POV Cahaya
Dara terus memegangi lehernya, sepertinya dia sangat kesakitan. Mama Dara hanya melihatnya, tanpa berniat memberikan pertolongan.
"Dara! Kamu kenapa?" Aku panik, tapi juga bingung mau bagaimana.
Kulihat Dara kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Kenapa Dara? Tiba-tiba tubuh Dara jatuh, untuk sesaat dia terus kejang.
"DARAAAA!" Mama Dara histeris.
Dia langsung meraih tubuh Dara ke dalam pelukannya. Dia menangis sejadinya sambil memeluk Dara.
"Maafin Mama, Sayang."
Dara kejang-kejang di pelukan ibunya, lalu diam, tak lagi bergerak. Aku membekap mulutku sendiri, kenapa Dara? Aku jadi ikut menangis. Apakah seperti itu Dara meninggal, tragis sekali.
Mama Dara terus menangis sambil memeluk tubuh Dara, erat sekali. Diciuminya seluruh wajah Dara. Menyesalpun sudah terlambat, Dara sudah meninggal.
Mama Dara mengelap busa di mulut Dara dengan tangannya. Lalu bangkit dari atas tempat tidur, susah payah digendongnya tubuh Dara. Aku terus mengikutinya. Mau dia bawa kemana tubuh Dara.
Dia membawa Dara ke kamarnya, lalu menggeletakkan tubuh Dara, seakan dia sedang tidur saja. Mama Dara keluar dari kamarnya dan kembali masuk ke kamar Dara.
Dia mengambil mangkuk berisi mi itu. Mi beracun, ya aku yakin, serbuk tadi pasti serbuk racun. Apa yang ada dipikiran Mama Dara, hingga tega meracuni anaknya sendiri.
"Dara, kamu harus terus sama-sama dengan Mama, Nak," lirihnya.
Dia mulai memakan mi itu. Gila! Mama Dara mau bunuh diri. Bagaimana ini? Aku nggak bisa mencegahnya. Aku terus memperhatikan Mama Dara. Dia memakan mi itu dengan berurai air mata.
Dia mulai tersedak, sama seperti Dara tadi. Mama Dara mencoba menahan rasa sakitnya, hingga mangkuk mi itu terjatuh telungkup di atas tempat tidur Dara. Dia bangkit, lalu mencoba berjalan keluar dari kamar Dara. Mukanya hingga memerah, mungkin menahan sakit akibat efek racun yang mulai bekerja.
Dia berjalan dengan memegangi dinding kamar, terus berjalan hingga menuju ke kamarnya.
TOK TOK TOK
"Dara!" Aku mendengar suara seorang laki-laki memanggil nama Dara.
Siapa itu? Cepatlah masuk, siapa tau Mama Dara sempat tertolong.
Kulihat Mama Dara sempat menoleh, lalu meneruskan lagi perjalanannya menuju ke kamarnya.
CEKLEK
Aku mendengar suara pintu dibuka. Aku melongok ke bawah. Kulihat Papa Dara sudah masuk ke dalam rumah, di tangannya memegang sebuah gantungan kunci. Berarti dia memiliki kunci cadangan. Dia terlihat ke dapur, mungkin mencari keberadaan Dara.
Mama Dara sudah masuk ke kamar, dia terus memegangi leher dan dadanya. Pasti sakit sekali yang dia rasa saat ini. Aku terus mengikuti Mama Dara, dia menggeletakkan tubuhnya di sebelah Dara. Mengangkat kepala Dara agar berada di dadanya. Ya Tuhan, apa Mama Dara juga meninggal?
Kudengar suara sepatu yang menaiki anak tangga. Aku melihat keluar kamar, Papa Dara mulai naik ke atas. Aku berjalan ke arahnya.
"Om, cepat Om. Cepat tolong Mama Dara," kataku padanya. Tapi dia tidak mendengarku.
Papa Dara langsung menuju ke kamar Dara yang terbuka, dia merasa aneh melihat ada mangkuk mi yang tertelungkup di atas tempat tidur.
"Dara! Marta!" Dia mulai panik dan langsung menuju ke kamar Mama Dara.
"Dara, Marta." Papa Dara mendekati Dara dan Mamanya.
"Marta." Diguncangnya tubuh Mama Marta.
"Astagfirullah hal adzim." Alangkah terkejutnya dia saat tubuh Mama Dara ditariknya, banyak busa di mulutnya.
"Marta! Marta! Bangun!" Dia mengguncang tubuh Mama Dara. Tak ada reaksi.
