Buk Aida dan Dewi
Pria misterius itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya untuk mencari jejak Sindi yang tiba-tiba saja lenyap entah ke mana. Ia menyorotkan cahaya senternya itu ke segala arah untuk memeriksa tempat itu, namun ia tetap tidak menemukannya. Akan tetapi ia tidak menyerah, pria misterius itu masih bertahan di tempat itu untuk menunggu mangsanya keluar dari tempat persembunyian.Malam masih tetap sesunyi sebelumnya. Yang terdengar hanyalah suara angin malam yang bercampur dengan para jengkerik. Kabut malam semakin tebal menyelimuti malam. Sindi meringkup di balik rerumputan sambil terus mengintip pria itu yang menunggunya di tengah jalan.Pria itu cukup tinggi dan badannya tampak begitu kekar. Ia mengenakkan penutup wajah, sehingga membuat Sindi tidak bisa melihatnya dengan jelas. Siapakah pria itu? Apakah itu adalah sopir truk yang beberapa hari yang lalu mengantarkan air darah pencuci daging ke rumah Pak Jumri dan Pak Dunto? Tidak, pria itu tidak berpostur kekar seperti itu. Lalu siapakah
Buk Aida dan Dewi bersembunyi lereng bukit. Mereka mengintip Pak Jumri dan anak buahnya yang berkeliaran di bawah sana. Cahaya senter mereka tampak berulang kali menyorot ke arah mereka, namun tidak ada satu pun dari mereka yang melihat keberadaan Buk Aida dan Dewi.“Kita harus berhenti di sini, tunggu sampai mereka semua pergi—barulah kita turun ke bawah sana. Aku sudah tidak sanggup lagi berlari lebih jauh, luka di dadaku ini terus mengeluarkan darah, aku sudah tidak kuat lagi..” Dewi mendudukkan dirinya di tanah. Ia tampak begitu lelah dan telah kehilangan banyak darah. Dewi butuh istrirahat sejenak untuk mengumpulkan segenap tenanganya yang masih tersisa.Sejak dari pagi tadi, mereka belum sempat mengganjal perut walau hanya sesuap nasi. Hari itu benar-benar terasa melelahkan. Mereka terus berlari dikejar oleh para warga desa yang begitu menakutkan. Sepertinya otak mereka semua telah dicuci oleh Pak Karay dan teman-temannya, merekalah yang sebenarnya dalang dari semua ini.“Baikl
Pak Jumri dan anak buahnya tampak masih berkerumun di bawah sana. Dari tadi cahaya senter mereka terlihat sibuk menerawang ke atas bukit tempat di mana Buk Aida dan Dewi berada. Obor mereka juga tampak menyala terang menerangi malam. Dari atas sana, Buk Aida dan Dewi dapat melihat mereka semua dengan jelas.Kondisi Buk Aida dan Dewi mulai terdesak, mereka tidak tahu harus pergi kemana untuk bersembunyi menghindari gerombolan para pria jahat tersebut. Jika mereka terus bergerak maju turun ke bawah sana, maka sudah pasti mereka akan dicegat oleh gerombolan Pak Jumri dan anak buahnya. Namun jika mereka mundur ke belakang, maka anak buah Pak Jumri yang lain sudah banyak yang mulai berdatangan mendekat ke tempat mereka. Mereka berdua terkurung di tengah-tengah gerombolan itu, di sebuah lereng bukit yang menurun ke bawah sana.“Berhenti! Jangan ke sana! Nanti mereka semua akan melihat kita..” Buk Aida menarik lengan tangan Dewi dari belakang. “Ssstt... Jangan ada yang bersuara..” Buk Aida m
Sindi masih terpaku di tempat itu tanpa beranjak sedikit pun. Tidak ada yang dapat ia lihat selain daripada kegelapan malam yang hitam. Di mana pria itu? Mengapa aku tidak melihatnya lagi? Apakah dia sudah pergi dari tempat itu? Ataukah mataku ini masih terlalu silau untuk melihatnya? Sindi menunggu dalam posisi yang sama sembari memasang telinganya. Waspada. Hanya beberapa detik setelah cahaya senter itu padam, ketika Sindi sibuk menyalakan matanya untuk melihat, tiba-tiba sebuah tangan datang menarik rambutnya dengan begitu kasar. Tangan itu menarik Sindi dengan sekuat tenaga tanpa belas kasih sedikitpun. “Aaaaakkkhhhh....” Sindi menjerit kesakitan. Tubuhnya terseret ke dalam rerumputan yang tumbuh di sekitar sana. Pria itu membawanya keluar dari tempat itu ke jalan setapak yang dipenuhi bebatuan kasar. Sindi tidak mau membiarkan dirinya diseret begitu saja oleh pria tersebut, dia berusaha memberontak dan meraih semua rerumputan yang ada di sekitar sana untuk menahan tarikan tangan
