, habiskan makannya dulu. Kalau makan jangan sambil ngobrol, pantang," kata Nek Wiyah.
"Pantang? Pantang kenapa Nek?"
"Ya pantang, bisa keselek nanti."
"Kirain."
Itulah keluargaku. Aku anggota keluarga yang paling muda di sini. Selain Ayah, aku punya tiga orang nenek. Nek Ipah, Nek Widuri sama Nek Wiyah. Satu Kakek, kek Darma namanya. Dulu, ada juga Kakek Buyut tinggal bersama kami. Tapi beliau sudah meninggal dua tahun lalu karena sakit. Cuma aku agak merasa ganjil. Kakek buyut waktu sakit pengen banget pulang kampung, tapi Ayah nggak mengizinkan. Baru itu aku lihat Ayah sekeras itu. Kasihan rasanya, melihat Kakek buyut, sampai meninggal keinginannya tidak terwujud.
Pernah aku bertanya sama nenek nenekku penyebab sikap Ayah seperti itu. Tapi nggak ada yang bisa jawab. Kata mereka, tunggu aku dewasa baru mereka mau menjelaskan. Sampai sekarang aku penasaran jadinya.
Ayahku orangnya sangat lembut dan mudah luluh. Mengapa dia sangat keras hati saat Kakek buyut minta pulang kampung? Pasti ada sebabnya. Suatu hari aku pasti akan cari tahu.
"Eeegghh alhamdulillah, Haya udah kenyang. Haya naik lagi ya."
"Anak gadis, sendawanya besar banget gitu. Nggak sopan Ndok." Nek Ipah memperingatiku.
"Iya Nek, maaf, kelepasan hehe," kataku sembari jalan ke arah anak tangga. Satu persatu anak tangga mulai kunaiki. Pengennya lari, tapi ntar pada teriak semua.
Aku penasaran banget sama cerita Dara. Kira-kira dia mau minta tolong apa ya? Sampai di lantai dua, mataku kembali tertumbuk pada pintu kamar yang masih dikunci itu. Nampaknya aku butuh bantuan Pak Dirman. Tapi nanti aja deh, sekarang aku mau temuin Dara sama Riko dulu.
"Dara! Riko!" panggilku pada dua hantu yang baru saja berkenalan denganku.
Kemana mereka? Apa mereka ngambek ya, terus pergi?
Ah, sudahlah. Mending aku ngobrol sama Bunda, maksudku dengan foto Bunda. Siapa tau, Bunda dengar dan datang kesini.
Kuambil album foto yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidurku. Kubuka satu-persatu lembaran album foto itu, sambil rebahan, tepatnya tengkurap sih. Bunda, Haya kangen sama Bunda hiks.
"Siapa dia?"
"Eh, ngagetin aja! Kayak hantu kamu!" sungutku pada Dara yang tau-tau sudah tengkurap juga di sebelahku.
"Emang aku hantu," sahutnya santai sambil nyengir.
"Kemana aja sih kamu?"
"Nggak kemana-mana. Disini aja dari tadi."
"Kok aku nggak lihat."
"Kami bisa kasih lihat wujud kami, sesuka kami."
"Adikmu mana?"
"Maksud kamu, Riko?"
"Iya, siapa lagi?"
"Dia bukan adek aku. Kalau kami masih hidup, usianya lebih tua dari aku."
"Tapi kan sekarang di dunia hantu, tetap aja dia yang lebih muda."
"Hmm, benar juga. Kenapa nggak kepikiran aku ya. Tapi syukurlah, dia jadi hantu yang adekan aku. Kalau dia jadi hantu dewasa, pasti dia jadi hantu cowok yang jutek habis hehehe."
"Kalian lagi nyeritain aku!" Aku agak terkejut, Riko sudah duduk kembali di sofa.
"Panjang umur dia. Diceritain langsung datang," kata Dara.
"Asal kamu. Panjang umur darimana? Udah jadi hantu gitu haha." Aku mengejek Dara.
"Udah dulu kita ngobrolnya. Sekarang aku mau, kamu bantu kami." Dara mulai serius lagi.
Aku bangkit, duduk bersila memeluk gulingku.
"Kalian mau minta bantuan yang bagaimana sih?" tanyaku dengan dahi mengkerut.
"Kamu diam ya, pejamkan matamu perlahan." Dara memberi intruksi seperti tadi lagi, saat Ayah datang memanggilku.
Perlahan kupejamkan mataku. Kurasakan telapak tangan Dara menempel di dahiku, menciptakan sensasi dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku merasa tubuhku ditarik dengan sangat kuat hingga aku terjatuh, tapi tidak merasakan sakit, kubuka mataku perlahan. Aku dimana? Ini seperti kamarku, hanya sedikit berbeda. Tadi seingat aku, seprei yang membalut tempat tidurku berwarna pink. Kenapa sekarang hijau.