Papa Dara langsung naik ke atas tempat tidur mendekati tubuh Dara.
"Dara! Dara!" Dia mengangkat tubuh Dar ke dalam pelukannya.
"Ya Allah, Dara. Anak Papa, bangun Nak." Dia histeris, dipeluknya erat tubuh Dara.
Dia coba menenangkan dirinya sendiri. Masih dengan linangan air mata, dia mencoba memeriksa lebih teliti kondisi Dara dan Ibunya. Diletakkan jari telunjuknya di hidung Dara dan Mamanya. Juga memeriksa denyut nadi di tangan mereka. Dia semakin histeris.
"DARAAAA!" Dia menjerit sejadinya.
Tiba-tiba bayangan menyilaukan itu datang lagi. Aku reflek memejamkan mataku kuat sekali. Lalu kubuka perlahan mataku, wajah Dara yang pertama kali tampak, aku sudah kembali ada di kamarku.
"Sekarang, kamu sudah taukan, bagaimana aku meninggal?" tanya Dara, aku menjawab dengan anggukan.
"Memang kenapa sih, Mama kamu sampai seperti itu?" tanyaku. Seketika kulihat wajah Dara berubah menjadi sedih.
"Maaf ya." Aku jadi merasa nggak enak, sudah buat dia jadi sedih.
"Gak papa." Dia tersenyum.
"Mama aku itu, punya sifat buruk yang tidak disukai Papaku."
"Maksudnya?"
"Mamaku sangat suka shopping, kumpul-kumpul dengan temannya yang gayanya sosialita. Sampai ikut arisan dengan jumlah yang sangat besar."
Dara bangkit, berpindah duduk jadi di sofa, dekat si jutek Riko.
"Papaku sangat marah, waktu Mama ketahuan memakai uang perusahaan buat foya-foya. Sampai akhirnya Papaku bangkrut. Mama minta maaf, janji nggak akan mengulangi. Papa juga memaafkan Mama. Tapi Mama nggak kapok ternyata."
Aku dan Riko hanya diam mendengarkan cerita Dara.
"Mama diam-diam masih ikut arisan berlian. Mama juga selalu meminjam uang ke teman-temannya yang sosialita itu. Makanya Papa sangat marah. Karena Papa udah nggak punya perusahaan lagi. Masih untung Papa aku masih diterima kerja di perusahaan temannya. Sekarang Papa aku, hanya karyawan biasa. Papa bingung, bagaimana cara bayar hutang Mama?"
Aku mengerti sekarang, kenapa Papa Dara sangat marah dan meninggalkan Mama Dara. Mungkin saat itu dia sudah tidak bisa lagi menahan marah.
"Terus, Mama kamu meninggal juga?"
"Nggak."
"Loh, tapi …."
"Mama aku sekarang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Bina Insan. Itu sebabnya aku butuh pertolongan dari kamu." Dahiku mengernyit. Baru kali ini ada hantu minta tolong sama aku.
"Pertolongan? Aku nggak ngerti maksudnya ini."
"Mama aku depresi berat, selain karena memikirkan hutang, juga rasa bersalahnya pada Papa juga aku. Kalau soal hutang, sudah dilunasi sama Papa. Uang dari hasil penjualan rumah ini. Papa juga sudah maafin Mama. Mama masih butuh maaf dari aku. Aku minta tolong sama kamu, sampaikan sama Mama, kalau aku sudah memaafkannya."
"Umm, bagaimana caranya? Ayah aku pasti nggak ngizinin aku pergi sendiri. Sementara kalau aku cerita, Ayah aku pasti maksa aku menutup mata batinku."
"Pliss Haya, bantu aku. Kasihan Mamaku. Dia nggak jahat. Dia pikir, dia bisa sama-sama aku kalau dia meracuniku dan bunuh diri. Tapi takdir berkata lain. Mungkin Tuhan ingin Mamaku bisa memperbaiki semua kesalahannya sama Papa, makanya Mamaku masih selamat. Tolong Haya, kasihan juga Papaku, sekarang Papaku selalu murung, kayak nggak semangat hidup. Papaku sangat mencintai Mamaku. Aku yakin, mereka bisa bahagia, kalau Mama sudah bisa menerima kenyataan dan maaf dariku."
Dara benar-benar sangat memohon padaku. Aku harus bagaimana sekarang?