Buk Aida merangkak terlalu cepat, sehingga beliau tidak sadar bahwa medan jalan yang ada di depan sana itu kini berujung dengan sebuah tebing kecil yang setinggi hampir dua meter. “Akhhh..” Suara Buk Aida reflek menjerit. Tubuhnya jatuh dari atas tebing kecil itu. Mendengar suara tersebut, para pria yang kejam itu pun langsung berlari menerobos masuk ke dalam rerumputan yang ada di depan sana.Dewi tidak mau menunggu lebih lama, ia juga ikut melompat ke bawah sana mengejar Buk Aida yang kini sedang berlari kencang menerobos padang rumput liar itu. Mereka berdua terguling-guling, jatuh dan bangun lagi untuk menghindari kejaran para pemuja setan tersebut.“ITU MEREKA.. CEPAT! TANGKAP MEREKA!” Teriak salah satu teman Darjan saat melihat punggung Dewi yang berada dalam jarak belasan meter di depannya. Ia lantas mengejar mereka ke bawah sana diikuti oleh teman-temannya yang lain.Buk Aida dan Dewi terus berlari melewati padang belukar liar itu dengan penuh perjuangan. Entah sudah berapa ka
Pria itu masih berdiri di belakang sana sembari menyorotkan cahaya senternya yang menyilaukan itu ke wajah Sindi. Sementara itu Sindi terpojok di dasar sungai dalam kondisi tubuh yang penuh luka. Apa yang harus dia lakukan? Berlari? Tidak mungkin, kaki kirinya itu telah patah. Selang beberapa detik kemudian, pria misterius yang bertubuh kekar itu mulai melangkah perlahan-lahan menghampirinya. Sindi masih berusaha untuk mendorong tubuhnya yang lemah itu ke belakang, akan tetapi punggungnya malah terpojok ke tebing sungai. Tidak ada lagi jalan untuk pergi. “Mengapa wajahmu tampak begitu menyedihkan? Apakah kau takut mati? Tenang, jangan takut. Kau akan mati dengan cara terhormat. Tanaman dan buah-buahan di desa kami akan subur kembali seperti dulu atas pengorbanan jiwa kalian semua.” Pria itu kini berdiri tepat di tepi anak sungai tersebut. Menatapnya dengan wajah yang setengah tertutup. “Mengapa harus kami? Dan mengapa tidak wanita-wanita dari desa kalian saja? Kami tidak bersalah. T
Sindi yang penasaran itu segera berjalan ke arah dua pintu tersebut untuk mencari jawaban atas pertanyaannya itu. Tidak butuh waktu lama, ia kini sedang berdiri di depan pintu toilet yang terbuka tersebut, dan kemudian melongakkan kepalanya ke dalam sana. Aneh sekali, ternyata ia tidak menemukan sesiapun di toilet tersebut. Yang ada hanyalah air keran yang menyala, dan telah melimpah keluar memenuhi kolam kecil penampung air. Barangkali orang yang terakhir kali masuk ke dalam sana lupa mematikan kerannya. Tanpa pikir panjang Sindi pun langsung masuk kesana untuk mematikan keran air tersebut.Saat itu, tiba-tiba di luar sana ia mendengar ada bunyi sesuatu yang jatuh menimpa lantai. Sindi kaget. Sepertinya itu adalah suara salah satu buku yang jatuh. Akan tetapi yang menjadi pertanyaanya ialah, siapakah yang menjatuhkan buku-buku tersebut? Bukankah hampir semua orang sudah pulang dari kampus? Sindi keheranan di dalam toilet. Ia segera keluar dari tempat itu untuk melihatnya.Ruangan pus
Terlihat seorang pria hitam dengan rambut keritingnya sedang melotot menatap wajahnya dari meja pustaka. Pria itu adalah Pak Darkis. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja pria itu sudah berada di sana bagai hantu. Sejak kapan pria itu berada di sana? Padahal tadi ia baru saja melihat tempat itu kosong? Sindi kaget dan juga heran.“Tidak.. Tidak ada apa-apa, pak. Saya sedang mencari buku ini, dan saya telah menemukannya.” Sindi berusaha untuk tidak terlihat aneh. Dia bersikap dengan sewajarnya.“Lantas mengapa kau membuka pintu itu? Apakah ada sesuatu yang kau lihat di dalam sana?” Pria itu bertanya seakan menaruh rasa curiga terhadap Sindi. Sindi kaget, namun beruntung ia segera buru-buru membuka mulutnya. “Tidak ada, tadi aku mendengar ada bunyi sesuatu di sana, setelah aku periksa, ternyata itu adalah tikus.” Sindi menghembuskan nafasnya setelah menjawab pertanyaan tersebut.Mendengar jawaban tersebut, pria itu pun terdiam dan kembali mengalihkan pandangannya pada sebuah buku yang
Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi
“Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,
“Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat
“Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te
“Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh
“Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m
“Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen
Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari