POV Cahaya
"Bocah ini, bikin kaget aja!" sungut Nek Wiyah yang ternyata memegang pundakku.
"Nenek tuh yang buat kaget."
"Iya, maaf. Tadi nenek mau manggil Haya. Takut Haya kaget makanya megang pundaknya dulu, eh malah tambah kaget hehe."
"Nek, kamar ini kok dikunci sih? Haya mau lihat, kali aja dalamnya lebih bagus."
"Nenek juga nggak tau. Coba minta sama Ayahmu kuncinya."
"Males ah, turun ke bawah lagi."
"Ya sudah kalau males. Tuh, susun baju Haya sendiri." Nek Wiyah malah melenggang pergi meninggalkan aku dengan sebuah koper besar yang berisi semua bajuku.
"Nek, bantuin."
"Males." Aku kalah telak. Nek Wiyah membalikkan kata-kataku.
Yaaa, mau gimana lagi. Penasaran, tapi lebih gedean malesnya. Nanti saja nunggu Ayah naik, baru minta kunci kamar ini. Aku mau beresin bajuku dulu. Susah payah kuseret koper itu masuk ke dalam kamarku.
Kususun dulu semua bajuku di atas tempat tidur. Kupisah antara baju rumah, baju sekolah, baju main juga baju buat pergi ke acara resmi. Sudah beres, nggak banyak juga. Tinggal masukin ke dalam lemari.
"Heeiii!" Terkejut sekali aku, saat membuka pintu lemari pakaianku, melihat ada seorang anak perempuan sedang sembunyi di dalam lemari.
"Kamu siapa?"
"Sssttt, aku sedang sembunyi." Dia berbisik.
"Sembunyi? Dari siapa?" Aku celingukan melihat kesana kemari.
"Sudah, kamu diam aja. Jangan berisik." Dia meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya. Dingin, seketika langsung menjalari tubuhku.
"Ketemu! Ternyata kamu sembunyi di situ." Aku menoleh mendengar suara itu.
Belum lagi hilang rasa terkejut melihat ada anak perempuan di dalam lemariku. Kini muncul lagi seorang anak laki-laki dari dalam kamar mandi.
"Yaaa, kamu sih berisik. Jadi ketauan kan!" Anak perempuan itu keluar dari dalam lemari, dengan muka cemberut dia duduk di pinggir tempat tidurku.
Tanpa mereka bilang, aku tau kalau mereka itu bukan manusia, alias hantu. Bagaimana aku bisa tau. Ya lihat dari wajah mereka yang pucat, kayak nggak punya darah.
"Kamu yang nggak bilang-bilang kalau lagi maen petak umpet. Mana di lemari aku lagi." Aku juga nggak mau kalah, enak aja main salah-salahin orang sembarangan.
"Eh, kamu kok bisa lihat kita? Kamu nggak takut?" tanya anak laki-laki yang dari kamar mandi tadi, dia berjalan ke arah anak perempuan itu dan duduk di sebelahnya.
"Aku indigo," jawabku. Kubiarkan saja mereka, aku mulai memasukkan baju-baju yang sudah disusun ke dalam lemari.
"Indigo?" tanya mereka serentak.
"Pantas kamu nggak takut lihat kami. Berarti kamu udah sering lihat hantu dong?" tanya anak perempuan itu.
"Nggak juga. Nggak semua hantu bisa menampakkan wujudnya di hadapan manusia." Kututup kembali pintu lemariku setelah usai memasukkan semua bajuku ke dalam.
"Pinggir pinggir! Kalian duduk di sofa sana. Aku mau rebahan, capek tau dari perjalanan jauh."
"Kelihatan, anak manja." Si anak laki-laki itu malah mengejekku dengan bibirnya yang mencebik. Aku cuek aja.
Meski dengan wajah ditekuk, mereka bergeser juga. Pindah tempat duduk jadi di sofa.
"Namaku Cahaya. Kalian siapa." Aku memperkenalkan diri, setelah duduk di atas ranjangku dengan memeluk boneka hello kitty.
"Aku Dara." Si anak perempuan itu menjawab tapi anak laki-laki itu masih jutek aja mukanya.
"Kamu?"
"Dia Riko." Dara yang menjawab pertanyaanku untuk anak laki-laki itu.
"Kalian kok bisa ada di sini?"
"Dulu, ini rumah kami."
"Jadi kalian saudara?"
"Nggak sih. Orang tua Riko adalah pemilik pertama rumah ini. Lalu rumah ini dibeli sama Papaku."