"Mas, tolong … jangan pergi!"
"Nggak bisa! Aku sudah nggak tahan sama kamu! Kamu nggak bisa jadi istri yang becus!"
"Maafin aku Mas. Aku janji, aku akan berubah Mas."
Suara siapa itu? Sepertinya dari arah luar.
Aku melangkah perlahan keluar dari kamar, hendak melihat ke sumber suara tadi. Kubuka pintu pelan-pelan. Kulihat Dara sedang menangis terduduk di depan pintu kamar.
"Dara." Aku mencoba menegurnya, tapi dia tak acuh. Apa dia tidak mendengarku?
★★★KARTIKA DEKA★★★
POV CahayaKulihat seorang wanita dewasa sedang menarik tangan seorang pria. Apa itu orang tua Dara? Mereka juga sepertinya tidak melihatku."Mas … kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon," rengek wanita itu."Aku capek. Aku lelah sama kamu. Semua kerjaku sia-sia gara-gara ulah kamu. Berapa kali kamu minta maaf, selalu kamu ulangi," kata laki-laki itu dengan bersimbah air mata. "Dara. Ikut Papa," kata laki-laki itu pada Dara. Ternyata dia Papa Dara. Berarti wanita itu, Mama Dara.Dara menggeleng, dia masih meringkuk di lantai. Dia seperti sangat terpukul melihat pertengkaran orang tuanya.Papa Dara tidak berniat membujuk Dara lagi. Papa Dara pergi begitu saja membawa sebuah tas yang cukup besar, meninggalkan Mama Dara yang hampir saja tersungkur dari tangga. Tanganku reflek ingin menolongnya, tapi kenapa aku tidak bisa menyentuh tubuh wanita itu?"Huhuhu, Mas!" Mama Dara sangat histeris, dia bangkit dan berlari mengejar laki-laki itu yang sudah membuka pintu utama rumah ini. Ruma
POV CahayaDara terus memegangi lehernya, sepertinya dia sangat kesakitan. Mama Dara hanya melihatnya, tanpa berniat memberikan pertolongan."Dara! Kamu kenapa?" Aku panik, tapi juga bingung mau bagaimana. Kulihat Dara kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Kenapa Dara? Tiba-tiba tubuh Dara jatuh, untuk sesaat dia terus kejang."DARAAAA!" Mama Dara histeris.Dia langsung meraih tubuh Dara ke dalam pelukannya. Dia menangis sejadinya sambil memeluk Dara. "Maafin Mama, Sayang." Dara kejang-kejang di pelukan ibunya, lalu diam, tak lagi bergerak. Aku membekap mulutku sendiri, kenapa Dara? Aku jadi ikut menangis. Apakah seperti itu Dara meninggal, tragis sekali.Mama Dara terus menangis sambil memeluk tubuh Dara, erat sekali. Diciuminya seluruh wajah Dara. Menyesalpun sudah terlambat, Dara sudah meninggal. Mama Dara mengelap busa di mulut Dara dengan tangannya. Lalu bangkit dari atas tempat tidur, susah payah digendongnya tubuh Dara. Aku terus mengikutinya. Mau dia bawa kemana tubuh
"Oke, tapi nggak sekarang. Nunggu aku masuk sekolah dulu ya." "Janji." Mata Dara langsung berbinar karena aku mengabulkan permohonannya. Mau bagaimana lagi? Kalau nggak dituruti, dia bisa sangat mengganggu kehidupanku. Lagipula, nggak ada salahnya kan, menolong orang. Eh, orang … hantu kali. "Lalu kamu, Dik?" Aku mengarahkan daguku pada Riko, berlagak sombong pada hantu jutek itu. "Adik! Aku lebih tua dari kamu tau!" Dia nggak senang saudara, dipanggil Adik."Itukan kalau kamu hidup. Kamu aja meninggal masih lebih kecil dari aku," sahutku asal aja. Lalu rebahan lagi di atas ranjangku. Dia diam melototkan matanya padaku, aku melengos, dia kira aku takut. "Kalau nggak ada perlu lagi, aku mau tidur nih. Capek tau, dari perjalanan jauh. Sampai di sini di recokin sama kalian!" ketusku.Tiba-tiba si Riko menghilang. Tersinggung mungkin, biarin aja lah. Siapa suruh jadi hantu kok jutek amat. Kalau dia hidup, mungkin nggak punya teman kali. "Hmm Ca … Ca." Dara menggeleng kepala melihatk
