Dia mengatur sedemikian rupa, hingga botol itu menjadi sangat dekat dengan lilin itu. Saat dia akan melangkah pergi, dia tiba-tiba terdiam, seperti ada yang menahan kakinya. Aku melihat ke bawah kolong meja. Ternyata Bapak petugas kebersihan yang menahan kakinya. Bapak itu ternyata masih hidup. Bapak kepala yayasan berusaha keras melepaskan kakinya dari cengkraman Bapak petugas kebersihan. Dia tampak panik. Matanya berulang kali melihat ke meja yang ada botol cairan dan lilin tadi. "Lepas Pak Rudi. Maaf, saya terpaksa melakukan ini. Saya nggak mau karir dan usaha yang saya bangun bertahun-tahun, hancur sia-sia," katanya berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman Bapak petugas kebersihan semakin kuat. Dengan sekuat tenaga, Bapak kepala yayasan memukuli bahkan menendang Bapak petugas kebersihan. Sampai akhirnya dia menggunakan sebuah kursi untuk memukul tubuh Bapak petugas kebersihan. Sungguh tak tega aku melihatnya, tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Kalau aku bisa menyentuh ap
"Haya, kamu kok pergi sekolah nggak ngajak aku. Kamu kan janji, mau menemui Mama aku," omel Dara saat melihatku sudah sendirian di kamar. Tadi Nek Wid menemaniku dan menyuapiku makan, setelah aku sampai di rumah dan masuk ke dalam kamarku. Makanya dia belum menampakkan wujudnya. Tapi, setelah nenekku pergi dia mulai beraksi menunjukkan wajahnya yang cemberut."Kamu yang kemana aja. Lagian aku tadi kesiangan, mana ingat sama temen yang nggak nampak wujudnya," kataku sambil merebahkan tubuhku. Rasanya sangat lelah. Maklum aja, beberapa hari cuma jadi kaum rebahan, sekarang harus melakukan aktifitas normal lagi. Ditambah dengan kejadian di sekolah tadi."Kamu sakit? Kok pucat banget," tanya Dara. Dia duduk di tepian ranjangku. "Nggak, tadi aku baru ketemu hantu gosong di sekolah." "Ih serem." "Situ hantu tau, masa takut sama hantu juga." Aku mengejek Dara yang menunjukkan ekspresi takut. "Tapi aku kan, nggak serem. Manis malah." "Narsis. Sana gih. Aku mau tidur dulu. Capek banget.
Kapur itu tiba-tiba terjatuh. Setelah alamat itu selesai ditulis. Meti cepat-cepat mengambil buku tulisnya dan mencatat alamat yang tertera."Mungkin kita disuruh ke alamat ini Ya," kata Meti."Mungkin," jawabku."Nanti pulang sekolah kita kesana." "Teman-teman yang lain, bagaimana? Apa kita ajak?" "Iya dong. Bisa ngambek mereka kalau nggak diajak. Dari awal kan, mereka sudah tau tentang misi ini." "Woi, mau ngajak kemana nih." Tau-tau Rindi disusul teman-teman yang lain pada masuk ke kelas. "Ada deh, nanti aja, pas jam istirahat kita bicarakan," sahut Meti. Aku melirik ke papan tulis, teringat kalau tulisan tadi belum kami hapus. Ternyata tulisan itu sudah hilang. Syukurlah, agar tak menjadi tanda tanya teman-teman yang lain. UUUIIIINNGGGGGBel pertanda jam masuk berbunyi. Kami semua menuju ke lapangan sekolah untuk berbaris. Selama seminggu ini, sebagai siswa baru kami harus mengikuti kegiatan baris berbaris di pagi hari. Tak ada kegiatan khusus sih. Hanya perkenalan saja. ★
"Kami akan bantu Ibu untuk mendapat keadilan atas kematian suami Ibu," kataku seraya berusaha menahan pintu itu. Sejenak ibu itu diam menatapku. "Apa maksud kamu?" tanyanya menatapku langsung ke mataku. "Pak Rudi memberi tau semuanya sama saya," kataku. Matanya semakin membulat melihatku."Jangan ngaco kamu. Suami saya sudah meninggal." Dia berusaha mendorong pintu itu lagi. Tapi Andri mendorong pintu itu dengan keras, hingga membuat ibu itu mundur beberapa langkah, bahkan hampir terjatuh. Aku melotot ke arah Andri, dia hanya mengedikkan bahunya. "Ibu, nggak papa?" tanyaku pada Ibu itu, sambil berusaha membantu menyeimbangkan tubuhnya."Jangan sentuh saya!" Dia menepis tanganku dengan kasar. "Darimana kamu tau tentang suami saya?" tanyanya padaku. Tatapannya masih saja dingin seperti tadi."Um, dari Pak Rudi sendiri Bu." "Maksud saya. Bagaimana kamu bisa mengenal suami saya?" "Ibu duduk dulu. Saya akan menjelaskannya." Aku membimbing ibu ini, untuk duduk di sofa sederhana di d