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Oke, tapi nggak sekarang. Nunggu aku masuk sekolah dulu ya." "Janji." Mata Dara langsung berbinar karena aku mengabulkan permohonannya. Mau bagaimana lagi? Kalau nggak dituruti, dia bisa sangat mengganggu kehidupanku. Lagipula, nggak ada salahnya kan, menolong orang. Eh, orang … hantu kali. "Lalu kamu, Dik?" Aku mengarahkan daguku pada Riko, berlagak sombong pada hantu jutek itu. "Adik! Aku lebih tua dari kamu tau!" Dia nggak senang saudara, dipanggil Adik."Itukan kalau kamu hidup. Kamu aja meninggal masih lebih kecil dari aku," sahutku asal aja. Lalu rebahan lagi di atas ranjangku. Dia diam melototkan matanya padaku, aku melengos, dia kira aku takut. "Kalau nggak ada perlu lagi, aku mau tidur nih. Capek tau, dari perjalanan jauh. Sampai di sini di recokin sama kalian!" ketusku.Tiba-tiba si Riko menghilang. Tersinggung mungkin, biarin aja lah. Siapa suruh jadi hantu kok jutek amat. Kalau dia hidup, mungkin nggak punya teman kali. "Hmm Ca … Ca." Dara menggeleng kepala melihatk
Suara itu meminta siapa yang maju? Apa aku? Aku kan paling belakang. Tapi, bukan hanya aku kok. Di sini kan, ada beberapa barisan. Di setiap barisan ada yang berada di posisi paling belakang. "Kamu, yang baru datang, yang paling terlambat, maju." "Kayaknya kamu deh yang dipanggil," kata Cila. Tuh kan, bener. Bakalan dihukum aku nampaknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki maju ke depan. "Cepat sedikit!" hardik suara itu. Ngapain bentak-bentak sih! Dia kan pakai toa, aku juga dengar kali. Terpaksa kupercepat langkahku, mana semua mata melihat semua. Malu banget rasanya. Sampai di depan, OMG, ada makhluk Tuhan paling cakep, aku sampai terpelongo melihatnya. Widih, he's perfect, no minus. Mirip sama Al Ghazali anak penyanyi itu loh. Mimpi apa sih aku tadi malam, ketemu cowok handsome begini. Kulihat name tag di dadanya, namanya Ikhsan. "Yang lain, boleh masuk kelas masing-masing. Kamu, tetap di tempat!" Aku justru senang dia melarang aku masuk. Jadi bisa lama-lama memandang wajahny
"Kamu sudah baikan?" tanya Siska. Bisa manis juga dia, tadi juteknya minta ampun. Aku hanya mengangguk, pura-pura lemah tentunya."Sukur lah. Maaf ya, kalau kami berlebihan, kenalin aku Siska kelas dua belas. Kamu bisa panggil aku Kakak." Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.Gak nyangka, sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia minta aku panggil dia Kakak. So sweet banget. Kok aku jadi terharu ya?"Aku Cahaya, Kak." Kusambut uluran tangannya. Tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini. Nggak tau juga, kemana teman-temannya tadi. Serrr, aku merasa ada hembusan angin lewat. Kok aku tiba-tiba merinding ya. Apa ada arwah di sini? Kepalaku reflek mengarah ke arah arah jendela UKS yang lebar dan terbuat dari kaca keseluruhan. Jadi bisa tampak keluar. Seperti ada yang lewat. Apa itu …."Kamu kenapa?" "Um, gapapa Kak. Kak, aku udah mendingan, mau ke kelasku." "Gapapa nggak masuk dulu, hari ini cuma acara perkenalan aja kok. Kamu masih kelas sepuluh kan?" "Iy
"Kelas kamu disana. Kok malah kesini?" Kak Ikhsan menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Iya Kak, aku tau. Sesak tadi, kirain di sini toilet." Bohong lagi deh. Sorry cogan. "Kalau toilet, di sana tuh, jalan lurus paling ujung. Justru ngelewatin kelas kamu." "Oke, Kak. Makasih ya."Cepat-cepat aku pergi dari hadapan Kak Ikhsan. Kayaknya bakal ada pengalaman setu di sekolah ini. Masih penasaran aku, dengan 'dia'."Cahaya!" panggil Cilla yang lagi keluar kelas. Kenapa tuh bocah keluar?Semakin kupercepat langkahku, menyongsong Cilla. "Kamu kok keluar?" tanyaku saat sudah mulai dekat dengannya. "Gak ada, emang pengen lihat kamu aja. Kok kamu lama banget?" "Biasalah." Aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Ternyata nggak ada guru, pantes Cila keluar."Sini, kita duduk satu bangku." Cilla menarik tanganku, untuk duduk di urutan bangku paling depan. "Hai, kenalin aku Andri." Tau-tau udah ada temen cowok yang ngajak kenalan, kusambut uluran tangannya. "Cahaya." Aku sebutkan namaku."Mulai