Suara itu meminta siapa yang maju? Apa aku? Aku kan paling belakang. Tapi, bukan hanya aku kok. Di sini kan, ada beberapa barisan. Di setiap barisan ada yang berada di posisi paling belakang. "Kamu, yang baru datang, yang paling terlambat, maju." "Kayaknya kamu deh yang dipanggil," kata Cila. Tuh kan, bener. Bakalan dihukum aku nampaknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki maju ke depan. "Cepat sedikit!" hardik suara itu. Ngapain bentak-bentak sih! Dia kan pakai toa, aku juga dengar kali. Terpaksa kupercepat langkahku, mana semua mata melihat semua. Malu banget rasanya. Sampai di depan, OMG, ada makhluk Tuhan paling cakep, aku sampai terpelongo melihatnya. Widih, he's perfect, no minus. Mirip sama Al Ghazali anak penyanyi itu loh. Mimpi apa sih aku tadi malam, ketemu cowok handsome begini. Kulihat name tag di dadanya, namanya Ikhsan. "Yang lain, boleh masuk kelas masing-masing. Kamu, tetap di tempat!" Aku justru senang dia melarang aku masuk. Jadi bisa lama-lama memandang wajahny
"Kamu sudah baikan?" tanya Siska. Bisa manis juga dia, tadi juteknya minta ampun. Aku hanya mengangguk, pura-pura lemah tentunya."Sukur lah. Maaf ya, kalau kami berlebihan, kenalin aku Siska kelas dua belas. Kamu bisa panggil aku Kakak." Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.Gak nyangka, sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia minta aku panggil dia Kakak. So sweet banget. Kok aku jadi terharu ya?"Aku Cahaya, Kak." Kusambut uluran tangannya. Tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini. Nggak tau juga, kemana teman-temannya tadi. Serrr, aku merasa ada hembusan angin lewat. Kok aku tiba-tiba merinding ya. Apa ada arwah di sini? Kepalaku reflek mengarah ke arah arah jendela UKS yang lebar dan terbuat dari kaca keseluruhan. Jadi bisa tampak keluar. Seperti ada yang lewat. Apa itu …."Kamu kenapa?" "Um, gapapa Kak. Kak, aku udah mendingan, mau ke kelasku." "Gapapa nggak masuk dulu, hari ini cuma acara perkenalan aja kok. Kamu masih kelas sepuluh kan?" "Iy
"Kelas kamu disana. Kok malah kesini?" Kak Ikhsan menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Iya Kak, aku tau. Sesak tadi, kirain di sini toilet." Bohong lagi deh. Sorry cogan. "Kalau toilet, di sana tuh, jalan lurus paling ujung. Justru ngelewatin kelas kamu." "Oke, Kak. Makasih ya."Cepat-cepat aku pergi dari hadapan Kak Ikhsan. Kayaknya bakal ada pengalaman setu di sekolah ini. Masih penasaran aku, dengan 'dia'."Cahaya!" panggil Cilla yang lagi keluar kelas. Kenapa tuh bocah keluar?Semakin kupercepat langkahku, menyongsong Cilla. "Kamu kok keluar?" tanyaku saat sudah mulai dekat dengannya. "Gak ada, emang pengen lihat kamu aja. Kok kamu lama banget?" "Biasalah." Aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Ternyata nggak ada guru, pantes Cila keluar."Sini, kita duduk satu bangku." Cilla menarik tanganku, untuk duduk di urutan bangku paling depan. "Hai, kenalin aku Andri." Tau-tau udah ada temen cowok yang ngajak kenalan, kusambut uluran tangannya. "Cahaya." Aku sebutkan namaku."Mulai
"Buat apa coba? Nggak usah deh berurusan sama yang begituan," tanya Cila yang kayaknya takut. "Jujur ya, saat masuk sekolah ini. Ruangan yang duluan aku lihat, ya laboratorium. Aku merasakan hawanya berbeda disitu. Kali aja ada misteri yang belum terungkap, dibalik peristiwa kebakaran itu." "Meti benar, aku ikut sama Meti." Aku angkat tanganku. Akan semakin seru kalau ada teman kan? Aku sama Meti bisa saling melengkapi. "Kalian, bagaimana?" tanya Meti pada Rindi, Cuma, Andri dan Ray. Mereka tidak langsung menjawab, cukup lama aku dan Meti memandangi mereka."Ya sudah, kalau kalian tidak ikut. Kita batal jadi geng," sungut Meti. Dia kelihatan semangat sekali untuk menyelidiki peristiwa tujuh tahun silam."Emangnya kita udah bentuk geng gitu?" celetuk Ray, membuat kami semua tertawa. "Ya udah, kalau nggak mau. Kita berdua aja Ca, mereka semua penakut." Meti kembali ke mejanya, yang berjajar dengan mejaku dan Cila. "Panggil Haya aja, jangan Ca. Lebih enak dipanggil Haya," kataku.