"Oh, gitu. Jadi kenapa kalian bisa bareng ada di rumah ini? Usia kamu berapa saat meninggal? Dimana orang tua kalian sekarang?"
"Banyak tanya?" sinis Riko. Dia kelihatan kesal saja sama aku, mungkin karena aku tadi menyuruhnya bergeser. Ah peduli amat. Ini kamar aku, aku yang berkuasa.
"Aku meninggal di usia lima belas tahun. Riko usia tiga belas tahun." Dara langsung menjelaskan tentang Riko tanpa kutanya.
"Kita sebaya ternyata."
"Kalau aku masih hidup, aku sudah berusia delapan belas loh. Kalau Riko masih hidup, usianya sekitar dua puluh tahun."
"Pantes songong, udah tua rupanya."
"Apa!" Riko melotot mendengar kata-kataku. Ku cuekin, kayak bebek wek wek.
"Terus, kenapa kalian jadi arwah penasaran?" tanyaku. Penasaran juga, tapi aku bukan arwah kayak Dara dan Riko loh.
Dara berjalan mendekatiku, telapak tangannya mengarah padaku.
"Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" Aku mundur, agak kutarik tubuhku ke belakang.
Agak ngeri juga. Selama ini aku memang sering lihat mereka, tapi tidak pernah berinteraksi secara langsung selain sama Bunda. Kata Bunda, kalau lihat mereka, harus pura-pura nggak lihat. Biar mereka tidak selalu muncul di hadapanku.
Tapi melihat Dara pertama kali tadi, kupikir nggak ada salahnya berinteraksi sama dia. Tampangnya juga nggak menyeramkan. Termasuk manis.
"Tapi kamu pengen tau. Udah diem aja. Nggak usah takut, aku nggak ngapa-ngapain kamu."
"Huuu, penakut ternyata," ejek Riko.
"Heh! Aku tuh bukan penakut, nggak terbiasa aja kalau bersentuhan dengan hantu seperti kalian," sengitku. Sebel lama-lama lihat si Riko ini.
"Hei, kami bukan hantu!" Riko tak terima.
"Lalu apa? Setan?"
"Sudah-sudah, kok kalian malah berantem sih?! Riko, mungkin Cahaya bisa bantu kita. Jadi kamu jangan nyolot terus dong!" Dara melerai kami.
"Hah, bener itu." Aku merasa di atas angin karena Dara membelaku.
"Kamu lagi, bisa agak kalem nggak sih jadi cewek." Lah, aku juga kena semprot. Apes benar aku, dimarahin sama hantu.
"Sekarang aku tanya. Kamu mau tau nggak, gimana kami mati? Karena kami sangat butuh bantuan kamu."
Kulihat mimik wajah Dara benar-benar serius. Dia duduk di sebelahku dengan raut muka sedih.
"Kupikir-pikir dulu deh."
"Pliss, Ca. Bantu kami." Tatapannya sangat mengiba, aku jadi reflek menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Aku takut, ketahuan Ayah. Akhirnya Ayah akan menutup mata batinku lagi. Aku cukup nyaman dengan kelebihanku ini, meski Ayah tidak suka. Selama ini, kalau lihat tampang yang menyeramkan, aku pura-pura nggak lihat aja. Biar dia nggak mengikuti aku. Jarang juga sih, katanya tergantung energi juga. Kalau energi mereka bertentangan dengan kita, mereka nggak akan bisa berinteraksi dengan kita. Artinya, kalau kita berani, mereka yang takut. Begitu juga sebaliknya.
"Ca!" Dara menggoyang tanganku, dengan tangannya yang dingin.
"Memangnya apa yang bisa kubantu?"
"Asik, beneran kamu mau bantu kita?"
Aku hanya mengedikkan bahu. Masih bingung dengan keputusanku.
"Aku akan kasih lihat kamu, kejadian yang membuat aku sampai meninggal."
"Bagaimana caranya?"
"Kamu hanya perlu diam aja, santai, jangan tegang. Kamu pejamkan matamu perlahan."
Aku mengikuti arahan Dara. Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku sempat melihat Dara mengarahkan telapak tangannya ke wajahku. Kurasakan telapak tangan Dara yang dingin mulai menyentuh dahiku.
"Disini kamu rupanya." Sontak kubuka mataku.