"Buat apa coba? Nggak usah deh berurusan sama yang begituan," tanya Cila yang kayaknya takut. "Jujur ya, saat masuk sekolah ini. Ruangan yang duluan aku lihat, ya laboratorium. Aku merasakan hawanya berbeda disitu. Kali aja ada misteri yang belum terungkap, dibalik peristiwa kebakaran itu." "Meti benar, aku ikut sama Meti." Aku angkat tanganku. Akan semakin seru kalau ada teman kan? Aku sama Meti bisa saling melengkapi. "Kalian, bagaimana?" tanya Meti pada Rindi, Cuma, Andri dan Ray. Mereka tidak langsung menjawab, cukup lama aku dan Meti memandangi mereka."Ya sudah, kalau kalian tidak ikut. Kita batal jadi geng," sungut Meti. Dia kelihatan semangat sekali untuk menyelidiki peristiwa tujuh tahun silam."Emangnya kita udah bentuk geng gitu?" celetuk Ray, membuat kami semua tertawa. "Ya udah, kalau nggak mau. Kita berdua aja Ca, mereka semua penakut." Meti kembali ke mejanya, yang berjajar dengan mejaku dan Cila. "Panggil Haya aja, jangan Ca. Lebih enak dipanggil Haya," kataku.
"Nggak papa kok, cuma kayak keseleo nih leher aku," kataku sambil menggoyang-goyangkan kepalaku. Belum saatnya kalian tau yang sebenarnya.Aku melihat sosok yang sangat menyeramkan sedang mengintip dari pintu lab. Tubuhnya penuh luka bakar, sangat mengerikan. Apa itu petugas kebersihan yang meninggal saat peristiwa kebakaran dulu?Bulu halus di sekujur tubuhku seketika bangkit semua. Belum pernah aku 'melihat' yang seperti itu wujudnya. Pantas saja, banyak orang takut melihat hantu. Kalau wujudnya seperti itu sih, Pak Ustad juga bakalan kabur."Haya, kamu bisa merasakan ya?" bisik Meti, sambil menoel tanganku, dia sudah berada di sebelah kiriku."Maksudnya?" Aku pura-pura tidak tau maksud Meti. Kami terus mengayunkan langkah kaki kami menuju ke kantin sekolah. "Pasti tadi kamu merasakannya kan? Makanya kamu kayak kaget gitu." "Ah, enggak kok. Amit-amit kalau aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hiii." Aku pura-pura merinding, supaya Meti tidak curiga. Meti tetap saja memandang
Hei, kenapa ini? Kenapa langkah kami sangat berat? "Guys, kakiku nggak bisa gerak nih," kata Rindi."Sama, aku juga," sahut Ray.Reflek kami semua berusaha mengangkat kaki kami, tak ada yang bisa mengangkat kakinya. "Gimana ini?" tanya Cila mulai ketakutan. "Semua tenang. Tarik nafas dalam-dalam, jangan ada yang takut," kata Meti. Aku merasakan ada yang memegang bahuku, aku ingin menoleh tapi tak bisa. Rasanya tubuhku menjadi dingin sekali. Keringat sebesar-besar jagung keluar dari pori-poriku. Waktu seakan berhenti berputar. Aku mencoba melirik dengan ekor mataku. Alangkah terkejutnya aku, melihat hantu gosong menampakkan dirinya perlahan dari belakangku. Perlahan tapi pasti, dia semakin jelas berjalan ke depanku. Bau anyir juga gosong yang sangat menusuk, langsung memenuhi rongga hidungku. Aku mencoba memanggil teman-temanku, tapi suaraku tidak mau keluar dari tenggorokanku.Masih bisa ekor mataku melirik kesana kemari, teman-temanku hanya berdiri seperti patung saja. Kini sos