"Nggak papa kok, cuma kayak keseleo nih leher aku," kataku sambil menggoyang-goyangkan kepalaku. Belum saatnya kalian tau yang sebenarnya.Aku melihat sosok yang sangat menyeramkan sedang mengintip dari pintu lab. Tubuhnya penuh luka bakar, sangat mengerikan. Apa itu petugas kebersihan yang meninggal saat peristiwa kebakaran dulu?Bulu halus di sekujur tubuhku seketika bangkit semua. Belum pernah aku 'melihat' yang seperti itu wujudnya. Pantas saja, banyak orang takut melihat hantu. Kalau wujudnya seperti itu sih, Pak Ustad juga bakalan kabur."Haya, kamu bisa merasakan ya?" bisik Meti, sambil menoel tanganku, dia sudah berada di sebelah kiriku."Maksudnya?" Aku pura-pura tidak tau maksud Meti. Kami terus mengayunkan langkah kaki kami menuju ke kantin sekolah. "Pasti tadi kamu merasakannya kan? Makanya kamu kayak kaget gitu." "Ah, enggak kok. Amit-amit kalau aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hiii." Aku pura-pura merinding, supaya Meti tidak curiga. Meti tetap saja memandang
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
Bu Marta semakin erat memeluk tubuh Meti, seakan tak mau dilepas lagi. Tapi pelukannya tampak berbeda dari saat memelukku tadi. Pelukannya kali ini, tampak tulus dan penuh rasa sayang. "Mama kangen sekali sama kamu Nak," katanya sambil mengisak. Sedih sekali melihatnya. Apa kabar denganku, yang tak pernah dipeluk sebegitu erat sama Bunda? Ah, bikin baper aja."Jangan pergi lagi ya," pinta Bu Marta."Ma, tempat Dara bukan di sini lagi. Mama masih ada Papa. Pliss, ikhlasin Dara, kalau Mama sayang sama Dara," kata Meti, eh Dara. "Huhuhuhu," tangis Bu Marta semakin kencang. "Sus, apa Bu Marta selalu begitu?" tanyaku berbisik pada suster."Tidak, baru kali ini. Biasanya dia hanya menangis histeris kayak tadi, kalau teringat anaknya. Tapi sekarang, dia tampak tenang," jawab suster.Sesaat mereka hanya saling menangis dan memeluk erat. Kami juga hanya memperhatikan saja. "Mama ikhlas Nak. Kamu yang tenang ya," kata Bu Marta, seraya melepaskan pelukannya, sambil menatap wajah Meti dengan
"Terus, gimana nih. Apa alasan kita menjenguk Ibu Dara?" tanya Cilla.Saat ini, mobil Andri sudah sampai di depan pintu gerbang rumah sakit jiwa tempat Bu Marta, ibu Dara dirawat."Bilang aja, kita teman dekat Dara dulu," kata Andri."Yakin, bisa diizinin masuk?" tanya Rindi."Dicoba dulu. Saat ini, cuma itu alasan yang tepat. Bilang aja, kita mau kasih support buat ibunya si Dara, karena dulu kita sering main ke rumahnya," jabar Andri."Bener juga sih. Cukup masuk akal. Nggak ada cara lain kan? Nggak mungkin juga kita masuk diam-diam. Pintu gerbangnya dijaga satpam gitu," kata Raya sambil melihat ke arah pos satpam yang ada di dekat gerbang yang masih ditutup. "Ya udah, kita coba. Mudah-mudahan kita diizinin masuk," kataku.Kami berenam keluar dari dalam mobil Andri. Hanya aku yang pakai baju bebas, sementar teman-teman aku, masih pakai seragam sekolah. "Ada apa Dek?" tanya satpam dari balik jeruji pintu gerbang."Kami mau menjenguk Bu Marta, Pak," jawabku."Adek ini siapanya?" sel
Raya melirik ke arah dapur, mungkin ingin memastikan kalau nenek-nenekku tak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami. "Sini," kata Raya berbisik, agar kami berkumpul mendekat dengan dia."Di dalam flashdisk itu, hanya berisi rekaman suara anak Pak Rudi. Sepertinya dia diperkosa." Kami semua terkejut mendengar cerita Raya."Serius Lu?" tanya Andri. "Serius. Aku dengar, anak Pak Rudi memohon-mohon ampun terus ada suara laki-laki juga. Sepertinya, anak Pak Rudi tadinya ingin merekam gambar, tapi nggak jadi, karena takut. Justru jadi merekam suara," jelas Raya. "Jadi, kenapa kok di penglihatanku, anak Pak Rudi jadi korban tabrak lari?" tanyaku. Apa penglihatanku kali ini salah?"Hmm, kasus pertama kita cukup rumit guys," kata Raya. "Terus, sekarang apa yang kita lakukan? Apa kita ceritakan sama Bu Ayu aja?" tanya Cila. "Jangan dulu. Bukti tak cukup kuat, karena cuma suara aja. Lagipula, takutnya kita semua terancam di DO dari sekolah. Bisa aja kan, kita dibilang sudah melakukan penc