Aku bingung mau jawab apa. Bukti belum ada di tanganku. Aku takut, kalau kubilang siapa pelakunya. Istri Pak Rudi akan bertindak nekat dan melaporkan Bapak pemilik yayasan. Bisa-bisa keadaan berbalik, kami yang akan kena masalah. "Iya, Cila benar juga. Pasti kamu tau pelakunya. Kenapa nggak kita adukan langsung aja ke polisi? Biar polisi menyelidiki ulang kasus ini." Andri juga mulai ikut bersuara."Nggak sesimpel itu juga. Pelaku pasti sudah memikirkan semua ini matang-matang. Apalagi kasus ini sudah bertahun-tahun lamanya. Tentunya dia sudah punya alibi yang menentang kalau dia ada di lokasi kejadian." Fuhh. Sukurlah ada Rindi yang sangat rasional. "Rindi benar juga. Tapi kami boleh tau kan pelakunya, Haya? Orangnya ada di sekolah kita nggak? Biar kita bisa mengawasi gerak geriknya? Aku disuruh nguntit sampai ke rumahnya juga mau." Hmm, ternyata ada detektif conan kw di antara kami. Siapa lagi kalau nggak si Ray. Memang kecil bodynya, tapi dia memang lebih lincah dari Andri yang
"Itu lemari baju anak saya. Semua kenangan dia tersimpan di situ. Saya nggak mau kenangan itu jadi rusak karena kalian acak-acak.""Kami akan bereskan lagi Bu. Kami pastikan, nggak ada yang akan rusak. Kami akan sangat hati-hati," kata Meti."Ya Bu. Mungkin saja itu harapan terakhir kita. Kalau memang tak ada apa pun. Saya janji, saya nggak akan mengungkit hal ini lagi." Aku memohon pada istri Pak Rudi. Hatiku bilang, ada sesuatu di dalam lemari itu."Ya sudah. Tapi jangan sampai ada yang rusak. Saya nggak akan memaafkan kalian, kalau ada yang rusak." "Iya Bu, kami akan hati-hati," ucap Meti seraya mengulas senyum manis, namun dibalas tatapan dingin oleh istri Pak Rudi. Kami semua sudah berkumpul di sini, di kamar anak Pak Rudi. Kamar ini tampak bersih dan terawat. Berbanding ruangan lain yang terbiar begitu saja. Kamar khas anak remaja putri. Bahkan di meja belajarnya, masih tersusun rapi buku-bukunya. Sebuah laptop berwarna silver tampak ada di atas meja itu.Dengan perlahan aku m
"Bener juga, saya juga sudah lapar. Kita makan disini, ya Bu. Biar saya dan Andri yang beli mi instan ke warung. Para cewek, bantu Ibu membersihkan rumah." Kami semua setuju dengan usul Raya. Mata kami menatap istri Pak Rudi penuh harap. Kami yakin, beliau sedang butuh suasana baru. Kelihatan kesepian hidupnya, makanya sikapnya jadi dingin begitu. "Tapi jangan berantakan." Kami sangat senang, istri Pak Rudi mengizinkan juga. "Bu, kita belum kenalan. Nama saya Rindi, itu Meti, yang pakai kacamata Cila, dia Andri dan yang imut, Raya. Nama Ibu siapa?" Rindi memperkenalkan teman-temanku pada istri Pak Rudi."Ih, aku nggak dikenalin." Aku memasang wajah cemberut pada Rindi. "Kamu kan, udah memperkenalkan diri tadi. Ibu masih ingat kan nama teman kami yang indigo ini?" Senyum mulai menghiasi wajah istri Pak Rudi. "Panggil saya Bu Ayu," kata istri Pak Rudi. Intonasinya bicara tak lagi ketus."Rin, enak aja kamu bilang aku imut," sungut Raya. "Udah deh, nggak usah ngelak. Nyatanya kamu