★★★KARTIKA DEKA★★★
POV Cahaya"Ayah cariin kemana-mana," kata Ayah. Kepala Ayah menoleh kesana kemari seperti mencari sesuatu."Haya, dari tadi di sini aja kok Yah." Agak gugup juga aku. Sepertinya Ayah curiga. "Tadi Ayah dengar, Haya seperti sedang ngobrol. Sama siapa?" "Em, Ayah salah dengar kali. Dari tadi Haya cuma telfonan sama teman Haya di sekolah.""Yang bener ?" tanya Ayah menyelidik."Iya, suer." Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku."Ya sudah, cepat ke bawah. Kita makan siang dulu. Ayah sudah pesan kentang goreng kesukaan Haya.""Iya, nanti Haya nyusul.""Jangan lama-lama. Haya tau kan, Ayah gak bisa makan, kalau Haya belom makan." Aku menganggukkan kepalaku.Ayah melangkah keluar lagi, membuka pintu kamarku, sebelum keluar, Ayah berbalik melihatku. Aduh, sepertinya Ayah nggak percaya, matanya masih saja melihat kesana kemari."Ya udah deh, Haya ikut Ayah aja." Aku segera menyusul Ayah."Tunggu ya," bisikku hampir tak bersuara pada Dara yang menatapku dengan dingin dan kaku. Na
POV CahayaKulihat seorang wanita dewasa sedang menarik tangan seorang pria. Apa itu orang tua Dara? Mereka juga sepertinya tidak melihatku."Mas … kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon," rengek wanita itu."Aku capek. Aku lelah sama kamu. Semua kerjaku sia-sia gara-gara ulah kamu. Berapa kali kamu minta maaf, selalu kamu ulangi," kata laki-laki itu dengan bersimbah air mata. "Dara. Ikut Papa," kata laki-laki itu pada Dara. Ternyata dia Papa Dara. Berarti wanita itu, Mama Dara.Dara menggeleng, dia masih meringkuk di lantai. Dia seperti sangat terpukul melihat pertengkaran orang tuanya.Papa Dara tidak berniat membujuk Dara lagi. Papa Dara pergi begitu saja membawa sebuah tas yang cukup besar, meninggalkan Mama Dara yang hampir saja tersungkur dari tangga. Tanganku reflek ingin menolongnya, tapi kenapa aku tidak bisa menyentuh tubuh wanita itu?"Huhuhu, Mas!" Mama Dara sangat histeris, dia bangkit dan berlari mengejar laki-laki itu yang sudah membuka pintu utama rumah ini. Ruma
POV CahayaDara terus memegangi lehernya, sepertinya dia sangat kesakitan. Mama Dara hanya melihatnya, tanpa berniat memberikan pertolongan."Dara! Kamu kenapa?" Aku panik, tapi juga bingung mau bagaimana. Kulihat Dara kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Kenapa Dara? Tiba-tiba tubuh Dara jatuh, untuk sesaat dia terus kejang."DARAAAA!" Mama Dara histeris.Dia langsung meraih tubuh Dara ke dalam pelukannya. Dia menangis sejadinya sambil memeluk Dara. "Maafin Mama, Sayang." Dara kejang-kejang di pelukan ibunya, lalu diam, tak lagi bergerak. Aku membekap mulutku sendiri, kenapa Dara? Aku jadi ikut menangis. Apakah seperti itu Dara meninggal, tragis sekali.Mama Dara terus menangis sambil memeluk tubuh Dara, erat sekali. Diciuminya seluruh wajah Dara. Menyesalpun sudah terlambat, Dara sudah meninggal. Mama Dara mengelap busa di mulut Dara dengan tangannya. Lalu bangkit dari atas tempat tidur, susah payah digendongnya tubuh Dara. Aku terus mengikutinya. Mau dia bawa kemana tubuh
"Oke, tapi nggak sekarang. Nunggu aku masuk sekolah dulu ya." "Janji." Mata Dara langsung berbinar karena aku mengabulkan permohonannya. Mau bagaimana lagi? Kalau nggak dituruti, dia bisa sangat mengganggu kehidupanku. Lagipula, nggak ada salahnya kan, menolong orang. Eh, orang … hantu kali. "Lalu kamu, Dik?" Aku mengarahkan daguku pada Riko, berlagak sombong pada hantu jutek itu. "Adik! Aku lebih tua dari kamu tau!" Dia nggak senang saudara, dipanggil Adik."Itukan kalau kamu hidup. Kamu aja meninggal masih lebih kecil dari aku," sahutku asal aja. Lalu rebahan lagi di atas ranjangku. Dia diam melototkan matanya padaku, aku melengos, dia kira aku takut. "Kalau nggak ada perlu lagi, aku mau tidur nih. Capek tau, dari perjalanan jauh. Sampai di sini di recokin sama kalian!" ketusku.Tiba-tiba si Riko menghilang. Tersinggung mungkin, biarin aja lah. Siapa suruh jadi hantu kok jutek amat. Kalau dia hidup, mungkin nggak punya teman kali. "Hmm Ca … Ca." Dara menggeleng kepala melihatk