"Maafkan saya Pak Rudi. Saya tidak sengaja waktu itu. Tolong, jangan sampai hal ini tersebar kemana-mana. Reputasi saya akan hancur. Saya akan bayar ganti rugi." Suara siapa itu? Kubuka perlahan mataku. Ini kan ruangan lab. Kulihat Bapak tadi memakai seragam petugas kebersihan, sedang berbincang dengan siapa ya? Aku nggak kenal. Berarti dia sudah menjadi petugas kebersihan di sekolah ini."Saya nggak butuh uang Bapak. Saya mau, Bapak mempertanggung jawabkan perbuatan Bapak. Enak sekali, Bapak bisa bebas kemana-mana setelah menghilangkan nyawa anak saya. Jangan karena Bapak pemilik yayasan ini, Bapak bisa sesuka hati saja!" Ternyata Bapak itu pemilik yayasan. Aku baru hari ini masuk sekolah, jadi belum tau sama pemilik yayasan. Guru-guru aja belum pada kenal."Ya sudah, kalau Bapak tetap keras kepala. Silahkan laporkan saya. Lagipula, Bapak nggak ada bukti," kata Bapak pemilik yayasan, sambil berjalan ke arah pintu keluar lab. "Siapa bilang saya tak ada bukti, saya bukan orang yang bo
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
Bu Marta semakin erat memeluk tubuh Meti, seakan tak mau dilepas lagi. Tapi pelukannya tampak berbeda dari saat memelukku tadi. Pelukannya kali ini, tampak tulus dan penuh rasa sayang. "Mama kangen sekali sama kamu Nak," katanya sambil mengisak. Sedih sekali melihatnya. Apa kabar denganku, yang tak pernah dipeluk sebegitu erat sama Bunda? Ah, bikin baper aja."Jangan pergi lagi ya," pinta Bu Marta."Ma, tempat Dara bukan di sini lagi. Mama masih ada Papa. Pliss, ikhlasin Dara, kalau Mama sayang sama Dara," kata Meti, eh Dara. "Huhuhuhu," tangis Bu Marta semakin kencang. "Sus, apa Bu Marta selalu begitu?" tanyaku berbisik pada suster."Tidak, baru kali ini. Biasanya dia hanya menangis histeris kayak tadi, kalau teringat anaknya. Tapi sekarang, dia tampak tenang," jawab suster.Sesaat mereka hanya saling menangis dan memeluk erat. Kami juga hanya memperhatikan saja. "Mama ikhlas Nak. Kamu yang tenang ya," kata Bu Marta, seraya melepaskan pelukannya, sambil menatap wajah Meti dengan
"Terus, gimana nih. Apa alasan kita menjenguk Ibu Dara?" tanya Cilla.Saat ini, mobil Andri sudah sampai di depan pintu gerbang rumah sakit jiwa tempat Bu Marta, ibu Dara dirawat."Bilang aja, kita teman dekat Dara dulu," kata Andri."Yakin, bisa diizinin masuk?" tanya Rindi."Dicoba dulu. Saat ini, cuma itu alasan yang tepat. Bilang aja, kita mau kasih support buat ibunya si Dara, karena dulu kita sering main ke rumahnya," jabar Andri."Bener juga sih. Cukup masuk akal. Nggak ada cara lain kan? Nggak mungkin juga kita masuk diam-diam. Pintu gerbangnya dijaga satpam gitu," kata Raya sambil melihat ke arah pos satpam yang ada di dekat gerbang yang masih ditutup. "Ya udah, kita coba. Mudah-mudahan kita diizinin masuk," kataku.Kami berenam keluar dari dalam mobil Andri. Hanya aku yang pakai baju bebas, sementar teman-teman aku, masih pakai seragam sekolah. "Ada apa Dek?" tanya satpam dari balik jeruji pintu gerbang."Kami mau menjenguk Bu Marta, Pak," jawabku."Adek ini siapanya?" sel
Raya melirik ke arah dapur, mungkin ingin memastikan kalau nenek-nenekku tak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami. "Sini," kata Raya berbisik, agar kami berkumpul mendekat dengan dia."Di dalam flashdisk itu, hanya berisi rekaman suara anak Pak Rudi. Sepertinya dia diperkosa." Kami semua terkejut mendengar cerita Raya."Serius Lu?" tanya Andri. "Serius. Aku dengar, anak Pak Rudi memohon-mohon ampun terus ada suara laki-laki juga. Sepertinya, anak Pak Rudi tadinya ingin merekam gambar, tapi nggak jadi, karena takut. Justru jadi merekam suara," jelas Raya. "Jadi, kenapa kok di penglihatanku, anak Pak Rudi jadi korban tabrak lari?" tanyaku. Apa penglihatanku kali ini salah?"Hmm, kasus pertama kita cukup rumit guys," kata Raya. "Terus, sekarang apa yang kita lakukan? Apa kita ceritakan sama Bu Ayu aja?" tanya Cila. "Jangan dulu. Bukti tak cukup kuat, karena cuma suara aja. Lagipula, takutnya kita semua terancam di DO dari sekolah. Bisa aja kan, kita dibilang sudah melakukan penc