"Enak banget mienya Buk. Sumpah, baru kali ini makan mi seenak ini. Pantas saja sampai namboh." Andri mengusap perutnya yang kekenyangan. "Emang lu makannya banyak. Makan mi nggak dibumbui, juga bisa habis dua porsi," ledek Rindi sambil mengumpulkan piring bekas kami makan. Cila juga turut membantu Rindi mengangkat piring-piring kotor itu dan meletakkannya di wastafel. "Udah, nggak usah dicuci. Biar nanti Ibu aja yang cuci piring. Sebaiknya kalian pulang, orangtua kalian pasti khawatir," kata Bu Ayu. "Iya, Bundaku udah wa aku nih," kata Cila. "Ya udah, kami pamit ya Bu. Semoga ada titik terang atas kasus ini," kataku. "Kalaupun nanti tidak ditemukan apa-apa. Ibu sudah ikhlas, terima kasih kalian sudah menghibur ibu. Saat meninggal dulu, usia anak ibu, sebaya dengan kalian. Kalian sudah mengobati rasa kangen Ibu." Bu Ayu tampak terharu, matanya sampai berkaca-kaca. Aku jadi ikut terharu juga. Kupeluk Bu Ayu erat. Apa begini ya rasanya, kalau meluk ibu sendiri? "Bunda saya sudah
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
Bu Marta semakin erat memeluk tubuh Meti, seakan tak mau dilepas lagi. Tapi pelukannya tampak berbeda dari saat memelukku tadi. Pelukannya kali ini, tampak tulus dan penuh rasa sayang. "Mama kangen sekali sama kamu Nak," katanya sambil mengisak. Sedih sekali melihatnya. Apa kabar denganku, yang tak pernah dipeluk sebegitu erat sama Bunda? Ah, bikin baper aja."Jangan pergi lagi ya," pinta Bu Marta."Ma, tempat Dara bukan di sini lagi. Mama masih ada Papa. Pliss, ikhlasin Dara, kalau Mama sayang sama Dara," kata Meti, eh Dara. "Huhuhuhu," tangis Bu Marta semakin kencang. "Sus, apa Bu Marta selalu begitu?" tanyaku berbisik pada suster."Tidak, baru kali ini. Biasanya dia hanya menangis histeris kayak tadi, kalau teringat anaknya. Tapi sekarang, dia tampak tenang," jawab suster.Sesaat mereka hanya saling menangis dan memeluk erat. Kami juga hanya memperhatikan saja. "Mama ikhlas Nak. Kamu yang tenang ya," kata Bu Marta, seraya melepaskan pelukannya, sambil menatap wajah Meti dengan
"Terus, gimana nih. Apa alasan kita menjenguk Ibu Dara?" tanya Cilla.Saat ini, mobil Andri sudah sampai di depan pintu gerbang rumah sakit jiwa tempat Bu Marta, ibu Dara dirawat."Bilang aja, kita teman dekat Dara dulu," kata Andri."Yakin, bisa diizinin masuk?" tanya Rindi."Dicoba dulu. Saat ini, cuma itu alasan yang tepat. Bilang aja, kita mau kasih support buat ibunya si Dara, karena dulu kita sering main ke rumahnya," jabar Andri."Bener juga sih. Cukup masuk akal. Nggak ada cara lain kan? Nggak mungkin juga kita masuk diam-diam. Pintu gerbangnya dijaga satpam gitu," kata Raya sambil melihat ke arah pos satpam yang ada di dekat gerbang yang masih ditutup. "Ya udah, kita coba. Mudah-mudahan kita diizinin masuk," kataku.Kami berenam keluar dari dalam mobil Andri. Hanya aku yang pakai baju bebas, sementar teman-teman aku, masih pakai seragam sekolah. "Ada apa Dek?" tanya satpam dari balik jeruji pintu gerbang."Kami mau menjenguk Bu Marta, Pak," jawabku."Adek ini siapanya?" sel
Raya melirik ke arah dapur, mungkin ingin memastikan kalau nenek-nenekku tak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami. "Sini," kata Raya berbisik, agar kami berkumpul mendekat dengan dia."Di dalam flashdisk itu, hanya berisi rekaman suara anak Pak Rudi. Sepertinya dia diperkosa." Kami semua terkejut mendengar cerita Raya."Serius Lu?" tanya Andri. "Serius. Aku dengar, anak Pak Rudi memohon-mohon ampun terus ada suara laki-laki juga. Sepertinya, anak Pak Rudi tadinya ingin merekam gambar, tapi nggak jadi, karena takut. Justru jadi merekam suara," jelas Raya. "Jadi, kenapa kok di penglihatanku, anak Pak Rudi jadi korban tabrak lari?" tanyaku. Apa penglihatanku kali ini salah?"Hmm, kasus pertama kita cukup rumit guys," kata Raya. "Terus, sekarang apa yang kita lakukan? Apa kita ceritakan sama Bu Ayu aja?" tanya Cila. "Jangan dulu. Bukti tak cukup kuat, karena cuma suara aja. Lagipula, takutnya kita semua terancam di DO dari sekolah. Bisa aja kan, kita dibilang sudah melakukan penc