Suara itu meminta siapa yang maju? Apa aku? Aku kan paling belakang. Tapi, bukan hanya aku kok. Di sini kan, ada beberapa barisan. Di setiap barisan ada yang berada di posisi paling belakang. "Kamu, yang baru datang, yang paling terlambat, maju." "Kayaknya kamu deh yang dipanggil," kata Cila. Tuh kan, bener. Bakalan dihukum aku nampaknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki maju ke depan. "Cepat sedikit!" hardik suara itu. Ngapain bentak-bentak sih! Dia kan pakai toa, aku juga dengar kali. Terpaksa kupercepat langkahku, mana semua mata melihat semua. Malu banget rasanya. Sampai di depan, OMG, ada makhluk Tuhan paling cakep, aku sampai terpelongo melihatnya. Widih, he's perfect, no minus. Mirip sama Al Ghazali anak penyanyi itu loh. Mimpi apa sih aku tadi malam, ketemu cowok handsome begini. Kulihat name tag di dadanya, namanya Ikhsan. "Yang lain, boleh masuk kelas masing-masing. Kamu, tetap di tempat!" Aku justru senang dia melarang aku masuk. Jadi bisa lama-lama memandang wajahny
"Kamu sudah baikan?" tanya Siska. Bisa manis juga dia, tadi juteknya minta ampun. Aku hanya mengangguk, pura-pura lemah tentunya."Sukur lah. Maaf ya, kalau kami berlebihan, kenalin aku Siska kelas dua belas. Kamu bisa panggil aku Kakak." Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.Gak nyangka, sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia minta aku panggil dia Kakak. So sweet banget. Kok aku jadi terharu ya?"Aku Cahaya, Kak." Kusambut uluran tangannya. Tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini. Nggak tau juga, kemana teman-temannya tadi. Serrr, aku merasa ada hembusan angin lewat. Kok aku tiba-tiba merinding ya. Apa ada arwah di sini? Kepalaku reflek mengarah ke arah arah jendela UKS yang lebar dan terbuat dari kaca keseluruhan. Jadi bisa tampak keluar. Seperti ada yang lewat. Apa itu …."Kamu kenapa?" "Um, gapapa Kak. Kak, aku udah mendingan, mau ke kelasku." "Gapapa nggak masuk dulu, hari ini cuma acara perkenalan aja kok. Kamu masih kelas sepuluh kan?" "Iy
"Kelas kamu disana. Kok malah kesini?" Kak Ikhsan menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Iya Kak, aku tau. Sesak tadi, kirain di sini toilet." Bohong lagi deh. Sorry cogan. "Kalau toilet, di sana tuh, jalan lurus paling ujung. Justru ngelewatin kelas kamu." "Oke, Kak. Makasih ya."Cepat-cepat aku pergi dari hadapan Kak Ikhsan. Kayaknya bakal ada pengalaman setu di sekolah ini. Masih penasaran aku, dengan 'dia'."Cahaya!" panggil Cilla yang lagi keluar kelas. Kenapa tuh bocah keluar?Semakin kupercepat langkahku, menyongsong Cilla. "Kamu kok keluar?" tanyaku saat sudah mulai dekat dengannya. "Gak ada, emang pengen lihat kamu aja. Kok kamu lama banget?" "Biasalah." Aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Ternyata nggak ada guru, pantes Cila keluar."Sini, kita duduk satu bangku." Cilla menarik tanganku, untuk duduk di urutan bangku paling depan. "Hai, kenalin aku Andri." Tau-tau udah ada temen cowok yang ngajak kenalan, kusambut uluran tangannya. "Cahaya." Aku sebutkan namaku."Mulai
"Buat apa coba? Nggak usah deh berurusan sama yang begituan," tanya Cila yang kayaknya takut. "Jujur ya, saat masuk sekolah ini. Ruangan yang duluan aku lihat, ya laboratorium. Aku merasakan hawanya berbeda disitu. Kali aja ada misteri yang belum terungkap, dibalik peristiwa kebakaran itu." "Meti benar, aku ikut sama Meti." Aku angkat tanganku. Akan semakin seru kalau ada teman kan? Aku sama Meti bisa saling melengkapi. "Kalian, bagaimana?" tanya Meti pada Rindi, Cuma, Andri dan Ray. Mereka tidak langsung menjawab, cukup lama aku dan Meti memandangi mereka."Ya sudah, kalau kalian tidak ikut. Kita batal jadi geng," sungut Meti. Dia kelihatan semangat sekali untuk menyelidiki peristiwa tujuh tahun silam."Emangnya kita udah bentuk geng gitu?" celetuk Ray, membuat kami semua tertawa. "Ya udah, kalau nggak mau. Kita berdua aja Ca, mereka semua penakut." Meti kembali ke mejanya, yang berjajar dengan mejaku dan Cila. "Panggil Haya aja, jangan Ca. Lebih enak dipanggil Haya," kataku.
