"Bener juga, saya juga sudah lapar. Kita makan disini, ya Bu. Biar saya dan Andri yang beli mi instan ke warung. Para cewek, bantu Ibu membersihkan rumah." Kami semua setuju dengan usul Raya. Mata kami menatap istri Pak Rudi penuh harap. Kami yakin, beliau sedang butuh suasana baru. Kelihatan kesepian hidupnya, makanya sikapnya jadi dingin begitu. "Tapi jangan berantakan." Kami sangat senang, istri Pak Rudi mengizinkan juga. "Bu, kita belum kenalan. Nama saya Rindi, itu Meti, yang pakai kacamata Cila, dia Andri dan yang imut, Raya. Nama Ibu siapa?" Rindi memperkenalkan teman-temanku pada istri Pak Rudi."Ih, aku nggak dikenalin." Aku memasang wajah cemberut pada Rindi. "Kamu kan, udah memperkenalkan diri tadi. Ibu masih ingat kan nama teman kami yang indigo ini?" Senyum mulai menghiasi wajah istri Pak Rudi. "Panggil saya Bu Ayu," kata istri Pak Rudi. Intonasinya bicara tak lagi ketus."Rin, enak aja kamu bilang aku imut," sungut Raya. "Udah deh, nggak usah ngelak. Nyatanya kamu
"Enak banget mienya Buk. Sumpah, baru kali ini makan mi seenak ini. Pantas saja sampai namboh." Andri mengusap perutnya yang kekenyangan. "Emang lu makannya banyak. Makan mi nggak dibumbui, juga bisa habis dua porsi," ledek Rindi sambil mengumpulkan piring bekas kami makan. Cila juga turut membantu Rindi mengangkat piring-piring kotor itu dan meletakkannya di wastafel. "Udah, nggak usah dicuci. Biar nanti Ibu aja yang cuci piring. Sebaiknya kalian pulang, orangtua kalian pasti khawatir," kata Bu Ayu. "Iya, Bundaku udah wa aku nih," kata Cila. "Ya udah, kami pamit ya Bu. Semoga ada titik terang atas kasus ini," kataku. "Kalaupun nanti tidak ditemukan apa-apa. Ibu sudah ikhlas, terima kasih kalian sudah menghibur ibu. Saat meninggal dulu, usia anak ibu, sebaya dengan kalian. Kalian sudah mengobati rasa kangen Ibu." Bu Ayu tampak terharu, matanya sampai berkaca-kaca. Aku jadi ikut terharu juga. Kupeluk Bu Ayu erat. Apa begini ya rasanya, kalau meluk ibu sendiri? "Bunda saya sudah
Sebelum masuk ke dalam mobil Andri, masih sempat aku celingukan, barangkali 'dia' akan menampakkan diri. Nihil. Baru lagi mobil Andri jalan, aku merasa ada yang narik-narik hijab aku dari belakang. Aku menoleh, nggak ada siapa-siapa."Ya, kamu ngerasain nggak?" bisik Meti. "Ngerasain apa?" Aku juga berbisik. "Ada hantu," bisik Meti semakin pelan hampir tak kedengaran, mungkin takut terdengar teman yang lain. Aku diam saja, apa mungkin ada hantu yang ikut naik ke mobil Andri? Apa yang narik-narik hijab aku tadi ya? "Nggak ada ah." "Eh, kalian ngapain sih, dari tadi bisik-bisik?" tanya Raya. Aku duduk persis di belakangnya. Mungkin dia sedikit terganggu dengan suara kami. "Eh, nggak boleh tau, kalau ngumpul begini, bisik-bisik. Ntar ada yang tersinggung," kata Cila ada benarnya juga. "Iya, sorry yang besti," kata Meti sambil nyengir. "Kita kan, udah temenan. Katanya geng, jadi jangan ada rahasia-rahasiaan dong." Rindi ikut menimpali. "Bukan rahasia kok." Aku jadi merasa bersa
"Tuh kan, Haya," rengek Cila. Dia duduk di sebelah Meti, mungkin mendengar yang dibisikkan Meti tadi. "Nggak papa. Ini hantu nggak jahat kok." Temen-temen aku semakin ketakutan. Andri sampai menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dan lebih dulu buka pintu dan keluar dari mobil disusul teman-teman yang lain, termasuk Meti yang aku sangka pemberani. "Tuh kan, kamu usil banget sih. Ngapain juga ikut-ikut aku. Temen-temen aku kan jadi takut." Aku jadi kesal sama Dara. "Hehe, maaf." Dara malah cengengesan. "Habisnya, kamu kan udah janji mau nemuin mamaku. Rumah sakit tempat mamaku dirawat nggak jauh dari sini," katanya menagih janjiku. "Ini udah sore banget. Nanti ayahku marah kalau aku terlalu sore pulangnya." "Yaaa, jadi kapan dong. Kamu nggak kasihan apa, sama mama aku. Siapa tau, mama aku bisa waras lagi dan ingat lagi sama papaku kalau kamu udah sampaikan maafku." Aku menarik nafasku dan menghembuskan dengan kasar. Beginilah kalau janji sama makhluk astral, dia bisa nongol ka