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
Bu Marta semakin erat memeluk tubuh Meti, seakan tak mau dilepas lagi. Tapi pelukannya tampak berbeda dari saat memelukku tadi. Pelukannya kali ini, tampak tulus dan penuh rasa sayang. "Mama kangen sekali sama kamu Nak," katanya sambil mengisak. Sedih sekali melihatnya. Apa kabar denganku, yang tak pernah dipeluk sebegitu erat sama Bunda? Ah, bikin baper aja."Jangan pergi lagi ya," pinta Bu Marta."Ma, tempat Dara bukan di sini lagi. Mama masih ada Papa. Pliss, ikhlasin Dara, kalau Mama sayang sama Dara," kata Meti, eh Dara. "Huhuhuhu," tangis Bu Marta semakin kencang. "Sus, apa Bu Marta selalu begitu?" tanyaku berbisik pada suster."Tidak, baru kali ini. Biasanya dia hanya menangis histeris kayak tadi, kalau teringat anaknya. Tapi sekarang, dia tampak tenang," jawab suster.Sesaat mereka hanya saling menangis dan memeluk erat. Kami juga hanya memperhatikan saja. "Mama ikhlas Nak. Kamu yang tenang ya," kata Bu Marta, seraya melepaskan pelukannya, sambil menatap wajah Meti dengan
"Terus, gimana nih. Apa alasan kita menjenguk Ibu Dara?" tanya Cilla.Saat ini, mobil Andri sudah sampai di depan pintu gerbang rumah sakit jiwa tempat Bu Marta, ibu Dara dirawat."Bilang aja, kita teman dekat Dara dulu," kata Andri."Yakin, bisa diizinin masuk?" tanya Rindi."Dicoba dulu. Saat ini, cuma itu alasan yang tepat. Bilang aja, kita mau kasih support buat ibunya si Dara, karena dulu kita sering main ke rumahnya," jabar Andri."Bener juga sih. Cukup masuk akal. Nggak ada cara lain kan? Nggak mungkin juga kita masuk diam-diam. Pintu gerbangnya dijaga satpam gitu," kata Raya sambil melihat ke arah pos satpam yang ada di dekat gerbang yang masih ditutup. "Ya udah, kita coba. Mudah-mudahan kita diizinin masuk," kataku.Kami berenam keluar dari dalam mobil Andri. Hanya aku yang pakai baju bebas, sementar teman-teman aku, masih pakai seragam sekolah. "Ada apa Dek?" tanya satpam dari balik jeruji pintu gerbang."Kami mau menjenguk Bu Marta, Pak," jawabku."Adek ini siapanya?" sel
Raya melirik ke arah dapur, mungkin ingin memastikan kalau nenek-nenekku tak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami. "Sini," kata Raya berbisik, agar kami berkumpul mendekat dengan dia."Di dalam flashdisk itu, hanya berisi rekaman suara anak Pak Rudi. Sepertinya dia diperkosa." Kami semua terkejut mendengar cerita Raya."Serius Lu?" tanya Andri. "Serius. Aku dengar, anak Pak Rudi memohon-mohon ampun terus ada suara laki-laki juga. Sepertinya, anak Pak Rudi tadinya ingin merekam gambar, tapi nggak jadi, karena takut. Justru jadi merekam suara," jelas Raya. "Jadi, kenapa kok di penglihatanku, anak Pak Rudi jadi korban tabrak lari?" tanyaku. Apa penglihatanku kali ini salah?"Hmm, kasus pertama kita cukup rumit guys," kata Raya. "Terus, sekarang apa yang kita lakukan? Apa kita ceritakan sama Bu Ayu aja?" tanya Cila. "Jangan dulu. Bukti tak cukup kuat, karena cuma suara aja. Lagipula, takutnya kita semua terancam di DO dari sekolah. Bisa aja kan, kita dibilang sudah melakukan penc