"Nah itu dia. Anaknya itu, minta tolong sama aku untuk nemuin ibunya." "Buat apa?" tanya Meti. "Ibunya sakit jiwa. Sekarang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Bina Insan. Katanya, ibunya ini merasa sangat bersalah, karena menyebabkan anaknya meninggal?" "Maksud kamu, kejadian dulu itu bukan bunuh diri, tapi pembunuhan?" tanya Andri. "Bukan pembunuhan juga. Ibunya itu berniat bunuh diri, tapi dia mau anaknya ikut mati juga sama dia. Anaknya itu kan, cuma satu-satunya itu. Tapi, anaknya meninggal, ibunya malah selamat." "Ih, kasihan banget," kata Cila dengan mimik wajah sedih. "Jadi, kamu iyain mau nolong dia?" tanya Raya."Iya. Kalau nggak dia pasti terus merengek minta tolong sama aku. Kalian ada yang tau, dimana rumah sakit itu? Katanya nggak jauh dari sini." "Bisa kita tanya mbah google," jawab Raya. "Apa kita kesana aja? Biar tuntas. Dia juga nggak nongol lagi di hadapan Haya kalau lagi bareng kita. Masih jam tiga, belum terlalu sore," usul Rindi sambil melihat ke jam model vintag
Dengan senyum mengembang, aku turun lagi, berjalan ke dapur memenuhi panggilan nenekku. Cupping hidungku langsung bergerak kembang kempis, ada aroma wangi yang sangat menggugah selera. "Masak apa Nek?" Aku melihat ke wajan. "Lagi goreng bakwan jagung kesukaanmu," kata Nek Ipah. "Udah ada yang mateng?" Mataku langsung berbinar, aku sangat suka bakwan jagung buatan nenek-nenekku. "Tuh," tunjuk Nek Ipah dengan mengerucutkan bibirnya ke arah sudut dapur. Dengan semangat aku langsung ke situ, mencomot satu bakwan yang ternyata masih sangat panas."Uh panas." Sontak aku mencampakkan bakwan itu lagi ke piring. Nek Ipah dan Nek Wiyah tertawa melihat tingkahku. "Oalah Ndok, bukannya pake tisu megangnya," kata Nek Ipah. "Haya kok sore banget pulangnya?" tanya Nek Wiyah. Diambilkannya satu bakwan dengan tisu, dibelah dua biar cepat hangat. Sejak kecil kalau, makananku masih panas, Ayah memang melarangku meniup makananku. Tunggu hangat baru dimakan. "Ke rumah temen tadi Nek." Terpaksa bo
"Huihh, segernya. Astaghfirullah!" Aku terlonjak melihat wajah Dara tau-tau langsung nongol ketika aku membuka pintu kamar mandi. "Hehe, bisa kaget juga." Dara malah cengengesan. Dasar! Hantu koplak. "Ya bisalah. Beruntung jantung ini buatan Tuhan, kalau buatan manusia udah jatoh kali," sungutku. Kulepas handuk yang melilit rambutku, aku udah langsung pakai baju tidur dari kamar mandi tadi. Kukibas-kibaskan rambutku agar cepat kering. "Hei, pelan-pelan dong! Nyiprat nih," gerutu Dara."Loh, kena? Kirain airnya tembus juga." Gantian aku yang cengengesan. Seandainya kalian bisa lihat, betapa lucunya ekspresi Dara.Aku berulangkali mengelap rambutku dengan handuk, agar tak ada sisa air yang menetes."Eh, Riko mana?" tanyaku sambil merapikan rambutku dengan jari-jari tanganku."Nggak tau. Ngapain nanyain dia?" "Emang nggak boleh?""Bukan nggak boleh, kali aja kamu ada perlu." "Nggak juga sih. Aku pikir, kalian selalu bareng." "Nggak juga. Dia memang suka ngilang." "Loh, hantu kan
"Haya." Kudengar ada yang memanggilku. Suaranya berbisik seperti dibawa oleh angin. "Siapa itu?" tanyaku pada suara yang memanggilku. Aku mengedarkan pandanganku.Dimana aku? Kamar siapa ini?"Haya." Suara itu lagi. Suara seorang laki-laki. Kepalaku menoleh kesana kemari, tak ada siapa-siapa. Aku keluar dari kamar dengan berjingkat. Aku merasa diawasi. Padahal gak ada siapa-siapa di sini.Rumah ini kayak rumah zaman dulu. Semua perabotannya terbuat dari kayu yang hanya di pelitur saja. Sangat klasik tapi terkesan elegan. "Halo. Apa ada orang?" Aku beranikan diri untuk bertanya, tapi nggak tau juga, bertanya pada siapa. Aku terus berjalan menyusuri rumah ini. Saat membuka pintunya, mataku langsung tertumbuk pada sebuah patung kuda yang ada di halaman depan rumah. Patung kuda itu terlihat seram sekali, tapi gagah. Kayak kuda yang ada di film-film perang. Warnanya coklat keemasan, dengan surai panjang. Kakinya diangkat ke atas, dengan sorot mata tajam seperti sedang marah."Haya." S
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
Bu Marta semakin erat memeluk tubuh Meti, seakan tak mau dilepas lagi. Tapi pelukannya tampak berbeda dari saat memelukku tadi. Pelukannya kali ini, tampak tulus dan penuh rasa sayang. "Mama kangen sekali sama kamu Nak," katanya sambil mengisak. Sedih sekali melihatnya. Apa kabar denganku, yang tak pernah dipeluk sebegitu erat sama Bunda? Ah, bikin baper aja."Jangan pergi lagi ya," pinta Bu Marta."Ma, tempat Dara bukan di sini lagi. Mama masih ada Papa. Pliss, ikhlasin Dara, kalau Mama sayang sama Dara," kata Meti, eh Dara. "Huhuhuhu," tangis Bu Marta semakin kencang. "Sus, apa Bu Marta selalu begitu?" tanyaku berbisik pada suster."Tidak, baru kali ini. Biasanya dia hanya menangis histeris kayak tadi, kalau teringat anaknya. Tapi sekarang, dia tampak tenang," jawab suster.Sesaat mereka hanya saling menangis dan memeluk erat. Kami juga hanya memperhatikan saja. "Mama ikhlas Nak. Kamu yang tenang ya," kata Bu Marta, seraya melepaskan pelukannya, sambil menatap wajah Meti dengan
"Terus, gimana nih. Apa alasan kita menjenguk Ibu Dara?" tanya Cilla.Saat ini, mobil Andri sudah sampai di depan pintu gerbang rumah sakit jiwa tempat Bu Marta, ibu Dara dirawat."Bilang aja, kita teman dekat Dara dulu," kata Andri."Yakin, bisa diizinin masuk?" tanya Rindi."Dicoba dulu. Saat ini, cuma itu alasan yang tepat. Bilang aja, kita mau kasih support buat ibunya si Dara, karena dulu kita sering main ke rumahnya," jabar Andri."Bener juga sih. Cukup masuk akal. Nggak ada cara lain kan? Nggak mungkin juga kita masuk diam-diam. Pintu gerbangnya dijaga satpam gitu," kata Raya sambil melihat ke arah pos satpam yang ada di dekat gerbang yang masih ditutup. "Ya udah, kita coba. Mudah-mudahan kita diizinin masuk," kataku.Kami berenam keluar dari dalam mobil Andri. Hanya aku yang pakai baju bebas, sementar teman-teman aku, masih pakai seragam sekolah. "Ada apa Dek?" tanya satpam dari balik jeruji pintu gerbang."Kami mau menjenguk Bu Marta, Pak," jawabku."Adek ini siapanya?" sel
Raya melirik ke arah dapur, mungkin ingin memastikan kalau nenek-nenekku tak ada yang mencuri dengar pembicaraan kami. "Sini," kata Raya berbisik, agar kami berkumpul mendekat dengan dia."Di dalam flashdisk itu, hanya berisi rekaman suara anak Pak Rudi. Sepertinya dia diperkosa." Kami semua terkejut mendengar cerita Raya."Serius Lu?" tanya Andri. "Serius. Aku dengar, anak Pak Rudi memohon-mohon ampun terus ada suara laki-laki juga. Sepertinya, anak Pak Rudi tadinya ingin merekam gambar, tapi nggak jadi, karena takut. Justru jadi merekam suara," jelas Raya. "Jadi, kenapa kok di penglihatanku, anak Pak Rudi jadi korban tabrak lari?" tanyaku. Apa penglihatanku kali ini salah?"Hmm, kasus pertama kita cukup rumit guys," kata Raya. "Terus, sekarang apa yang kita lakukan? Apa kita ceritakan sama Bu Ayu aja?" tanya Cila. "Jangan dulu. Bukti tak cukup kuat, karena cuma suara aja. Lagipula, takutnya kita semua terancam di DO dari sekolah. Bisa aja kan, kita dibilang sudah melakukan penc